A.
Hidrosefalus
1.
Pengertian
Hidrosefalus
adalah akumulasi berlebihan dari cairan serebro spinal (CSS) dalam sistem
ventrikeel, yang mengakibatkan dilatasi
postif pada ventrikel. Hidrosefalus komunikans merupakan absorpsi CSS
dalam ruang subaraknoid (ventrikel berhubungan) sedangkan hidorosefalus nonkomunikans merupakan
obstruksi aliran CSS dalam ventrikel (ventrikel tidak berhubungan) (Wong, 2003,
P. 572).
2.
Etiologi
Hidrosefalus merupakan keadaan yang disebabkan gangguan
keseimbangan antara produksi dan absorpsi cairan serebrospinal dalam sistem
ventrikel otak. Jika produksi CSS lebih besar dari absorpsi, CSS akan
terakumulasi dalam sistem ventrikel, dan biasanya peningkatan tekanan akan
menghasilkan dilatasi pasif ventrikel (Wong (2008, P. 1262).
Penyebab
hidrosefalus antara lain:
a. Kongenital
(Kelainan Bawaan)
1) Stenosis
Aqueduktus Sylvii
Merupakan penyebab yang terbanyak pada
hidrosefalus bayi dan anak. Aqueduktus dapat merupakan saluran yang buntu sama sekali
atau abnormal, yaitu lebih sempit dari biasa. Umumnya gejala hidrosefalus
terlihat sejak lahir atau progesif dengan cepat pada bulan-bulan pertama
setelah lahir.
2) Spina
Bifida dan Kranium Bifida
Hidrosefalus pada kelainan ini biasanya
yang berhubungan dengan sindrom Arnold-Chiari akibat tertariknya medula
spinalis dengan medula oblongata dan serebellum letaknya lebih rendah dan
menutupi foramen magnum sehingga terjadi penyumbatan sebagian atau total.
3) Sidrom
Dandy-Walker
Merupakan atresia kongenital foramen
Luscha dan Magendie yang menyebabkan hidrosefalus obstruktif dengan pelebaran
sistem ventrikel terutama ventrikel IV, yang dapat sedemikian besarnya hingga
merupakan suatu kista yang besar di daerah fosa pascaerior.
4) Kista
arakhnoid
Dapat terjadi kongenital tetapi juga
dapat timbul akibat trauma sekunder suatu hematoma.
5) Anomali
pembuluh darah
b. Infeksi
Karena terjadinya infeksi dapat timbul
pelekatan meninges sehingga dapat terjadi obliterasi ruangan subarakhnoid.
Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis purulenta terjadi bila aliran CSS
terganggu oleh obstruksi mekanik eksudat purulen di aqueduktus sylvii atau
sistem basalis. Hidrosefalus banyak terjadi pada pasien pasca meningitis
c. Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanis yang
dapat terjadi di setiap tempat aliran CSS. Pengobatannya dalam hal ini
ditujukan kepada penyebabnya dan apabila tumor tidak diangkat (tidak mungkin
dioperasi), maka dapat dilakukan tindakan paliatif dengan mengalirkan CSS
melalui saluran buatan atau pirau.
d. Pendarahan
Telah banyak dibuktikan bahwa perdarahan
sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat menyebabkan fibrosis leptomeningers
terutama pada daerah basal otak, selaian penyumbatan yang terjadi akibat
organisasi dari darah itu sendiri.
3.
Manifestasi
Klinis
Hidrosefalus
ditandai dengan pembesaran kepala, tonjolan pada bagian dahi, atrofi otak, dan
deteriorasi mental yang disebabkan oleh kegagalan sirkulasi cairan
serebrospinalis (CSS) dari ventrikel serebrum. Obstruksi atau gangguan absorpsi
mengakibatkan peningkatan bendungan cairan otak, terjadi peningkatan tekanan
intrakranial (TIK), jika tidak mengalami perbaikan, dapat mengakibatkan
kerusakan otak atau meninggal. Hidrosefalus dapat bersifat kongenital atau
akibat tumor, infeksi, atau perdarahan (Speer, 2007, P. 81).
Ada
dua faktor yang mempengaruhi gambaran klinis hidrosefalus, yaitu waktu awitan
dan keberadaan lesi struktural yang sudah ada sebelumnya. Pada bayi, sebelum
terjadi penutupan sutura kranial, pembesaran kepala merupakan tanda yang
dominan; sementara itu, pada bayi yang lebih besar dan anak-anak, lesi yang
menyebabkan hidrosefalus akan menghasilkan tanda-tanda neurologik lain akibat
penekanan pada struktur di sekitar lesi
sebelum menyebabkan obstruksi (Wong, 2008, P. 1263).
Menurut
Wong (Wong, 2008, P. 1264), manifestasi klinis hidrosefalus antara lain:
a. Masa
bayi, tahap awal
1) Pertumbuhan
kepala cepat dan abnormal
2) Fontanela
menonjol (terutama fontanela anterior) kadang-kadang tanpa pembesaran kepala,
tegang dan tidak berdenyut
3) Dilatasi
vena-vena kulit kulit kepala
4) Sutura
tepisah
5) Tanda
Maccwen (bunye perkusi seperti pot retak retak)
6) Penipisan
tulang tengkorak
b. Masa
bayi, tahap lanjut
1) Pembesaran
frontal, atau penonjolan dahi
2) Mata
yang masuk ke dalam
3) Tanda
setting sun-sklera terlihat di atas
iris
4) Refleks
pupil lamban, respons terhadap cahay tidak sama
c. Masa
bayi, umum
1) Iritabilitas
(rewel)
2) Letargi
3) Bayi
menangis ketika digendong atau ditimang dan diam ketika dibiarkan berbaring tenang
4) Refleks
infantil awal mungkin masih ada
5) Respons
yang normalnya terjadi tidak muncul
6) Dapat
memperlihatkan perubahan tingkat kesadaran, opisitotonos (sering berlebihan),
spastisitas ekstremitas bawah, muntah
7) Kasus
lanjut seperti kesulitan mengisap dan minum susu, tangisan yang melengking,
singkat dan bernada tinggi, gangguan kardiopulmonal
d. Masa
kanak-kanak
1) Sakit
kepala pada saat bangun tidur, perbaikan terjadi setelah muntah atau dalam
posisi tegal
2) Papiledema
3) Strabismus
4) Tanda-tanda
traktus ekstrapiramidal (mis, ataksia)
5) Iritabilitas
(rewel)
6) Letargi
7) Apatis
8) Konfusi
(bingung)
9) Inkoherensi
10)
Muntah
Tanda
dan gejala hidrosefalus pada masa kanak-kanak awal sampai akhir disebabkan oleh
peningkatan tekanan intrakranial, dan manifestasi spesifik berhubungan dengan
lesi fokal. Manifestasi klinis, yang paling sering disebabkan oleh neoplasma
pada fosa posterior dan stenosis akuaduktus, terutama berkaitan dengan SOL
(Wong, 2008, P. 1263).
4.
Patofisiologi
Dua
mekanisme pembentukan CSS adalah sekresi oleh pleksus koroid dan rabas
menyerupai cairan limfatik yang berasal dari cairan ekstraseluler otak. Cairan
serebrospinal bersirkulasi melalui seluruh sistem ventrikel, kemudian
diabsorpsi dalam rongga subaraknoid dengan mekanisme yang tidak sepenuhnya
dipahami. Diagnosis pranatal jelas memberikan dampak terhadap prevalansi
kelahiran hidrosefalus pada saat ini. Kemajuan teknologi dalam pemeriksaan MRI dan CT scan telah menghasilkan informasi
yang sangat berharga tentang patofisiologi berbagai penyakit. Hidrosefalus
disebabkan oleh berbagai keadaan; hidrosefalus dapat merupakan penyakit
kongenital (gangguan perkembangan janin dalam uterus atau infeksi intrauteri),
atau didapat (neoplasma, perdarahan, atau infeksi) (Wong, 2008, P. 1262).
Hidrosefalus
merupakan gejala kelainan otak yang mendasar yang dapat mengakibatkan (1)
gangguan absorpsi CSS dalam ruang subaraknoid (masih ada hubungan antar
ventrikel; hidrosefalus komunikans), atau (2) obstruksi aliran CSS dalam
ventrikulus (tyidak ada hubungan antar ventrikel hidrosefalus nonkomunikans).
Setiap gangguan keseimbangan antara produksi dan absorpsi CSS menyebabkan
peningkatan akumulasi CSS dalam ventrikel yang kemudian mengalami dilatasi dan
menekan substansi otak ke tulang kranial yang keras disekitarnya. Jika terjadi
sebelum penyatuan tulang sutura kranial, peristiwa ini akan menimbulkan
pembesaran tengkorak selain dilatsi ventrikel. Pada anak-anak yang berusia
dibawah 10 sampai 12 tahun, garis sutura yang sebelumnya telah menutup,
terutama sutura sagital, dapat mengalami proses diastatik atau terbuka kembali
(swaiman, 1994 dalam Wong, 2008, P. 1262).
Sebagian
besar kasus hidrosefalus nonkomunikans terjadi karena malforasi pada saat
perkembangan janin. Walaupun biasanya telah terlihat pada awal usia bayi, defek
tersebut dapat muncul setiap saat mulai dari periode pranatal sampai akhir masa
kanak-kanak atau awal usia dewasa. Penyebab lainnya antara lain neoplasma,
infeksi dan trauma. Obstruksi pada aliran yang normal dapat terjadi di setiap
titik alaur CSS sehingga menhasilkan peningkatan tekanan dan dilatasi alur di
bagian proksimal lokasi obstruksi (Wong, 2008, P. 1262).
Defek
pada perkembangan janin (mis., malformasi Arnold-Chiari, stenosis akuaduktus,
gliosis akuaduktus, dan atresia foramina Luschka dan Magendie (Dandy-Walker
syndrome)) menyebabkan sebagian besar kasus hidrosefalus pada saat lahir sampai
usia 2 tahun. Hidrosefalus sangat sering disertai dengan mielomeningokel
sehingga semua bayi dengan kelainan tersebut harus diamati untuk menemukan
tanda-tanda hidrosefalus. Pada kasus-kasus lainnya terdapat riwayat infeksi
intrauteri, perdarahan perinatal, dan meningoensefalitis neonatus. Pada
anak-anak yang lebih besar, hidrosefalus paling sering terjadi karena tumor
atau SOL (space-occupying lesion), infeksi intrakranial, perdarahan, atau
defek pertumbuhan dan perkembangan yang sudah ada sebelumnya seperti stenosis
akuaduktus atau malformasi Arnold-Chiari (anomali konginetal dengan serebelum
dan medula oblongata memanjang ke bawah melalui foramen magnum) (Wong, 2008, P.
1262).
5.
Komplikasi
Beberapa komplikasi
yang mungkin terjadi pada penderita Hidrosefalus adalah:
a. Peningkatan
tekanan intrakranial
b. Kerusakan
otak
c. Infeksi:
infeksi luka, nefritis, meningitis, ventrikulitis, abses otak
d. Shunt
tidak berfungsi dengan baik akibat obstruksi mekanik
e. Hematomi
subdural, peritonitis, abses abdomen, perforasi organ dalam rongga abdomen,
fistula, hernia, dan ileus.
f. Kematian
6.
Penatalaksanaan
Pengobatan
termasuk pembedahan dengan penempatan dengan pirau untuk mengurangi tekanan
intrakranial. Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi termasuk infeksi,
sumbatan, atau hematoma subdural (Speer, 2007, P. 81).
Menurut
Wong (2008, P. 1263), terapi hidrosefalus diarahkan pada:
a. Pengurangan
gejala hidrosefalus
b. Penanganan
komplikasi
c. Penatalaksanaan
masalah yang berkaitan dengan efek gangguan terhadap psikomotorik
Dengan
beberapa pengecualian, penanganan hidrosefalus dilakukan dengan pembedahan.
Pembedahan ini dilakukan dengan mengangkat langsung obstruksi (seperi tumor),
atau prosedur pemintasan yang mengalirkan CSS dari ventrikel ke kompartemen
ekstrakranial, biasanya peritoneum (ventriculoperitoneal (VP) shunt) (Wong,
2008, P. 1263).
Sebagian
besar sistem pirau terdiri atas karakter ventrikel, pompa pembilas (flush pump), katup untuk aliran satu
arah, dan kateter distal. Pada semua model, katup disesain untuk terbuka pada
tekanan intraventrikel yang ditemukan sebelumnya dan menutup ketika tekanan
turun di bawah tingkat tekanan tersebut, sehingga mencegah aliran balik sekresi
(Wong, 2008, P. 1263).
Pirau
awal dipasang jika diperlukan untuk meredakan obstruksi CSS, dan perbaikannya dilakukan
jika terdapat tanda-tanda malfungsi. Pada semua mekanisme, angka keberhasilan
awal relatif tinggi, namun, prosedur pirau bisa disertai komplikasi yang
mengganggu kontuinitas fungsi pirau tersebut atau mengancam jiwa anak (Wong,
2008, P. 1264).
Komplikasi
utama pirau VP adalah infeksi dan malfungsi. Semua jenis pirau dapat mengalami
permasalahan mekanis seperti penekukan, penyumbatan, pelepasan atau pergeseran
slang. Malfungsi sering disebabkan oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi di
dalam ventrikel akibat materi pertikel-pertikel (jaringan atau eksudat), atau
pada ujung distal akibat trombosis atau pergeseran akibat pertumbuhan tubuh
anak. Anak dengan pirau yang tersumbat sering ditemukan pertama kali di ruang
gawat darurat dengan manifestasi klinis peningkatan tekanan intrakranial yang
sering disertai perburukan status neurologik (Wong, 2008, P. 1264).
Komplikasi
yang paling serius, yaitu infeksi pada pirau, dapat terjadi kapan saja, tetapi
periode dengan resiko infeksi tertinggi adalah 1 sampai 2 bulan setelah
pemasangan pirau. Infeksi biasanya terjadi secara bersamaan pada saat
pemasangan pirau. Infeksi meliputi septikemia, endokarditis bakteri, infeksi
luka, nefritis pirau, meningitis, dan ventrikulitis (Wong, 2008, P. 1264).
7.
Pemeriksaan
Diagnostik
Pemeriksaan
diagnostik yang diperlukan pada pasien dengan hidrosefalus meliputi:
a. CT
Scan (dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan, ventrikularm dan perubahan jaringan otak.
b. MRI
Digunakan sama dengan CT Scan dengan/tanpa
kontras radioaktif.
c. Rontgen
Kepala
Mendeteksi perubahan struktur garis
sutura.
d. Cairan
Serebrospinal
Lumbal pungsi: dapat dilakukan jika
diduga terjadi perdarahan subarakhnoid. CSS dengan/tanpa kuman dengan biakan
yang ditandai dengan protein LCS normal atau menurun, leukosit meningkat/tetap
dan glukosa menurun/tetap.
e. Kadar
Elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit
akibat peningkatan tekanan intrakranial.
f. Analisa
Gas Darah
AGD adalah salah satu tes diagnostik
untuk menetukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan
melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam basa.
8.
Asuhan
Keperawatan pada Pasien Hidrosefalus
a.
Pengkajian
1) Dapatkan
riwayat kesehatan, khususnya mengenai cidera kepala atau infeksi serebral.
2) Lakukan
pengkajian fisik, khususnya untuk bukti-bukti perbaikan mielomeningokel,
pengukuran lingkar oksipitofrontal.
3) Observasi
adanya manifestasi hidrosefalus.
a) Bayi
Muda
(1)
Pertumbuhan kepala dengan kecepatan yang
tidak normal
(2)
Penonjolan fontanel (khususnya anterior)
kadang tanpa pembesaran kepala:
i.
Tegang
ii.
Tidak berdenyut
(3)
Dilatasi vena kulit kepala
(4)
Perengangan sutura
(5)
Tanda macewen (bunyi craked-pot) pada perkusi
(6)
Penipisan tulang tengkorak
b) Bayi
Lanjut
1) Pembesaran
frontal atau “bossing”
2) Depresi
mata
3) Tanda
setting sun (sklera terlihat di atas iris)
4) Pupil
lambat dalam berespons, dan dengan respons yang tidak sama terhadap cahaya
c) Bayi,
Umum
1) Peka
rangsang
2) Letargi
3) Bayi
menangis bila diangkat atau diayun dan diam bila dibiarkan berbaring
4) Kerja
refleks dini bayi menetap
5) Respons
normal tidak terlihat
6) Dapat
menunjukkan hal-hal berikut:
i.
Perubahan tingkat
kesadaran kesadaran
ii.
Opistonosus (seringkali
bersifat ekstrim)
iii.
Spastisitas ekstrimitas
bawah
7) Kasus-kasus
parah:
i.
Sulit menghisap dan
makan
ii.
Menangis dan
melengking, singkat dan bernada tinggi
iii.
Kesulitan
kardiopulmonal
d) Masa
kanak-kanak
1) Sakit
kepala pada saat bangun, membaik setelah muntah atau postur tegak
2) Papiledema
3) Strabismus
4) Tanda-tanda
saluran ekstrapiramidal (misalnya, ataksia)
5) Peka
rangsang
6) Letargi
7) Apatis
8) Konfusi
9) Sering
bicara tidak logis
4) Bantu
dengan prosedur diagnostik misalnya: temografi MRI, ekosefalografi,
transmulasi, pungsi ventrikel.
b.
Diagnosa
a. Risiko
tinggi cedera berhubungan dengan peningkatan intrakranial.
b. Risiko
tinggi infeksi berhubungan dengan sistem drainase mekanis, prosedur bedah.
c. Risiko
tinggi kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan area tekanan, paralisis,
sfingter anal yang terelaksasi.
d. Perubahan
proses keluarga berhubungan dengan krisis situasi (anak dengan defek fisik)
c.
Intervensi
1) Diagnosa
1
Kriteria hasil: Pasien tidak mengalami
peningkatan tekanan intrakranial
a) Observasi
dengan cermat adanya tanda-tanda peningkatan TIK untuk mencegah keterlambatan
tindakan.
b) Lakukan
pengkajian neurologis dasar pada praoperasi sebagai pedoman untuk pengkajian
pascaoperasi dan evaluasi fungsi pirau.
c) Hindari
pemasangan infus intravena di vena kulit kepala bila pembedahan akan dilakukan
karena prosedur akan mempengaruhi sisi IV.
d) Posisikan
anak sesuai ketentuan.
e) Tempatkan
pada sisi yang tidak dioperasi untuk mencegah tekanan pada katup paru
f) Tinggikan
kepala tempat tidur, bila diinstruksikan, untuk meningkatkan aliran gravitasi
melalui pirau.
g) Jaga
anak agar tetap berbaring datar, bila diinstruksikan, untuk membantu mencegah
komplikasi karena penurunan cairan intrakranial yang terlalu cepat.
h) Hindari
sedasi karena tingkat kesadaran adalah indikator penting dari TIK.
i) Jangan
pernah memompa pirau untu mengkaji fungsi karena hal ini dapat menimbulkan
sumbatan, yang menyebabkan sakit kepala karena penurunan CSS, atau menghambat
ujung kateter peritoneal.
j) Lakukan
perawatan pascaoperasi terhadap pirau sesuai ketentuan.
k) Ajak
keluarga tentang tanda-tanda peningkatan TIK dan kapan harus memberitahu
praktisi kesehatan untuk mencegah keterlambatan tindakan.
2) Diagnosa
2
Kriteria hasil: pasien tidak menunjukkan
bukti-bukti infeksi
a) Kaji
anak untuk tanda-tanda infeksi CSS yang mencakup peningkatan tanda-tanda vital,
makan buruk, muntah, penurunan responsifitas, aktivitas kejang.
b) Observasi
adanya kemerahan, bengkak (tanda-tanda inflamasi lokal) pada sisi operatif dan
sepanjang jalur pirau.
c) Berikan
antibiotik sesuai resep.
d) Bantu
praktisi dengan instilasi antibiotik intraventrikel sesuai kebutuhan.
e) Inspeksi
sisi insisi untuk adanya kebocoran, uji drainase untuk adanya glukosa karena
hal ini merupakan indikator dari CSS.
f) Berikan
perawatan luka sesuai ketentuan dengan menggunakan teknik aseptik ketat untuk
mencegah kontaminasi.
g) Jaga
agar popok anak tidak menyentuh sisi balutan peritoneal atau garis jahitan
untuk mencegah kontaminasi.
3) Diagnosa
3
Kriteria hasil: pasien mempertahankan
intergritas kulitnya.
a) Berikan
perawatan kulit yang cermat untuk mencegah kerusakan jaringan karena
kelembapan, tekanan.
b) Mempertahankan
kelembaban dan turgor kulit
c) Ubah
posisi sesering mungkin
d) Lindungi
titik tekanan (ex., trokanter, sakrum, tumit)
e) Inspeksi
bagian luar kulit untuk tanda-tanda iritasi kemerahan dan bekas tekanan.
f) Bersihkan
kulit sehari sekali.
4) Diagnosa
4
Kriteria hasil : mendapatkan dukungan
keluarga yang adekuat
a) Hargai
kewenangan orang tua
b) Berikan
penjelasan tentang perawatan anak kepada
keluarga
c) Dukung
dan empati kemampuan keluarga dalam merawat anak
d) Berikan
reward dan umpan balik kepada keluarga
e) Konsul
kepada profesional yang lainnya (perawat jiwa apabila dibutuhkan)
d.
Evaluasi
Setelah tindakan
keperawatan dilaksanakan evaluasi proses dan hasil mengacu pada kriteria
evaluasi yang telah ditentukan pada masing-masing diagnosa keperawatan
sehingga :
1) masalah teratasi atau tujuan
tercapai
2) masalah teratasi atau
tercapai sebagian
3) masalah tidak teratasi
/ tujuan tidak tercapai
Referensi
Speer,
Kathleen Morgan. (2007). Rencana Asuhan
Keperawatan Pediatrik dengan Clinical Pathways, Ed.3. jakarta: EGC.
Wong,
Donna.L. (2003). Pedoman Klinis
Keperawatan Pediatrik. E/4. Jakarta: EGC.
Wong,
Donna.L. (2008). Buku Ajar Keperawatan
Pediatrik Wong, Ed. 6, Vol. 2. Jakarta: EGC.
Hidayat,
Aziz Alimul. (2012). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika.
Sacharin,
Rosa M. (1996). Prinsip Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.
No comments:
Post a Comment
Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat