A.
Diskriminasi
Gender
1. Pengertian
Seks dan Gender
Selama
lebih dari sepuluh tahun terakhir istilah gender
meramaikan berbagai diskusi tentang masalah-masalah perempuan, selama itu
pulalah istilah tersebut telah disalahpahami, tentang apa yang dimaksud dengan
konsep gender dan apa kaitan konsep
tersebut dengan usaha emansipasi wanita.
Konsep gender pertama
kali harus dibedakan dari konsep seks
atau jenis kelamin secara biologis. Jenis kelamin (seks)
didefinisikan sebagai istilah biologis berdasarkan perbedaan anatomi dan fisik
antara laki-laki dan perempuan yang ditentukan oleh faktor genetik. Gender
merujuk pada segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin individu,
termasuk peran, tingkah laku, kecenderungan dan atribut lain yang
mendefinisikan arti menjadi seorang laki-laki atau perempuan dalam kebudayaan
yang ada. Perbedaan gender dapat didasarkan pada faktor biologis, proses
belajar, atau kombinasi dari keduanya (Baron & Byrne, 2004, p. 187)
Gender
merupakan batasan peran berdasarkan kelamin pria dan wanita. Berdasarkan
definisi WHO, gender adalah perbedaan status dan peran antara wanita dan pria
yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang berlaku
(Noorkasiani, 2009, p. 95)
Barbara
Mackoff (dikutip dalam Angier, 1998b, hal F5) dalam Baron & Byrne (2004),
menyatakan, “...perbedaan terbesar antara perempuan dan laki-laki adalah dalam
cara kita memperlakukan mereka.”
Bem
(1995, halaman 334) dalam Baron & Byrne (2004) meminjam sebuah analogi dari
antropolog, Kathryn March, untuk membuat kesimpulan: “Jenis kelamin terhadap
gender seperti sinar terhadap warna.” Maknanya adalah, jenis kelamin dan cahaya
merupakan fenomena fisik, sedangkan gender dan warna adalah kategori yang
dibentuk berdasarkan budaya, dimana secara tegas membagi jenis kelamin dan
cahaya dalam subkelompok tertentu. Misalnya, untuk warna, beberapa budaya
memilki dua kategori, yang lain tiga, sementara di Amerika Serikat ada kotak
Krayon dengan 256 warna yang berbeda yang memiliki nama tersendiri. Sementara
gender, sebaliknya. Di Amerika Serikat dan beberapa negara di dunia, hanya ada
penekanan dua gender, laki-laki dan perempuan, sementara di budaya lain ada
kemungkinan “Kotak Krayon” yang berkisar dari biseksualitas, sampai heteroseksualitas
dan peran homoseksual berikut gaya hidupnya.
Jadi
sudah sangat jelas bahwa konsep gender sangat berbeda dengan jenis kelamin
(seks). Jenis kelamin adalah ciri maskulin atau feminim yang dibawa sejak
lahir, sedangkan gender ciri maskulin dan feminim sebagai hasil interaksi
dengan budaya, dan bukan merupakan kodrat (Baron & Byrne, 2004, p. 187)
Sebagai
contoh dari perwujudan konsep gender
sebagai sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi
secara sosial dan budaya, misalnya jika dikatakan bahwa seorang laki-laki itu
lebih kuat, gagah, keras, disiplin, lebih pintar, lebih cocok untuk bekerja di
luar rumah dan bahwa seorang perempuan
itu lemah lembut, keibuan, halus, cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam
rumah (mengurus anak, memasak dan membersihkan rumah) maka itulah gender dan itu bukanlah kodrat karena itu dibentuk oleh manusia.
2. Identitas
Gender dan Gangguan Identitas Gender
Setiap
orang memiliki identitas gender (gender
identity) yang merupakan bagian kunci dari konsep diri dalam label sebagai
“laki-laki” atau “perempuan”. Identitas gender merupakan sebagian dari konsep
diri yang melibatkan identifikasi seseorang sebagai seorang laki-laki atau
perempuan (Baron & Byrne, 2004, p. 188)
Identitas
gender juga dapat diartikan bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang
pria atau wanita. Identitas gender secara normal didasarkan pada anatomi
gender. Pada keadaan normal, identitas gender konsisten dengan anatomi gender
(Nevid, dkk, 2003, p. 74)
Kesadaran
terhadap identitas gender biasanya berkembang pada usia dua puluh tahun. Pada
sebagian besar orang, jenis kelamin biologis dan identitas gender
berkorespondensi, walaupun proporsinya kecil dalam populasi, identitas gender
mereka berbeda dari jenis kelamin mereka (Baron & Byrne, 2004, p. 188)
Individu
yang identitas gender mereka berbeda dari jenis kelamin, pada umumnya mengalami
gangguan identitas gender. Pada gangguan identitas gender ini, terjadi konflik
antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya. Gangguan ini dapat
berawal sejak masih kanak-kanak. Anak-anak dengan gangguan ini merasa bahwa
anatomi gender mereka merupakan sumber distress yang terus-menerus dan
intensif. Diagnosis ini diterapkan pada anak-anak yang secara kuat menolak
sifat anatomi mereka (misal, anak perempuan yang bersikeras tidak mau terjadi
perubahan bentuk pada payudaranya, dan anak laki-laki yang menolak penis dan
testis mereka), atau pada mereka yang terfokus pada pakaian atau aktivitas yang
merupakan stereotip dari gender lain (Nevid, dkk, 2005, p. 74)
Diagnosis
gangguan identitas gender (dulu disebut transeksual),
diberikan baik kepada anak-anak atau orang dewasa yang mempersepsikan diri
mereka secara psikologis sebagai anggota dari gender yang berlawanan dan yang
secara terus-menerus menunjukkan ketidaknyamanan terhadap anatomi gendernya (Nevid,
dkk, 2005, p. 74)
3. Ketidakadilan
dan Diskriminasi Gender
Berbagai
perbedaan peran dan kedudukan antara wanita dan pria, baik secara langsung
maupun tidak langsung didasari oleh berlakunya suatu undang-undang atau
kebijakan sehingga menimbulkan berbagai ketidakadilan yang berakar dalam
sejarah, adat, norma, atau struktur masyarakat. Ketidakadilan ini karena adanya
keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam
berbagai bentuk yang tidak hanya meninpa kaum wanita saja, tetapi juga kaum
pria. Hanya saja, ketidakadilan gender lebih banyak menimpa kaum wanita dalam
berbagai kehidupan (Noorkasiani, 2009, p. 96)
Noorkasiani
(2009), menjelaskan bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender yang
terjadi antara lain sebagai berikut:
a. Marginalisasi
wanita
Istilah
ini menggambarkan rendahnya status, akses, dan penguasaan seseorang terhadap
sumber daya ekonomi dan politik dalam pengambilan keputusan. Berbagai pekerjaan
yang dianggap sebagai pekerjaan wanita, misalnya guru taman kanak-kanak atau
sekretaris, dinilai lebih rendah dibandingkan pekerjaan pria, dan sering
berpengaruh terhadap perbedaan gaji antara kedua jenis pekerjaan tersebut.
b. Subordinasi
Subordinasi
pada dasarnya adalah keyakinan bahwa satu jenis kelamin dianggap lebih penting
atau lebih utama dibandingkan jenis kelamin lainnya. Pandangan bahwa wanita
mempunyai kedudukan dan peran lebih rendah dibandingkan pria, telah tercipta
sejak dulu. Berbagai tradisi, tafsir keagamaan, maupun aturan birokrasi
menempatkan wanita sebagai subordinasi dari kaum pria, yang menyebabkan
terbatasnya ruang gerak wanita di berbagai kehidupan. Misalnya, seorang istri
yang akan melanjutkan pendidikan harus mendapat izin dari suaminya, sebaliknya
seorang suami yang akan melanjutkan pendidikannya justru tidak memerlukan izin
dari istri.
c. Pandangan
Stereotip
Merupakan
citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan
empiris yang ada. Pelabelan negatif (stereotip) secara umum melahirkan
ketidakadilan gender. Salah satu stereotip yang berkembang berdasarkan
pengertian gender, yaitu jenis kelamin wanita mengakibatkan terjadinya
diskriminasi dan berbagai ketidakadilan. Sebagai contoh, pandangan terhadap
wanita yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan
dengan kerumahtanggaan. Stereotip ini tidak hanya terjadi di dalam rumah
tangga, tetapi juga di tempat kerja dan masyarakat, bahkan tingkat pemerintahan
dan negara.
d. Kekerasan
Kekerasan
berarti suatu serangan fisik maupun integritas mental psikologis seseorang.
Kekerasan fisik dapat berupa perkosaan, pemukulan, dan penyiksaan. Kekerasan
non fisik, yaitu pelecehan seksual yng menyebabkan gangguan emosional. Pelaku
kekerasan mungkin saja individu di dalam rumah tangga, tempat umum atau di
masyarakat.
Peran
gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap
feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri
psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya.
Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang salah
dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan
tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan
sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan. Contoh
:
1) Kekerasan fisik maupun non fisik
yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah tangga.
2) Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan
yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan.
3) Pelecehan seksual.
4) Eksploitasi seks terhadap perempuan
dan pornografi.
e. Beban kerja
Bentuk
lain diskriminasi dan ketidakadilan gender, yaitu beban kerja yang harus
dilakukan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Berbagai observasi
menunjukkan hampir 90% pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh wanita dan
beberapa wanita mengerjakan haal tersebut sambil bekerja mencari uang. Hal ini
menyebabkan wanita harus melakukan pekerjaan rumah sambil bekerja.
Demikianlah pendikotomian laki-laki dan perempuan
berdasarkan hubungan gender nyata sekali
telah mendatangkan ketidakadilan gender bagi perempuan yang termanifestasi
dalam berbagai wujud dan bentuknya.
Karena diskriminasi gender perempuan diharuskan untuk patuh pada “kodrat” –nya
yang telah ditentukan oleh masyarakat untuknya. Karena diskriminasi pula
perempuan harus menerima stereotype yang dilekatkan pada dirinya yaitu bahwa
perempuan itu irrasional, lemah, emosional dan sebagainya sehingga kedudukannya
pun selalu subordinat terhadap laki-laki, tidak dianggap penting bahkan tidak
dianggap sejajar dengan laki-laki, sehingga perempuan diasumsikan harus selalu
menggantungkan diri dan hidupnya kepada laki-laki.
4. Masalah
Gender
Ketimpangan
gender merupakan kendala dalam pencapaian kesamaan kedudukan wanita dan pria
sebagai mitra sejajar. Permasalahan gender di bidang poleksusbud dapat
digambarkan sebagai berikut:
a. Bidang Politik
Masih
sedikit sekali wanita Indonesia yang memegang jabatan tinggi untuk menentukan
kebijakan dan pengambilan keputusan dalam lembaga legislatif/ organisasi
regional maupun internasional. Hal ini menyebabkan banyak keputusan yang kurang
memperhatikan kepentingan dan aspirasi wanita (Noorkasiani, 2009, p. 98)
b. Bidang Ekonomi
Beberapa
faktor ekonomi merupakan konteks situasi wanita yang perlu diperhatikan dalam
pembangunan berwawasan kemitrasejajaran. Dalam kondisi ekonomi yang sulit,
umumnya wanita mempunyai peranan yang besar dalam mempertahankan kehidupan
keluarga. Kondisi ekonomi di pedesaan kebanyakan masih kurang menguntungkan
bagi perkembangan potensi penduduknya (Noorkasiani, 2009, p. 98)
c. Bidang sosial-budaya
Faktor sosial sangat penting karena mempengaruhi status
dan peranan wanita. Sosial-budaya dapat menjadi faktor pendukung ataupun
penghambat terhadap kemajuan wanita. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun
1998 menyebabkan penurunan secara signifikan dalam hal kemampuan orang tua
untuk menyekolahkan anaknya. Dalam hal ini, orang tua lebih memilih anak pria
yang akan melanjutkan pendidikan (Noorkasiani, 2009, p. 98)
Noorkasiani
(2009) menjelaskan, pembagian tugas ataupun peran antara wanita dan pria
tidaklah sulit, selama pembagian peran dan tugas tersebut baik, seimbang, dan
tidak menjadikan gender sebagai masalah. Permasalahan yang berhubungan dengan
gender akan timbul jika terjadi kondisi-kondisi berikut:
a. Wanita
tidak berkembang dan hanya diberi peran dalam urusan rumah tangga saja. Selain
itu, mereka tidak diberi kesempatan atau peluang pada peran yang produktif
b. Anak-anak
wanita tidak mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi/ sama dengan pria karena
berbagai alasan
c. Wanita
menjadi bergantung pada nafkah suami sehingga tidak memiliki keterampilan dan
pengalaman yang sebanding dengan pria
d. Dalam
keluarga miskin, wanita melakukan pekerjaan ganda, yaitu mengurusi pekerjaan
rumah tangga dan mencari nafkah dengan keterampilan dan pengetahuan terbatas
e. Potensi
dan bakat yang dimiliki wanita kurang diakomodasi
5. Upaya
Penyetaraan Gender
Memperkecil
kesenjangan gender antara pria dan wanita mulai dari tahap perumusan kebijakan,
perencanaan, pelaksanaan, hingga penilaian program pembangunan merupakan salah
satu tujuan dari pengarusutamaan gender. PBB mendefinisi pengarusutamaan gender
itu sendiri sebagai suatu strategi pengintegrasian (menyatukan) masalah-masalah
kesenjangan gender ke dalam analisis perumusan kebijakan ddan pemantauan dari
pelaksanaan program dan kegiatan proyek pembangunan (UN, 1990, dalam
Noorkasiani, 2009, p. 99)
Kesetaraan
gender diperjuangkan bukan hanya oleh wanita terhadap laki-laki, melainkan oleh
wanita dan pria terhadap sistem tata nilai masyarakat, terutama pandangan yang
membedakan peluang dan kesempatan pria serta wanita untuk mencapai kemajuan
(Noorkasiani, 2009, p. 101)
Noorkasiani
(2009) dalam buku Sosiologi Keperawatan menjelaskan beberapa program
pemberdayaan untuk mengatasi ketimpangan gender, antara lain sebagai berikut:
a. Bidang
pendidikan
Salah
satu upaya pemberdayaan wanita yang strategis adalah melalui peningkatan
pendidikan sekolah (PS) dan pendidikan luar sekolah (PLS). Untuk mengatasi
rendahnya kualitas sumber daya wanita dan kualitas peranan wanita, diupayakan
program-program berikut:
1) Pengarusutamaan
gender dalam pembangunan pendidikan dan pelatihan
2) Penyiapan
lingkungan yang kondusif untuk kesetaraan akses dan kesempatan mengikuti
pendidikan bagi anak wanita dan pria
3) Pengembangan
kebijakan pendidikan yang berperspektif gender
4) Pengarusutamaan
gender dalam tingkat partisipasi, kurikulum, materi pelajaran, proses
pembelajaran dan pelaku pendidikan
5) Penyediaan
sistem dukungan sosial bagi peningkatan kesempatan anak wanita untuk mengikuti
pendidikan lanjutan, pendidikan pengetahuan, teknologi (iptek) dan kejuruan
6) Peningkatan
pengetahuan wanita mengenai penerapan teknologi tepat guna yang berperspektif
gender.
b. Bidang
kesehatan
Masalah
yang sering terjadi pada wanita, antara lain angka kematian ibu melahirkan yang
tinggi, di Indonesia 450 orang per 100.000 kelahiran (Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan, 2001), rendahnya status gizi wanita, dan rendahnya pengetahuan
wanita mengenai kesehatan dan hak reproduksi. Program-program pemberdayaan
wanita dalam bidang kesehatan yang dapat dikembangkan dan ditingkatkan antara
lain:
1) Pengarusutamaan
gender dalam pembangunan kesehatan
2) Pemberdayaan
wanita dalam menyukseskan gerakan sayang ibu
3) Pemberdayaan
wanita dalam penanggulangan infeksi menular seksual termasuk HIV/ AIDS
4) Pemberdayaan
wanita dalam pemahaman tentang kesehatan reproduksi
5) Pemberdayaan
wanita dalam menyukseskan Gerakan Masyarakat Peduli ASI
6) Pemberdayaan
wanita dalam penanggulangan permasalahan gizi
7) Perberdayaan
wanita dalam penanggulangan penyalahgunaan napza
8) Pemberdayaan
wanita dalam pemanfaatan obat asli Indonesia
9) Pemberdayaan
wanita dalam program sanitasi dan perilaku hidup sehat
10) Pemberdayaan
wanita dalam mendapatkan akses pelayanan kesehatan.
c. Bidang
keluarga berencana
Kebijakan
program keluarga berencana nasional diarahkan untuk meningkatkan kualitas
penduduk melalui peningkatan kualitas keluarga yang didalamnya terdiri dari
suami dan istri dengan ciri kemandirian dan ketahanan keluarga untuk mewujudkan
keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera agar dapat berperan dalam pembangunan
nasional. Kebijakan tersebut terutama ditekankan pada peningkatan pemberdayaan
keluarga kecil dengan menjunjung tinggi hak-hak reproduksi, kesetaraan gender
dan hak-hak asasi manusia, peningkatan kualitas penduduk, pemberdayaan wanita
untuk membangun kemandirian, dan ketahanan sebagai landasan pembangunan
keluarga sejahtera. Aktualisasi kebijakan dilakukan melalui program-program
sebagai berikut:
1) Pengarusutamaan
gender dalam pembangunan keluarga berencana
2) Pemberdayaan
keluarga dalam pembangunan keluarga berencana
3) Pemberdayaan
wanita dalam ketahanan keluarga
4) Pemberdayaan
wanita dalam penigkatan kesejahteraan keluarga
5) Program
penunjang
d. Bidang
ekonomi dan ketenagakerjaan
Program
pemberdayaan wanita dalam bidang ekonomi dan ketenagakerjaan ditujukan untuk
meningkatkan keterampilan dan keahlian sumber daya wanita dalam hal teknis
produksi, kewirausahaan, pengelolaan usaha, pengambilan keputusan dan
mneingkatkan akses pada informasi dan sumber daya. Program – program yang dapat
dikembangkan guna mendukung pemberdayaan wanita di bidang ekonomi dan
ketenagakerjaan antara lain, sebagai berikut:
1) Pengarusutamaan
gender dalam pengembangan ekonomi dan ketenagakerjaan
2) Pemberdayaan
wanita dalam pengembangan ekonomi kerakyatan:
a) Meningkatkan
kemampuan wanita dalam bidang kewirausahaan, guna menumbuh-kembangkan usaha ekonomi
produktif
b) Peningkatan
akses wanita terhadap informasi tentang sumber daya alam, sumber dana modal,
kredit dan informasi pasar
c) Pemantapan
kemitrausahaan yang dikelola wanita dengan swasta, BUMN, dan koperasi.
3) Peningkatan
pengentasan kemiskinan bagi wanita dan keluarganya
4) Peningkatan
pelayanan kesejahteraan dan perlindungan hukum bagi tenaga kerja wanita
5) Peningkatan
kualitas, profesionalisme, dan produktivitas tenaga kerja wanita.
e. Bidang
Politik dan Hukum
Rendahnya
peran perempuan dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat eksekutif,
legislatif, dan yudikatif menyebabkan kurang terakomodirnya aspirasi dan
kepentingan wanita dalam pembangunan bangsa secara keseluruhan. Perumus
kebijakan yang merancang hukum dan penegak hukum, kurang memahami permasalahan
gender sehingga masih banyak wanita yang mengalami ketidakadilan gender. Untuk
mengatasi rendahnya partisipasi dan peran wanita dalam bidang politik dan
hukum, diupayakan program-program sebagai berikut:
1) Pengarusutamaan
gender dalam pembangunan politik dan hukum
2) Bidang
politik
a) Pengembangan
iklim sosial-budaya yang lebih kondusif untuk meningkatkan peran wanita di
bidang politik
b) Peningkatan
kualitas dan kuantias peran dan kedudukan wanita pada posisi strategis sebagai
pengambil keputusan/ perumusan kebijakan pada lembaga eksekutif, legislatif,
dan yudikatif.
c) Pembentukan
dan pengembangan wanita di lingkungan lembaga eksekutif, legislatif, dan
yudikatif
3) Bidang
hukum dan HAM bagi wanita
Beberapa
program yang dapat dikembangkan dalam usaha pemberdayaan wanita dalam bidang
hukum dan HAM antara lain:
a) Penataan
sistem hukum nasional yang berperspektif gender
b) Peningkatan
kuantitas wanita sebagai aparat penggerak hukum
c) Peningkatan
pemahaman semua pihak dan penerapan UU No 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap wanita
d) Penyusunan
program aksi sosial “penghapusan segala bentuk tindak kekerasan terhadap
wanita”
e) Peningkatan
perlindungan, penghormatan, dan penegakan HAM bagi wanita dalam seluruh aspek
kehidupan
f) Pembentukan
Pusat Rehabilitasi Keluarga bagi wanita korban tindak kekerasan
g) Peningkatan
kesadaran hukum, kesetaraan, dan keadailan gender bagi masyarakat
h) Perlindungan
anak perempuan dari eksploitasi seksual komersial dan tindak kekerasan
f. Bidang
kesejahteraan sosial dan agama
Program
pembinaan anak dan remaja diarahkan untuk meningkatkan kualitas tumbuh kembang.
Untuk mendukung upaya pemberdayaan wanita di bidang kesejahteraan sosial dan
agama, dikembangkan program-program sebagai berikut:
1) Pengarusutamaan
gender dalam pembangunan kesejahteraan sosial dan agama
2) Pembinaan
dan perlindungan anak remaja putri
a) Peningkatan
kesadaran semua pihak tentang hak, kebutuhan, dan potensi anak, anak cacat,
serta remaja putri
b) Peningkatan
kepedulian semua pihak terhadap kualitas tumbuh kembang dan kelangsungan hidup
anak dan anak cacat, serta kualitas hidup remaja putri
c) Peningkatan
perlindungan hak anak-anak, pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak dan
remaja, perilaku seks bebad, dan penyalahgunaaan napza
3) Pemberdayaan
wanita lanjut usia
a) Peningkatan kepedulian masyarakat terhadap
wanita lanjut usia yang masih produktif
b) Peningkatan
peran serta wanita lanjut usia dalam berbagai aspek kehidupan
4) Pemberdayaan
wanita penyandang cacat
a) Peningkatan
kepedulian masyarakat terhadap wanita penyandang cacat
b) Peningakatan
kemampuan wanita penyandang cacat sesuai tingkat dan kondisi kecacatannya
c) Peningkatan
upaya pemenuhan kebutuhan fisik dan non-fisik bagi wanita penyandang cacat
5) Pemberdayaan
wanita dalam kehidupan agama
a) Pemantapan
pengetahuan dan pemahaman keagamaan yang berperspektif gender dan pembinaan
iman serta taqwa
b) Peningkatan
peranan dan partisipasi wanita dalam kerukunan beragama
c) Peningkatan
peranan wanita dalam pengkajian nilai-nilai dan ajaran agama yang berperspektif
gender
g. Bidang
pertahanan dan keamanan
Bisa
di lihat dalam jumlah wanita yang menjadi prajurit TNI dan Polri. Masyarakat
pada umumnya dan wanita paa khususnya, lebih memahami dan menyadari bahwa
wanita sebagai sumber daya pembangunan mampu mengerjakan dan berperan aktif
sebagai TNI dan Polri. Namun, kualitas keterlibatan prajurit wanita belum
menjangkau seluruh potensi wanita yang ada.
Upaya-upaya
yang dapat dilakukan dalam mendukung peranan dan partisipasi wanita dalam
bidang pertahanan dan keamanan adalah sebagai berikut:
1) Pengarusutamaan
gender dalam pembangunan pertahanan dan keamanan
2) Peningkatan
sumber daya wanita dalam pertahanan dan keamanan
h. Bidang
lingkungan hidup
Walaupun
wanita memiliki potensi yang sangat besar dalam pemeliharaan pelestarian
lingkungan dan pencemaran lingkungan, tetapi wanita jarang diikutsertakan dalam
pengelolaan lingkungan. Wanita jarang diberi pengetahuan tentang cara
pengelolaan lingkungan, termasuk pengelolaan limbah dan pencegahan pencemaran
lingkunagn, pemakaian bahan-bahan konsumsi rumah tangga yang berabahaya bagi
diri, keluarga, dan lingkungannya.
Oleh
karena itu, berikut beberapa program yang dapat dikembangkan guna meningkatkan
peran wanita dalam bidang lingkungan hidup dan agar terwujudnya lingkungan yang
sehat:
1) Pengarusutamaan
gender dalam pembangunana lengkungan hidup
2) Pemberdayaan
wanita dalam pengelolaan lingkungan
3) Pemberdayaan
wanita dalam pencegahan dan pencemaran lingkungan
4) Peningkatan
pemahaman semua pihak tentang kebijakan lingkungan hidup yang berperspektif
gender.
i. Bidang
informasi dan komunikasi
Kemajuan
teknologi dan informasi telah meningkatkan jaringan kerja dan komunikasi global
yang mampu menembus batas-batas wilayah, negara, benua, dan membawa pengaruh
pada perubahan tata nilai kehidupan manusia untuk lebih maju. Perkembangan
tersebut memberi peluang sekaligus tantangan dalam mendorong kemajuan berbagai
bidang kehidupan dan pembangunan. Walaupun, kedudukan dan peranan wanita makin
meningkat, tetapi hanya sedikit di antaranya yang mampu mendapat posisi sebagai
pengambil keputusan maupun posisi yang dapat mempengaruhi keputusan dalam
bidang komunikasi dan informasi. Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut,
dilakukan beberapa upaya, antara lain sebagai berikut:
1) Pengarusutamaan
gender dalam pembangunan informasi dan lingkungan hidup
2) Pengintegrasian
materi kesetaraan dan keadilan gender ke dalam jaringan kerja informasi dan
komunikasi
3) Peningkatan
kualitas dan kuantitas peran kesetaraan dan keadilan gender yang mendukung
pembangunan pemberdayaan wanita dalam media massa.
j. Bidang
kelembagaan
Kelembagaan
pemberdayaan wanita pada tingkat pusat dan daerah organisasi kemasyarakatan,
dan organisasi wanita merupakan unsur penting dalam mengupayakan pembangunan
pemberdayaan wanita. Oleh sebab itu, lembaga tersebut perlu lebih diberdayakan
agar diperoleh efektifitas dan efesiensi pengarusutamaan gender dalam
pengembangan kebijakan, strategi program dan kegiatan, dengan mendukung sistem
informan manajemen yang handal.
Pembinaan
kelembagaan pemberdayaan wanita ditujukan pada peningkatan kemantapan dan
kemandirian organisasi; peningkatan kualitas sumber daya manusia terutama dalam
kemampuan analisis kebijakan, perumusan, pengembangan, dan penyusunan rencana
serta pelaksanaan program yang berwawasan gender; juga dalam peningkatan
kualitas dan kuantitas penelititan; serta pembentukan pusat dokumentasi yang
berkaitan dengan pemberdayaan wanita.
Hal
yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikkut:
1) Pemantapan kelembagaan di pusat dan daerah
2) Peningkatan
kualitas dan kapasitas sumber daya manusia
3) Pemantapan
kerja sama secara nasional dan internasional
4) Peningkatan
peran serta masyarakat.
Dalam
laporan penelitian kebijakan bank dunia tahun 2000, diusulkan tiga strategi
untuk meningkatkan kesetaraan gender, yaitu:
a. Reformasi
institusi guna menjamin kesetaraan hak dan kesempatan bagi perempuan dan
laki-laki. Reformasi institusi hukum dan ekonomi
penting dilakukan untuk meletakkan dasar persamaan hak dan kesempatan bagi
perempuan dan laki-laki. Mengingat hukum atau peraturan-peraturan yang ada di
banyak negara masih terus melanggengkan ketidaksetaraan gender, maka reformasi
hukum mutlak diperlukan terutama hukum rumahtangga, perlindungan terhadap
kekerasan, hak atas tanah, pekerjaan, dan politik.
b. Mendorong
pertumbuhan ekonomi guna memperbesar kesetaraan sumber daya dan partisipasi. Peningkatan
pendapatan dan penurunan tingkat kemiskinan cenderung mengurangi
ketidaksetaraan gender dalam pendidikan, kesehatan, dan gizi. Daya produksi
atau produktivitas yang meningkat dan lapangan kerja baru seringkali mengurangi
ketidaksetaraan gender dalam pekerjaan. Investasi pada infrastruktur seperti
air bersih, energi, dan transportasi dapat membantu mengurangi ketidaksetaraan
beban kerja.
Mengambil
langkah aktif untuk mengatasi ketidaksetaraan dalam penguasaan sumber daya dan
aspirasi dalam politik praktis. Karena reformasi
institusional dan pembangunan ekonomi sering tidak memadai, maka dibutuhkan
langkah aktif untuk mengatasi ketidaksetaraan gender dalam jangka pendek dan
jangka menengah.
DAFTAR PUSTAKA
Bank
Dunia. (2000). Laporan kebijakan bank:
Pembangunan Berperspektif Gender. Diakses dari http://siteresources.worldbank.org/INTGENDER/Resources/indonesiansumm.pdf
pada tanggal 18-09-2012
Baron,
R. A & Byrne, D. (2004). Psikologi
sosial edisi 10. Jakarta: Erlangga
Nevid,
J., dkk. (2005). Psikologi abnormal edisi
5. Jakarta: Erlangga
Noorkasiani.
(2009). Sosiologi keperawatan.
Jakarta: EGC
No comments:
Post a Comment
Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat