google adsense

Thursday, August 3, 2017

MASALAH KESEHATAN PASCA-OPERASI

A.    Masalah-Masalah Pascaoperasi, Tanda-Tanda Kinis dan Intervensi Pencegahan
1.      Hipoksemia yang tidak terdeteksi
Jenis hipoksemia yang dapat mempengaruhi pasien pascaoperatif adalah subakut dan episodik. Hipoksemia subakut adalah tingkat saturasi O2 yang rendah dan konstan, meski pernapasan pasien tampak normal. Hipoksemia episodic terjadi mendadak dan pasien dapat bersiko terhadap disfungsi serebral, iskemia miokardium, dan henti jantung. Komplikasi ini sering terjadi pada malam ketiga sampaik eempat pascaoperatif. Pasien yang beresiko terhadap hipokesmia termasuk mereka yang menjalani bedah mayor (terutama abdomen), pasien dengan kegemukan, atau yang sudah mempunyai riwayat masalah pulmonal.Hipoksemia ini dapat dideteksi dengan teknik yang akurat oksimetri nadi untuk menentukan saturasi O2.(Smeltzer& Bare, 2001: 483)           
2.      Atelaktasis
           Kozier (2010: 385) mendefenisikan atelaktasis sebagai kondisi ketika alveoli kolaps dan tidak mendapat ventilasi. Penyebabnya adalah sumbatan mucus pada jaringan napas bronkiolus,gumpalan mukus tersebut menyumbat salah satu bronkhi secara keseluruhan, jaringan pulmonari diluar gumpalan tersebut kolaps dan mengalami atelaktasis masif, selain itu atelaktasis disebabkan juga karena ekspansi paru yang tidak tidak adekuat, analgesik dan imobilitas. 
           Tanda klinisnya adalah dispnea, takipnea, takikardia, ansietas, penurunan gerakan dada, suara napas tumpul atau tidak ada, dan penurunan saturasi oksigen (SaO2). Tindakan pencegahannya adalah latihan napas dalam dan batuk, bergerak di tempat tidur dan ambulasi dini (Kozier, 2010: 385)
3.      Hipovolemia
Hipovolemia merupakan suatu keadaan di mana volume darah sirkulasi tidak adekuat. Hal ini disebabkan karena defisit cairan dan hemoragi (Kozier, 2010).
Tanda klinis dari hipovolemia adalah takikardia, penurunan haluaran urine, dan penurunan tekanan darah. Tindakan pencegahannya merupakan deteksi dini tanda-tanda penggantian cairan dan/atau darah (Kozier, 2010).
4.      Hemoragi
Menurut Kozier, 2010, hemoragi adalah perdarahan internal atau eksternal yang disebabkan oleh kerusakan pada jahitan atau ligasi pembuluh darah yang tidak cukup kuat. Sedangkan dalam Potter & Perry, 2005, mengatakan hemoragi adalah hilangnya sejumlah darah secara ekstrenal maupun internal dalam jangka waktu yang singkat.
Jadi, dapat disimpulkan bahwasannya hemoragi merupakan perdarahan atau hilangnya sejumlah darah baik secara internal maupun eksternal.
Tanda-tanda klinis yang ditunjukkan oleh hemoragi tergantung pada jumlah darah yang hilang dan sebaraapa cepat kehilangan darah tersebut terjadi. Pasien gelisah dan gundah, terus bergerak, dan merasa haus, kulitnya dingin, basah, dan pucat. Frekuensi nadi meningkat, suhu tubuh turun, dan pernapasan cepat dan dalam, sering berbicara tersenggal-senggal seperti kehabisan napas. Jika hemoragi berlanjut tanpa pengobatan, curah jantung menurun, tekanan darah arteri dan vena serta hemoglobin turun dengan cepat, bibir dan konjungtiva menjadi pucat, tampak bercak pada bagian serkitar mata, terdengar bunyi mendenging pada telinga, dan pasien terus melemah tetapi tetap sadar sampai mendekati kematian (Smeltzer, 2001).
Tanda klinis hemoragi menurut Kozier, 2010, perdarahan yang tampak jelas (balutan terwarnai darah terang, darah mengalir bebas pada drain atau slang dada), peningkatan rasa nyeri, peningkatan lingkar abdomen, pembengkakan atau memar sekitar insisi.
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan mendeteksi dini tanda-tanda hemoragi (Kozier, 2010). Luka bedah harus selalu diinspeksi terhadap perdarahan. Jika perdarahan terjadi, kasa steril dan balutan yang kuat dipasangkan dan tempat perdarahan ditinggikan pada keetinggian jantung, jika memungkinkan (Smeltzer, 2001).
5.      Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik adalah perfusi jaringan dan sel akibat hilangnya volume cairan dalam sirkulasi. Pada klien bedah, syok hipovolemik biasanya disebabkan oleh perdarahn (Potter & Perry, 2005).
Tanda klinis dari kondisi ini adalah, nadi lemah dan cepat, dispnea, takipnea, gelisah dan cemas, haluaran urine < 30 ml/jam, penurunan tekanan darah, kulit dingin dan basah, rasa haus, dan pucat (Kozier, 2010).
Tindakan pencegahannya berupa, pertahankan volume darah dengan mengganti cairan yang hilang secaara adekuat, cegah hemoragi, dan deteksi dini tanda-tanda (Kozier, 2010).
6.      Tromboflebitis
Tromboflebitis adalah peradangan vena yang biasanya disertai dengan bekuan darah. Umumnya terjadi pada vena kaki. Statis vena terjadi karena duduk atau imobilisasi yang terlalu lama. Trauma dinding pembuluh darah dan hiperkoagulasi darah akan meningkat risiko peradangan pembuluh darah (Potter & Perry, 2005).
Tanda klinis dari tromboflebitis adalah kesemutan, nyeri kram, area yang sakit bengkak, merah, dan panas jika disentuh, vena teraba keras, tidak nyaman pada betis jika kaki dorsofleksi atau saat klien berjalan. Tindakan pencegahannya yang dapat dilakukan adalah dengan ambulasi dini, latihan fisik tungkai, stoking, antiemboli, sequential compression devices (SCD), dan asupan cairan yang adekuat (Kozier, 2010).
7.      Trombus
Trombus adalah terbentuknya bekuan darah yang menempel ke dinding  bagian dalam  vena atau arteri, yang dapat menyumbat lumen pembuluh darah. Trombus disebabkan oleh statis vena dan trauma pembuluh darah. Cedera vena pada kaki, abdomen, pelvis, dan pembuluh darah besar sering terjadi setelah pembedahan. Trombus juga terbentuk akibat meningkatnya koagulasi darah (mis., penggunaan pil KB yang mengandung estrogen) (Potter & Perry, 2005).
Tanda klinis trombus pada pembuluh vena sama seperti tromboflebitis sedangkan pada pembuluh arteri tanda klinis terjadinya trombus adalah nyeri dan pucat pada ekstremitas yang sakit, penurunan atau tidak adanya pulsus perifer. Tindakan pencegahan yang dilakukan jika trombus yang terjadi di pembuluh vena sama seperti tromboflebitis dan jika trombus terjadi di pembuluh arteri tindakan pencegahan yang harus dilakukan berupa mempertahankan posisi yang diprogramkan dan deteksi dini tanda-tanda (Kozier, 2010).
8.      Embolus
Menurut Potter & Perry (2005), embolus adalah potongan trombus yang terlepas dan bersikulasi di dalam pembuluh darah sehingga menempel pada pembuluh darah lain, biasanya menempel pada pembuluh darah paru-paru, jantung, atau otak.
Dalam Kozier (2010), mengatakan bahwa embolus merupakan adanya benda asing atau bekuan yang bergerak dari tempat asalnya terbentuk ke area tubuh yang lain seperti paru, hati, atau otak. Penyebab terjadinya embolus itu sendiri adalah karena adanya kerusakan kateter intravena, lemak, atau cairan amnion.
Gejala klinis yang dirasakan seperti sakit dan nyeri hebat di dada, sesak napas, batuk, hemomtisis, berekeringat dingin karena renjat obstruktif, dan penderita biasanya merasa takut. Embolus dapat dicegah dengan mengurangi koagulasi darah dan statis vena sehingga trombosis dicegah. Hiperkoagulasi darah dapat diturunkan dengan pemberian obat antikoagulan, umumnya warfarin atau asenokumarol. Statis di dalam vena kaki dapat dikurangi dengan cara mobilisasi pascabedah sesegera mungkin (Wim de Jong, 2004).
9.         Retensi Urine
Retensi urine merupakan suatu keadaan ketidakmampuan  pengosongan kandung kemih, disertai akumulasi urine yang berlebihan di dalam kandung kemih (Kozier, 2010).
Sedangkan di dalam Potter & Perry (2005), mengatakan retensi urine adalah akumulasi di dalam kandung kemih yang terjadi secara involunter akibat hilangnya tonus otot.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa retensi urine adalah ketidakmampuan pengosongan lambung yang disertai dengan akumulasi urine yang berlebihan di dalam kandung kemih akibat hilangnya tonus otot.
Retensi disebabkan oleh pengaruh anastesi dan analgesic narkotik. Manipulasi jaringan secara local disekitar kandung kemih dan edema mengganggu tonus otot. Peengaturan posisi klien yang buruk akan mengganggu refleks berkemih (Potter & Perry, 2005).
Tanda klinis dari retensi urine adalah asupan cairan yang lebih besar daripada haluaran, ketidakmampuan berkemih atau sering berkemih dalam jumlah sedikit, distensi kandung kemih, ketidaknyamanan suprapubik, dan gelisah. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan memantau asupan dan haluaran cairan, intervensi untuk memfasilitasi berkemih, dan kateterisasi urine jika diperlukan (Kozier, 2010).
10.     Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih adalah inflamasi kandung kemih, ureter, atau uretra. Hal ini disebabkan karena imobilisasi dan pembatasan asupan cairan, dan penggunaan alat pada saluran kemih. Tanda klinis yang dirasakan adalah sensasi rasa terbakar saat berkemih, urgensi, urine keruh, dan nyeri abdomen bawah. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan dengan cara asupan cairan yang adekuat, ambulasi dini, kateter lurus aseptic jika diperlukan, hygiene perineum yang baik (Kozier, 2010).

11.     Mual dan Muntah
Mual dan muntah adalah gejala pengosongan lambung yang tidak tepat atau adanya stimulasi kimia dari pusat muntah. Mula dan muntah disebabkan oleh nyeri berat, distensi abdomen, takut, obat-obatan, makan atau minum sebelum peristaltik kembali, dan stimulasi refleks muntah (Potter & Perry, 2005).
Tanda klinisnya adalah keluhan merasa sakit di perut dan muntah-muntah. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian cairan IV sampai peristaltik kembali berfungsi, kemudian cairan jernih, cairan penuh, dan analgesik untuk nyeri ( Kozier, 2010).
12.     Konstipasi
Konstipasi adalah pengeluaran feses yang jarang. Setelah pembedahan hal ini tidak perlu dikhawatirkan, terutama jika klien menjalani persiapan usus preoperatif. Setelah klien memakan makanan padat, jika dalam waktu 48 jam klien belum defekasi maka hal ini perlu dikhawatirkan. Konstipasi terjadi karena peristaltik yang melambat dan penundaan konsumsi diet normal akan menyebabkan konstipasi (Potter & Perry, 2005).
Tanda klinis dari konstipasi adalah tidak ada eliminasi feses, distensi abdomen, dan rasa tidak nyaman. Hal ini dapat dicegah dengan memberikan asupan cairan yang adekuat, diet tinggi serat, dan ambulasi dini (Kozier, 2010).

13.     Timpanitis
Timpanitis adalah retensi udara di dalam usus. Hal ini disebabkan oleh peristaltik usus yang melambat akibat anastesi, manipulasi usus, atau imobilisasi. Tanda dan gejalanya antara lain meningkatnya lingkar perut dan terdengar bunyi timpani pada perkusi abdomen. Klien mengeluh perut terasa penuh dan nyeri karena gas (Potter & Perry, 2005).
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan ambulasi dini, menghindari penggunaan sedotan, dan berikan es batu atau air pada suhu kamar (Kozier, 2010).
14.     Ileus Pascaoperatif
Ileus pascaoperatif adalah obstruksi usus yang ditandai dengan ketiadaan aktivitas peristaltik. Penyebabnya adalah manipulasi usus selama pembedahan, anastesia, ketidakseimbangan elektrolit, dan infeksi luka. Tanda klinis yang dirasakan adalah nyeri abdomen dan distensi, konstipasi, tidak ada bising usus, dan muntah (Kozier, 2010).
15.     Obstruksi Intestinal
           Obstruksi instestinal adalah komplikasi yang dapat menyertai pembedahan abdomen. Komplikasi ini paling sering terjadi pada pasien pasca pembedahan abdomen bawah dan pelvis, terutama setelah pembedahan yang memerlukan pemasangan drainase. Gejalanya dapat timbul antara hari 3-5 setelah pembedahan, akan tetapi tetap dapat terjadi kapan saja, bahkan setahun setelah pembedahan. Penyebabnya adalah suatu obstruksi aliran usus- seringkali loop intestin yang menjadi kusut akibat adesi inflamasi atau yang terkena peritonitis ataupun iritasi umum permukaan peritoneal (Smeltzer & Bare, 2001:484)
           Manifestasi klinis yang ditunjukkan seringkali adalah dengan tidak adanya demam dan peningkatan nadi, akan tetapi terdapat rasa tidak nyaman. Pada awalnya nyeri terasa setempat. Nyeri yang terlokalisasi ini harus menjadi perhatian, karena biasanya hal ini berhubungan dengan loop intestin yang tepat berada di atas obstruksi. Pasien akan terus mengalami nyeri abdomen, dengan interval yang makin singkat antar gelombang nyeri. Ketika auskultasi abdomen, akan terdengar bunyi yang menunjukkan gerakan usus yang sangat aktif, terutama saat terjadi serangan nyeri. Isi usus tidak dapat bergerak maju, menekan koil usus, sehingga membawa kembali isi usus ke dalam lambung dan dimuntahkan. Sehingga muntah dan peningkatan distensi menjadi gejala yang sangat menonjol. Biasanya cegukan sering mendahului muntah pada beberapa pasien. Tanda yang lain adalah tidak terjadinya defekasi, dan enema mengeluarkan cairan jernih, yang menandakan bahwa hanya sebagian kecil isi usus yang mencapai usus besar (Smeltzer & Bare, 2001:485)
         Pada beberapa kasus, distensi usus di atas bagian yang mengalami obstruksi dapat dihilangkan dengan menggunakan drainase pengisapan intermiten dengan selang nasoenteral atau selang nasogastrik sederhana. Selain itu, reaksi inflamasi usus juga dapat menghilang dengan menghilangnya obstruksi. Namun begitu, pada kasus tertentu diperlukan intervensi pembedahan untuk menghilangkan obstruksi (Smeltzer & Bare, 2001:485)
16.     Infeksi Luka
Infeksi luka adalah masuknya mikroorganisme pathogen ke dalam jaringan luka dalam atau superfisial. Infeksi ini disebabkan oleh buruknya teknik aseptic dan luka yang terkontaminasi sebelum tindakan pembedahan. Tanda dan gejalanya antara lain hangat, kemerahan dan perih pada kulit di sekitar insisi. Klien dapat menderita demam dan menggigil. Materi purulen dapat keluar dari drain atau dari tepi luka yang terpisah. Materi purulen ini dapat muncul dalam 3-6 hari setelah pembedahan (Potter & Perry, 2005).
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan cara mempertahankan luka tetap bersih dan kering, gunakan teknik aseptik bedah ketika  mengganti balutan (Kozier, 2010).
17.     Dehisens Luka
Dehisens luka adalah terbukanya jalur luka jahitan sebelum luka sembuh (Kozier, 2010). Dehisens luka terjadi akibat pasien mengalami malnutrisi, obesitas, radiasi pada tempat pembedahan pada fase preoperative, lansia, sirkulasi jaringan yang buruk, dan regangan pada tempat jahitan akibat batuk yang dapat menyebabkan dehisens. Tanda dan gejalanya antara lain meningkatnya drainase dan penampakan jaringan yang ada di bawahnya. Biasanya terjadi 6-8 hari setelah pembedahan (Potter & Perry, 2005).
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan nutrisi yang adekuat, penyokong luka insisi yang adekuat dan hindari peregangan (Kozier, 2010).
18.     Eviserasi Luka
Eviserasi luka merupakan penekanan organ dan jaringan internal keluar melalui insisi. Tanda klinisnya adalah terbukanya insisi dan terlihat penonjolan organ. Tindakan pencegahan yang dilakukan sama seperti untuk dehisens luka (Kozier, 2010).
Penyebab dari eviserasi sama seperti dehisens. Klien yang memiliki dehisens berisiko mengalami eviserasi (Potter & Perry, 2005).
19.     Depresi Pascaoperatif
Depresi pascaoperatif adalah gangguan mental yang ditandai dengan perubahan alam perasaan. Penyebabnya adalah kelemahan, keterkejutan pada pembedahan darurat, informasi mengenai keganasan, gangguan citra tubuh yang berat, masalah pribadi lain, mungkin melupakan respons fisiologis pada beberapa prosedur pembedahan. Tanda klinisnya adalah anoreksia, menangis hebat, kehilangan ambisi, menarik diri, menolak orang lain, perasaan kesal, gangguan tidur (insomnia atau tidur berlebihan). Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah istirahat yang adekuat, aktifitas fisik, member kesempatan untuk mengungkap rasa marah dan perasaan negatif lain.
20.     Delirium

Delirium pascaoperatif bias terjadi pada beberapa kelompok pasien. Jenis delirium yang paling sering adalah delirium toksik, traumatic dan putus alkohol (tremens).

No comments:

Post a Comment

Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat