A. Asuhan
Keperawatan Lansia dengan Imobilitas
Dan Intoleransi Aktivitas
1.
Pengertian
Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan
kebebasan dan kemandirian bagi seseorang. Mempertahankan mobilitas sangat
penting untuk kesehatan mental dan fisik semua lansia (Stanly & Bare,
2000). Gangguan mobilisasi fisik (imobilisasi) didefinisikan oleh North American Nursing Diagnosis
Association (NANDA) sebagai suatu keadaan ketika individu mengalami atau
berisiko mangalami keterbatasan gerak fisik(Potter & Perry, 2005).
Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk
bergerak dengan bebas, dan imobilisasi mengacu pada ketidakmampuan seseorang
untuk bergerak dengan bebas. Mobilisasi dan imobilisasi berada pada suatu
rentang dengan banyak tinkatan imobilisasi parsial di antaranya. Beberapa klien
mengalami kemunduran dan selanjutnya berada di antara rentang
mobilisasi-imobilisasi, tetapi pada klien lain, berada pada kondisi imobilisasi
mutlak dan berlanjut sampai jangka waktu tidak terbatas ( Potter & Perry,
2005).
Intoleransi aktivitas merupakan kondisi terjadinya
penurunan kapasitas fisiologi seseorang untuk mempertahankan aktivitas sampai
tingkat yang diinginkan (Somantri, 2007). Diagnosis keperawatan hambatan
mobilitas fisik, potensial syndrome disue, dan intoleransi aktivitas memberikan
definisi imobilisasi yang lebih luas. Potensial sindrome disuse adalah keadaan
seseorang yang berisiko untuk mengalami kerusakan system tubuh sebagai akibat
dari krtidakaktivan musculoskeletal yang dianjurkan oleh dokter atau yang tidak
dihindarkan seperti halnya paralisis, immobilisasi mekanis ataupun nyeri berat
(Stanly & Bare, 2002).
2.
Batasan karekteristik gangguan mobilitas
fisik diantaranya:
a.
Ketidak mampuan untuk bergerak dengan
tujuan didalam lingkungan, termasuk mobilitas ditempat tidur, berpindah, dan
ambulasi
b.
Keengganan untuk melakukan pergerakan
c.
Keterbatasan rentang gerak
d.
Penurunan kekuatan, pengendalian, atau
masa otot mengalami pembatasan gerak
3.
Penyebab immobilitas fisik
Menurut Stanley dan Beare (2002), ada dua
faktor yang penyebab immobilitas fisik yaitu :
a. Fakor internal
1) Penurunan fungsi
muskuloskeletal
a) Otot-otot : atrofi,
distrofi atau cedera
b) Tulang : infeksi,
fraktur, tumor, osteoporosis, atau ostemastia
c) Sendi : arthritis
dan tumor
d) Kombinasi struktur
: kanker dan karena pengaruh obat-obatan
2) Perubahan fungsi
neurologis :
Seperti infeksi,
tumor, trauma, obat-obatan, penyakit vaskular, penyakit degeneratif, penyakit
demielinasi, terpajan produk beracun, gangguan metabolik, atau gangguan nutrisi
3) Nyeri, nyeri dapat
disebabkan karena adanya penyakit kronis dan trauma
4) Defisit perceptual
Defisit percepsual
dapat disebabkan oleh kelebihan atau kekurangan masukan persepsi sensori
5) Berkurangnya
kemampuan kognitif : demensia berat
6) Jatuh
Jatuh memiliki
dampak pada fisik maupun psikologis, yaitu :
a)
Efek fisik : cedera atau fraktur
b)
Efek psikologis : sindromsetelah jatuh
7)
Perubahan hubungan sosial
a)
Faktor-faktor aktual : kehilangan pasangan, pindah jauh
dari keluarga atau teman-teman
b)
Faktor-faktor persepsi : perubahan pola pikir seperti
depresi
8) Aspek psikologis
Aspek psikologis
meliputi ketidakberdayaan dalam belajar dan depresi
b. Faktor
Eksternal (Stanley & Beare, 2002)
1) Program
terapeutik dalam penanganan medis seperti halnya program pembatasan yang
meliputi:
a) Faktor
mekanis seperti penggunaan gips dan traksi;
b) Agen
farmasetik seperti analgesic, sedative, dan tranquilizer yang digunakan untuk
mengubah tingkat kesadaran pasien;
c) Tirah
baring, dan
d) Restrein
fisik
2) Karakteristik
dari penghuni yang mempengaruhi tingkat mobilitas dan pola perilaku dari
kelompok teman sebaya;
3) Karakteristik
dari staf keperawatan juga mempengaruhi pola mobilitas seperti halnya dengan
pengetahuan tentang konsekuensi dari imobilitas, komitmen untuk menolong lansia
dan jumlah anggota yang cukup untuk membetikan pelayanan keperawatan pada
lansia.
4. Proses
Keperawatan
a.
Pengkajian
Adapun pengkajian pada lansia dengan intoleansi
aktivitas dapat dikaji dari sistem musculoskeletal, sistem kardiovaskuler,
sistem respirasi, sistem integuement, sistem urinaria, sistem gastro
intestinal, dan faktpr-faktor lingkungan (Stanley & Beare, 2002)
1)
Sistem musculoskeletal
Yaitu
dengan cara mengevaluasi penurunan tonus otot, kekuatan, ukuran, dan ketahanan
otot, rentang gerak sendi, dan kekuatan skeletal
2)
Mobilitas fungsional
Yaitu
dapat diperoleh dari observasi terhadap komponen esensial dari ambulansi.
Pengkajian dimulai dengan klien duduk pada sebuah kursi yang keras, denan
sandaran tegak lurus, dan tanpa lengan kursi. Klien diminta untuk berdiri,
berbelok, dan berjalan dengan alat bantu yang biasa, dan dudul. Kemampuan untuk
melakukan maneuver-manuver ini dengan atau khususnya tanpa bantuan menunjukkan
derajat mobilitasnya.
3)
Sistem kardiovaskuler
Yaitu tanda-tanda
trombofleblebitis meliputi eritema, edema, nyeri tekan, dan tanda humans
positif. Intoleransi ortostatik dapat menunjukkan manifestasinya sendiri
setelah melakukan suatu gerakan untuk berdiri tegak seperti gejala peningkatan
denyut jantung, penurunan tekanan darah, pucat, tremor tangan, berkeringat,
kesulitan dalam mengikuti perintah, dan sinkop.
4)
Sistem respirasi
Yaitu
adanya gejala atelektasis dan pneumonia. Tanda-tanda awal meliputi peningkatan
temprature dan denyut jantung. Perubahan dalam pergerakan dada, perkusi, bunyi
nafas, dan gas darah arteri mengindikasikan adanya perluasan dan beratnya
kondisi
5)
Sistem integuemen
Yaitu cedera iskemia
terhadap jaringan adalah reaksi imflamasi. Perubahan awal terlihat pada
permukaan kulit sebagai daerah eritema yang tidak teratur diatas tonjolan
tulang yang tidak hilang dalam waktu 3 menit setelah tekanan dihilangkan.
6)
Perubahan-perubahan fungsi urinaria
Yaitu
tanda-tanda fisik berupa berkemih sedikit dan sering, distensi abdomen bagian
bawah. Dan batas kandung kemih yang dapat diraba. Gejala kesulitan miksi
termasuk pernyataan ketidakmampuan untuk berkemih dan tekanan atau nyeri pada
abdomen bagian bawah.
7)
Perubahan-perubahan gastrointestinal
Yaitu
adanya sensasi subjektif dari konstipasi termasuk rasa tidak nyaman pada
abdomen bagian bawah, rasa penuh, tekanan, pengosongan rectum yang tidak
sempurna, anoreksia, mual, muntah, gelisah, depresi mental, iritabilitas,
kelemahan, dan sakit kepala. Selain itu, feses kecil, keras, kering, dan
menyimpang dari pola dan karakter buang air besar yang normal pada klien
8)
Faktor-faktor lingkungan
Seperti
halnya kamar mandi tanpa pegangan, karpet yang lepas, penerangan yang tidak
adekuat, tangga yang tinggi, lantaai licin, dan tempat duduk toilet yang rendah
dapat menurunkan mobilitas klien. Hambatan-hambatan institusional terhadap
mobilitas termasuk jalan koridor yang terhalang, tempat tidur pada posisi yang
tinggi, dan cairan pada lantai. Identifikasi dan penghilangan hambatan-hambatan
yang potensial dapat meningkatkan mobilitas.
b.
Diagnosa keperawatan
Pada
gangguan fungsi kardivaskular yaitu perubahan status kesehatan tubuh yang
berhubungan dengan ketidakmampuan untuk beraktifitas fisik atau olahraga.
Sehingga muncul diagnosis; penurunan curah jantung, intoleransi aktifitas,
serta gangguan perfusi jaringan. Pada gangguan fungsi respiratorius, yaitu
berupa resiko tinggi ganguan fungsi paru, kifosis, infeksi, penyakit berat
menahun. Bila hanya terbatas pada salah satu ganguan fungsi paru, maka
diagnosisnya berbunyi bersihan jalan nafas tidak afektif. Sedangkan bila
penurunan fungsi paru mengganggu ADL, maka diagnosis keperawatan berbunyi
intoleransi aktifitas (Nugroho,2008).
Menurut Thamher (2009), apabila terdapat
ganguan kardivaskular, maka diagnosis keperawatannya ;
1)
Perubahan pemeliharaan status kesehatan
tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan exercise atau aerobik.
Adapun rincian
diagnnosis keperawatan ini (yaitu perubahan pemeliharaan status kesehetan
tubuh) antara lain berupa; intoleransi aktifitas, penurunan curah jantung,
serta gangguan perfusi jaringan. Semuanya berpotensi terjadinya komplikasi
kardivaskular.
2)
Resiko tinggi trauma akibat hipotensi
pos-prandial dan risiko tinggi jatuh/fraktur yang berhubungan dengan
osteoporosis, gangguan neurologis, atau efek samping obat.
Apabila
terdapat ganguan fungsi respiratorius, maka diagnosis keperawatannya berupa
“risiko tinggi gangguan fungsi paru yang berhubungan dengan merokok, kifosis,
inflamasi, infeksi, penyakit berat atau menahun/keterbatasan gerak”. Bila hanya
terbatas pada salah satu ganguan fungsi paru, maka diagnosisnya berbunyi
“bersihan jalan nafas tidak afektif”. Sedangkan bila penurunan fungsi paru
mengganggu ADL, maka diagnosis keperawatan berbunyi “intoleransi aktifitas”.
Selanjutnya lansia dengan kondisi uzur atau dengan penyakit kronis akan
mengalami resiko tinggi infeksi, inflamasi atau tuberkulosis sehingga mudah
meneruskannya pada lansia lain bila berdiam di panti. Dalam kaitan ini maka
diagnosisnya “resiko tinggi transmisi infeksi pada penghuni panti”. Juga
diagnosis keperawatan sehubungan dengan kondisi tersebut diatas berupa
perubahan pemeliharaan status kesehatan tubuh bagi lansia, yaitu lansia yang
telah uzur. (Thamher,2009)
c. Hal
yang Diharapkan
Adapun hasil yang diharapkan yaitu klien
mempertahankan kekuatan dan ketahanan sistem musculoskeletal dan fleksibelitas
sendi-sendi (Stanley & Beare, 2002).
d.
Intervensi Keperawatan
Stanley
dan Beare (2002), menyebutkan beberapa intervensi keperawatan yang akan dapat
diberikan pada lansia dengan intoleransi aktivitas, yaitu:
1)
Observasi tanda dan gejala penurunan
kekuatan otot, penurunan mobilitas sendi, dan kehilangan ketahanan
2)
Observasi status respirasi dan fungsi
jantung pasien
3)
Observasi lingkungan terhadap
bahaya-bahaya keamanan yang potensial
4)
Anjurkan pasien untuk melakukan
kontraksi otot-otot isometrik (kelompok otot-otot kuadrisep, abdominal, dan
gluteal)
5)
Anjurkan pasien untuk melakukan
kontraksi otot-otot isotonic (kelompok otot-otot fleksor dan ektensor)
6)
Berikan latihan gerak (aktif atau pasif)
7)
Berikan diet dengan protein, kalori, dan
kalsium yang adekuat
8)
Pertahankan kesejajaran tubuh yang tepat
9)
Anjurkan pasien untuk melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari
10)
Anjurkan pasien untuk beristirahat
secara adekuat
11)
Gunakan alat-alat pendukung, misalnya
walker, dan tongkat
12)
Rujuk pasien kepada ahli fisioterapi,
jika ada indikasi secara medis
13)
Berikan dorongan pada pasien untuk
memiliki sikap restrukturisasi
(penentuan
batas tertinggi latihan)
14)
Ubah lingkungan untuk menurunkan
bahaya-bahaya keamanan
15)
Ajarkan tentang tujuan dan pentingnya
latihan
16)
Ajarkan penggunaan alat-alat bantu yang
tepat
17)
Ajarkan tanda dan gejala kerja/latihan
yang terlalu berlebihan
No comments:
Post a Comment
Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat