KONSEP KEGAWATAN SISTEM
INTEGUMEN (LUKA BAKAR)
1.
Definisi
Menurut Morton, P.G. et al (2011;
1516) Luka adalah kerusakan integritas kulit sedangkan menurut Sjamsuhidajat
(2010; 95) Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Luka
bakar adalah kerusakan jaringan karena kontaks dengan agen, termal, kimiawi
atau listrik (Betz, C. L ., & Sowden, L. A., 2009; 56). Luka bakar adalah
luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh dengan benda-benda yang
menghasilkan panas (api, air, listrik) atau zat-zat yang bersifat membakar
(asam kuat, basa kuat) (Krisanty, Paula dkk. 2009; 159).
2. Etiologi
a. Thermal
Merupakan penyebab yang paling
sering memindahkan kekuatan dari sumber panas kepada tubuh.
1)
Api,
terutama yang mengenai pakaian, cenderung menyebabkan luka bakar ketebalan
penuh.
2)
Logam
cair, tar atau bahan sintetik yang dicairkan menyebabkan kontak kulit yang
lama, harus didinginkan sesegera mungkin.
3)
Tercelup,
atau tersiram cairan yang panas.
b. Listrik
Penyebabnya meliputi sambaran
petir dan arus listrik. Di Amerika Serikat, terdapat 800-1000 kematian per
tahun yang disebabkan oleh arus listrik dan 200-300 kematian per tahun yang
disebabkan oleh arus listrik dan 200-300 kematian pertahun akibat sambaran
petir. Enam hingga tujun persen pasien yang dirawat di pusat luka bakar,
disebabkan oleh gangguan arus listrik atau sambaran petir (Oman, K. S. 2008;
325).
Menurut
Oman, K. S (2008; 326) ada Dua tipe arus listrik:
1)
Arus
listrik bolak-balik (AC; alternating current): sumber daya listrik yang
meliputi listrik rumah tangga, industri, dan kawat listrik tegangan tinggi.
2)
Arus
searah (DC; direct current): aki mobil, petir, dan alat pacu jantung.
Luka bakar listrik (AC) dapat
diklasifikasikan menjadi tegangan-rendah dan tegangan-tinggi:
1)
Tegangan-rendah
diartikan sebagai arus listrik yang tegangannya <1000 volt. Arus
ramah-tangga memiliki tegangan 110-120 volt. Kematian akibat arus listrik
tegangan-rendah terjadi karena fibrilasi ventrikel atau henti jantung. Arus
listrik tegangan-rendah jarang menimbulkan luka bakar yang dalam. Tujuh puluh
persen pasien luka bakar akibat arus listrik tegangan-rendah memerlukan di
rumah sakit, dan sebagian besar korbannya akan pulih kembali tanpa cedera yang
serius.
2)
Tegangan-tinggi
diartikan sebagai arus listrik yang tegangannya >1000 volt. Tiga puluh
persen kasus luka bakar listrik yang masuk rumah sakit disebabkan oleh arus
listrik tegangan-tinggi. Cedera yang berkaitan dengan arus listrik
tegangan-tinggi berupa luka bakar ini berlanjut dengan nekrosis jaringan
disertai dengan angka morbiditas yang tinggi, seperti gejala-sisa neurologi
jangka-panjang.
c. Bahan kimia
1)
Asam
kuat cepat dinetralisir atau diserap
2)
Alkali
menyebabkan nekrosis cair dan dapat menembus dengan dalam, yang menyebabkan
nekrosis progresif sampai beberapa jam setelah kontak.
Senyawa
|
Penggunaan yang lazim
|
Zat-zat alkali: hidroksida;
karbonat; kaustik soda dan natrium, kalium, amonium, litium, dan kalsium
|
Pembersih oven: pembersih
papan; penyubur tanah; pembersih pada industri berat; semen atau beton
|
Zat-zat asam: asam hidroklorida;
asam oksalat; asam sulfat.
|
Pembersih bak mandi; obat
pengasam untuk kolam renang (asam hidroklorida); penghilang karat (asam
oksalat); pembersih pipa industri (asam sulfat).
|
Senyawa organik: fenol;
kreosot; produk petroleum.
|
Desinfektan kimia (fenol);
bensin (petroleum).
|
Sumber:
(Oman, K. S. 2008; 328).
d.
Radiasi
Luka
bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injuri
ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau
dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terbakar
oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu
tipe luka bakar radiasi.
Menurut Graber, M. A (2006; 66):
1) Pada
awalnya tampak hipetemik dan kemudian dapat menyerupai luka bakar derajat tiga.
Perubahannya dapat meluas profunda ke dalam jaringan.
2) Luka
bakar akibat sinar matahari merupakan jenis ini dan menyebabkan nyeri
superfisial moderat.
e.
Cedera akibat suhu
sangat rendah (frost bife) (moenandjat, 2001).
3.
Klasifikasi Luka Bakar
a.
Cedera
luka bakar berdasarkan agens penyebab (Morton, 2011; 1536):
1)
Luka
bakar akibat panas
Luka bakar akibat panas dapat disebabkan oleh sumber api seperti
tungku perapian dirumah, cedera saat memasak atau ledakan api. Luka bakar
akibat uap panas atau bersentuhan dengan benda yang panas, seperti wajan atau
teko panas, dapat juga menyebabkan cedera luka bakar akibat panas.
2)
Luka
bakar akibat zat kima
Luka bakar akibat zat kimia sering dihadapi setelah terpajan zat
asam dan basa, termasuk asam hidroflorat, asam formiat, amonia, anhidrosa,
semen dan fenol. Agens kimia spesifik lain yang menyebabkan luka bakar kimia
terdiri atas, fosfor, unsur logam tertentu, nitrat, hidrokarbon dan ter.
3)
Luka
bakar akibat listrik
Pengaruh listrik pada tubuh ditentukan oleh tujuh faktor, jenis
arus, jumlah arus, alur arus, durasi kontak, area kontak, resistensi tubuh dan
voltasenya. Manusia sensitif terhadap arus listrik yang sangat kecil karena
sistem saraf manusia terbentuk dengan sangat baik. Listrik menelusuri alur yang
memiliki resistensi paling kecil. Oleh karena itu, jaringan, saraf dan otot
mudah mengalami kerusakan, sementara tulang tidak.
Penyebab luka bakar akibat voltase rendah adalah bersentuhan dengan
kabel yang penyambung lapisan luarnya telah terkelupas, baik kabel yang sedang
dipakai atau yang digunakan secara salah. Arus voltase rendah biasanya menjalar
di area yang memiliki resistensi paling kecil (saraf, pembuluh darah),
sementara arus voltase tinggi menjalar di alur langsung antara pintu masuk arus
listrik dan permukaan tanah. Arus terkonsentrasi di tempat masuknya listrik ke
dalam tubuh, kemudian menyebar secara sentral dan akhirnya menyatu sebelum
keluar. Kerusakan jaringan paling berat terjadi pada tempat kontak yang tampak
hangus, membentuk cekungan ditengah dan kasar sementara luka tembus voltase
tinggi cenderung “meledak” saat muatan listrik keluar.
4) Luka bakar karena suhu rendah
(frost bite)
b.
Cedera
luka bakar berdasarkan kedalaman:
1)
Luka
bakar superfisial (Derajat I)
Luka bakar superfisial mengenai lapisan epidermal dan sembuh dengan
intervensi minimal. Contoh luka bakar derajat I adalah luka bakar akibat sinar
matahari. Karena penggantian sel epitel epidermal terjadi secara terus menerus,
cedera ini akan sembuh secara spontan tanpa jaringan parut.
Gambar 1. Luka bakar derajat I
2)
Luka
bakar parsial (Derajat II)
Luka bakar parsial dibagi menjadi luka bakar dengan kedalaman
parsial superfisial dan dalam.
a)
Luka
bakar parsial superfisial, mengenai epidermis dan lapisan dermis superfisial
dan sembuh dengan intervensi minimal.
b)
Luka
bakar parsial dalam, mengenai epidermis dan lapisan epidermis dalam. Cedera
luka bakar dengan kedalaman parsial dalam dapat memerlukan waktu selama 3
minggu untuk dapat sembuh secara spontan. Kelambatan penyembuhan dapat
menghasilkan jaringan parut dan kehilangan fungsi.
Gambar 2. Luka bakar derajat II
3) Luka bakar penuh (Derajat III)
Gambar
3. Luka bakar derajat III
Luka bakar dengan kedalaman penuh membuka lapisan lemak, yang
terdiri atas jaringan adiposa yang kurang mendapat vaskularisasi. Lapisan ini
berisi akar kelenjar keringat dan folikel rambut. Semua elemen epidermis dan
dermis rusak. Luka bakar ini dapat tampak putih, merah, coklat atau hitam. Area
kemerahan tidak memutih saat ditekan karena suplai darah dibawah area tersebut
telah terganggu. Pembuluh darah kapiler yang mengalami trombosis dapat
divisualisasi.
Luka ini tidak menimbulkan nyeri karena reseptor sensoris telah
mengalami kerusakan total. Area luka bakar tampak cekung karena lemak dan otot
yang berada di bawah area luka bakar telah hilang. Luka kecil (< 4cm)
dibiarkan sembuh dengan granulasi dan migrasi epitelium sehat dari tepi luka.
Namun, luka yang luas dengan kedalaman penuh dan terbuka menyebabkan pasien
sangat rentan untuk menderita infeksi dan malnutrisi. Penutupan luka dengan
tandur kulit mengembalikan integritas kulit.
4) Luka bakar Derajat IV (Muttaqin ; 202):
Luka
bakar derajat IV adalah luka bakar yang merusak otot.
c.
Cedera
luka bakar berdasarkan keparahan (Graber, M. A., 2006; 66):
1)
Luka bakar minor
didefinisikan sebagai luka bakar derajat pertama dan ketebalan parsial <15%
luas permukaan tubuh (BSA= Body surface area) pada orang dewasa dan <10% BSA
pada anak berusia <6 tahun; ketebalan penuh <2 % BSA pada dewasa.
2)
Luka bakar moderat
didefinisikan sebagai luka bakar ketebalan oarsial 15% sampau 25% BSA pada
orang dewasa dan 10% sampai 20% pada anak; luka bakar ketebalan penuh <10%
BSA.
3)
Luka bakar mayor (yang
memerlukan unit luka bakar atau perawatan sentra luka bakar) didefinisikan
sebagai luka bakar ketebalan-parsial >20% sampai 25% pada orang dewasa dan
>20% pada anak-anak; luka bakar ketebalan penuh >10% BSA: luka bakar pada
tangan, wajah, mata, telinga, kaki, perineum; luka bakar inhalasi; luka bakar
listrik; luka bakar dengan komplikasi fraktur atau trauma mayor; semua luka
bakar pada bayi atau orang tua, pasien yang berisiko buruk akibat keadaan medis
sebelumnya.
Perhitungan luas luka bakar. Perhitungan luas luka bakar dengan
persentase total luas permukaan tubuh (TBSA) yang disebabkan oleh cedera.
Penilaian estimasi yang akurat dari TBSA sangat penting untuk intervensi
selanjutnya:
1)
Metode
Lund dan Browder
Metode ini efektif digunakan karena mengakui bahwa persentase luas
luka bakar pada berbagai bagian anatomik, khususnya kepala dan tungkai yang
akan berubah menurut pertumbuhan. Dengan membagi tubuh menjadi daerah-daerah
yang sangat kecil memberikan estimasi yang tepat mengenai proporsi luas
permukaan tubuh yang cedera untuk bagian-bagian tubuh tersebut. Estimasi dengan
metode Lund dan Browder sangat akurat dan efektif dilakukan baik pada bayi dan anak.
Gambar
perhitungan Metode Lund dan Browder
2)
Metode
Rule of Nine
Estimasi luas permukaan tubuh yang terbakar dengan menggunakan
Rumus Sembilan. Rumus sembilan merupakan cara yang cepat untuk menentukan luas
daerah luka bakar. Sistem ini menggunakan persentase dalam kelipatan sembilan
dengan jumlah total adalah 100%.
Gambar perhitungan Rule of Nine
3)
Metode
telapak tangan
Estimasi luas luka bakar menggunakan
luas permukaan palmar pasien. Luas telapak tangan individu mewakili 1% luas
permukaan tubuh. Luas luka bakar hanya dihitung pada pasien dengan derajat luka
II atau III. Hal ini biasanya dilakukan untuk memungkinkan pengkajian cepat
sampai pengkajian Lund dan Browder dilakukan.
Gambar perhitungan Metode telapak tangan
4.
Patofisiologi
Luka
bakar (Combustio) disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu sumber
panas kepada tubuh. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi
elektromagnetik. Destruksi jaringan terjadi akibat koagulasi, denaturasi
protein atau ionisasi isi sel. Kulit dan mukosa saluran nafas atas merupakan
lokasi destruksi jaringan. Jaringan yang dalam termasuk organ visceral dapat
mengalami kerusakan karena luka bakar elektrik atau kontak yang lama dengan burning
agent. Nekrosis dan keganasan organ dapat terjadi.
Kedalam luka bakar bergantung pada
suhu agen penyebab luka bakar dan lamanya kontak dengan gen tersebut. Pajanan
selama 15 menit dengan air panas dengan suhu sebesar 56.10 C
mengakibatkan cidera full thickness yang serupa. Perubahan
patofisiologik yang disebabkan oleh luka bakar yang berat selama awal periode
syok luka bakar mencakup hipoperfusi jaringan dan hipofungsi organ yang terjadi
sekunder akibat penurunan curah jantung dengan diikuti oleh fase hiperdinamik
serta hipermetabolik. Kejadian sistemik awal sesudah luka bakar yang berat
adalah ketidakstabilan hemodinamika akibat hilangnya integritas kapiler dan
kemudian terjadi perpindahan cairan, natrium serta protein dari ruang
intravaskuler ke dalam ruanga interstisial.
Curah jantung akan menurun sebelum perubahan
yang signifikan pada volume darah terlihat dengan jelas. Karena berkelanjutnya
kehilangan cairan dan berkurangnya volume vaskuler, maka curah jantung akan
terus turun dan terjadi penurunan tekanan darah. Sebagai respon, system saraf
simpatik akan melepaskan ketokelamin yang meningkatkan vasokontriksi dan
frekuensi denyut nadi. Selanjutnya vasokontriksi pembuluh darah perifer
menurunkan curah jantung.
Umumnya jumlah kebocoran cairan yang
tersebar terjadi dalam 24 hingga 36 jam pertama sesudah luka bakar dan mencapai
puncaknya dalam tempo 6-8 jam. Dengan terjadinya pemulihan integritas kapiler,
syok luka bakar akan menghilang dan cairan mengalir kembali ke dalam
kompartemen vaskuler, volume darah akan meningkat. Karena edema akan bertambah
berat pada luka bakar yang melingkar. Tekanan terhadap pembuluh darah kecil dan
saraf pada ekstremitas distal menyebabkan obstruksi aliran darah sehingga
terjadi iskemia. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen.
Volume darah yang beredar akan
menurun secara dramatis pada saat terjadi syok luka bakar. Kehilangan cairan
dapat mencapai 3-5 liter per 24 jam sebelum luka bakar ditutup. Selama syok
luka bakar, respon luka bakar respon kadar natrium serum terhadap resusitasi
cairan bervariasi. Biasanya hipnatremia terjadi segera setelah terjadinya luka
bakar, hiperkalemia akan dijumpai sebagai akibat destruksi sel massif.
Hipokalemia dapat terhadi kemudian dengan berpeindahnya cairan dan tidak
memadainya asupan cairan. Selain itu juga terjadi anemia akibat kerusakan sel
darah merah mengakibatkan nilai hematokrit meninggi karena kehilangan plasma.
Abnormalitas koagulasi yang mencakup trombositopenia dan masa pembekuan serta
waktu protrombin memanjang juga ditemui pada kasus luka bakar.
Kasus luka bakar dapat dijumpai hipoksia.
Pada luka bakar berat, konsumsi oksigen oleh jaringan meningkat 2 kali lipat
sebagai akibat hipermetabolisme dan respon lokal. Fungsi renal dapat berubah
sebagai akibat dari berkurangnya volume darah. Destruksi sel-sel darah merah
pada lokasi cidera akan menghasilkan hemoglobin bebas dalam urin. Bila aliran
darah lewat tubulus renal tidak memadai, hemoglobin dan mioglobin menyumbat
tubulus renal sehingga timbul nekrosis akut tubuler dan gagal ginjal.
Kehilangan integritas kulit
diperparah lagi dengan pelepasan faktor-faktor inflamasi yang abnormal,
perubahan immunoglobulin serta komplemen serum, gangguan fungsi neutrofil,
limfositopenia. Imunosupresi membuat pasien luka bakar bereisiko tinggi untuk
mengalmai sepsis. Hilangnya kulit menyebabkan ketidakmampuan pengaturan
suhunya. Beberapa jam pertama pasca luka bakar menyebabkan suhu tubuh rendah,
tetapi pada jam-jam berikutnya menyebabkan hipertermi yang diakibatkan
hipermetabolisme
5.
Manifestasi Klinis
Kedalaman dan
Penyebab Luka Bakar
|
Bagian Kulit yang
Terkena
|
Gejala
|
Penampilan
Luka
|
Derajat I (Superfisial): tersengat matahari, terkena api
dengan intensitas rendah
|
Epidermis
|
Kesemutan, hiperestesia (supersensivitas), rasa
nyeri mereda jika didinginkan
|
Memerah, menjadi putih ketika ditekan minimal atau
tanpa edema
|
Derajat II (Partial-Thickness): tersiram
air mendidih, terbakar oleh nyala api
|
Epidermis dan bagian dermis
|
Nyeri, hiperestesia, sensitif terhadap udara yang
dingin
|
Melepuh, dasar luka berbintik-bintik merah,
epidermis retak, permukaan luka basah, terdapat edema
|
Derajat III (Full-Thickness): terbakar
nyala api, terkena cairan mendidih dalam waktu yang lama, tersengat arus
listrik
|
Epidermis, keseluruhan dermis dan kadang-kadang
jaringan subkutan
|
Tidak terasa nyeri, syok, hematuria (adanya darah
dalam urin) dan kemungkinan pula hemolisis (destruksi sel darah merah),
kemungkinan terdapat luka masuk dan keluar (pada luka bakar listrik)
|
Kering, luka bakar berwarna putih seperti bahan
kulit atau gosong, kulit retak dengan bagian lemak yang tampak, terdapat
edema
|
6.
Penatalaksanaan
a.
Airway (jalan napas)
Pada
permulaan, airway biasanya tidak terganggu. Dalam keadaaan ekstrem bisa saja
airway terganggu. Misalnya karena lama berada dalam ruangan tertutup yang
terbakar sehingga terjadi pengaruh panas yang lama terhadap jalan napas.
Menghisap gas atau partikel karbon yang terbakar dalam jumlah banyak juga akan
dapat mengganggu airway. Pada permulaan penyumbatan airway tidak total,
sehingga akan timbul suara stridor/crowing. Bila menimbulkan sesak berat,
apabila dapat monitor saturasi O2 dan kurang dari 95%, maka ini
merupakan indikasi mutlak untuk segera intubasi. Apabila obstruksi parsial ini
dibiarkan, maka pasti akan menjadi total dengan akibat kematian penderita
(Krisanty Paula dkk, 2009).
Menurut
Morton, P.G., (2011; 1546), pada awal pengkajian pasien luka bakar, jalan napas
harus segera dikaji. Gangguan jalan napas mungkin dikontrol dengan mengangkat
dagu, mendorong rahang, memasang alat bantu jalan napas orofaring pada pasien
yang tidak sadar, atau melakukan intubasi endotrakea. Sangat penting untuk tidak
menghiperekstensikan leher jika ada kecurigaan cedera servikal.
b. Breathing (pernapasan)
Ventilasi
memerlukan fungsi paru, dinding paru, dan diafragma yang adekuat. Untuk
mengkaji pernapasan dan venttilasi, perawat harus mendengarkan dada dan
memverifikasi suara napas pada setiap paru, mengkaji keadekuatan frekuensi dan
kedalaman pernapasan, memberikan oksigen beraliran tinggi dengan kecepatan 15
l/menit menggunakan masker non rebreathing, dan mengkaji luka bakar
sirkumferensial dengan kedalaman penuh pada dada yang mengganggu ventilasi
(Morton, P.G, 2011; 1546).
Menurut
Smeltzer & Bare (2001; 1919), selain menilai pernapasan pasien, patensi
saluran napas pasien harus segera diciptakan selama beberap menit pertama
perawatan emergensi. Hal ini dikarenakan, banyak korban luka bakar juga
menderita gangguan fungsi paru yang menyertainya. Terapi yang segera dilakukan
adalah pemberian oksigen 100% yang sudah dilembabkan. Namun, jika itu tidak
dapat disediakan dalam kondisi emergensi, pemberian oksigen lewat masker atau
kanula hidung merupakan tindakan pertama yang harus dikerjakan.
Asap dari
api mengandung CO (karbon monoksida). Apabila penderita berada dalam ruangan
tertutup yang terbakar, maka kemungkinan keracunan CO cukup besar. Bila diduga
kemungkinan keracunan CO, maka diberikan O2 100% (dengan non
rebreathing mask ataupun bila perlu ventilasi tambahan dengan BVM yang ada
reservoir O2) (Krisanty Paula dkk, 2009).
c. Circulation (sirkulasi)
Pengkajian
sirkulasi meliputi pengukuran tekanan darah dan frekuensi jantung. Kanulasi
intravena dilakukan dengan memasang dua buah kateter berukuran besar ke dalam
kulit yang tidak terbakar, jika memungkinkan Ultrasonografi Doppler dapat
digunakan uuntuk mengkaji denyut nadi. Resusitasi cairan juga perlu dilakukan.
Formula resusitasi cairan:
1) Formula
Baxter (Parkland):
a) 24
jam pertama: larutan Ringer Laktat (4ml/kg/% TBSA) setengah diberikan dalam 8
jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya.
b) 24
jam kedua: Dekstrosa dalam air, ditambahkan cairan yang mengandung kalium dan
koloid (0,3-0,5 ml/kg/% TBSA)
2) Formula
Brooke
a) 24
jam pertama: larutan Ringer Laktat (1,5ml/kg/% TBSA) ditambah larutan koloid
(0,5 ml/kg/% TBSA), setengah diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan
dalam 16 jam berikutnya.
b) 24
jam kedua: Larutan Ringer Laktat (0,5-0,75 ml/kg/% TBSA), ditambah 5% Dekstrosa
dalam air (2L).
3) Formula
Brooke yang dimodifikasi
a) 24
jam pertama: larutan Ringer Laktat (2 ml/kg/% TBSA), setengah diberikan dalam 8
jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya.
b) 24
jam kedua: Larutan koloid (0,3-0,5 ml/kg/% TBSA) ditambah 5% Dekstrosa dalam air untuk
mempertahankan keadekuatan haluaran urine.
4) Formula
Konsensus
a) 24
jam pertama: larutan Ringer Laktat (2-4 ml/kg/% TBSA pada orang dewasa; 3-4
ml/kg/% TBSA pada anak-anak), setengah diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya.
b) 24
jam kedua: Cairan yang mengandung koloid (0,3-0,5 ml/kg/% TBSA), ditambahkan
cairan bebas elektrolit (pada orang dewasa) atau setengah salin normal (pada
anak-anak) untuk mempertahankan haluaran urine yang adekuat
5) Formula
Dextran
a) 8
jam pertama: Dextran 40 dalam salin (2 ml/kg/jam) ditambah larutan Ringer
Laktat yang dimasukkan untuk mempertahankan haluaran urine sebesar 30 ml/jam
b) 8
jam kedua: Plasma beku segar (0,5 ml/kg/jam) untuk 18 jam, ditambah kristaloid
tambahan untuk mempertahankan keadekuatan haluaran urine.
6) Formula
Evans
a) 24
jam pertama: Salin normal 0,9% (1 ml/kg/% TBSA) ditambah larutan koloid (1
ml/kg/% TBSA), setengah diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam
16 jam berikutnya.
b) 24
jam kedua: Salin normal 0,9% (0,5 ml/kg/% TBSA), ditambah 5% Dekstrosa dalam
air (2L)
d. Disability
Biasanya
pasien sadar dan terorientasi. Jika tidak, cedera penyerta seperti cedera
inhalasi, trauma kepala, penyalahgunaan zat, atau kondisi medis yang telah ada
sebelumnya harus dipertimbangkan. Pengkajian dimulai dengan menentukan tingkat
kesadaran pasien dengan menggunakan metode AVPU ( sadar, berespon terhadap
stimulus verbal, berespon terhadap stimulus nyeri, tidak berespon/ alert,
responds to verbal stimuli, responds to pain full stimuli, unresponsive)
(Morton, P.G, 2001; 1546)
Yang dikaji
pada tahapan ini yaitu GCS (Glasgow Coma Scale), dan kedaan pupil dengan
menggunakan penlight. Pupil normal yaitu isokor, mengecil: miosis, melebar:
dilatasi. Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat
kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik.
Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan
kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan.perubahan fungsi sistem saraf
sentral tidak selalu disebabkan cidera intra kranial tetapi mungkin mencerminkan
perfusi otak yang kurang. Pemulihan perfusi dan oksigenasi otak harus dicapai
sebelum penemuan tersebut dapat dianggap berasal dari cidera intra kranial.
e. Exposure
Semua
pakaian dan perhiasan pasien dilepaskan untuk melengkapi survey primer dan
sekunder. Setelah pemeriksaan, pasien di tutupi dengan selimut kering dn
selimut hangat untuk mencegah penguapan akibat kedinginan. Jika memungkinkan
cairan IV dihangatkan dari 37o C menjadi 40o C (Morton,
P.G, 2001; 1546).
Setelah
mengurus prioritas-prioritas untuk menyelamatkan jiwanya, penderita harus
ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai jari kaki sebagai bagian dari
mencari cedera.
No comments:
Post a Comment
Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat