A. Konsep
Universal Precaution
1.
Pengertian
Suatu metode pengendalian infeksi yaitu tujuan untuk melindungi pasien
dan para petugas kesehatan atau perawat. Telah banyak pengendalian dan
peringatan untuk mencegah pasien terjangkit infeksi atau terkontaminasi dengan
mikrorganisme. Namun saat ini infeksi bahaya yang di timbulkan oleh pathogen
yaiu melalui darah, misalnya (HIV) dan virus hepatitis, virus ini sangat
mengancam kesehatan para petugas kesehatan. (johnson, 1992). Tiga komponen
vital dalam universal precaution:
a. Penggunaan
pelindung
b. Pencucian
tangan yang sesuai
c. Kewaspadaan
dalam menangani benda tajam
Berbagai macam cairan tubuh untuk kewaspadaan
universal yang berlaku:
a. Darah
b. Cairan
serebrospinalis
c. Cairan
pericardium
d. Cairan
peritoneum
e. Cairan
pleura
f. Air
liur
g. Semen
h. Sekresi
vagina
Berbagai
macam cairan tubuh untuk kewaspadaan universal yang tidak berlaku kecuali
apabila cairan tersebut tampak mengandung darah:
a. Feses
b. Secret
hidung
c. Air
liur
d. Sputum
e. Keringat
f. Air
mata
g. Urine
2.
Peran perawat dalam pengendalian infeksi
Kewaspadaan universal berfokus terutama
pada perlindungan petugas kesehatan yang dapat membuat petugas perioperatif
kehilangan tindakan kewaspadaan infeksi yang dirancang untuk menurunkan
penularan silang mikroorganisme yang berpotensi patogen diantara pasien.
Karena penerapannya terbatas hanya untuk
cairan tubuh yang menularkan patogen lewat darah, banyak penyakit ditularkan
oleh cairan tubuh lain yang tidak tercakup dalam konsep ini, sehingga hal ini
dapat menimbulkan anggapan bahwa penyakit-penyakit tersebut kurang penting.
Karena kewaspadaan universal tidak berlaku untuk air liur, urin, feses, atau keringat
(kecuali apabila tercampur darah), maka sistem ini harus dikombinasikan dengan
sistem isolasi klien, untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial terhadap
pasien. Isolasi bahan tubuh berfungsi ganda menurunkan risiko pasien dan
petugas kesehatan (jakson & Lynch, 1990). Jadi memfokuskan diri pada
pencegahan penularan semua penyakit infeksi, bukan hanya penyakit yang
ditularkan melalui darah.
Cara utama penyebaran materi infeksius
ditatanan klinis:
1. Luka
tusuk dari jarum yang terkontaminasi atau benda tajam lainnya.
Petugas kesehatan didorong untuk tidak
memasang kembali, menekuk, mematahkan, memindahkan, atau memanipulasi jarum
suntik dengan tangan. Harus disedikan wadah yang resisten tusukan untuk tempat
pembuangan jarum suntik dan digunakan untuk tempat pembuangan jarum suntik dan
digunakan untuk tempat pembuangan semua benda tajam.
2.
Kontak kulit, yang memungkinkan cairan
infeksius masuk melaui luka dan kulit yang rusak. Normalnya kulit
dipertimbangkan sebagai portal masuk karena adanya kerusakan pada kulit dan
membran mukosa dapat menimbulkan infeksi. Namun, sering kali respons tubuh
terhadap organisme patogenik dengan membentuk drainase purulen. Misalnya S.
Aures menyebabkan drainase kuning yang khas, sedangkan pseudomanas aeruginosa
mengakibatkan drainase kehijauan. Drainase ini merupakan portal ke luar yang
potensial.
3.
Kontak membran mukosa, yang memungkinkan
cairan infeksius masuk melalui membran mukosa mata, mulut dan hidung. Mulut : organisme yang merupakan flora normal
pada satu orang dapat mernjadi patogen bagi orang lain. Misalnya : keluar saat
seseorang mengeluarkan saliva, dan selang drainase dan pengeluaran isi lambung
saat muntah merupakan jalan keluar yang lain. Hidung : pada klien normal/tidak
membutuhkan bantuan bernafas, mikroorganisme keluar melalui mulut dan hidung,
sedangkan pada klien yang menggunakan selang trakeostomi atau endotrakea,
mikroorganisme dapat dengan mudah keluar dari traktus respiratorius melalui
alat ini.
a.
Peranan atau tugas dari profesinal atau
perawat pengendali infeksi meliputi berikut ini:
1)
Memberi pendidikan mengenai pencegahan
dan pengendalian infeksi kepada staf
2)
Membuat dan meninjau ulang kebijakan dan
prosedur pencegahan dan pengendalian infeksi
3)
Merekomendasikan prosedur isolasi yang
tepat
4)
Menyaring catatan klien terhadap infeksi
yang didapat dari komunitas
5)
Konsultasi dengan pekerja departemen
kesehatan mengenai rekomendasi untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran
infeksi di antara personil, seperti tes turbekolosis
6)
Kumpulkan statistik mengenai
epidemeologi infeksi nosokomial
7)
Beritahu departemen kesehatan masyarakat
tentang insiden penyakit menular
8)
Rundingkan dengan semua departemen di
rumah sakit untuk menyelidiki kejadian atau kelompok intersi yang tidak lazim
terjadi
9)
Beri pendidikan pada klien dan keluarga
10) Indentifikasi
masalah kontrol/infeksi pada peralatan
11) Pantau
organisme yang tahan antibiotik dalam insitusi
b. Pencegahan
dan pengendalian infeksi untuk petugas rumah sakit
The occupational sapety and heal act of
1991 menetapkan kaidah dan peraturan untuk melindungi pekerja dari kecelakaan
infeksius dalam tempat kerja (OSHA 1991). Elemen panduan dari OSHA yaitu
1)
Rencana kontrol / paparan
Insitusi harus
memiliki rencana kontrol paparan yang di rancang untuk mengeliminasi atau
meminimalkan paparan terhadap pegawai. Rencana tersebut juga menggambarkan
bagaimana menghindari paparan terhadap lembaga infeksius, seperti kapan harus
menggunakan peralatan perlindungan
2)
Pemenuhan tindakan pencegahan standar
Pegawai harus
melaksanakan tindakan pencegahan untuk mencegah kontak dengan darah atau materi
infeksius lainnya selama perawatan terhadap klien
3)
Housekeeping
Tempat kerja
harus dipelihara dalam kondisi bersih dan sehat.
4)
Risiko tinggi terpapar
Jika pekerja
perawatan kesehatan terpapar secara parentaral (stik jarum) atau melalui
membran mukosa terhadap darah atau cairan tubuh infeksius lainnya, kecelakan
tersebut harus segera dilaporkan
5)
Pelatihan
Pemimpin harus
memastikan bahwa semua pegawai beresiko terhadap paparan di tempat kerja ikut
serta dalam program pelatihan.
c. Langkah
yang perlu Perlu Diambil Setelah Terpajan Dengan Pathogen Tular Darah
1) Laporkan
kejadian cedera sesegera mungkin kepada personel yang tepat diinstansi tempat
ia bekerja.
2) Selesaikan
laporan terjadinya cedera.
3) Lakukan
tindakan evaluasi dan tindak lanjut yang tepat, yaitu:
a) Identifikasi
dan dokumentasi sumber individual jika mungkin dan sesuai hokum.
b) Uji
sumber hepatitis B dan C, serta HIV dengan persetujuan.
c) Pemberitahuan
hasil pemeriksaan kepada sumber penyedia layanan kesehatan individu.
d) Uji
darah (dengan persetujuan) pada perawat yang terpajan untuk mendapatkan
antibody hepatitis B dan C, serta HIV.
e) Berikan
profilaksis pascapajanan jika diindikasikan.
f) Konseling
medis dan psikologis mengenai risiko personal terhadap infeksi atau resiko
menginfeksi orang lain.
4) Untuk
luka tusuk/laserasi:
a) Keluarkan
pendarahan.
b) Bersihkan/cuci
area tersebut menggunakan air dan sabun.
c) Lakukan
tindakan pertolongan pertama dan cari bantuan pengobatan sesuai indikasi.
5) Untuk
pemajanan terhadap membrane mukosa (mata, hidung, mulut), guyur dengan salin
atau air mengalir selama 5-10 menit.
d. Protocol Pascapemajanan:
1) HIV
:
a) Untuk
pemajanan “resiko tingkat tinggi” dan “resiko tinggi” (volume darah yang sangat
tinggi dan sumber titer HIV tinggi) : pengobatan tingkat 3 direkomendasikan.
Harus mulai diberikan dalam 1 jam.
b) Untuk
pemajanan “resiko rendah” (volume darah rendah dan sumber titer HIV rendah) :
pengobatan tingkat 2 direkomendasikan. Harus mulai diberikan dalam 1 jam.
c) Profilaksis
obat dilanjutkan selama 4 minggu
d) Regimen
obat bervariasi. Obat yang biasanya digunakan adalah zidovudin, lamivudin,
didanosi, dan indinavir.
e) Uji
antibody HIV dilakukan segera setelah terpajan (nilai dasar) dan 6 minggu, 3-6
bulan setelahnya.
2) Hepatitis
B :
Uji anti-HBs pada 1 sampai 2 bulan
setelah dosis vaksin terakhir.
3) Hepatitis
C :
Uji anti-HCV dan ALT sebagai nilai
dasar dan dalam 4-6 bulan setelah pemajanan.
3.
Alat Pelindung Diri
a. Sarung
Tangan
Gambar
2.1 Sarung tangan steril dan non steril
Jenis sarung tangan yang dipakai di
sarana kesehatan, yaitu :
1)
Sarung tangan bersih adalah sarung
tangan yang didesinfeksi tingkat tinggi dan digunakan sebelum tindakan rutin
pada kulit dan selaput lendir. Misalnya tindakan medis pemeriksaaan dalam,
merawat luka terbuka.
2)
Sarung tangan steril adalah sarung
tangan yang disterilkan dan harus digunakan pada tindakan bedah. Bila tidak ada
sarung tangan steril baru dapat digunakan sarung tangan yang didesinfeksi
tingkat tinggi.
Sarung tangan dapat mencegah penularan
pathogen melalui kontak langsung maupun tidak langsung. Alasan untuk mengenakan
sarung tangan :
1) Mengurangi
kemungkinan perawat kontak dengan organism infeksius yang menginfeksi pasien.
2) Mengurangi
kemungkinan pemindahan flora endogen dari perawat kepada pasien.
3) Mengurangi
kemungkinan perawat menjadi tempat kolonisasi sementara dari mikroorganisme
yang dapat berpindah pada pasien lain.
4) Mengurangi
kontaminasi tangan perawat dengan mikroorganisme yang dapat berpindah dari satu
pasien ke pasien lainnya (kontaminasi silang).
Ada 3 jenis sarung tangan
yaitu:
1)
Sarung tangan bedah, dipakai sewaktu melakukan tindakan
invasif atau pembedahan (misalnya seksio sesaria, laparatomi,
insersi/pencabutan norplant, persalinan per vaginam, vasektomi, laparakopi)
dll. Keuntungan jenis ini, ukuran dapat disesuaikan agar gerakan tangan selama
prosedur bedah bebas. Kerugiannya; mahal. Sarung tangan bedah yang baik terbuat
dari bahan lateks, karena elastis, sensitif dan tahan lama, dan dapat
disesuaikan dengan ukuran tangan. Karena meningkatnya masalah alergi lateks,
sedang dikembangkan bahan serupa, yang disebut “nitril” yang merupakan bahan
sintetik seperti lateks.
2)
Sarung
tangan pemeriksaan, dipakai untuk melindungi petugas
kesehatan sewaktu melakukan pemeriksaan atau pekerjaan rutin, misalnya pada
pemeriksaan dalam, pemasangan dan pencabutan infus, pemasangan dan pencabutan
AKDR (tanpa menggunakan teknik sentuh). Harganya lebih murah dari sarung tangan
bedah. Biasanya tersedia dalam ukuran S.M.L. Sarung tangan dari lateks dapat
dicuci dan dikukus untuk dipakai kembali.
3)
Sarung
tangan vinil
Adalah yang paling murah. Baik
untuk pemeriksaan singkat dan risiko paparan rendah. Jenis ini kurang elastis
dan mudah robek. Digunakan untuk mengosongkan tempat muntah, memindahkan jarum
infus, dll (jika hanya sarung tangan pemeriksaan yang tersedia dan risiko akan
terpapar oleh darah dan cairan tubuh cukup tinggi, ganti sarung tangan lebih
sering dan pertimbangkan untuk menggunakan sarung tangan rangkap)
Gambar 2.2 Sarung tangan
vinil
4) Sarung tangan Lateks
Memberikan perlindungan terbaik.
Digunakan untuk tindakan bedah atau pemeriksaan yang berisiko sedang sampai
tinggi terhadap paparan darah atau duh tubuh yang potensial terkontaminasi.
Jangan dipakai oleh petugas yang diketahui atau disangka alergi terhadap lateks
atau pada kontak yang lama (> 1 jam) dengan disinfektan tingkat tinggi
seperti gluteraldehid (dapat menghilangkan efektivitas lateks karena berubah).
Gambar
2.3 Sarung tangan Lateks
5) Sarung tangan nitril
Dianjurkan untuk staf yang alergi
terhadap lateks dan dapat digunakan untuk kegiatan dengan risiko sedang sampai
tinggi. Sarung tangan nitril mempunyai sifat-sifat yang sama dengan lateks,
tetapi lebih tahan terhadap bahan-bahan dari minyak.
Gambar
2.4 Sarung tangan nitril
6)
Sarung
tangan rumah tangga, dipakai sewaktu memroses peralatan,
menangani bahan-bahan terkontaminasi, dan sewaktu membersihkan permukaan yang
terkontaminasi. Biasanya murah dan dapat dicuci dan dipakai berulang-ulang.
Biasanya tidak terdapat di semua negara, bila tidak ada tersedia maka dapat
dipakai sarung tangan lateks.
Gambar 2.5 Sarung tangan
rumah tangga
b.
Masker
Masker
harus dikenakan bila diperkirakan ada percikan atau semprotan darah atau cairan
tubuh ke wajah. Masker menghindarkan perawat menghirup mikroorganisme dari
saluran pernapasan pasien dan mencegah penularan pathogen dari saluran
pernapasan perawat ke pasien.
Masker
yang digunakan harus cukup besar untuk menutup hidung muka bagian bawah, rambut
muka. Masker dipakai untuk menahan cipratan yang keluar sewaktu petugas
kesehatan bicara, batuk atau bersin. Masker berguna untuk mencegah cipratan darah atau cairan tubuh
yang terkontaminasi masuk ke dalam hidung dan mulut.
Fungsi
dari masker: memeberikan perlindungan organ pernafasan akibat
pencemaran udara oleh faktor kimia seperti debu, uap, gas, fume, asap, kabut,
kekurangan oksigen, dan sebagainya.
Pemakaian pelindung wajah ini dimaksudkan
untuk melindungi selaput lender, hidung, mulut selama melakukan perawatan
pasien yang memungkinkan terjadi percikan darah dan cairan tubuh lain.
Masker tanpa kaca mata hanya digunakan
pada saat tertentu misalnya merawat pasien tuberkulosa terbuka tanpa luka
bagian kulit atau perdarahan. Masker kaca mata dan pelindung wajah secara
bersamaan digunakan petugas yang melaksanakan atau membantu melaksanakan
tindakan beresiko tinggi terpajan lama oleh darah dan cairan tubuh lainnya
antara lain pembersihan luka, membalut luka, mengganti kateter etau dekontaminasi
alat bekas pakai. Bila ada indikasi untuk memakai ketiga macam alat pelindung
tersebut, maka masker selalu dipasang dahulu sebelum memakai gaun pelindung
atau sarung tangan, bahkan sebelum melakukan cuci tangan bedah.
Gambar 2.6 Masker
sederhana dan masker jaringan
c.
Kaca mata pelindung
Gambar 2.7 Kaca mata
pelindung
Berfungsi Melindungi mata dari bahan
berbahaya, percikan darah/ cairan lain, virus pada waktu operasi di rumah
sakit, atau pada pengobatan pasien dengan infeksi HIV, dan dapat digunakan
untuk melindungi mata dari bahan-bahan chemical.
d.
Gown/ Jubah Steril
Gambar 2.8 Gown/ Jubah steril
Pemeliharaan lingkungan steril dengan
menggunakan jubah (pakaian khusus) sebagai cara untuk menutupi daerah tidak
steril tanpa mengontaminasi bagian luar dari jubah.
Tujuan dari gown
antara lain:
1) Memelihara
lingkungan steril
2) Melindungi
klien dari kontaminasi
3) Meminimalkan
resiko infeksi
4) Memungkinkan
perawat untuk bekerja secara tertutup di daerah steril dan menyentuh benda-benda
steril dengan leluasa.
5) Melindungi
klien dari kemungkinan terkontaminasi mikroorganisme oleh tangan, lengan dan
pakaian perawat.
e.
Skort/ jubah
Suatu
tindakan menggunakan pakaian khusus dalam merawat klien isolasi guna
menghindari penyebaran dan penularan penyakit. Tujuan penggunaan Skort antara
lain:
1) Memudahkan
perawatan
2) Mencegah
penularan dan penyebaran penyakit.
3) Sebagai
proteksi bagi perawat
4.
Tindakan Perlindungan Diri
a.
Mencuci tangan
Mencuci tangan adalah proses secara mekanik melepaskan kotoran dan debris
dari kulit tangan dengan menggunakan
sabun biasa dan air (Depkes, 2008)
Mencuci tangan harus dilakukan
sebelum dan sesudah melakukan tidakan keperawatan walaupun memakai sarung tangan
dan alat pelindung diri lain. Tujuan mencuci tangan adalah untuk
mengurangi mikroorganisme yang
ada di tangan sehingga penyebaran
infeksi dapat dikurangi dan lingkungan kerja terjaga dari
infeksi (Nursalam dan Ninuk, 2007).
Indikator mencuci tangan
digunakan dan harus dilakukan untuk antisipasi terjadinya perpindahan kuman
melalui tangan yaitu:
1)
Sebelum
melakukan tindakan, misalnya saat akan memeriksa (kontak langsung dengan
klien), saat akan memakai sarung tangan bersih maupun steril, saat akan melakukan
injeksi dan pemasangan infus.
2)
Setelah
mealukan tindakan, misalnya setela memeriksa pasien, setelah memegang alat
bekas pakai dan bahan yang terkontaminasi, setelah menyentuh selaput mukosa.
Sarana cuci tangan adalah ketersediaan air
mengalir dengan saluran pembuangan atau bak penampungan yang memadai. Dengan
guyuran air mengalir tersebut diharapkan mikroorganisme akan terlepas ditambah
gesekan mekanis atau kimiawi saat mencuci tangan mikroorganisme akan terhalau
dan tidak menempel lagi di permukaan kulit. Air mengalir tersebut dapat berupa
kran atau dengan cara mengguyur dengan gayung.
Penggunaan sabun tidak membunuh
mikroorganisme tetapi menghambat dan mengurangi jumlah mikroorganisme dengan
jalan mengurangi tegangan permukaan sehingga mikroorganisme mudah terlepas dari
permukaan kulit. Jumlah mikroorganisme akan berkurang dengan sering mencuci
tangan.
Larutan antiseptik atau anti mikroba
topikal yang dipakai pada kulit atau jaringan hidup lain menghambat aktivitas
atau membunuh mikroorganisme pada kulit. Kulit manusia tidak dapat disterilkan.
Tujuan yang ingin dicapai adalah penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit
secara maksimal terutama pada kuman transien.
b.
Pemerosesan
Kain (Linen)
Pemerosesan linen tersiri dari semua
langkah yang diperlukan untuk mengumpulkan, membawa, dan memilih (menyortir)
linen kotor dan membinatu (mencuci, mengeringkan dan melipat), kemudian
menyimpan dan mendistribusikannya (Tiedjen dkk, 2004). Prinsip-prinsip dan
langkah utama dalam memrosesan linen adalah:
1) Petugas harus menggunakan sarung
tangan dan alat pelindung pribadi apabila mengumpulkan, menangani, membawa,
memilih dan mencuci linen kotor.
2) Anggap semua bahan kain yang dipakai
untuk suatu prosedur sebagai bahan infeksius. Sekalipun tidak tampak adanya
kontaminasi, bahan tersebut harus dibinatu.
3) Kumpulkan linen bekas pakai dalam
kantong kain, kantong plastik atau kontainer yang ada tutupnya. Kalau linen
terkontaminasi berat dengan darah atau cairan tubuh, dengan hati-hati gulungkan
area yang terkontaminasi itu ke pusat linen dan tempatkan dalam kantong yang
tahan bocor atau kontainer dengan penutup.
4) Tangani linen kotor sesedikit
mungkin, dan jangan dikocok nuntuh mencegah penyebaran mikroorganisme ke
sekitarnya.
5) Jangan memilih atau mencuci linen
kotor di area perawatan pasien.
6) Kumpulkan dan bawa linen kotor setiap
selesai melakukan prosedur, setiap hari, dan kalau diperlukan dari kamar
pasien.
7) Bawa linen kotor yang terkumpul dalam
kantong tahan bocor, kontainer deengan penutup, atau kereta yang tertutup ke
area pemrosesan.
8) Bawa kain kotor dan kain bersih secar
terpisah, bedakan antara kontainer linen kotor dan kontainer linen bersih.
c.
Kebersihan
lingkungan.
Akumulasi debu,
tanah, atau kontaminasi mikroba lain pada permukaan secara estetik tidak
menyenangkan sekaligus merupakan sumber infeksi nosokomial. Metode dan rencana
pembersihan yang efektif dan efisien sangat penting untuk mempertahankan
lingkungan pelayanan kesehatan yang bersih dan sehat (Chou, 2003 dikutip dari
Tiedjen dkk, 2004).
Lakukan secara rutin rawat, bersihkan dan
desinfeksi peralatan dan furniture diarea perawatan pasien, membersihkan atau
mengepel lantai dengan cairan desinfektan dua kali sehari atau bila perlu,
membatasi jumlah pengunjung pada waktu yang bersamaan. Selain itu, untuk melindungi
dan mencegah penularan infeksi, pembuangan sampah/ limbah juga harus
diperhatikan.
1) Pengeloaan Limbah; limbah dari sarana kesehatan secara umum dibedakan atas:
a)
Limbah
rumah tangga atau limbah non medis, yaitu limbah yang tidak kontak dengan darah
atau cairan tubuh lainnya disebut sebagai resiko rendah. yakni sampah-sampah
yang dihasilkan dari kegiatan ruang tunggu pasien, administrasi.
b)
Limbah
medis bagian dari sampah rumah sakit yang berasal dari bahan yang mengalami
kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya disebut sebagai limbah beresiko
tinggi. Beberapa limbah medis dapat berupa: limbah klinis, limbah laboratorium,
darah atau cairan tubuh yang lainnya, material yang mengandung darah seperti
perban, kassa dan benda-benda dari kamar bedah, sampah organik, misalnya
potongan tubuh, plasenta, benda-benda tajam bekas pakai misal jarum suntik.
2) Pemilahan
Pemilahan dilakukan dengan menyediakan
sampah yang sesuai dengan -wadah tersebut biasanya menggunakan kantong ng untuk
infeksius hitam untuk non medis atau udah dibaca.
3)
Penampungan Sementara
Pewadahan sementara sangat diperlukan
sebelum sampah dibuang. Syarat yang harus dipenuhi adalah :
a)
Di tempatkan pada daerah yang mudah
dijangkau petugas, pasien, dan pengunjung.
b)
Harus tertutup dan kedap air.
c) Hanya
bersifat sementara dan tidak boleh lebih dari satu hari.
d.
Penaganan
Instrumen Benda Tajam
1)
Berhati-hatilah
saat menangani jarum, scapel, instrumen yang tajam atau alat kesehatan lainnya
dengan permukaan tajam.
2)
Jangan
pernah menutup kembali jarum bekas pakai atau memanipulasinya dengan kedua
tangan.
3)
Jangan
pernah membengkokkan atau mematahkan jarum.
4)
Buanglah
benda tajam atau jarum bekas pakai kedalam wadah yang tahan tusuk dan air dan
tempatkan pada area yang mudah dijangkau dari area tindakan.
Kontainer
benda-benda tajam adala komponen kunci dalam meminimalkan luka akibat benda
tajam sekali pakai seperti jarum hipodermik, scapel dan jarum jahit yang
digunakan pada fasilitas pelayanan kesehatan (Tiedjen dkk, 2004).
e.
Penempatan
pasien.
Tempatkan pasien
yang mengkontaminasi lingkungan atau tidak bisa menjaga kebersihan lingkungan
di kamar khusus. Penempatan pasien dimaksudkan hanya untuk pasien yang
diketahui atau sangat dicurigai telah terinfeksi atau terkolonisasi oleh
pathogen yang ditularkan lewat udara (Tuberkulosis, cacar air dan campak),
Percikan (flu, rubella) dan kontak (Hepatitis A dan E Herpes simpleks). Hal ini
mengharuskan pasien untuk berada di ruangan tersendiri untuk membantu
mempertahankan pengendalian lingkungan yang sesuai (Tiedjen dkk, 2004).
DAFTAR
PUSTAKA
Brunner
& Suddart. 2002. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta. EGC.
Corwin,
Elizabeth J. (2009). Buku saku
patofisiologi Corwin. Egi Komara Yudha (et al). Jakarta: EGC.
Darmadi. (2008). Infeksi
nosokomial: problematika dan pengendaliannya. Jakarta: Salemba Medika
Deglin, Judith Hopfer. 2004. Pedoman obat untuk perawat. Jakarta:
Monica Ester.
Ducel, G., Fabry, J.,&
Nicolle, L. (2002). Prevention of
hospital-acquired infections, A practical guide. 2nd edition. World Health Organization.
Department of Communicable disease, Surveillance and Response.
Gabriel, J. F. (1996). Fisika kedokteran. Jakarta: EGC. Diperoleh pada 6 Februari 2012
dari www.books.google.co.id/books
Greundemann, Barbara J. (2005). Buku ajar keperawatan perioperatif. Vol. 1 prinsip. (Brahm U
Pendit, et.al., penerjemah). Jakarta: EGC
Hence, grace. 2007. Med-math: perhitungan dosis, preparat, dan
cara pemberian obat. Jakarta EGC
Herger, B.R. 2003.
Asisten Keperawatan: Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Ed. 6. Jakarta:
EGC
Johnson, Joyce
Young. (2005). Prosedur perawatan di
rumah: pedoman untuk perawat. Egi Komara Yudha, Sari Kurnianingsih
(penerjemah). Jakarta: EGC.
Joyce
L, Kee. (1996). Farmakologi Pendekatan
Prosess Keperawatan. Jakarta : EGC.
Judith
Hopfer, D. (2004). Pedoman Obat untuk
Perawat. Jakarta : EGC.
Kee,
Joyce L. (1996). Farmakologi: pendekatan
proses keperawatan. Jakarta: EGC. Neal, Michael J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Penerjemah:
dr. Juwalita Surapsari. Jakarta: Erlangga
Komalawati, Veronica. (2010) Community&Patient
Safety Dalam Perspektif Hukum Kesehatan.
Kozier, B., Erb, G.,
Berman, A., & Snyder, S. J. (2010). Asepsis. Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses dan praktek.Ed.
7. Vol 2. Jakarta: EGC
Lestari,
Trisasi. Knteks Mikro dalam Implementasi Patient Safety: Delapan Langkah
Untuk Mengembangkan Budaya Patient Safety. Buletin IHQN Vol
II/Nomor.04/2006 Hal.1-3
Lukas, Stefanus. (2006). Formulasi steril. Ed.1. Yogyakarta: ANDI
Marison, Moya J.
(2003). Manajemen luka. Florida,
Monica Ester, sari kurnianingsih (penerjemah). Jakarta: EGC.
Nursalam
dan Ninuk. 2007. Asuhan Keperawatn Pada
Pasien Terinfeksi. Jakarta. Salemba Medika.
Pabuti, Aumas. (2011) Tujuh Langkah
Menuju Keselamatan Pasien (KP) Rumah Sakit. Proceedings of expert lecture
of medical student of Block 21st of Andalas University,
Indonesia
Panduang Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (Patient Safety). 2005
Potter, A. P & Perry, A. G. (2005). Fundamental
keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Ed. 4. Vol. 1. (Renata
Komalasari, penerjemah). Jakarta: EGC
Priharjo, Robert. 1995. Teknik Dassar
Penberian Obat Bago Perawat. Jakarta: EGC hal.9-11
Rochmanadji
Widajat. (2009). Being a great ant
sustainable hospital. Jakarta : Gramedia Pustaka
Suwarni, A. (2001). Studi Diskriptif Pola Upaya Penyehatan
Lingkungan Hubungannya dengan Rerata Lama Hari Perawatan dan Kejadian Infeksi
Nosokomial Studi Kasus: Penderita Pasca Bedah Rawat Inap di Rumah Sakit
Pemerintah dan Swasta Provinsi DIY Tahun 1999. Yogyakarta: Badan Litbang
Kesehatan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
Tambayong,jan. (2001).Farmakologi untuk
keperawatan.Jakarta.widya medika
Tietjen L, Bossemeyer D, &
McIntosh N. 2004. Panduan pencegahan infeksi untuk fasilitas pelayanan kesehatan
dengan sumber daya terbatas. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
prawirohardjo
Tim keselamatan Pasien RS RSUD
Panembahan Senopati. Patient Safety.Yahya, Adib A. (2006) Konsep dan
Program “Patient Safety”. Proceedings of National Convention VI of
The Hospital Quality Hotel Permata Bidakara, Bandung 14-15 November 2006.
Yahya, Adib A. (2007) Fraud & Patient
Safety. Proceedings of PAMJAKI meeting “Kecurangan (Fraud)
dalam Jaminan/Asuransi Kesehatan” Hotel Bumi Karsa, Jakarta 13 December 2007.
No comments:
Post a Comment
Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat