G.
Perkembangan
Konsep Diri Berdasarkan Tumbuh Kembang
Perkembangan
konsep diri adalah proses sepanjangan hidup. Setiap tahap perkembangan
mempunyai aktifitas spesifik yang membantu pasien dalam mengembangkan konsep
diri yang positif.
1. Bayi
Yang dibutuhkan seorang bayi adalah
pemberi perawatan primer dan hubungan dengan pemberi perawatan tersebut. Peran
member perawatan ini dapat dipenuhi oleh ibu, ayah, atau seseorang yang
bertanggung jawab untuk merawat bayi. Jika bayi mengalami kesenangan, interaksi
penuh kasih saying dengan pemberi perawatannya, maka hal ini akan diingat dan
diinternalisasikan kedalam psikis bayi. Jika interaksinya tidak memuaskan,
menyakitkan atau mengakibatkan frustasi, maka ini akan terpisah dari psikis dan
ditekan di bawah sadar. Perasaan yang dipisahkan dan ditekan ini akan
dikeluarkan dalam bentuk lain dalam kehidupan. ( Perry & Potter, 2005, p:
506-507)
Pada awalnya, bayi baru lahir
semata-mata menyatakan perbedaan antara sensasi menyenangkan dan objek yang
menyebabkan sensasi tersebut didapat. Neonates tidak mempunyai rasa batasan
diri yang jelas. Dunia luas adalah perluasan dari diri mereka. Hanya jika
fungsiperseptif dan fungsi sensoris matur, maka bayi secara bertahap belajar
tentang tubuh mereka. Bayi benar-benar bergantung pada orang dewasa untuk
merawat kebutuhan dasar mereka. Jika kebutuhan seperti makan dan perawatan
terpenuhi dengan cepat dan konsisten, bayi mulai membentuk rasa percaya dengan
dunia. Karena bayi memandang diri mereka sebagai bagian dari pemberi perawatan
primer, maka pengalaman positif membantu merekan meraih kepercayaan dalam diri
mereka sendiri. ( Perry & Potter, 2005, p: 507)
Pengalaman pertama bayi dengan tubuh
mereka, yang sangan ditentukan oleh kasih sayang dan sikap ibu, adalah dasar
untuk perkembangan citra tubuh. Penerimaan dan pengaturan tubuh dikemudian hari
dan reaksi orang lain terhadap hal tersebut adalah cara kita melanjutkan
pembentukan citra tubuh kita.
2. Toddler
Anak usia bermain (1 sapai 3 tahun)
lebih aktif dan mampu untuk berinteraksi dengan orang lain. Tugas psikososial
utama mereka adalah mengembangkan otonomi. Anak-anak beralih dari
ketergantungan total kepada rasa kemandirian dan keterpisahan diri mereka dari
orang lain. Mereka juga cenderung memandang orang lain dan diri mereka dalam
istilah “semua baik” atau “semua tidak baik”. Mereka mencapai ketrampilan
dengan makan sendiri dan melakukan tugas hygiene dasar. Anak usis bermain
belajar untuk mengoordinasi gerakan dan meniru orang lain. Mereka belajar
mengontrol tubuh mereka melalui ketrampilan locomotion, toilet training,
berbicara, dan sosialisasi. ( Perry & Potter, 2005, p: 507)
3. Usia
Prasekolah
Batasan tubuh, rasa diri, dan jender
dari anak usia prasekolah menjadi lebih pasti bagi mereka karena perkembangan
keingintahuan seksual dan kesadaran tentang perbedaan dengan orang lain dari
jender yang sama atau yang berbeda. Mempelajari tentang tubuh, dimana mulainya
dan mana akhirnya, seperti apa nampaknya dan apa yang dilakukan adalah dasar
untuk pembentukan konsep diri dan citra tubuh. Pertumbuhan kesadaran diri
termasuk penemuan perasaan, misalnya : anak usia sekolah belajar nama dari
perasaannya. ( Perry & Potter, 2005, p: 507)
Anak-anak merasa kecih dalam hubungannya
dengan orang dewasa. Mereka menetapkan pandangan negative atau positif tentang
diri mereka. Mereka mendenganr dan mengalami emosi dan pernyataan dari orang
lain, terutama orang tua, tentang diri mereka sebagai individu. Mereka juga
mendengar tentang hal dan peristiwa di sekitar mereka. Ketika pengalaman ini
berulang beberapa kali, mereka mulai membentuk pola yang diharapkan. ( Perry
& Potter, 2005, p: 507)
4. Anak
Usia Sekolah
Dengan anak memasuki usia sekolah,
pertumbuhan menjadi cepat, dan lebih banyak didapatkan ketrampilan motorik,
social dan intelektual. Tubuh anak berubah dan identitas seksual menguat,
rentang perhatian meningkat, dan aktifitas membaca memungkinkan ekspansi konsep
diri melalui imajinasi ke dalam peran, perilaku, dan tempat lain. Melalui
permainan, anak-anak berinteraksi dengan teman sebaya, mengembangkan
ketrampilan motorik dan intelektual tambahan. Anak-anak mengekspresikan
perasaan melalui permainan, literature, gambar, dan music. Perawat dapat
menggunakan hal ini untuk mendapat petunjuk dalam konsep diri anak-anak. Dengan
meningkatnya kemampuan pemecahan masalah, kesadaran diri tentang perkembangan
kekuatan dan keterbatasan diri makin besar. Konsep diri dan citra tubuh dapat
berubah pada saat ini karena anak terus berubah secara fisik, emosional, mental
dan social. ( Perry & Potter, 2005, p: 508)
5. Masa
Remaja
Masa remaja membawa pergolakan fisik,
emosional dan social. Sepanjang maturasi seksual, perasaan, peran dan nilai
baru harus diintegrasikan ke dalam diri. Pertumbuhan cepat yang diperhatikan oleh
remaja dan orang lain adalah factor penting dalam penerimaan dan perbaikan
citra tubuh. Anak remaja dipaksa untuk mengubah gambaran mental mereka tentang
tentang diri mereka. Perubahan fisik dalam ukuran dan penampilan menyebabkan
perubahan dalam persepsi diri dan penggunaan tubuh. Anak remaja menghabiskan
banyak waktu di depan cermin untuk hygiene, berdandan, dan berpakaian dimana
mereka mencari perbaikan dari penampilan mereka sebanyak mungkin. Distress yang
besar dirasakan tentang ketidaksempurnaan tubuh yang dicerap. ( Perry &
Potter, 2005, p: 508)
Anak remaja mungkin terlalu menekankan
penampilan: hidung yang mancung, telinga yang besar, tubuh yang pendek, atau
kerangka tubuh yang besar mengakibatkan remaja menilai buruk terhadap dirinya.
Jika anak remaja tidak merasa menerima diri merka atau tubuh mereka, mereka
akan mencoba untuk berkompetensi melalui olah raga, keberhasilan dari hobi atau
akademik, komitmen keagamaan, penggunaan obat atau alcohol, atau kelompok teman
untuk meningkatkan prestise. Kompensasi mungkin berakibat cukup negative atau
positif, bergantung pada penerimaan masyarakat dari aktifitas tertentu
tersebut. ( Perry & Potter, 2005, p:
508)
6. Masa
Dewasa Muda
Meski pertumbuhan fisik telah berhenti,
perubahan kognitif, social dan perilaku terus terjadi sepanjang hidup. Dewasa
muda (awal 20 tahunan sampai pertengahan 40 tahunan) adalah periode untuk
memilih, menetapkan tanggung jawab, mencapai kestabilan dalam pekerjaan, dan
mulai melakukan hubungan erat. Konsep diri dan citra tubuh menjadi relative
stabil dalam masa ini. Konsep diri dan citra adalah kreasi social, dan
penghargaan dan penerimaan diberikan untuk penampilan normal dan perilaku yang
sesuai berdasarkan standar social. Konsep diri secara konstan terus berkembang
dan dapat diidentifikasi dalam nilai, sikap dan perasaan tentang diri. ( Perry
& Potter, 2005, p: 508)
7. Usia
Dewasa Tengah
Perubahan fisik seperti penumpukan
lemak, kebotakan, rabut memutih, dan varises menyerang usia dewasa tengah.
Tahap perkembangan ini terjadi sebagai akibat perubahan dalam produksi hormonal
dan sering penurunan dalam aktifitas mempengaruhi citra tubuh, yang selanjutnya
dapat mengganggu konsep diri. Orang menyadari bahwa mereka tampak lebih tua dan
mereka mungkin merasakan juga bahwa mereka menjadi lebih tua. Pekerjaan mungkin
sangat menegangkan jika orang dengan usia dewasa tengah merasa bahwa stamina,
daya tahan dan ketegapan mereka menurun untuk mengahadapi tugas. ( Perry &
Potter, 2005, p: 508-509)
Penyakit atau kematian orang yang
dicintai dapat menimbulkan perhatian tentang kematian dirin sendiri. Individu
usia dewasa tengah dapat merasa minder dengan orang muda karena gambaran diri
tentang tubuh yang kuat dan sehat dengan energy tidak terbatas telah digantikan
dengan gambaran diri yang mencerminkan perubahan penuaan. Kesulitan dalam
menerima kemudaan juga disebabkan oleh ketakutan tentang efek menopause, cerita
tentang seksualitas, dan social serta tekanan dari media iklan yang
menggambarkan kemudaan. ( Perry & Potter, 2005, p: 509)
8. Lansia
Perubahan fisik pada lansia tampak
sebagai penurunan bertahap struktur dan fungsi. Terjadi penurunan kekuatan otot
dan tonus otot. Osteoporosis, yang adalah penurunan kepada dan massa tulang,
dapat meningkatkan resiko fraktur atau menciptakan “ punuk dowage”. Penurunan
ketajaman pandangan adalah factor yang mempengaruhi lansia dalam berinteraksi
dengan lingkungan. Proses normal penuaan menyebabkan penurunan ketajaman
penglihatan. Kehilangan pendengaran dapat menyebabkan perubahan kepribadian
karena lansia menyadari bahwa mereka tidak lagi menyadari semua yang terjadi
atau yang diucapkan. Kecurigaan, mudah tersinggung, tidak sabar, dan menarik
diri dapat terjadi karena kerusakan pendengaran. Sering lansia memandang alat
bantu dengar sebagai ancaman lain terhadap citra tubuh. (Perry & Potter,
2005, p: 509)
Kehilangan tonus kulit disertai dengan
keriput dan penampilan dapat mempengaruhi harga diri dan menyebabkan lansia
merasa jelek dalam masyarakat yang menghargai kemudaan dan kecantikan.
Aktifitas seksual mungkin menghilang sejalan dengan pertambahan usia, meskipun
kemampuan untuk melakukannya tetap ada. Sering lansia tidak melakukan aktifitas
seksual karena mereka tidak mempunyai pasangan. Perubahan dalam citra tubuh
dapat mengganggu aktifitas seksual karena penolakan yang diantisipasi atau yang
dirasakan oleh pasangan atau karena ketakutan tentang tidak kemampuan untuk
melakukannya, meskipun sebagian besar riset menunjukkan bahwa tidak ada
rintangan fisik. (Perry & Potter, 2005, p: 509)
Konsep diri selama masa lansia
dipengaruhi oleh pengalaman sepanjang hidup. Masa lansia adalah waktu dimana
orang bercermin pada hidup mereka, meninjau kembali keberhasilan dan kekecewaan
dan dengan demikian menciptakan rasa kesatuan dari makna tentang diri mereka
dan dunia membantu generasi yang lebih muda dalam cara yang positif sering
membantu lansia mengembangkan perasaan telah meninggalkan warisan. Konsep diri
juga dipengaruhi oleh status kesehatan yang dirasakan orang tersebut saat ini.
(Perry & Potter, 2005, p: 509-510)
Konsep-Diri: Tugas Perkembangan
|
|
0 sampai 1 tahun
|
v Mulai
untuk mempercayai
v Membedakan
diri dari lingkungan
|
1 sampai 3 tahun
|
v Mempunyai
control terhadap beberapa bahasa
v Mulai
menjadi otonom dalam pikiran dan tindakan
v Menyukai
tubuhnya
v Menyukai
dirinya
|
3 sampai 6 tahun
|
v Mengambil
inisiatif
v Mengidentifikasi
jender
v Meningkatkan
kewaspadaan diri
v Ketrampilan
berbahasa meningkat
|
6 sampai 12 tahun
|
v Dapat
mengatur diri sendiri (industry)
v Berinteraksi
dengan teman sebaya
v Harga
diri meningkat dengan penguasaan keterampilan baru
v Menyadari
kekuatan dan keterbatasan
|
12 sampai 20 tahun
|
v Menerima
perubahan tubuh
v Menggali
tujuan untuk masa depan
v Merasakan
positif tentang diri
v Berinteraksi
dengan orang yang mereka anggap menarik secara seksual
|
Pertengahan 20 tahunan-pertengahan 40 tahunan
|
v Mempunyai
hubungan intim dengan keluarga dan teman dekat
v Mempunyai
perasaan stabil, positif tentang diri
|
Pertengahan 40 tahunan-pertenghan 60 tahunan
|
v Dapat
menerima perubahan dalam penampilan dan ketahanan
v Mengkaji
kembali tujuan hidup
v Menunjukkan
perhatian dengan penuaan
|
Akhir usia 60 tahunan
|
v Merasa
positif tentang kehidupan dan maknanya
v Tertarik
dalam memberikan legalitas bagi generasi berikutnya
|
H.
Perkembangan
Psikososial sesuai Tumbuh Kembang Menurut Erikson
Dalam bukunya yang berjudul
“Childhood and Society” tahun 1963, Erikson membuat sebuah bagan untuk
mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam
psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan
manusia”. Erikson berdalil bahwa setiap tahap menghasilkan epigenetic.
Epigenetic berasal dari dua suku kata yaitu epi yang artinya “upon” atau
sesuatu yang sedang berlangsung, dan genetic yang berarti “emergence”
atau kemunculan. Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tiap tahap psikososial
juga disertai oleh krisis. Perbedaan dalam setiap komponen kepribadian yang ada
didalam tiap-tiap krisis adalah sebuah masalah yang harus
dipecahkan/diselesaikan. Konflik adalah sesuatu yang sangat vital dan bagian
yang utuh dari teori Erikson, karena pertumbuhan dan perkembangan antar
personal dalam sebuah lingkungan tentang suatu peningkatan dalam sebuah sikap
yang mudah sekali terkena serangan berdasarkan fungsi dari ego pada setiap
tahap.
Delapan tahap/fase perkembangan
kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu
pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan
melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap
perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai
berikut :
1. Trust vs
Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan) pada usia 0-1 tahun
Tahap ini berlangsung pada masa
oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 tahun. Tugas yang harus dijalani pada
tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan
kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina
dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur
dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat
membuang kotoron (eliminasi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini
ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan
kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa
hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu
akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial
sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada
didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh
seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa
aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa
tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil
dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya
serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap
lingkungannya.
Sebaliknya, jika seorang ibu tidak
dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa
hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari
kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan
lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang
lain.
Hal ini jangan dipahami bahwa peran
sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena
orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya
kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah
penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai
pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan
menggunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti ini.
Dengan kata lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal
terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan
yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah
kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya
frustasi, marah, sinis, maupun depresi.
Pada dasarnya setiap manusia pada
tahap ini tidak dapat menghindari rasa kepuasan namun juga rasa ketidakpuasan
yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan ketidakpercayaan. Akan tetapi, hal
inilah yang akan menjadi dasar kemampuan seseorang pada akhirnya untuk dapat
menyesuaikan diri dengan baik. Di mana setiap individu perlu mengetahui dan
membedakan kapan harus percaya dan kapan harus tidak percaya dalam menghadapi
berbagai tantangan maupun rintangan yang menghadang pada perputaran roda
kehidupan manusia tiap saat.
Adanya perbandingan yang tepat atau
apabila keseimbangan antara kepercayaan dan ketidakpercayaan terjadi pada tahap
ini dapat mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Nilai lebih yang akan berkembang
di dalam diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa
kalau segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka
masih dapat mengolahnya menjadi baik.
Pada aspek lain dalam setiap tahap
perkembangan manusia senantiasa berinteraksi atau saling berhubungan dengan
pola-pola tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap ini bayi pun
mengalami ritualisasi di mana hubungan yang terjalin dengan ibunya dianggap
sebagai sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan tersebut terjalin dengan
baik, maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan tersendiri. Sebaliknya,
apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang dari
seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi suatu
pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal
atau sendiri dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan). Pemujaan
ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya sendiri, atau
sebaliknya anak akan memuja orang
lain.
2. Otonomi vs
Perasaan Malu dan Ragu-ragu pada usia 1-3 tahun
Pada tahap kedua adalah tahap
anus-otot (anal-mascular stages). Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini
adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan
ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya
terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu
kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap
salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu.
Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan
anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang
menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya,
anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan.
Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya,
sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap
pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi pada suatu
tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol
diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat
anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk
menyentuh benda-benda lain.
Di lain pihak, anak dalam
perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua
terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga
anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak
seharusnya bertindak sendirian.
Orang tua dalam mengasuh anak pada
usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus
mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah
kalimat yang seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam
mengasuh anaknya yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut
ternyata benar adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan
sikap kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat
diperlukan bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena
tanpa adanya perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang
disebut Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati),
sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu
juga tidak baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang
disebut Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak
selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang
mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna.
Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari
suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu.
Jikalau dapat mengatasi krisis
antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi atau jika
diantara keduanya terdapat keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai
yaitu adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata dari
Supratiknya yang menyatakan bahwa “kemauan menyebabkan anak secara bertahap
mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban”.
Ritualisasi yang dialami oleh anak
pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui
tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana
yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang
disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan
terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas
apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang menang
sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya
menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan
tanpa rasa belas kasih.
3. Inisiatif vs
Kesalahan pada usia 4-5 tahun
Tahap ketiga adalah tahap
kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap
bermain. Tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk
belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan.
Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu
belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan
baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha
untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini
orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan
gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari
anak pada masa genital ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu
sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada
klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan
sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan.
Ketidakpedulian (ruthlessness)
merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki
sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki
sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai
suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli
terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan
siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu.
Akan tetapi bila anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah
yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan
sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat
yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa, sehingga
dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu kesalahan.
Kecenderungan atau krisis antara
keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial
adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini
adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami
sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak dengan memakai
fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani. Sedangkan
impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan oleh
seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu, rangakain
kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa keberanian,
kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan pemahaman mengenai
keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.
4.
Kerajinan vs Inferioritas pada usia
6-11 tahun
Tahap keempat adalah tahap laten
yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 11 tahun. Salah satu
tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan
kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat
anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan
keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran,
misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman
harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya
pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi
semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus
dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini
dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di
sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat
mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses
karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga
dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun
guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada
usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada
umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama
teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan
orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka.
Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila
anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut
Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki
rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi yang disebut dengan
kelembaman. Mereka yang mengidap sifat ini oleh Alfred Adler disebut dengan
“masalah-masalah inferioritas”. Maksud dari pengertian tersebut yaitu jika
seseorang tidak berhasil pada usaha pertama, maka jangan mencoba lagi. Usaha
yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya adalah
dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai
positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni
kompetensi.
Dalam lingkungan yang ada pola
perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap sebelumnya, anak diharapkan
mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara maupun metode
yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat
kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal dengan istilah formal.
Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu mengerjakan segala sesuatu dengan
mempergunakan cara atau metode yang sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk
memperoleh hasil yang sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya
sangat terpaku pada aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan
relasi dengan orang lain menjadi terhambat. Peristiwa ini biasanya dikenal
dengan istilah formalism.
5.
Identitas vs Kekacauan Identitas
pada usia 12-20 tahun
Tahap kelima merupakan tahap
adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 20
tahun. Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan
bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa
ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini
orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas
pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke
tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada
dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat yang ada dalam
lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap
sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap identifikasi di
masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara aku, sehingga pada
tahap ini mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu sikap yang baik
dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain, selain itu juga
anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam
kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka sudah dapat menemukan
siapakah dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya
yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang lain pencarian identitas ego
telah dijalani sejak berada dalam tahap pertama/bayi sampai seseorang berada
pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu, salah satu point yang perlu
diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya berjalan kurang lancar atau
tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak tidak mengetahui dan memahami
siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya,
inilah yang disebut dengan identity confusion atau kekacauan identitas.
Akan tetapi di sisi lain jika
kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas,
maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang
bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan
sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap
bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika
kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson
menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat
ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya
mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari
kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima
dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.
Kesetiaan akan diperoleh sebagi
nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego
dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan
memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang
berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan
ketidakkonsistennya.
6.
Keintiman vs Isolasi pada usia 20-40
tahun
Tahap pertama hingga tahap kelima
sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada
masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-40 tahun. Jenjang ini menurut Erikson
adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari
sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan
orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan
mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman
dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang
terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh
yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk
menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa
terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode
ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga
mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa tergantung pada
segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan
dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi
lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan
orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan
masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk
dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara
keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai
yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk
mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling
membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup
hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga,
sahabat, dan lain-lain.
Ritualisasi yang terjadi pada tahan
ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang
baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan
sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang
kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.
7. Generativitas vs Stagnasi pada usia
41-65 tahun
Masa dewasa (dewasa tengah) berada
pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 41
sampai 65 tahun. Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam
terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas
untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat
melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi).
Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah kepedulian
terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat
dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda
dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang
dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap siapapun.
Harapan yang ingin dicapai pada masa
ini yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna
mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi
dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu
interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara
orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan
otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih
berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang
ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa
dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan.
8.
Integritas vs Keputusasaan pada usia
65 tahun ke atas
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap
usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke
atas. Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup
berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja
ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan.
Tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian
orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya,
karena orang pada usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau
tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang
berada pada tahap paling tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas yang
memiliki arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti
menerima akhir dari hidup itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang
jika didalam diri mereka tidak terdapat integritas yang mana sikap terhadap
datangnya kecemasan akan terlihat. Kecenderungan terjadinya integritas lebih
kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan maladaptif yang
biasa disebut Erikson berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghadapi
kesulitan dan kenyataan di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan
lebih kuat dibandingkan dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut
dengan sikap menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah
dan menyesali kehidupan sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
AIPNI
(2010). Kurikulum pendidikan ners.
Fakultas keperawatan universitas indonesia. Jakarta
Asmadi.
(2008). Teknik Prosedural Keperawatan:
konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien. Jakarta: Salemba Medika
Atkinson,L.,
Lita, Atkinson, C., Richard, dkk. (1992). Pengantar
Psikologi Jilid I (edisi Ke-11). Batam: Interaksara
Carpenito,
L. J. (1997). Buku saku: Diagnosa
keperawatan. Edisi 6. Jakarta:EGC
Deglin,
Judith Hopfer.( 2004). Pedoman Obat untuk
Perawat Ed.4. Jakarta: EGC
Hawari,
D.(2008) Manajemen Stres Cemas dan
Depresi, Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Hudak,
Carolyn M. (1997). Keperawatan Kritis;
Pendekatan Holistik. Jakarta EGC
Isaacs, Ann.( 2004). Panduan belajar : keperawatan kesehatan jiwa dan psikiatrik.
Edisi 3. Jakarta :EGC
Kaplan
Harold I. (1998). Ilmu Kedokteran Jiwa
Darurat. Jakarta : Widya Medika Kozier,
B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2010). Asepsis. Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep,
proses dan praktek.Ed. 7. Vol 2. Jakarta: EGC
Kee,
Joyce L. (1996). Farmakologi: Pendekatan
Proses Keperawatan. Jakarta: EGC
Keliat, B.A., Panjaitan, R.U., & Daulima,
N.H.C., (2005). Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta : EGC
Mycek,
Mary J. (2001). Farmakologi: Ulasan
Bergambar Ed. 2. Jakarta: Widya Medika
Potter & Perry (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses dan Praktik. Edisi 4 Volume 1. Jakarta: EGC
Pustaka familia. 2006. Konsep Diri Positif, Menentukan Prestasi
Anak. Yogyakarta: Kanisius
Riyanti,B.P.,Prabowo,
Hendro, dan Puspitawati, Ira. (1996). Psikologi
Umum I (Seri Diktat Kuliah). Jakarta: Universitas Gunadarma
Stuart,
G.W., & Sundeen, S.J., (1998). Buku
Saku Keperawatan Jiwa (terjemahan). Edisi 3. Jakarta: EGC
Suliswati
dkk. 2005. Konsep dasar keperawatan
kesehatan jiwa. Jakarta : EGC
Sunaryo (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
S.
Hall, Calvin, dan Gardner Lindzey. (1993). Theories
of Personality (terjemahan A. Supratika). Yogyakarta: Kanisius
Tarwoto
& Wartonah. (2004). Kebutuhan dasar
manusia dan proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Videbeck,
Sheila. L. (2008), Buku Ajar Keperawatan
Jiwa. Jakarta. EGC
Wong, D. L, (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC
No comments:
Post a Comment
Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat