A.
Konsep
Patient Safety
1.
Latar Belakang Patient Safety
Keselamatan pasien
adalah suatu system dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. System
tersebut meliputi assasment resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengn pasien koma, pelaporan dan analisis accident, kemampuan
belajar dari accident dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya resiko (Dep Kes R.I, 2006).
Hampir
setiap tindakan medic menyimpan potensi resiko. Banyaknya jenis obat, jenis
pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan staf Rumah Sakit yang cukup
besar, merupakan hal yang potensial bagi terjadinya kesalahan medis (medical
errors). Oleh karena itu, berbagai criteria yang mengacu pada keselamatan
pasien di antaranya pasien terjatuh dari tempat tidur, pasien diberi obat
salah, tidak ada obat/alat emergensi, tidak ada oksigen, tidak ada alat
penyedot lender, dan tidak tersedia alat pemadam kebakaran.
2.
Pengertian Patient Safety
Patient Safety atau
keselamatan pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien di rumah
sakit menjadi lebih aman. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan
oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya diambil.
Menurut IOM,
Keselamatan Pasien (Patient Safety) didefinisikan sebagai freedom
from accidental injury. Accidental injury disebabkan karena error
yang meliputi kegagalan suatu perencanaan atau memakai rencana yang salah
dalam mencapai tujuan. Accidental injury juga akibat dari melaksanakan
suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil (omission).
Menurut
National Health Performance Committee (NHPC, 2001, dikutip dari Australian Institute Health and Welfare (AIHW,
2009) mendefinisikan keselamatan pasien adalah menghindari atau mengurangi
hingga ketingkat yang dapat diterima dari bahaya aktual atau risiko dari
pelayanan kesehatan atau lingkungan di mnaa pelayanan kesehatan diberikan.
Tujuan Patient
Safety adalah sebagai berikut:
a.
Terciptanya budaya keselamatan
pasien di RS
b.
Meningkatnya akuntabilitas rumah
sakit thdp pasien dan masyarakat
c.
Menurunnya KTD di RS
d.
Terlaksananya program-program
pencegahan shg tidak terjadi pengulangan KTD.
3. Klasifikasi
Kesalahan
Kesalahan
yang terjadi dalam proses asuhan medis yang mengakibatkan cedra pada pasien.
Kessalahan termasuk gagal melaksanakan sepenuhnya suatu rencana atau
menggunakan rencana yang salah untuk mencapai tujuannya. Dapat akibat
melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil (omission).
Dalam
dunia kedokteran, dikenal istilah reiko klinis (clinical risk), yang biasa
terjadi sejak anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, dan terapi dengan obat-obatan
(Rochmanadji Widajat, 2009).
Elder dan
Dovey (2002), Membuat sistim klasifikasi kesalahan dalam pelayanan kesehatan
yang sesehatan yang seharusnya dapat di cegah terkait deengan pelayanan primer
dan kesalahan dalam proses :
a.
Klasifikasi kesalahan pada pelayanan
primer, meliputi;
1)
Terkait dengan diagnosis (salah
mendiagnosis dan tertunda mendiagnosis)
2)
Pengobatan (salah obat, salah dosis,
tertunda administrasi, tanpa administrasi), non obat (ketidaktepatan,
terlambat, di hilangkan, komplikasi)
b. Klasifikasi
kesalahan pada proses
1) Factor
dokter (kesalahan penilaian klinis, kesalahan procedure keterampilan)
2) Factor
perawat (kesalahan komunikasi, dan kesalahan prosedur keterampilan)
3) Kesalahan
komunikasi (dokter-pasien, dokter-dokter atau sistim dan personil pelayanan
kesehatan lainnya
4) Factor
administrasi (dokter, farmasi, perawat, terapi fisik, terapi pekerjaan,
pengaturan kantor
5) Factor
akhir (pribadi dan masalah keluarga, dokter, perawat staf, peraturan perusahaan
ansuransi, peraturan pemerintah, pembiayaan, fasilitas dan lokasi praktek, dan
sistim umum pelayanan kesehatan.
Menurut
(AHRQ Publication No.04-RG005, Agency for Healthcare Research and Quality Desember
2003) masalah KTD bisa terjadi dikarenakan:
a.
Masalah komunikasi. Penyebab yang paling
umum terjadi medical errors. Kegagalan komunikasi: verbal/tertulis,
miskomunikasi antar staf, antar shif, informasi tidak didokumentasikan dengan
baik/hilang, masalah-masalah komunikasi: tim layanan kesehatan di 1 lokasi,
antar berbagai lokasi, antar tim layanan dengan pekerja non klinis, dan antar
staf dengan pasien. Arus informasi yang tidak adekuat. Ketersediaan informasi
yang kritis saat akan merumuskan keputusan penting, komunikasi tepat waktu dan
dapat diandalkan saat pemberian hasil pemeriksaan yang kritis, koordinasi
instruksi obat saat transfer antara unit, informasi penting tidak disertakan
saat pasien ditransfer ke unit lain/dirujuk ke RS lain.
b.
Masalah
SDM.
Gagal mengikuti kebijakan, SOP dan proses-proses, dokumentasi suboptimal dan
labelling spesimen yang buruk, kesalahan berbasis pengetahuan, staf tidak punya
pengetahuan yang adekuat, untuk setiap pasien pada saat diperlukan Hal-hal yang
berhubungan dengan pasien. Injdentifikasi pasien yang tidak tepat, asesmen
pasien yang tidak lengkap, kegagalan memperoleh consent, pendidikan pasien yang
tidak adekuat transfer pengetahuan di rumah sakit. Kekurangan pada orientasi
atau training, tingkat pengetahuan staf untuk jalankan tugasnya.
c.
Kegagalan-kegagalan
teknis. Kegagalan alat/perlengkapan: pompa infus, monitor.
Komplikasi/kegagalan implants atau grafts. Instruksi tidak adekuat, peralatan
dirancang secara buruk bisa sebabkan pasien cedera. Kegagalan alat tidak
teridentifikasi secara tepat sebagai dasar cederanya pasien, dan diasumsikan
staf yang buat salah. RCA yang lengkap, sering tampilkan kegagalan teknis, yang
mula-mula tidak tampak, terjadi pada suatu KTD.
d.
Kebijakan
dan prosedur yang tidak adekuat. Pedoman cara pelayanan
dapat merupakan faktor penentu terjadinya banyak medical errors.
Kegagalan dalam proses layanan dapat ditelusuri sebabnya pada buruknya
dokumentasi, bahkan tidak ada pencatatan, atau SOP klinis yang adekuat.
Menurut Chang, Schyve, Croteau, O’leary,
dan Loeb (2005) menyatakan bahwa beberapa metode telah dikembangkan untuk
menentukan dan mengklafikasi kesalahan medis, efek samping, dan lainnya terkait
dengan konsep keselamatan pasien. Namun, metode-metode tersebut cendrung
menjadi sempit dan terutama hanya berfokus pada bidang tertentu pelayanan
kesehatan, sepert; kesalahan obat reaksi transfuse, perawatan primer, dan
pelayanan keperawatan.
4. Penyebab
Kesalahan
a.
Sistem
Kecelakaan lebih mungkin terjadi dalam
beberapa jenis sistem. Ketika kesalahan terjadi, merupakan kegagalan dalam
merancang sistem. Tujuh utama dalam desain sistem agar kecelakaan tidak terjadi
dan jikapun kesalahan terjadi dapat meminimalkan kerusakan. Dalam sistem yang
kompleks, salah satu komponen sistem dapat berinteraksi dengan beberapa
komponen lain, kadang-kadang dalam cara yang tak terduga atau tak terlihat.
Meskipun semua sistem memiliki banyak bagian yang berinteraksi, masalah muncul
ketika salah satu bagian sistem melayani banyak fungsi, dan jika bagian sistem
ini gagal, maka semua fungsi akan gagal juga. Sistem yang kompleks di tandai
oleh spesialisasi dan keterkaitan menerima informasi secara tidak langsung.,
dan karena spesialisasi ada sedikit kemungkinan mengganti atau pemindahan
personil atau sumber daya lainnya.
b.
Kondisi
Meskipun keputusan manajerial yang baik
diperlukan untuk keamanan dan produksi yang efisien, namun itu tidak cukup.
Kebutuhan untuk memiliki peralatan yang tepat, terpelihara dengan baik dan
dapat di andalkan, tenaga kerja yang terampil dan berpengetahuan, jadwal kerja
yang masuk akal, pekerjaan yang di rancang dengan baik; panduan yang jelas pada
kinerja yang di inginkan dan tidak di inginkan, dan sebagainya. Fakor-faktor
seperti ini merupakan pelopor atau prasyarat untuk proses produksi yang aman.
Setiap yang diberikan tidak jelas dapat memberi kontribusi kepada sejumlah besar
tindakan yang tidak aman. Misalnya, personil yang kurang pelatihan, beban kerja
tinggi, tekanan waktu berlebihan, persepsi yang tidak tepat tentang bahaya,
atau kesulitan motivasi. Desain pekerjaan pemulihan dan penggunaan peralatan,
prosedur operasional, jadwal kerja, dan sebagainya, semua faktor ini dalam
proses produksi dapat di rancang dalam memperbaiki kondisi untuk lebih menjamin
keselamatan.
c.
Manusia
Faktor manusia didefinisikan sebagai studi
tentang keterkaitan antara manusia, alat-alat yang mereka gunakan, dan
lingkungan dimana mereka tinggal dan bekerja. Dalam konteks ini, pendekatan
faktor manusia digunakan untuk mengetahui dimana dan mengapa sistem atau proses
rusak.
d.
Teknologi
Menurut Carstens (2008) salah satu
penyebab kesalahan pada pelayanan kesehatan adalah persoalan teknologi. Untuk
mendukung pengetahuan manajement dan pekerja pada layanan kesehatan agar
mengurangi resiko kesalahan, meningkatkan keselamatan pasien, dan memperbaiki
seluruh mutu pelayanan pasien diperlukan perbaikan teknologi. Carstens
memperkenalkan model teknologi model teknologi yang dapat mengurangi kesalahan
dalam pelayanan kesehatan, dengan nama SHELL model; Software (prosedur,
kebijakan/paraturan, Regulasi), Hardware (Bahan, peralatan, fasilitas),
Environment (Fisik, Ekonomi, Politik), Liveware/Worker (Pembatasan Fisik,
keterbatasan Mental, Pengetahuan/skill, Sikap) dan Liverware/Teamwork
(Komunikasi, Kepemimpinan, Norma Kelompok).
e.
Factor lain yang berkontribusi terhadap
terhadap kesalahan.
1)
Tindakan yang tidak tepat
Masalah keselamatan pasien dari berbagai
jenis terjadi selama pelayanan kesehatan berlangsung. Termasuk kesalahan
transfusi dan efek samping obat, salah operasi dan luka bedah,pengendalian
terkait cedera atau kematian, infeksi terkait perawatan rumah sakit, jatuh,
luka bakar, ulkus dicubitus, dan kesalahan indentitas pasien. Leape, Lucian,
Lawthers, Brennan, Troyen (1993 di kutip dari IOM, 2000) menyebutkan ciri jenis
kesalahan yang mengakibatkan cedera; 1) Diagnostik; Tidak
menerapkan pemeriksaan yang sesuai, menggunakan cara pemeriksaan yang sudah
tidak dipakai, tidak bertindak atas hasil pemeriksaan atau observasi.
2) Pengobatan; Kesalahan pada prosedur pengobatan, kesalahan pada pelaksanaan terapi,
kesalahan metode penggunaan obat, keterlambatan merespon hasil pemeriksaan,
asuhan yang tidak layak. 3) Pencegahan; tidak
memberikan terapi provilaktik, monitor dan follow up yang tidak adekuat.
4) Lain-lain; kegagalan komunikasi, kegagalan peralatan, dan sistem lain.
2)
Kesalahan obat
Memastikan penggunaan obat yang sesuai
merupakan proses yang kompleks melibatkan beberapa organisasi dan para
profesional dari berbagai disiplin ilmu, misalnya; pengetahuan obat, akses yang
tepat terhadap informasi obat, pasien yang akurat, dosis yang tepat, cara yang
benar, kegagalan untuk memberikan obat yang di resepkan dan serangkaian
keputusan yang saling terkait selama periode waktu pengobatan. Pasien juga
membuat kesalahan dalam masalah obat, khususnya pada pasien atau masyarakat
yang mengalami perawatan jangka panjang, dan mengalami ketergantungan lebih
besar pada terapi obat yang kompleks. Kesalahan obat sering dapat di cegah,
meskipun untuk mengurangi kesalahan pada tingkat signifikan memerlukan beberapa
intervensi.
5. Beban
akibat kesalahan dalam pelayanan kesehatan
Menurut IOM
(2000) selain konsekuensi kesehatan yang tidak menguntungkan yang diderita oleh
banyak orang sebagai akibat kesalahan medis, ada biaya langsung dan tidak
langsung yang ditanggung oleh masyarakat secara keseluruhan sebagai akibat
kesalahan medis. Beberapa kesalahan
dalam tindakan pelayanan
kesehatan antara lain:
a.
Aspek Ekonomi
Biaya langsung merujuk kepada pelayanan
kesehatan lanjutan yang membutuhkan pengeluaran biaya yang lebih tinggi.
sedangkan biaya tidak langsung meliputi faktor-faktor:
1)
hilangnya produktivitas.
2)
Pemborosan biaya karena kecacatan
3)
Biaya perawatan pribadi
b.
Aspek Sosial dan Psikologi
1)
Bagi Pasien
a) Mempengaruhi
keluarga pasien
b) Produktivitas
pasien akan berkurang
c) Hilangnya
kualitas hidup
d) Depresi
e) Traumatik
f) Meningkatkan
ketakutan mereka akibat kesalahan dalam penggunaan pelayanan kesehatan di masa
depan.
2)
Bagi pemberi pelayanan kesehatan
a) Mereka
merasa kesal dan bersalah telah merugikan pasien
b) Kecewa
tentang kegagalan dalam menerapkan standar mereka sendiri.
c) Takut
akan digugat
d) Cemas
terhadap reputasi mereka dampak dari kesalahannya.(Gallagher, waterman &
Ebers, 2003)
e) Perawat
dan dokter memiliki pergolakan emosional
akibat melakukan kesalahan, yang menyebabkan sulit untuk tidur, kesulitan
berkonsentrasi dan kecemasan sampai harus meminta bantuan atau mencari
konseling.
Untuk
mencegah hal ini terjadi, maka perlu dilakukan hal-hal sebagia berikut, antara
lain:
a.
Bayar untuk kinerja
Membayar
kompensasi kinerja sistem link ke ukuran kualitas kerja atau tujuan. Pada tahun
2005 , 75 persen dari semua perusahaan-perusahaan AS menghubungkan setidaknya
sebagian dari gaji karyawan untuk ukuran kinerja, dan dalam perawatan
kesehatan, lebih dari 100 program pilot swasta dan federal sedang dilakukan.
Metode terbaru dari pembayaran kesehatan dapat benar-benar menghargai
kurang-aman perawatan, karena beberapa perusahaan asuransi tidak akan membayar
untuk praktek-praktek baru untuk mengurangi kesalahan, sementara dokter dan
rumah sakit dapat menagih untuk layanan tambahan yang diperlukan ketika pasien
terluka oleh kesalahan. Namun , penelitian awal menunjukkan keuntungan sedikit
dalam kualitas untuk uang yang dihabiskan, serta bukti yang menunjukkan
konsekuensi yang tidak diinginkan, seperti menghindari pasien berisiko tinggi,
ketika pembayaran itu terkait dengan perbaikan hasil. Lembaga 2006 dari laporan
Kedokteran Mencegah Kesalahan Pengobatan direkomendasikan "insentif
... sehingga profitabilitas rumah sakit, klinik, apotek, perusahaan asuransi,
dan produsen adalah selaras dengan tujuan keselamatan pasien untuk memperkuat
kasus bisnis untuk kualitas dan keamanan ". Ada minat internasional yang
luas dalam perawatan kesehatan bayar-untuk-kinerja program di berbagai negara,
termasuk Inggris, Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jerman, yang Belanda, dan
Selandia Baru.
b. Pembayaran untuk koordinasi perawatan yang lebih baik
antara rumah, rumah sakit dan kantor untuk pasien dengan penyakit kronis. Pada
April 2005, CMS meluncurkan pertama berbasis nilai percontohan pembelian atau
"demonstrasi" proyek-tiga tahun Medicare Dokter Praktek Grup (PGP)
Demonstrasi. Proyek ini melibatkan sepuluh besar, praktek dokter multi-khusus
merawat lebih dari 200.000 Medicare fee-for-service penerima manfaat. Praktek
yang berpartisipasi akan fase dalam standar kualitas untuk layanan pencegahan
dan pengelolaan penyakit kronis umum seperti diabetes. Praktek memenuhi standar
ini akan memenuhi syarat untuk hadiah dari tabungan karena mengakibatkan
perbaikan dalam manajemen pasien. Laporan Evaluasi Pertama masuk kongres
tahun 2006 menunjukkan bahwa model tersebut dihargai berkualitas tinggi,
efisien penyediaan pelayanan kesehatan, tetapi kurangnya muka pembayaran untuk
investasi dalam sistem baru pengelolaan kasus "telah dibuat untuk masa
depan yang pasti dengan menghormati setiap pembayaran berdasarkan demonstrasi
".
c. Satu set dari 10 tindakan rumah sakit kualitas yang,
jika dilaporkan ke CMS, akan meningkatkan pembayaran bahwa rumah sakit menerima
debit untuk masing-masing. Pada tahun ketiga demonstrasi, mereka rumah sakit yang
tidak memenuhi ambang batas pada kualitas akan dikenakan pengurangan
pembayaran. Data awal dari tahun kedua penelitian menunjukkan bahwa bayar untuk
kinerja dikaitkan dengan peningkatan 2,5% menjadi 4,0% secara kasar sesuai
dengan ukuran kualitas, dibandingkan dengan rumah sakit kontrol. Dr Arnold
Epstein dari Harvard School of Public Health berkomentar dalam sebuah editorial
yang membayar-untuk-kinerja "pada dasarnya merupakan suatu eksperimen
sosial cenderung hanya memiliki nilai tambahan sederhana." konsekuensi
yang tidak diinginkan dari beberapa tindakan rumah sakit umum dilaporkan
kualitas telah terpengaruh perawatan pasien. Persyaratan untuk memberikan dosis
antibiotik pertama di gawat darurat dalam waktu 4 jam, jika pasien menderita
pneumonia, telah menyebabkan peningkatan pneumonia misdiagnosis.
d. Hadiah
untuk dokter untuk
meningkatkan hasil kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi
kesehatan dalam
perawatan pasien Medicare sakit kronis.
e. Disinsentif: The Bantuan Pajak & Kesehatan
Perawatan UU tahun 2006 diperlukan HHS Inspektur Jenderal untuk mempelajari cara-cara yang
Medicare pembayaran kepada rumah sakit dapat diperoleh kembali untuk
"tidak pernah peristiwa", seperti yang didefinisikan oleh Forum Mutu Nasional ., termasuk infeksi rumah sakit Pada Agustus 2007, CMS
mengumumkan bahwa pihaknya akan menghentikan pembayaran kepada rumah sakit
untuk beberapa dampak negatif perawatan yang mengakibatkan cedera, sakit atau
kematian. Aturan ini, efektif Oktober 2008, akan mengurangi pembayaran rumah
sakit untuk delapan jenis serius insiden dicegah: objek meninggalkan pada
pasien selama operasi, darah reaksi transfusi , emboli udara , jatuh, mediastinitis , infeksi saluran
kemih dari kateter , ulkus tekanan , dan sepsis dari kateter. Pelaporan "tidak
pernah peristiwa" dan penciptaan tolok ukur kinerja untuk rumah sakit juga
diamanatkan. Lain pembayar kesehatan swasta sedang mempertimbangkan tindakan
semacam itu;. Pada tahun 2005, HealthPartners, perusahaan asuransi kesehatan
Minnesota, memilih untuk tidak menutupi 27 jenis "tidak pernah
peristiwa" ] Para Grup Leapfrog telah mengumumkan bahwa akan bekerja sama dengan rumah
sakit, rencana kesehatan dan kelompok konsumen untuk mengadvokasi mengurangi
pembayaran untuk "tidak pernah peristiwa", dan akan mengenali rumah
sakit yang setuju untuk langkah-langkah tertentu ketika peristiwa buruk yang
berat dapat dihindari terjadi dalam fasilitas tersebut, termasuk memberitahukan
kepada pasien dan organisasi
keselamatan pasien
, dan waiving biaya. kelompok Dokter yang terlibat dalam pengelolaan
komplikasi, seperti Infectious Diseases Society of America, telah menyuarakan
keberatan terhadap usulan-usulan ini, mengamati bahwa "beberapa pasien
mengalami infeksi meskipun penerapan semua praktik berbasis bukti dikenal untuk
menghindari infeksi", dan bahwa respon hukuman dapat mencegah lebih lanjut
belajar dan memperlambat perbaikan dramatis yang telah dibuat.
6. Indikator
Keselamatan Pasien
The
Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ, 2007) mendefinisikan The
Patient Safety Indicators (PSIs) adalah seperangkat tindakan untuk mencegah
efek samping pada pasien sebagai akibat dari pajanan terhadap sistem pelayanan
kesehatan. AHRQ (2007), membagi indikator PSIs pada dua tingkat: Provider-
Level Indicators dan Area-Level Indicators.
a. Provider-Level
Indicators memberi ukuran pencegahan yang dapat dilakukan terhadap risiko
komplikasi untuk pasien yang menerima perawatan awal dan komplikasi perawata di
rumah sakit. Indikator ini hanya mencakup kasus-kasus dimana sebuah diagnosis
sekunder merupakan resiko komplikasi yang dapat dicegah. Indikator ini meliputi
:
1)
Insiden tertusuk atau luka
2) trauma
jalan lahir
3) trauma
neonatal
4) komplikasi
anastesi
5) ulkus
dekubitus
6) kegagalan
untuk penyelamatan kehidupan
7) pneumotoraks
iatrogenik
8) trauma
vagina dengn instrumen
9) trauma
vagina tanpa instrumen
10) trauma
bedah cesar
11) pasca
operasi fraktur
12) perdarahan
atau hematoma pasca operasi
13) perawatan
luka pasca operasi
14) gangguan
metabolic dan fisiologis pasca opersi
15) kegagalan
pernafasan pasca operasi
16) emboli
paru pasca operasi atau deep vein trombosis
17) sepsis
pasca operasi
18) infeksi
dalam perawatan medis
19) reaksi
transfusi
b. area
– level indicator
Mengukur semua kasus resiko komplikasi
yang dapat dicegah yang terjadi di daerah tertentu (misalnya wilayah
metropolitan atau wilayah rural) baik pada saat rawat inap atau atau akibat
setelah rawat inap. Indikator ini ditetapkan termasuk untuk diagnosis utama
seta diagnosis sekunder yang dapat menyebabkan komplikasi dalam perawatan.
Spesifikasi ini dapat mengetahui kasus-kasus dimana pasien beresiko terjadi
komplikasi dirumah sakit terpisah atau berbeda-beda. Indikator ini meliputi :
1) insiden
tertusuk atau luka
2) pneumotoraks
iatrogenic
3) perawata
luka pasca operasi
4) infeksi
dalam perawatan medis
5) reaksi
transfuse
WHO
(2007) memperkenalkan tata cara penanganan untuk menjaga keselamatan pasien
yang dikenal dengan nine patient safety solutions:
a. Melihat
melihat sama, menyebut sama tentang nama obat
b. identifikasi
pasien dengan benar
c. komunikasi
saat pasien saat berpindah tangan
d. benar
prosedur, banar bagian tubuh
e. kontrol
konsentrasi cairan dan elektrolit
f. ketelitian
pengobatan saat peralihan parawatan
g. menghindari
kateter dan selang tersumbat atau tidak tersambung
h. penggunaan
alat suntuk sekali pakai
i. menjaga
kebersihan tangan untuk pencegahan infeksi
7. Isu
keselamatan psien dalam pelayanan keperawatan
Rumah
sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan modern adalah suatu organisasi yang
sangat komplek karena padat modal, padat tehnologi, padat karya, padat profesi,
padat sistem, dan padat mutu serta padat resiko sehingga tidak mengejutkan bila
kejadian tidak diinginkan (KTD = adverse event) akan sering terjadi dan
akan berakibat pada terjadinya injuri atau kematian pada pasien.
Menurut
laporan dari Institute of Medicine (IOM) (1999); To err is human,
building a safer health system; di Amerika Serikat diproyeksikan terjadi
44.000 sampai dengan 98.000 kematian setiap tahun akibat dari medical
error yang sebenarnya dapat dicegah, angka ini hampir empat kali
lipat dari kematian akibat kecelakaan lalulintas.
Secara umum
isu-isu yang dibahas dalam konferensi International Society for Quality in
healthcare di Vancouver (ISQua) di kota Vancouver, Kanada.adalah sebagai
berikut:
a. Pada
tingkat sistem mikro pelayanan:
1) Digunakan
tools untuk menjamin patient safety, antara lain: untuk incident
management: Root Cause Analysis, dan untuk Risk assessment: FMEA, dan
Risk-effect analysis
2) Kelengkapan
patient record and kesepakatan istilah diagnosis dari praktisi dokter
perawat dan petugas kesehatan lain
3) Evidence
based decision making among clinicians
4) Clinical
Practice Appraisal: CPA harus menjadi kebijakan
organisasi, CPA berfokus pada key professional practice dan memerlukan
adanya specific actions melalui: utilization review, assessment of
risk, assessment of care by disease/health problems.
5) Pengalaman
dari Thailand menyarankan untuk accept
and deal with case of adverse events, understand & improve tha care of
clinical professions, dan integrate all relevant system dalam mengupayakan patient
safety.
6) Perlu
disediakan decision support system oleh organisasi
b.
Pada tingkat organisasi
1)
Perlu adanya kejelasan
visi dan tujuan untuk mengupayakan patient safety
2)
Perlu kebijakan dan strategi untuk patient
safety
3)
Perlu adanya adverse event/error
reporting system
4)
Perlu dikembangkannya no blame
culture
5)
Perlu diterapkannya learning
organization
6)
Perlu dipertimbangkan reward for
performance (meskipun terjadi perdebatan apakan reward akan meningkatkan
performance/mutu atau justru sebaliknya)
7)
Perlu ketersedian informasi melalui IT
sebagai decision support system. Pengembangan sistem
pencatatan/perekaman medik secara elektronik (penelitian di US menunjukkan
bahwa kelengkapan informasi secara manual dan elektronik tidak berbeda, tetapi
penggunaan informasi cenderung tinggi pada sistem yang berbasis elektronik)
8)
Dalam melakukan pengukuran dengan
indikator klinis perlu diperhatikan pendekatan sebagai berikut: pilih leading
indicators, condition-specific aggregate, dan comprehensiveness dari
pengukuran dimana patient sebagai unit analisis (pengalaman dari
Ontario: dari 2000 indikator yang diusulkan dikurangi menjadi 27 indikator yang
disepakati dan akan digunakan bersama antar rumah sakit)
9)
Perlu dilakukan link antara
pengukuran dan strategi
10) Disadari
adanya masalah pada pengukuran yaitu bias terutama akibat tidak jelasnya
definisi operasional dari denominator, dan penggunaan istilah-istilah medis
yang berbeda antar praktis.
c.
Pada Konteks Lingkungan
1) Patient
safety menjadi isu penting dalam regulasi (khususnya:
akreditasi): standar yang digunakan untuk penilaian eksternal diperbaiki dengan
memasukkan patient safety dalam standar akreditasi, perlu dilakukan
integrasi antara external evaluation dari berbagai badan dengan
akreditasi (ACHS:EQuIP versi 4, JCAHO, CCHSA)
2) Terjadi
perubahan paradigma dan tujuan akreditasi (JCAHO) terutama: harus mengkaitkan compliance
excellent performance, perubahan dari process focus menjadi patient
centered. JCAHO melakukan reduksi standar yang semula mencakup seluruh
aspek pelayanan menjadi standar-standar yang really matter (termasuk di
dalamnya adalah patient safety)
3) Kejelasan
kerangka hukum (legal framework) tentang patient safety (adverse
event) dan tort (negligence). Pengalaman beberapa negara maju (AS,
UK, NZ, Australia) ternyata bahwa adanya reformasi dalam tort law (yang
bersifat detterence, bagaimana kompensasi dan corrective justice)
mengarah pada reducing size and risk of judgement akan tetapi belum
mengarah pada patient safety. Komunikasi dengan pasien dan keluarga
pasien kalau terjadi adverse event maupun negligence yang berupa
permintaan maaf umumnya yang diharapkan oleh pasien sedangkan yang mengajukan
tuntutan lewat peradilan hanya sekitar 6 %.
4) Perlu
adanya kebijakan nasional bahkan kebijakan global yang mendukung patient
safety, dan lembaga yang mempunyai kepedulian terhadap patient safety,
sebagaimana di Jerman dibentuk pada tahun 2003 task force Patient safety and
Error Prevention yang bernaung dibawah Germany Agency for Quality in
Medicine.
5) Sistem
pelaporan terhadap adanya adverse event maupun critical incident perlu
dikembangkan di masing-masing negara, mulai dari level organisasi, antar
organisasi, regional dan nasional, sebagaimana di AS yang dilakukan oleh JCAHO.
6) Perlu
disusun indikator pengukuran yang jelas terhadap pelayanan klinis dan pelayanan
pendukung, termasuk financial dan administrasi manajemen sebagai sistem
pendukung, siapa yang mengumpulkan, bagaimanana cara dan periode
pengumpulannya, siapa yang menganalisis dan bagaimana periode analisis,
bagaimana pelaporannya.
7) Dalam
konteks lingkungan isu utama (JCAHO) adalah bagaimana mengembangkan budaya patient
safety, bagaimana melakukan reformasi pendidikan tenaga profesi kesehatan,
bagaimana pembiayaan untuk mendisain sistem, dan bagaimana system medical
liability (legal aspect). Masing-masing negara perlu melakukan intervensi yang
bersifat segera maupun yang bersifat intermediate.
DAFTAR
PUSTAKA
Brunner
& Suddart. 2002. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta. EGC.
Corwin,
Elizabeth J. (2009). Buku saku
patofisiologi Corwin. Egi Komara Yudha (et al). Jakarta: EGC.
Darmadi. (2008). Infeksi
nosokomial: problematika dan pengendaliannya. Jakarta: Salemba Medika
Deglin, Judith Hopfer. 2004. Pedoman obat untuk perawat. Jakarta:
Monica Ester.
Ducel, G., Fabry, J.,&
Nicolle, L. (2002). Prevention of
hospital-acquired infections, A practical guide. 2nd edition. World Health Organization.
Department of Communicable disease, Surveillance and Response.
Gabriel, J. F. (1996). Fisika kedokteran. Jakarta: EGC. Diperoleh pada 6 Februari 2012
dari www.books.google.co.id/books
Greundemann, Barbara J. (2005). Buku ajar keperawatan perioperatif. Vol. 1 prinsip. (Brahm U
Pendit, et.al., penerjemah). Jakarta: EGC
Hence, grace. 2007. Med-math: perhitungan dosis, preparat, dan
cara pemberian obat. Jakarta EGC
Herger, B.R. 2003.
Asisten Keperawatan: Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Ed. 6. Jakarta:
EGC
Johnson, Joyce
Young. (2005). Prosedur perawatan di
rumah: pedoman untuk perawat. Egi Komara Yudha, Sari Kurnianingsih
(penerjemah). Jakarta: EGC.
Joyce
L, Kee. (1996). Farmakologi Pendekatan
Prosess Keperawatan. Jakarta : EGC.
Judith
Hopfer, D. (2004). Pedoman Obat untuk
Perawat. Jakarta : EGC.
Kee,
Joyce L. (1996). Farmakologi: pendekatan
proses keperawatan. Jakarta: EGC. Neal, Michael J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Penerjemah:
dr. Juwalita Surapsari. Jakarta: Erlangga
Komalawati, Veronica. (2010) Community&Patient
Safety Dalam Perspektif Hukum Kesehatan.
Kozier, B., Erb, G.,
Berman, A., & Snyder, S. J. (2010). Asepsis. Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses dan praktek.Ed.
7. Vol 2. Jakarta: EGC
Lestari,
Trisasi. Knteks Mikro dalam Implementasi Patient Safety: Delapan Langkah
Untuk Mengembangkan Budaya Patient Safety. Buletin IHQN Vol
II/Nomor.04/2006 Hal.1-3
Lukas, Stefanus. (2006). Formulasi steril. Ed.1. Yogyakarta: ANDI
Marison, Moya J.
(2003). Manajemen luka. Florida,
Monica Ester, sari kurnianingsih (penerjemah). Jakarta: EGC.
Nursalam
dan Ninuk. 2007. Asuhan Keperawatn Pada
Pasien Terinfeksi. Jakarta. Salemba Medika.
Pabuti, Aumas. (2011) Tujuh Langkah
Menuju Keselamatan Pasien (KP) Rumah Sakit. Proceedings of expert lecture
of medical student of Block 21st of Andalas University,
Indonesia
Panduang Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (Patient Safety). 2005
Potter, A. P & Perry, A. G. (2005). Fundamental
keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Ed. 4. Vol. 1. (Renata
Komalasari, penerjemah). Jakarta: EGC
Priharjo, Robert. 1995. Teknik Dassar
Penberian Obat Bago Perawat. Jakarta: EGC hal.9-11
Rochmanadji
Widajat. (2009). Being a great ant
sustainable hospital. Jakarta : Gramedia Pustaka
Suwarni, A. (2001). Studi Diskriptif Pola Upaya Penyehatan
Lingkungan Hubungannya dengan Rerata Lama Hari Perawatan dan Kejadian Infeksi
Nosokomial Studi Kasus: Penderita Pasca Bedah Rawat Inap di Rumah Sakit
Pemerintah dan Swasta Provinsi DIY Tahun 1999. Yogyakarta: Badan Litbang
Kesehatan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
Tambayong,jan. (2001).Farmakologi untuk
keperawatan.Jakarta.widya medika
Tietjen L, Bossemeyer D, &
McIntosh N. 2004. Panduan pencegahan infeksi untuk fasilitas pelayanan kesehatan
dengan sumber daya terbatas. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
prawirohardjo
Tim keselamatan Pasien RS RSUD
Panembahan Senopati. Patient Safety.Yahya, Adib A. (2006) Konsep dan
Program “Patient Safety”. Proceedings of National Convention VI of
The Hospital Quality Hotel Permata Bidakara, Bandung 14-15 November 2006.
Yahya, Adib A. (2007) Fraud & Patient
Safety. Proceedings of PAMJAKI meeting “Kecurangan (Fraud)
dalam Jaminan/Asuransi Kesehatan” Hotel Bumi Karsa, Jakarta 13 December 2007.
No comments:
Post a Comment
Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat