A.
Konsep
Sterilisasi
1.
Pengertian
Menurut Potter
& Perry (2005, p. 949) sterilisasi adalah penghancuran atau pemusnaha
seluruh mikroorganisme, termasuk spora. Penguapan dilakukan dengan tekanan, gas
etilen oksida (ETO), dan kimia merupakan agen sterilisasi yang paling umum.
Sterilisasi adalah suatu proses yang menghancurkan semua bentuk kehidupan
mikroba, termasuk spora, pada permukaan benda mati. (Greundemann, 2005, p. 254)
Menurut Darmadi (2008, p. 79) sterilisasi dalam pengertian medis merupakan
suatu proses dengan metode tertentu dapat memberikan hasil akhir, yaitu suatu
keadaan yang tidak dapat ditunjukkan lagi adanya mikroorganisme hidup.
2.
Jenis Sterilisasi
Menurut Potter
& Perry (2005, p. 949) alat yang memerlukan sterilisasi ada tiga kategori:
a.
Alat Penting
Alat yang memasuki jaringan steril atau sistem vaskular
menimbulkan resiko tinggi terkena infeksi jika alat – alat tersebut
terkontaminasi dengan mikroorganisme, khususnya spora bakteri. Alat – alat
penting harus disterilkan. Beberapa alat – alat penting, antara lain:
1)
Peralatan
bedah
2)
Kateter
intravaskuler
3)
Kateter
urine
4)
Jarum
b.
Alat semi-penting
Alat – alat yang berkontak dengan membran mukosa atau kulit yang tidak utuh
juga beresiko. Benda ini harus bebas dari mikroorganisme. Alat – alat semi –
penting harus didesinfektan atau disterilkan. Beberapa dari alat – alat
tersebut,
adalah:
1)
Kateter
atau selang penghisap (suction) respiratorius
2)
Selang
endotrakea
3)
Endoskop
gastrointestinal
4)
Termometer
c.
Alat tidak penting
Alat – alat yang kontak dengan kulit utuh namun bukan
membran mukosa. Alat – alat ini harus bersih. Alat – alat tidak penting harus
didesinfeksi. Beberapa alat ini adalah:
1) Pispot
2) Manset tekanan darah
3) Linen
4) Stetoskop
3.
Teknik Sterilisasi
a. Secara
Fisik
Secara
fisik sterilisasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1)
Metode
radiasi
Metode radiasi merupakan metode dengan radiasi pengionan menenbus objek
secara mendalam untuk sterilisasi dan desinfeksi yang efektif. Radiasi biasanya
digunakan untuk mensterilkan obat, makanan, dan bahan – bahan lainnya yang
sensitif terhadap panas (Potter & Perry, 2005, p. 950).
Menurut Lukas (2006, p. 95) sterilisasi dengan radiasi dapat dilakukan
dengan beberapa radiasi gelombang elektromagnetik, antara
lain:
a) Ultraviolet
Ultraviolet merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 10
– 400 nm dengan efek optimal pada 254 nm. Sumbernya adalah lampu uap merkuri
dengan daya tembus hanya 0,01 – 0,2 mm. ultraviolet digunakan untuk sterilisasi
ruangan pada penggunaan antiseptik.
b)
Ion
Menkanismenya mengikuti teori tumbukan, yaitu sinar langsung menghantam
pusat kehidupan mikroba (kromosaom) atau secara tidak langsung dengan sinar
terlebih dahulu membentur molekul air dan mengubahnya menjadi bentuk radikalnya
yang menyebabkan terjadinya reaksi sekunder pada bagian molekul DNA mikroba.
c)
Gamma
Gamma biasanya digunakan untuk mensterilkan alat kedokteran serta alat yang
terbuat dari logam, karet, serta bahan sintesis seperti polietilen.
2)
Metode
pemanasan dengan uap air dan pengaruh tekanan (autoclave)
Menurut Darmadi (2008, p. 81) prinsip dasar metode ini adalah penggunaan
uap. Uap panas pada suhu, tekanan, dan waktu pemaparan tertentu mampu membunuh
mikroba patogen. Alat yang digunakan adalah sebuah bejana tertutup yang
dilengkapi dengan manometer, termometer, termostat, dan pengaturan tekanan. Dengan
demikian suhu dan tekanan uap panas dapat diatur (Darmadi, 2008, p. 81).
Sterilisasi ini biasanya digunakan untuk mensterilkan sediaan injeksi dan
suspensi (121oC 15 menit), baju operasi (134oC 3 menit),
serta plastik dan karet (Lukas, 2006, p.89).
Teknis pelaksanaan menurut Darmadi (2008, p. 81) metode uap panas
bertekanan tinggi, antara lain:
a) Peralatan medis, seperti instrument, sarung tangan, dan
linen dimasukkan dalam kamar (chamber)
dan diletakkan di atas rak – rak yang tersedia.
b)
Uap
panas yang berasal dari pemanasan air dialirkan ke dalam kamar sehingga
mendesak udara yang ada di dalam kamar. Pemanasan air dilanjutkan, sehingga
suhu uap air mencapai 121oC.
c)
Saat
suhu efektif sudah tercapai, hitungan waktu dimulai 20 menit untuk peralatan
yang tidak terbungkus dan 30 menit untuk peralatan yang terbungkus.
d)
Bila
sterilisasi sudah selesai, katup pengatur tekanan dibuka sehingga tekanan uap
turun dan selanjutnya akan diikuti dengan penurunan suhu.
3)
Metode
pemanasan secara kering
Prinsip dasar metode panas kering ini adalah melalui mekanisme konduksi,
panas akan diabsorpsi oleh permukaan luar dari peralatan yang disterilkan.
Mikroba terbunuh dengan terjadinya koagulasi pada protein mikroba (Darmadi,
2008, p. 82).
Sterilisasi panas kering biasanya ditetapkan pada temperatur 160oC
dengan waktu 1 jam untuk alat logam atau alat gelas. Untuk larutan minyak atau
salep disterilisasi pada temperatur 150oC (Lukas, 2006, p. 93).
Teknis pelaksanaan panas kering menururt Darmadi (2008, p. 82) adalah
dengan menggunakan sebuah alat yang disebut Oven
yang dipanaskan dengan cara berikut :
a) Pemanasan udara dalam open dengan penggunaan gas dan
listrik hingga mencapai 160o – 180oC.
b) Durasi waktu untuk sterilisasi 1 – 2 jam, lebih lama
daripada menggunakan autoclave karena daya penetrasinya tidak sebaik uap panas.
c) Digunakan untuk sterilisasi alat – alat dari gelas,
seperti tabung, cawan, dan lain – lain.
4)
Metode
pemanasan sevara intermittent atau terputus – putus
John Tyndall (1877) dari hasil penelitiannya memperoleh bahwa temperatur
didi 100oC secara 1 jam tidak dapat membunuh semua mikroorganisme.
Tetapi, apabila air dididihkan berulang – ulang sampai lima kali dan setiap air
mendidih istirahat 1 menit akan sangat berhasil untuk membunuh kuman. Dengan
pemanasan ini lingkaran hidup pembentukan spora dapat diputuskan (Gabriel,
1996, p. 34).
5)
Metode
pembakaran langsung (incineration)
Alat – alat platina, khrome yang akan disterilkan dapat dilakukan dengan
pembakaran secara langsung pada nyala lampu bunzen hingga mencapai merah padam.
Hanya saja pada proses pembakaran langsung ini alat – alat tersebut lama
kelamaan menjadi rusak. Keuntungannya, mikroorganisme akan mati semua (Gabriel,
1996, p. 34).
6)
Metode
filtrasi (penyaringan)
Sterilisasi dengan metode pemanasan dapat membunuh mikroorganisme tetapi
mikroorganisme yang mati tetap berada pada material tersebut. Sedangkan,
sterilisasi dengan metode penyaringan mikroorganisme tetap hidup hanya
dipisahkan dari material. Bahan filter ini adalah sejenis porselin yang berpori
(Gabriel, 1996, p. 34).
Penyaring dibuat dengan berbagai ukuran pori untuk memenuhi persyaratan
penyaringan, yaitu mulai dari 14 – 0,0025 mikrometer. Keuntungan utama
penggunaan metode ini adalah kecepatan pada penyaringan sejumlah kecil larutan,
kemampuan mensterilkan secara efektif zat – zat yang tidak tahan panas, serta
peralatan yang digunakan tidak terlalu mahal (Lukas, 2006, p. 98).
b.
Secara
Kimia
1)
Sterilisasi
dengan gas etilen oksida
Sterilisasi gas merupakan pilihan lain yang digunakan untuk sterilisasi
alat yang sensitif terhadap panas. Etilen oksida merupakan senyawa organik.
Rumus kimianya adalah (C2H4)O (Lukas, 2006, p. 94).
Prinsip kerjan metode ini, etilen oksida akan membunuh mikroba melalui
reaksi kimia, yaitu alkalasi. Pada reaksi ini terjadi penggantian gugus atom
hidrogen pada sel mikroba dengan gugus alkil, sehingga metabolisme dan
reproduksi sel terganggu (Darmadi, 2008, p. 83).
Menurut Darmadi (2008, p. 83) proses ini menggunakan autoclave khusus pada
suhu yang lebih rendah (36 – 60oC) serta konsentrasi gas tidak
kurang dari 400mg/liter, dengan proses:
a)
Setelah
peraltan dimasukkan, gas etilen oksida dipompakan ke dalam kamar (chamber) selama 20 – 30 menit pada
kelembapan 50 – 70%.
b)
Setelah
pemaparan gas etilen dilakukan, kemudian dilakukan tahan aerasi/ pertukaran
udara, yaitu proses pembuangan gas etilen oksida pada sterilisator maupun pada
peralatan medis.
Sterislisasi gas dengan etilen oksidasi biasanya
digunakan untuk mensterilkan berbagai sediaan enzim, antibiotic tertentu, obat
– obatan, serta alat –alat seperti endoskopi yang terbuat dari kaca atau
kateter (Lukas, 2006, p. 95).
Gas etilen oksida cukup toksik sehingga dapat menyebabkan
iritasi pada kulit dan mukosa. Oleh karenanya, perlu perhatian pada masalah
keselamatan kerja (Darmadi, p. 83).
2)
Sterilisasi
dengan formaldehida
Menurut Darmadi (2006, p. 83) prinsip dasarnya adalah mikroba terbunuh
dengan cara mengikat gugus asam amino dari protein mikroba. Alat yang
dianjurkan untuk sterilisasi adalah formalin autoclave dengan suhu 70oC.
setelah peralatan medis dimasukkan ke dalam kamar, gas formaldehida dialirkan
dengan konsentrasi 15mg/m3.
Biasanya digunakan untuk sterilisasi terbatas, seperti kateter dan sarung
tangan. Gas ini baunya sangat menyengat dan dapat mengakibatkan iritasi pada
kulit, mata, dan sluran pernapasan. Oleh karena itu, perlu penanganan yang hati
– hati (Darmadi, 2008, p. 83).
2.
Proses
Sterilisasi
a.
Sterilisasi
pada bahan logam dan gelas
Alat yang terbuat dari logam sebelum disterilisasi dicuci terlebih dahulu.
Alat – alat logam (jarum suntik, pinset, gunting, jarum operasi, scalpel blede)
maupun tabung reaksi dan pipet, mula – mula dibersihkan dahulu kemudian
dibungkus dengan kain gaas. Setelah itu, dapat digunakan metode pemanasan
secara kering, dengan suhu 160oC, selama 1 – 2 jam. Kemudian,
diamkan hingga suhunya turun secara perlahan (Gabriel, 1996, p. 35).
b.
Sterilisasi
bahan kain dan media kultur
Kain dan media kultur yang akan disterilkan terlebih dahulu dibungkus
dengan kertas agar setelah steril dan dikeluarkan dari sterilisator tidak
terkontaminasi dengan kuman lagi. Metode sterilisasai yang dgunakan biasanya
metode pemanasan uap air dan tekanan (autoclave) (Gabriel, 1996, p.35).
c.
Sterilisasi
bahan karet dan plastik
Bahan karet dan plastik sebaiknya tidak disterilkan dengan metode
pemanasan, karena dapat mengganggu keelastisan karet dan dapat meleleh. Untuk
mensuci hamakan bahan karet dan plastik, mula – mula dibersikan dari kotoran
dengan menggunakan air bersih dan detergent, kemudian dikeringkan. Setelah itu
taburi dengan talk dan disimpan dengan tablet formalin (Gabriel, 1996, p. 35).
DAFTAR
PUSTAKA
Brunner
& Suddart. 2002. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta. EGC.
Corwin,
Elizabeth J. (2009). Buku saku
patofisiologi Corwin. Egi Komara Yudha (et al). Jakarta: EGC.
Darmadi. (2008). Infeksi
nosokomial: problematika dan pengendaliannya. Jakarta: Salemba Medika
Deglin, Judith Hopfer. 2004. Pedoman obat untuk perawat. Jakarta:
Monica Ester.
Ducel, G., Fabry, J.,&
Nicolle, L. (2002). Prevention of
hospital-acquired infections, A practical guide. 2nd edition. World Health Organization.
Department of Communicable disease, Surveillance and Response.
Gabriel, J. F. (1996). Fisika kedokteran. Jakarta: EGC. Diperoleh pada 6 Februari 2012
dari www.books.google.co.id/books
Greundemann, Barbara J. (2005). Buku ajar keperawatan perioperatif. Vol. 1 prinsip. (Brahm U
Pendit, et.al., penerjemah). Jakarta: EGC
Hence, grace. 2007. Med-math: perhitungan dosis, preparat, dan
cara pemberian obat. Jakarta EGC
Herger, B.R. 2003.
Asisten Keperawatan: Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Ed. 6. Jakarta:
EGC
Johnson, Joyce
Young. (2005). Prosedur perawatan di
rumah: pedoman untuk perawat. Egi Komara Yudha, Sari Kurnianingsih
(penerjemah). Jakarta: EGC.
Joyce
L, Kee. (1996). Farmakologi Pendekatan
Prosess Keperawatan. Jakarta : EGC.
Judith
Hopfer, D. (2004). Pedoman Obat untuk
Perawat. Jakarta : EGC.
Kee,
Joyce L. (1996). Farmakologi: pendekatan
proses keperawatan. Jakarta: EGC. Neal, Michael J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Penerjemah:
dr. Juwalita Surapsari. Jakarta: Erlangga
Komalawati, Veronica. (2010) Community&Patient
Safety Dalam Perspektif Hukum Kesehatan.
Kozier, B., Erb, G.,
Berman, A., & Snyder, S. J. (2010). Asepsis. Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses dan praktek.Ed.
7. Vol 2. Jakarta: EGC
Lestari,
Trisasi. Knteks Mikro dalam Implementasi Patient Safety: Delapan Langkah
Untuk Mengembangkan Budaya Patient Safety. Buletin IHQN Vol
II/Nomor.04/2006 Hal.1-3
Lukas, Stefanus. (2006). Formulasi steril. Ed.1. Yogyakarta: ANDI
Marison, Moya J.
(2003). Manajemen luka. Florida,
Monica Ester, sari kurnianingsih (penerjemah). Jakarta: EGC.
Nursalam
dan Ninuk. 2007. Asuhan Keperawatn Pada
Pasien Terinfeksi. Jakarta. Salemba Medika.
Pabuti, Aumas. (2011) Tujuh Langkah
Menuju Keselamatan Pasien (KP) Rumah Sakit. Proceedings of expert lecture
of medical student of Block 21st of Andalas University,
Indonesia
Panduang Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (Patient Safety). 2005
Potter, A. P & Perry, A. G. (2005). Fundamental
keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Ed. 4. Vol. 1. (Renata
Komalasari, penerjemah). Jakarta: EGC
Priharjo, Robert. 1995. Teknik Dassar
Penberian Obat Bago Perawat. Jakarta: EGC hal.9-11
Rochmanadji
Widajat. (2009). Being a great ant
sustainable hospital. Jakarta : Gramedia Pustaka
Suwarni, A. (2001). Studi Diskriptif Pola Upaya Penyehatan
Lingkungan Hubungannya dengan Rerata Lama Hari Perawatan dan Kejadian Infeksi
Nosokomial Studi Kasus: Penderita Pasca Bedah Rawat Inap di Rumah Sakit
Pemerintah dan Swasta Provinsi DIY Tahun 1999. Yogyakarta: Badan Litbang
Kesehatan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
Tambayong,jan. (2001).Farmakologi untuk
keperawatan.Jakarta.widya medika
Tietjen L, Bossemeyer D, &
McIntosh N. 2004. Panduan pencegahan infeksi untuk fasilitas pelayanan kesehatan
dengan sumber daya terbatas. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
prawirohardjo
Tim keselamatan Pasien RS RSUD
Panembahan Senopati. Patient Safety.Yahya, Adib A. (2006) Konsep dan
Program “Patient Safety”. Proceedings of National Convention VI of
The Hospital Quality Hotel Permata Bidakara, Bandung 14-15 November 2006.
Yahya, Adib A. (2007) Fraud & Patient
Safety. Proceedings of PAMJAKI meeting “Kecurangan (Fraud)
dalam Jaminan/Asuransi Kesehatan” Hotel Bumi Karsa, Jakarta 13 December 2007.
No comments:
Post a Comment
Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat