A. Masalah-Masalah
Pascaoperasi, Tanda-Tanda Kinis dan Intervensi Pencegahan
1.
Hipoksemia yang tidak terdeteksi
Jenis hipoksemia yang dapat mempengaruhi pasien pascaoperatif
adalah subakut dan episodik. Hipoksemia subakut adalah tingkat saturasi O2
yang rendah dan konstan, meski pernapasan pasien tampak normal. Hipoksemia
episodic terjadi mendadak dan pasien dapat bersiko terhadap disfungsi serebral,
iskemia miokardium, dan henti jantung. Komplikasi ini sering terjadi pada malam
ketiga sampaik eempat pascaoperatif. Pasien yang beresiko terhadap hipokesmia termasuk
mereka yang menjalani bedah mayor (terutama abdomen), pasien dengan kegemukan,
atau yang sudah mempunyai riwayat masalah pulmonal.Hipoksemia ini dapat dideteksi
dengan teknik yang akurat oksimetri nadi untuk menentukan saturasi O2.(Smeltzer&
Bare, 2001: 483)
2.
Atelaktasis
Kozier
(2010: 385) mendefenisikan atelaktasis sebagai kondisi ketika
alveoli kolaps dan tidak mendapat ventilasi. Penyebabnya adalah sumbatan mucus
pada jaringan napas bronkiolus,gumpalan mukus tersebut menyumbat
salah satu bronkhi secara keseluruhan, jaringan pulmonari diluar gumpalan
tersebut kolaps dan mengalami atelaktasis masif, selain itu atelaktasis
disebabkan juga karena ekspansi paru yang tidak tidak adekuat,
analgesik dan imobilitas.
Tanda klinisnya adalah dispnea,
takipnea, takikardia, ansietas, penurunan gerakan dada, suara napas tumpul atau
tidak ada, dan penurunan saturasi oksigen (SaO2). Tindakan pencegahannya adalah
latihan napas dalam dan batuk, bergerak di tempat tidur dan ambulasi dini (Kozier,
2010: 385)
3.
Hipovolemia
Hipovolemia
merupakan suatu keadaan di mana volume darah sirkulasi tidak adekuat. Hal ini
disebabkan karena defisit cairan dan hemoragi (Kozier, 2010).
Tanda klinis dari
hipovolemia adalah takikardia, penurunan haluaran urine, dan penurunan tekanan
darah. Tindakan pencegahannya merupakan deteksi dini tanda-tanda penggantian
cairan dan/atau darah (Kozier, 2010).
4.
Hemoragi
Menurut Kozier,
2010, hemoragi adalah perdarahan internal atau eksternal yang disebabkan oleh
kerusakan pada jahitan atau ligasi pembuluh darah yang tidak cukup kuat.
Sedangkan dalam Potter & Perry, 2005, mengatakan hemoragi adalah hilangnya
sejumlah darah secara ekstrenal maupun internal dalam jangka waktu yang
singkat.
Jadi, dapat
disimpulkan bahwasannya hemoragi merupakan perdarahan atau hilangnya sejumlah
darah baik secara internal maupun eksternal.
Tanda-tanda klinis
yang ditunjukkan oleh hemoragi tergantung pada jumlah darah yang hilang dan
sebaraapa cepat kehilangan darah tersebut terjadi. Pasien gelisah dan gundah,
terus bergerak, dan merasa haus, kulitnya dingin, basah, dan pucat. Frekuensi
nadi meningkat, suhu tubuh turun, dan pernapasan cepat dan dalam, sering
berbicara tersenggal-senggal seperti kehabisan napas. Jika hemoragi berlanjut
tanpa pengobatan, curah jantung menurun, tekanan darah arteri dan vena serta
hemoglobin turun dengan cepat, bibir dan konjungtiva menjadi pucat, tampak
bercak pada bagian serkitar mata, terdengar bunyi mendenging pada telinga, dan
pasien terus melemah tetapi tetap sadar sampai mendekati kematian (Smeltzer,
2001).
Tanda klinis
hemoragi menurut Kozier, 2010, perdarahan yang tampak jelas (balutan terwarnai
darah terang, darah mengalir bebas pada drain atau slang dada), peningkatan
rasa nyeri, peningkatan lingkar abdomen, pembengkakan atau memar sekitar
insisi.
Tindakan pencegahan
yang dapat dilakukan adalah dengan mendeteksi dini tanda-tanda hemoragi
(Kozier, 2010). Luka bedah harus selalu diinspeksi terhadap perdarahan. Jika
perdarahan terjadi, kasa steril dan balutan yang kuat dipasangkan dan tempat
perdarahan ditinggikan pada keetinggian jantung, jika memungkinkan (Smeltzer,
2001).
5.
Syok
Hipovolemik
Syok hipovolemik
adalah perfusi jaringan dan sel akibat hilangnya volume cairan dalam sirkulasi.
Pada klien bedah, syok hipovolemik biasanya disebabkan oleh perdarahn (Potter
& Perry, 2005).
Tanda klinis dari
kondisi ini adalah, nadi lemah dan cepat, dispnea, takipnea, gelisah dan cemas,
haluaran urine < 30 ml/jam, penurunan tekanan darah, kulit dingin dan basah,
rasa haus, dan pucat (Kozier, 2010).
Tindakan
pencegahannya berupa, pertahankan volume darah dengan mengganti cairan yang
hilang secaara adekuat, cegah hemoragi, dan deteksi dini tanda-tanda (Kozier,
2010).
6.
Tromboflebitis
Tromboflebitis
adalah peradangan vena yang biasanya disertai dengan bekuan darah. Umumnya
terjadi pada vena kaki. Statis vena terjadi karena duduk atau imobilisasi yang
terlalu lama. Trauma dinding pembuluh darah dan hiperkoagulasi darah akan
meningkat risiko peradangan pembuluh darah (Potter & Perry, 2005).
Tanda klinis dari
tromboflebitis adalah kesemutan, nyeri kram, area yang sakit bengkak, merah,
dan panas jika disentuh, vena teraba keras, tidak nyaman pada betis jika kaki
dorsofleksi atau saat klien berjalan. Tindakan pencegahannya yang dapat
dilakukan adalah dengan ambulasi dini, latihan fisik tungkai, stoking,
antiemboli, sequential compression
devices (SCD), dan asupan cairan yang adekuat (Kozier, 2010).
7.
Trombus
Trombus adalah
terbentuknya bekuan darah yang menempel ke dinding bagian dalam
vena atau arteri, yang dapat menyumbat lumen pembuluh darah. Trombus
disebabkan oleh statis vena dan trauma pembuluh darah. Cedera vena pada kaki,
abdomen, pelvis, dan pembuluh darah besar sering terjadi setelah pembedahan.
Trombus juga terbentuk akibat meningkatnya koagulasi darah (mis., penggunaan
pil KB yang mengandung estrogen) (Potter & Perry, 2005).
Tanda klinis
trombus pada pembuluh vena sama seperti tromboflebitis sedangkan pada pembuluh
arteri tanda klinis terjadinya trombus adalah nyeri dan pucat pada ekstremitas
yang sakit, penurunan atau tidak adanya pulsus perifer. Tindakan pencegahan
yang dilakukan jika trombus yang terjadi di pembuluh vena sama seperti
tromboflebitis dan jika trombus terjadi di pembuluh arteri tindakan pencegahan
yang harus dilakukan berupa mempertahankan posisi yang diprogramkan dan deteksi
dini tanda-tanda (Kozier, 2010).
8.
Embolus
Menurut Potter
& Perry (2005), embolus adalah potongan trombus yang terlepas dan
bersikulasi di dalam pembuluh darah sehingga menempel pada pembuluh darah lain,
biasanya menempel pada pembuluh darah paru-paru, jantung, atau otak.
Dalam Kozier
(2010), mengatakan bahwa embolus merupakan adanya benda asing atau bekuan yang
bergerak dari tempat asalnya terbentuk ke area tubuh yang lain seperti paru,
hati, atau otak. Penyebab terjadinya embolus itu sendiri adalah karena adanya
kerusakan kateter intravena, lemak, atau cairan amnion.
Gejala klinis yang
dirasakan seperti sakit dan nyeri hebat di dada, sesak napas, batuk,
hemomtisis, berekeringat dingin karena renjat obstruktif, dan penderita
biasanya merasa takut. Embolus dapat dicegah dengan mengurangi koagulasi darah
dan statis vena sehingga trombosis dicegah. Hiperkoagulasi darah dapat
diturunkan dengan pemberian obat antikoagulan, umumnya warfarin atau
asenokumarol. Statis di dalam vena kaki dapat dikurangi dengan cara mobilisasi
pascabedah sesegera mungkin (Wim de Jong, 2004).
9.
Retensi
Urine
Retensi urine
merupakan suatu keadaan ketidakmampuan
pengosongan kandung kemih, disertai akumulasi urine yang berlebihan di
dalam kandung kemih (Kozier, 2010).
Sedangkan di dalam
Potter & Perry (2005), mengatakan retensi urine adalah akumulasi di dalam
kandung kemih yang terjadi secara involunter akibat hilangnya tonus otot.
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa retensi urine adalah ketidakmampuan pengosongan lambung yang
disertai dengan akumulasi urine yang berlebihan di dalam kandung kemih akibat
hilangnya tonus otot.
Retensi disebabkan
oleh pengaruh anastesi dan analgesic narkotik. Manipulasi jaringan secara local
disekitar kandung kemih dan edema mengganggu tonus otot. Peengaturan posisi
klien yang buruk akan mengganggu refleks berkemih (Potter & Perry, 2005).
Tanda klinis dari
retensi urine adalah asupan cairan yang lebih besar daripada haluaran,
ketidakmampuan berkemih atau sering berkemih dalam jumlah sedikit, distensi
kandung kemih, ketidaknyamanan suprapubik, dan gelisah. Tindakan pencegahan
yang dapat dilakukan adalah dengan memantau asupan dan haluaran cairan,
intervensi untuk memfasilitasi berkemih, dan kateterisasi urine jika diperlukan
(Kozier, 2010).
10.
Infeksi
Saluran Kemih
Infeksi saluran
kemih adalah inflamasi kandung kemih, ureter, atau uretra. Hal ini disebabkan
karena imobilisasi dan pembatasan asupan cairan, dan penggunaan alat pada
saluran kemih. Tanda klinis yang dirasakan adalah sensasi rasa terbakar saat
berkemih, urgensi, urine keruh, dan nyeri abdomen bawah. Tindakan pencegahan
yang dapat dilakukan dengan cara asupan cairan yang adekuat, ambulasi dini,
kateter lurus aseptic jika diperlukan, hygiene perineum yang baik (Kozier,
2010).
11.
Mual
dan Muntah
Mual dan muntah
adalah gejala pengosongan lambung yang tidak tepat atau adanya stimulasi kimia
dari pusat muntah. Mula dan muntah disebabkan oleh nyeri berat, distensi
abdomen, takut, obat-obatan, makan atau minum sebelum peristaltik kembali, dan
stimulasi refleks muntah (Potter & Perry, 2005).
Tanda klinisnya
adalah keluhan merasa sakit di perut dan muntah-muntah. Hal ini dapat dicegah
dengan pemberian cairan IV sampai peristaltik kembali berfungsi, kemudian
cairan jernih, cairan penuh, dan analgesik untuk nyeri ( Kozier, 2010).
12.
Konstipasi
Konstipasi adalah
pengeluaran feses yang jarang. Setelah pembedahan hal ini tidak perlu
dikhawatirkan, terutama jika klien menjalani persiapan usus preoperatif.
Setelah klien memakan makanan padat, jika dalam waktu 48 jam klien belum
defekasi maka hal ini perlu dikhawatirkan. Konstipasi terjadi karena
peristaltik yang melambat dan penundaan konsumsi diet normal akan menyebabkan
konstipasi (Potter & Perry, 2005).
Tanda klinis dari
konstipasi adalah tidak ada eliminasi feses, distensi abdomen, dan rasa tidak
nyaman. Hal ini dapat dicegah dengan memberikan asupan cairan yang adekuat,
diet tinggi serat, dan ambulasi dini (Kozier, 2010).
13.
Timpanitis
Timpanitis adalah
retensi udara di dalam usus. Hal ini disebabkan oleh peristaltik usus yang
melambat akibat anastesi, manipulasi usus, atau imobilisasi. Tanda dan
gejalanya antara lain meningkatnya lingkar perut dan terdengar bunyi timpani
pada perkusi abdomen. Klien mengeluh perut terasa penuh dan nyeri karena gas
(Potter & Perry, 2005).
Tindakan pencegahan
yang dapat dilakukan adalah dengan ambulasi dini, menghindari penggunaan
sedotan, dan berikan es batu atau air pada suhu kamar (Kozier, 2010).
14.
Ileus
Pascaoperatif
Ileus pascaoperatif adalah obstruksi usus yang ditandai
dengan ketiadaan aktivitas peristaltik. Penyebabnya adalah manipulasi usus
selama pembedahan, anastesia, ketidakseimbangan elektrolit, dan infeksi luka.
Tanda klinis yang dirasakan adalah nyeri abdomen dan distensi, konstipasi,
tidak ada bising usus, dan muntah (Kozier, 2010).
15.
Obstruksi Intestinal
Obstruksi instestinal adalah komplikasi yang dapat
menyertai pembedahan abdomen. Komplikasi ini paling sering terjadi pada pasien
pasca pembedahan abdomen bawah dan pelvis, terutama setelah pembedahan yang
memerlukan pemasangan drainase. Gejalanya dapat timbul antara hari 3-5 setelah
pembedahan, akan tetapi tetap dapat terjadi kapan saja, bahkan setahun setelah
pembedahan. Penyebabnya adalah suatu obstruksi aliran usus- seringkali loop
intestin yang menjadi kusut akibat adesi inflamasi atau yang terkena
peritonitis ataupun iritasi umum permukaan peritoneal (Smeltzer & Bare,
2001:484)
Manifestasi klinis yang ditunjukkan seringkali adalah
dengan tidak adanya demam dan peningkatan nadi, akan tetapi terdapat rasa tidak
nyaman. Pada awalnya nyeri terasa setempat. Nyeri yang terlokalisasi ini harus
menjadi perhatian, karena biasanya hal ini berhubungan dengan loop intestin
yang tepat berada di atas obstruksi. Pasien akan terus mengalami nyeri abdomen,
dengan interval yang makin singkat antar gelombang nyeri. Ketika auskultasi
abdomen, akan terdengar bunyi yang menunjukkan gerakan usus yang sangat aktif,
terutama saat terjadi serangan nyeri. Isi usus tidak dapat bergerak maju,
menekan koil usus, sehingga membawa kembali isi usus ke dalam lambung dan
dimuntahkan. Sehingga muntah dan peningkatan distensi menjadi gejala yang
sangat menonjol. Biasanya cegukan sering mendahului muntah pada beberapa
pasien. Tanda yang lain adalah tidak terjadinya defekasi, dan enema
mengeluarkan cairan jernih, yang menandakan bahwa hanya sebagian kecil isi usus
yang mencapai usus besar (Smeltzer & Bare, 2001:485)
Pada beberapa kasus, distensi usus di atas bagian yang
mengalami obstruksi dapat dihilangkan dengan menggunakan drainase pengisapan
intermiten dengan selang nasoenteral atau selang nasogastrik sederhana. Selain
itu, reaksi inflamasi usus juga dapat menghilang dengan menghilangnya
obstruksi. Namun begitu, pada kasus tertentu diperlukan intervensi pembedahan
untuk menghilangkan obstruksi (Smeltzer & Bare, 2001:485)
16.
Infeksi
Luka
Infeksi luka adalah
masuknya mikroorganisme pathogen ke dalam jaringan luka dalam atau superfisial.
Infeksi ini disebabkan oleh buruknya teknik aseptic dan luka yang
terkontaminasi sebelum tindakan pembedahan. Tanda dan gejalanya antara lain
hangat, kemerahan dan perih pada kulit di sekitar insisi. Klien dapat menderita
demam dan menggigil. Materi purulen dapat keluar dari drain atau dari tepi luka
yang terpisah. Materi purulen ini dapat muncul dalam 3-6 hari setelah
pembedahan (Potter & Perry, 2005).
Tindakan pencegahan
yang dapat dilakukan adalah dengan cara mempertahankan luka tetap bersih dan
kering, gunakan teknik aseptik bedah ketika
mengganti balutan (Kozier, 2010).
17.
Dehisens
Luka
Dehisens luka
adalah terbukanya jalur luka jahitan sebelum luka sembuh (Kozier, 2010).
Dehisens luka terjadi akibat pasien mengalami malnutrisi,
obesitas, radiasi pada tempat pembedahan pada fase preoperative, lansia,
sirkulasi jaringan yang buruk, dan regangan pada tempat jahitan akibat batuk
yang dapat menyebabkan dehisens. Tanda dan gejalanya antara lain meningkatnya
drainase dan penampakan jaringan yang ada di bawahnya. Biasanya terjadi 6-8
hari setelah pembedahan (Potter & Perry, 2005).
Tindakan pencegahan
yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan nutrisi yang adekuat, penyokong
luka insisi yang adekuat dan hindari peregangan (Kozier, 2010).
18.
Eviserasi
Luka
Eviserasi luka
merupakan penekanan organ dan jaringan internal keluar melalui insisi. Tanda
klinisnya adalah terbukanya insisi dan terlihat penonjolan organ. Tindakan
pencegahan yang dilakukan sama seperti untuk dehisens luka (Kozier, 2010).
Penyebab dari
eviserasi sama seperti dehisens. Klien yang memiliki dehisens berisiko
mengalami eviserasi (Potter & Perry, 2005).
19.
Depresi
Pascaoperatif
Depresi pascaoperatif adalah gangguan mental yang
ditandai dengan perubahan alam perasaan. Penyebabnya adalah kelemahan,
keterkejutan pada pembedahan darurat, informasi mengenai keganasan, gangguan
citra tubuh yang berat, masalah pribadi lain, mungkin melupakan respons
fisiologis pada beberapa prosedur pembedahan. Tanda klinisnya adalah anoreksia,
menangis hebat, kehilangan ambisi, menarik diri, menolak orang lain, perasaan
kesal, gangguan tidur (insomnia atau tidur berlebihan). Tindakan pencegahan
yang dapat dilakukan adalah istirahat yang adekuat, aktifitas fisik, member
kesempatan untuk mengungkap rasa marah dan perasaan negatif lain.
20.
Delirium
Delirium
pascaoperatif bias terjadi pada beberapa kelompok pasien. Jenis delirium yang
paling sering adalah delirium toksik, traumatic dan putus alkohol (tremens).
No comments:
Post a Comment
Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat