google adsense

Thursday, August 3, 2017

GAGAL JANTUNG AKUT (GJA)/ADHF

                            KONSEP GAGAL JANTUNG AKUT (GJA)/ADHF
1.      Epidemiologi
      Gagal jantung merupakan penyebab paling banyak perawatan dirumah sakit pada populasi Medicare di Amerika Serikat, sedangkan di Eropa dari data-data Scottish memperlihatkan peningkatan dari perawatan gagal jantung. Peningkatan ini sangat erat hubungannya dengan semakin bertambahnya usia seseorang. Dari survey registrasi rumah sakit didapatkan angka perawatan di RS, perempuan registrasi rumah sakit didapatkan angka perawatan di RS : perempuan 4,7% dan laki-laki 5,1% adalah berhubungan dengan gagal jantung (Manurung. D dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi dkk. 2006 : 1505).
    Menurut WHO, 17,5 juta (30%) dari 58 juta kematian di dunia, disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah pada tahun 2005. Dari seluruh angka tersebut, penyebab kematian antara lain disebabkan oleh serangan jantung (7,6 juta penduduk), stroke (5,7 juta penduduk), dan selebihnya disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah (4,2 juta penduduk). Berdasarkan seluruh data yang telah dikumpulkan dari WHO, pada tahun 2015 diperkirakan kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah meningkat menjadi 20 juta jiwa. Kemudian akan tetap meningkat sampai tahun 2030, diperkirakan 23,6 juta penduduk akan meninggal akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. Angka yang cukup besar mengingat penyakit jantung dan pembuluh darah dikategorikan sebagai penyakit tidak menular. Penyakit ini sebenarnya dapat dimodifikasi dan dicegah.
        Di Indonesia sendiri belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar 400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung (Fahri, 2010).


2.      Definisi gagal jantung akut
   Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat (rapid onset) dari gejala-gejala atau tanda-tanda (Symptoms and signs) akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya sakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi sistolik atau diastolic, keadaan irama jantung yang abnormal atau ketidakseimbangan dari preload atau afterload, seringkali memerlukan pengobatan penyelamatan jiwa dan perlu pengobatan segera (Manurung. D dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi dkk. 2006 : 1505).
          GJA dapat berupa acute de novo (serangan baru dari GJA, tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) atau dekompesasi akut dari GJK. GJA dapat timbul dengan asatu atau beberapa kondisi klinis berbeda (Manurung. D dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi dkk. 2006 : 1505).

3.      Klasifikasi gagal jantung
         Menurut  Daulat Marunung (dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi dkk.2006 :1506) ada beberapa klasifikasi yang biasa dipakai di perawatan intensif untuk menilai beratnya gagal jantung akut yaitu
a.       Klasifikasi killip yang berdasarkan tanda-tanda klinis dan foto thoraks
Tabel : klasifikasi killip mengenal derajat keparahan gagal jantung
Kelas
Gambaran klinis
Mortalitas rumah sakit (%)
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
Tidak ada tanda disfungsi LV
Galop S3 dengan atau tanpa kongesti paru
Edema paru berat akut
Syok kardiogenik
0-6
30
40
>80
Sumber : Gray, Dawskin, Morgan & Simpson (2005 : 97) dalam buku At a Glance Medicine.

b.      Klasifikasi forrester yang berdasarkan tanda-tanda klinis dan karakteristik hemodinamik.
c.        Klasifikasi yang ketiga telah divalidasi pada perawatan kardiomiopati yang berdasarkan penemuan klinis yaitu  berdasarkan sirkulasi perifer (perfusion) dan auskultasi paru (congestion). Pasien diklasifikasi menjadi: Class I (Group A/ warm and dry), Class II (Group B/ warm and wet), Class III (Group L/ cold and dry), dan Class IV (Group C/ cold and wet)
Klasifikasi fungsional gagal jantung (NYHA)
    Menurut Gray, Dawskin, Morgan & Simpson (2005 : 86) dan Kay Blum (dalam buku Morton, Hudak, Fontaine dan gallo. 2011 : 504)
1)      Kelas I : tidak ada batasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan keletihan yang tidak semestinya atau dispnea
2)      Kelas II : sedikit batasan pada aktivitas (rasa lelah, dispnu)
3)      Kelas III : batasan aktivitas bermakna (nyaman saat istirahat namun aktivitas menyebabkan gejala)
4)      Kelas IV : gejala saat istirahat
Sumber : Rachman, Otte J (dalam buku Ajar Kardiologi. 2004 : 23)

     Menurut Kay Blum (dalam buku Morton, Hudak, Fontaine dan gallo. 2011 : 504) Panduan tahap gagal jantung menurut American College of Cardiology (ACC) / American Heart Association (AHA)* :
1)      Pasien berisiko tinggi mengalami gagal jantung karena adanya kondisi yang sangat berkaitan dengan perkembangan gagal jantung. Pasien seperti ini tidak memiliki abnormalitas structural atau fungsional yang terindentifikasi pada pericardium, miokardium atau katup jantung dan tidak pernah menunjukkan tanda dan gejala gagal jantung
2)      Pasien yang memiliki penyakit jantung structural yang sangat berkaitan dengan perkembangan gagal jantung tetapi yang tidak pernah menunjukkan tanda dan gejala gagal jantung
3)      Pasien yang mengalami gejala gagal jantung saat ini atau sebelumnya, yang berkaitan dengan penyakit jantung structural yang mendasar
4)      Pasien yang memiliki penyakit jantung structural lanjutan dan gejala gagal jantung yang nyata pada saat istirahat walaupun terapi medis maksimal dan yang memerlukan intervensi khusus.
*    Klasifikasi NewYork Heart Association dapat digunakan hanya pada tahap 3) dan 4)
4.      Etiologi gagal jantung akut
          Menurut Daulat Manurung (dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi dkk.2006 : 1505) Penyebab dan faktor presipitasi gagal jantung akut adalah :
a.       Dekompensasi pada GJK yang sudah ada (kardiomiopati)
b.      Sindrom koroner akut
1)      Infark miokardial/angina pectoris tidak stabil dengan iskemia yang bertambah luas dan disfungsi iskemik
2)      Komplikasi kronik infark miokard akut
3)      Infark ventrikel kanan
c.       Krisis hipertensi
d.      Atrimia akut (takikardia ventrikel, fibrilasi ventricular, fibrilasi atrial atau fluter atrial, takikardia supraventrikular lain).
e.       Regurgitasi valvular/endokarditis/rupture korda tendinae, perburukan regurgitasi katup yang sudah ada
f.       Stenosis katup aorta berat
g.      Miokarditis berat akut
h.      Tamponad jantung
i.        Diseksi aorta
j.        Kardiomiopati pasca melahirkan
k.      Faktor presipitasi non kardiovaskular
1)      Pelaksanaan terhadap pengobatan sebelumnya
2)      overload volume
3)      Infeksi terutama pneumonia atau septicemia
4)      Severe brain insult
5)      Pasca operasi besar
6)      Penurunan fungsi ginjal
7)      Asma
8)      Penyalahgunaan obat
9)      Penggunaan alcohol
10)  Feokromositoma
l.        Sindrom high output

5.      Patofisiologi
    Berbagai faktor bisa berperan menimbulkan gagal jantung. Faktor-faktor ini kemudian merangsang timbulnya mekanisme kompensasi yang apabila berlebihan dapat menimbulkan gejala-gejala gagal jantung. Gagal jantung paling sering mencerminkan adanya kelainan fungsi kontraktilitas ventrikel (suatu bentuk gagal sistolik) atau gangguan relaksasi ventrikel (suatu bentuk gagal diastolik)
Sumber : Sitompul B dan Sugeng J.I (2004 : 116) dalam buku buku ajar kardiologi

Patofisiologi Gagal Jantung Akut (Nieminen. 2005 : 384-416)
a.       Sirkulus visious pada gagal jantung akut.
      Faktor utama pada gagal jantung akut, ketidakmampuan miokardium untuk mempertahankan curah jantung supaya dapat memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan perifer. Sehingga akan terjadi aktivasi neurohormonal yang berakibat timbulnya keluhan dan gejala-gejala klinis. Jika lingkaran setan (sirkulus visious) ini terjadi terus menerus akhirnya terjadi gagal jantung kronik.
b.      Myocardial stunning.
      Myocardial stunning adalah keadaan disfungsi miokardium yang terjadi sementara akibat iskemia miokardium yang berkepanjangan dan tetap terjadi walaupun perfusi miokardium sudah terjadi/dilakukan. Mekanisme yang mendasarinya adalah stres oksidatif, perubahan-perubahan homeostasis Ca++, desensitisasi protein-protein kontraktil miokardium. Intensitas dan lamanya keadaan ini tergantung pada iskemia miokardium yang mendahuluinya.
c.       Myocardial hibernation.
       Myocardial hibernation adalah gangguan fungsi miokardium akibat aliran darah koroner yang terganggu, walaupun sel-sel miokardium masih tetap intak. Dengan meningkatkan aliran darah dan oksigenasi, otot-otot miokardium akibat myocardial hibernation ini dapat diperbaiki kembali fungsinya. Keadaan ini dapat dianggap suatu mekanisme adaptasi terhadap keadaan kekurangan oksigen agar tidak terjadi iskemia dan nekrosis miokardium yang irreversible. Myocardial stunning dan hibernation dapat terjadi bersama-sama. Myocardial hibernation dapat diperbaiki dengan meningkatkan aliran darah koroner dan oksigenasi, sedangkan myocardial stunning mempunyai respons yang baik terhadap inotropik.

6.      Manifetasi klinis
     Menurut Daulat Manurung (dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi dkk. 2006 : 1505) gejala gagal jantung akut terutama disebabkan oleh kongesti paru yang berat sebagai akibat peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri yang meningkat, dapat disertai penurunan curah jantung ataupun tidak. Manifestasi klinis GJA meliputi:
a.       Gagal jantung dekompensasi (de novo atau sebagai gagal jantung kronik yang mengalami dekompensasi).
b.      Gagal jantung akut hipertensi yaitu terdapat gagal jantung yang disertai tekanan darah tinggi dan gangguan fungsi jantung relatif dan pada foto toraks terdapat tanda-tanda edema paru akut.
c.       Edema paru yang diperjelas dengan foto toraks, respiratory distress, ronki yang luas, dan ortopnea. Saturasi oksigen biasanya kurang dari 90% pada udara ruangan.
d.      Syok kardiogenik ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata lebih dari 30 mmHg dan atau penurunan pengeluaran urin kurang dari 0,5 ml/kgBB/jam, frekuensi nadi lebih dari 60 kali per menit dengan atau tanpa adanya kongesti organ.
e.       High output failure, ditandai dengan curah jantung yang tinggi, biasanya dengan frekuensi denyut jantung yang tinggi, misalnya pada mitral regurgitasi, tirotoksikosis, anemia, dan penyakit Paget’s. Keadaan ini ditandai dengan jaringan perifer yang hangat dan kongesti paru, kadang disertai tekanan darah yang rendah seperti pada syok septik.
f.       Gagal jantung kanan yang ditandai dengan sindrom low output, peninggian tekanan vena jugularis, serta pembesaran hati dan limpa.

7.      Penatalaksanaan
       Ekokardiografi adalah sebuah alat yang dapat mengeluarkan gelombang suara ultrasonik atau USG untuk menilai jantung. Ekokardiografi dapat menilai struktur dan fungsi jantung dengan akurat. Namun, ekokardiografi ini dengan elektrokardiografi atau yang sering disebut EKG atau rekam jantung. Keduanya memiliki fungsi dan indikasi yang berbeda dan tak jarang saling melengkapi. Dengan ekokardiografi, kita dapat menilai fungsi dan struktur jantung secara langsung atau real-time. Dengan alat ini kita dapat melihat apakah fungsi jantung baik -apalagi jika pasca serangan jantung-, bagaimana gerakan katup jantung, bagaimana dinding jantung, dan bagaimana aliran cairan yang mengalir di ruangan jantung. Alat ekokardiografi terdiri dari probe yang akan disentuhkan ke tubuh, kemudian terhubung dengan kabel, dan masuk ke dalam mesin yang berlayar. Probe ini pertama akan mengeluarkan gelombang suara ultrasonik yang akan masuk ke dalam tubuh dan memantul lagi dan akhirnya diinterpretasi atau diubah ke dalam bentuk gambar di layar mesin. Prosedur yang dilakukan adalah meminta pasien untuk membuka pakaian dari dada sampai ke pinggang dan kemudian berbaring di kasur.
Gambar : ekokardiografi
         Dokter akan menaruh probe di atas dada yang telah diberi jeli. Alat probe ini berbeda dengan USG perut atau rahim, probe pada ekokardiografi lebih kecil. Jeli ini dimaksudkan agar alat probe dapat menempel dengan baik pada kulit sehingga gambar yang didapat akan maksimal. Dokter akan menggerakkan probe untuk mendapat tampilan yang diperlukan dalam menilai fungsi dan struktur jantung. Prosedur ini tidak memberi rasa sakit,  biasanya dilakukan selama 15-30 menit, bergantung apakah dokter sudah dapat menilai fungsi dan struktur jantung. Secara umum tidak ada efek samping dari prosedur ini. Secara umum tidak ada kontraindikasi yang khusus. Namun memang dalam keadaan tertentu, alat ini tidak dapat memberi informasi yang efektif misalnya pada orang dengan kegemukan yang tinggi, atau badan yang sangat kurus, karena dapat mempengaruhi hantaran gelombang suara. Tidak ada persiapan khusus (pasien boleh makan dan minum sebelum dan sesudahnya) hasil ekokardiografi dapat langsung didapat oleh dokter yang melakukan prosedur ini. Hasil yang dianggap bermakna akan dicetak dalam bentuk foto sebagai dokumentasi. Contoh hasil ekokardiografi
Gambar : contoh hasil ekokardiografi
      
              Salah satu parameter untuk menilai kemampuan fungsi jantung adalah fraksi ejeksi (EF). Fraksi ejeksi dinilai menggunakan parameter ekokardiografi dengan nilai normal 55%, dan < 40% dianggap sudah difungsi ventrikel kiri.  Fraksi ejeksi ini mewakili isi sekuncup sebagai presentase dari volume akhir diastolik ventrikel kiri, dimana terdapat dua metode yang diterima secara umum untuk mengukur fraksi ejeksi, yaitu teknik volumentrik dan rekaman M-mode. ACC/AHA (American College of Cardiology/American Heart Association) tidak pernah mengklasifikasikan tingkat keparahan gagal jantung berdasarkan fraksi ejeksi namun disebutkan tentang gagal jantung sistolik (FE <50%) dan gagal jantung diastolik (FE >50%), hanya studi-studi dengan sampel pasien gagal jantung yang mengelompokkannya berdasarkan fraksi ejeksi, misalnya studi SOLVD, PROMISE, GESICA yang memakai batasan fraksi ejeksi < 35% untuk gagal jantung yang berat (NYHA III-IV), namun ada juga studi yang memakai batasan fraksi ejeksi < 40% untuk yang berat.
Tabel : Kelainan Ekokardiografi yang sering ditemukan pada Gagal Jantung
Pengukuran
Kelainan
Implikasi Klinis
Fraksi ejeksi ventrikel kiri
Berkurang (<45-50%)
Disfungsi sistolik
Fungsi ventrikel kiri, global dan fokal
Akinesis, hipokinesis, diskinesis
Infark/ iskemia miokard, kardiomiopati, miokarditis
Diameter akhir diastolik
Meningkat (>55-60 mm)
Volume berlebih, sangat mungkin gagal jantung
Diameter akhir sistolik
Meningkat (>45 mm)
Volume berlebih, sangat mungkin disfungsi sistolik
Fractional shortening
Berkurang (<25%)
Disfungsi sistolik
Ukuran atrium kiri
Meningkat (>40 mm)
Peningkatan tekanan pengisian, disfungsi katup mitral, fibrilasi atrial
Ketebalan ventrikel kiri
Hipertropi (>11-12 mm)
Hipertensi, stenosis aorta, kardiomiopati hipertropi
Struktur dan fungsi valvular
Stenosis atau regurgitasi valvular (terutama stenosis aorta dan insufisiensi mitral)
Mungkin penyebab primer atau sebagai komplikasi gagal jantung
Nilai gradien dan fraksi regurgitan->nilai konsekuensi hemodinamik
Pertimbangkan operasi
Profil low diastolik mitral
Kelainan pola pengisian diastolik didni dan lanjut
Menunjukkan disfungsi diastolik dan kemungkinan mekanismenya
Peak velociy regurgitasi trikuspid
Meningkat(> 3m/sek)
Peningkatan tekanan sistolikventrikel kananà suspek hipertensi pulmonal
Perikardium
Efusi, hemoperikardium, penebalan
Pertimbangkan tamponade, uremia, keganasan, penyakit sistemik, perikarditis akut atau kronik, perikarditis konstriktif
Aortic outflow velocity time integral
Berkurang (<15 cm)
Isi sekuncup rendah atau berkurang
Vena cava inferior
Dilatasi, retrograde flow
Peningkatan tekanan pada atrium kanan
Disfungsi ventrikel kanan
Kongesti hepatik

      Menurut Daulat Manurung (dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi dkk.2006 : 1507) penatalaksaan untuk pasien gagal jantung akut adalah :
Sasaran pengobatan pasien gagal jantung akut
Klinis
a.       ↓ Gejala (dyspea dan/atau fatik)
b.      ↓ Tanda klinis
c.       ↓ Berat badan
d.      ↑ Diuresis
e.       ↓ Oksigenasi

Laboratorium
a.       Normalisasi elektrolit serum
b.      ↓ BUN dan/atau kreatinin
c.       ↓ Bilirubin serum
d.      ↓ BNP

Normalisasi gula darah

Hemodinamik
a.       Pulmonary capillary wedge pressure menjadi <18 mmHg
b.      ↓ Curah jantung dan/atau volume sukuncup

Outcome
a.       ↓ Lama rawat di ICU
b.      ↓ Lama rawat
c.       ↑ waktu masuk kembali kerumah sakit
d.      ↓ Mortalitas

Tolerabilitas
Low rate of withdrawal from therapeutic measures
Insidens efek samping rendah
Sumber : Daulat Manurung (dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi dkk.2006 : 1507) dalam buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Terapi non farmakologis meliputi :
a.       Diet rendah garam ( pembatasan natrium )
b.      Pembatasan cairan
c.       Mengurangi berat badan
d.      Menghindari alcohol
e.       Manajemen stress
f.       Pengaturan aktivitas fisik

Terapi farmakologis meliputi :
a.       Digitalis, untuk meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan memperlambat frekuensi jantung. Misal : digoxin.
b.      Diuretik, untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal serta mengurangi edema paru. Misal : furosemide (lasix).
c.       Vasodilator, untuk mengurangi impedansi (tekanan) terhadap penyemburan darah oleh ventrikel. Misal : natrium nitropusida, nitrogliserin.
d.      Angiotensin Converting Enzyme inhibitor (ACE inhibitor) adalah agen yang menghambat pembentukan angiotensin II sehingga menurunkan tekanan darah. Obat ini juga menurunkan beban awal (preload) dan beban akhir (afterload). Misal : captopril, quinapril, ramipril, enalapril, fosinopril,dll.
e.       Inotropik (Dopamin dan Dobutamin)
       Dopamin digunakan untuk meningkatkan tekanan darah , curah jantung dan produksi urine pada syok kardiogenik. Dobutamin menstimulasi adrenoreseptor di jantung sehingga meningkatkan kontraktilitas dan juga menyebabkan vasodilatasi sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah. Dopamin dan dobutamin sering digunakan bersamaan.

Daftar bacaan :

Bakta, M & Suastika, K. (1999). Gawat darurat dibidang penyakit dalam. Jakarta : EGC (1-7)
Davey, P. (2005). At a Glance Medicine. Jakarta : EGC (150-151)
Gray, H.H., Dawskin, K.D., Morgan, J.M & Simpson I.A (2005). Lecture notes kardiologi, edisi 4. Jakarta : Erlangga (80-97)
Manurung, Daulat. (dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi dkk.2006). Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi. IV. Jakarta : FKUI (1505-1509)
Mitchell., Kumar., Abbas & Fausto (2008). Buku saku dasar patologis penyakit. Edisi 7. Jakarta : EGC (326-328)
Morton, P.C., Fontaine, D., Hudak C.M & Gallo, B.M (2011). Keperawatan Kritis Volume 1 Edisi 8. Jakarta : EGC (502-511)
Sitompul, B & Sugeng J.I (2004). Buku Ajar Kardilogi. Jakarta : FKUI (115-125)
Nieminen MS, et al. Executive summary of guidelines on the diagnosis and treatment of acute heart failure: the Task Force on Acute Heart Failure of the European Society of Cardiology. Eur Heart J, 2005.26(4):384-416.
Mansi IA, et al. Echocardiography http://emedicine.medscape.com/article/1820912-overview Echocardiogram.
Fahri I. Evaluasi Ekokardiografi pada Gagal Jantung Diastolik. 23 Maret 2010 (16 Oktober 2012). Available from: http://www.kardiologi-ui.com/newsread.php?id=365
Hunt S, Abraham T, Chin M et al. 2009 Focused Update Incorporated Into the ACC/AHA 2005. Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure in Adults: A Report of the American College of Cardioligy Foundation/ American Heart Association Task Force on Practise Guidelines Developed in Collaboration with the International Society for Heart and Lung Transplantation. J. Am. Coll. Card. 2009, 53; hal 90.
Moran A, Katz R, Smith N et al. Cystatin C Concentration as a Predictor of Systolic and Diastolic Heart Failure. J Card Fail 2008, 14. hal 19-26.
Carbajal E, Deedwania P. Congestive Heart Failure. Crawford M, editor. In Current Diagnosis and Treatment in Cardiology. McGraw-Hill, second edition, 2003. Hal: 217-247.







No comments:

Post a Comment

Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat