ASUHAN
KEPERAWATAN HIPERBILIRUBINEMIA
A.
Definisi
Hiperbilirubinemia
adalah tingginya kadar bilirubin serum total dalam darah lebih dari 10 mg% pada
minggu pertama yang ditandai dengan jaundis dan ikterus, suatu pewarnaan kuning
pada kulit, sklera, dan kuku. Hiperbilirubinemia biasanya terjadi pada bayi
baru lahir dan biasanya jinak yang dapat terjadi akibat peningkatan bilirubin
tidak terkonjugasi maupun terkonjugasi (Wong, 2008, p. 322; dan Hidayat, 2008,
p. 94).
Hidayat
(2008, p. 94) mengungkapkan ciri-ciri bayi yang mengalami hiperbilirubinemia
adalah adanya ikterus terjadi pada 24 jam pertama, peningkatan konsentrasi
bilirubin serum 10 mg% atau lebih setiap 24 jam, konsentrasi bilirubin serum 10
mg% pada neonatus yang cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus yang kurang bulan,
ikterus ditandai dengan hemolisis kemudian ikterus yang ditandai dengan keadaan
berta badan lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi kurang dari 36 minggu,
asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernapasan, dan lain-lain.
B.
Etiologi
Menurut
Wong (2008, p. 322), kemungkinan penyebab hiperbilirubinemia pada bayi baru
lahir adalah:
1.
Faktor fisiologis (perkembangan prematuritas)
2.
Berhubungan
dengan pemberian ASI
3.
Produksi
bilirubin berlebihan (misalnya penyakit hemolitik, defek biokimia, memar)
4.
Gangguan
kapasitas hati untuk menyekresi bilirubin terkonjugasi (misalnya defisiensi
enzim, obstruksi duktus empedu)
5.
Kombinasi
kelebihan produksi dan kurang sekresi (misalnya sepsis)
6.
Beberapa keadaan
penyakit (misalnya hipotiroidisme, galaktosemia, bayi dari ibu diabetes)
7.
Predisposisi
genetik terhadap peningkatan produksi (penduduk Amerika dan Asia)
C. Patofisiologi
Bilirubin merupakan
salah satu hasil pemecahan hemoglobin yang disebabkan oleh kerusakan sel darah
merah (SDM). Hasil pemecahannya terlepas ke sirkulasi tempat hemoglobin
terpecah menjadi dua fraksi. Hem dan
globin. Bagian globin (protein) di gunakan
lagi oleh tubuh, dan bagian heme dirubah menjadi bilirubin tidak terkonjugasi , suatu zat yang tidak larut terikat
pada albumuin.
Dihati bilirubin
dilepas dari molekul albumin dan, dengan adanya enzim glukoronil transferase, dikonjulasikan dengan asam glukoronat
menghasilkan larutan dengan kelarutan
tinggi, bilirubin glukoronat
terkonjugasi, yang kemudian diekresikan dalam empedu. Di usus, kerja
bakteri mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinogen, pigmen yang
memberi warna khas pada tinja. Sebagian besar bilirubin terreduksi diekresikan
ke feses; sebagian kecil di eliminasi ke urine.
Normalnya tubuh mampu
mempertahankan keseimbangan antara destruktif SDM dan penggunaan atau ekpresi
produk sisa, tetapi bila keterbatasan perkembangan atau proses patologis
memengaruhi keseimbangan ini,bilirubin akan terakumulasi dalam jaringan dan
mengakibatkan jaudis. Kemungkinan penyebab hiperbilirubinemia pada bayi baru
lahir
1) Faktor
fisiologi (perkembangan prematuritas)
2) Berhubungan
dengan pemberian asi
3) Produksi
bilirubin berlebihan (mis. Penyakit hemolitik, defek biokimia, memar.
4) Ganguan
kapasitas hati untuk menyekresi bilirubin terkonjugasi (mis.defiensi enzim,
obtruksi duktus empedu)
5) Bebrapa
keadaan penyakit (mis. Hipotiroidisme, galaktosemia, bayi dari ibu diabetes)
6) Predisposisi
genetik terhadap peningkatan produksi (penduduk emerika asli, Asia)
Penyebab
umum hiperbilirubinemia adalah jaudis
fisiologis atau ikterus neonatorum ringan
dan dapat sembuh sendiri. Jaundis fisiologi tidak terkait dengan proses
patologis apa pun. Meskipun hampir semua bayi baru lahir mengalami peningian
kadar bilirubin, hanya setengahnya yang memperlihatkan tanda jaundis yang
tampak.
Terdapat dua fase jaundis fisiologis
yang terindefikasi pada bayi term. Pada fase pertama, kadar bilirubin bertahap
naik sampai sekitar 6 mg/dl pada hari ketiga kehidupan, kemudian menurun sampai
plato 2 sampai 3 mg/dl pada hari kelima. Kadar bilirubin tetap dalam keadan
plato pada fase ke 2 tanpa peningkatan atau penurunan sampai sekitar 12 sampai
14 hari, yang kadarnya akan menurun ke harga normal >1 mg/dl (maisel, 1994;
Volpe, 1995). Polan ini bervariasi sesuai kelompok ras, metode emerian makan
(Asi vs botol), dan usia gestasi (maisel, 1994). Pada bayi preterm, kadar
bilirubin serum dapat memuncak sampai setinggi 10 sam pai 12 mg/dl pada hari 4
sampai 5 dan perlahan menurun selama
periode 2 sampai 4 minggu (Black burn, 1995; Gartner, 1994).
Rata-rata, bayi baru lahir
memproduksi dua kali lebih banyak bilirubin di bandingkan orang dewasa karena
lebih tinggi kadar eritrosit yang beredar dan lebih pendeknya lama hidup sel
darah merah (SDM) (hanya 70 sampai 90 hari, dibandingkan 120 hari pada anak
yang lebih tua dan orang dewasa). Selain
itu, kemampuan hati untuk mengonjugasi bilirubin sanagat rendah karena
terbatasnya produksi glukuronil transferase. Bayi barulahir juga memiliki kapasitas
ikatan-plasma terhadap bilirubin yang lebih rendah karena rendahnya konsentrasi
albumin dibandingkan anak yanglebih tua. Perubahan normal dalam sirkulasi hati
setelah kelahiran mungkin berkontribusi terhadap tingginya kebutuhan fungsi
hati.
Normalnya, bilirubin terkonjugasi di
reduksi menjadi urobilinoen oleh
flora usus dan diekresikan dalam fises, akan tetapi, Usus bayi yang steril dan
kuran motil pada awalnya kurang efektf dalam mengekskresi urobilinogen. Pada
usus bayi baru lahir, enzim β-glucuronidase mampu mengonvensi bilirubin
terkonjugasi menjadi bentuk tidak terkonjugasi, yang kemudian diserap oleh
mukosa usua dan di traspor kehati. Proses ini, yang dikenal dengan sebagi sirkulasi atau pirau enterohepatik, jelas pada bayi baru lahir dan diperkirakan
mekanismae primer dalam patologi jaundis (blackburn, 1995). Pemberian makan (1)
merangsang presaltik dan menghasilkan pengeluaran mekoneum lebih cepat,
sehingga menurunkan jumlah reabsorpsi bilirubin tidak terkonjuasi. Dan (2)
memasukan bakteri untuk membantu reduksi bilirubin menjadi urobilinogen.
Kolostrum, katartik alamiah, memfasilitasi evakuasi mukoneum.
Pemberian ASI berhubungan dengan
peningkatan insidens jaundis. Ada dua tipe yang telah terindetifikasi. Jaundis terkait pemberian ASI (jaundis
awitan awal) mulai usia 2 samapi 4 hari dan terjadi pada sekitar 10% sampai
25% bayi baru lahir yang mendapatkan ASI. Jaundis ini terkait dengan proses
pemberian ASI dan kemungkinan sebagai akibat dari kekurangan asuapan kalori dan
cairan pada bayi yang mendapatkan ASI sebelum produksi ASI mencukupi, karena
puasa berhubungan dengan penurunan klirens bilirubin dalam hati.
Jaundis
ASI (jaundis awitan lambat) mulai pada usia 5 sampai 7 hari dan terjadi
pada 2% sampai 3% bayi yang mendapat ASI. Puncak peningkatan kadar bilirubin
selama minggu kedua dan secara bertahap menhilang. Meskipun begitu tingginya
kadar bilirubin yang mungkin menetap lama 2 sampai 12 minggu, namuan bayi ini
tetap sehat. Jaundis ini mungkin disebabkan oleh faktor dalam ASI (pregnadiol,
asam lemak, dan β-glucoronidase) yang menghambat konjugasi atau menurunkan
ekskresi bilirubin. Frekuensi defekasi yang jarang pada bayi yang mendapatkan
ASI memungkinkan semakin lamanya waktu reabsorbsi bilirubin dalam tinja.
D. Komplikasi
Bilirubin tak
terkonjugasi sangat toksik bagi neuron, maka bayi dengan jaundis berat berisiko
mengalami enselopati bilirubin (kernikterus), suatu sindrom kerusakan otak
berat akibat deposisi bilirubin tidak terkonjugasi di sel otak. Kernikterus
menggambarkan pewarnaan kuning sel otak yang bisa mengakibatkan enselopati
bilirubin ( Maisels, 1994 dalam Wong, 2008). Faktor yang memperkuat terjadinya
enselopati bilirubin meliputi asidosis metabolik, rendahnya kadar albumin
serum, infeksi intrakranial seperti meningitis, dan peningkatan tekanan darah
mendadak (Wong, 2008).
Selain itu, setiap
kondisi yang meningkatkan kebutuhan metabolik terhadap oksigen atau glukosa
(mis; distres fetal, hipoksia, hipotermal, atau hipoglikemia) juga meningkatkan
resiko kerusakan otak meskipun kadar bilirubin serum rendah. Tanda ensefalopati
bilirubin adalah yang menunjukkan adanya depresi atau eksitasi sistem saraf.
Umumnya, gejala klinis sudah dapat ditegakkan dalam beberapa jam. Gejala
pedromal meliputi berkurangnya aktivitas, letargi, iritabilitas , dan
kehilangan ketertarikan terhadap makan. Dalam beberapa hari, temuan yang samar
ini akan diikuti oleh kekakuan pada keempat ekstremitas, epistotonus, demam,
menangis iritabel, dan kejang (Wong, 2008).
E. Penatalaksanaan
1. Fototerapi
Bayi yang mendapat
fototerapi dibaringkan telanjang dibawah sumber cahaya dan sering diubah
posisinya agar semua permukaan tubuh terpajang cahaya. Fototerapi diberikan jika
kadar bilirubin darah indirek lebih dari 10 mg%. Cara kerja terapi sinar yaitu menimbulkan
dekomposisi bilirubin dari suatu senyawaan tetrapirol yang sulit larut dalam
air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air sehingga dapt
dikeluarkan melalui urin dan faeces. Begitu fototerpi dimulai, kadar
bilirubim serum harus sering diperiksa (setiap 4 sampai 12 jam) karena
pengkajian visual jaundis tidak lagi dianggap valid.
Beberapa
kewaspadaan perlu diperhatikan untuk melindungi bayi selama fototerapi. Mata
bayi dilindungi dengan masker opak untuk melindungi pajanan terhadap cahaya.
Pelindung mata harus memilki ukuran yang pasa dan posisinya yang benar, agar
bisa menutup mata dengan sempurna namun jangan sampai menutup lubang hidung.
Kelopak
mata bayi harus ditutup sebelum menggunakan masker, karena kornea dapat
mengalami ekoriasi bila berkontak langsung dengan pembalut ini. Setiap
pergantian tugas perawat, mata diperiksa mengenai adanya cairan, tekanan
berlebihan pada kelopak, atau iritasi kornea. Pelindung mata dilepas selama
pemberian makan, untuk memberi kesempatan mendapat rangsangan visual dan
sensoris. Dapat dipakai popok khusus fototerapi tembus cahaya, Billibottoms,
atau popok bikini yang dengan masker untuk menutup genetalia dan bokong.
Bayi
yang diletakkan ditempat tidur terbuka harus diberi pelindung Plexiglas yang
menutup diantaranya dan lampu Fluoresen untuk meminimalkan jumlah sinar
ultraviolet yang mencapai kulit mereka dan untuk melindunginya bila terjadi
kecelakaan pecahnya bola lampu. Suhu bayi dipantau dengan ketat untuk mencegah
hipotermia atau hipertermia. Dengan memepertahankan bayi dalam posisi fleksi
dengan gulungan selimut di kedua sisi badan dapat membantu mempertahankan
kahangatan dan memberi kenyamanan.
Pencatatan
yang akurat merupakan tanggung jawab keperawatan dan meliputi
a) Waktu
dimulai dan dihentikannya fototerapi
b) Pelindung
mata yang benar
c) Tipe
lampu fluoresen (pabriknya)
d) Jumlah
lampu
e) Jarak
anatara permukaan lampu dengan bayi (tidak boleh < 45 cm)
f) Penggunaan
fototerapi bersamaan dengan inkubator atau basinet terbuka
g) Pengukuran
fotometer intensitas cahaya
h) adanya
efek samping
Efek
samping ringan yang harus diwaspadai perawat meliputi fese encer kehijauan,
ruam kulit trasien, hipertermia, peningkatan kecepatan metabolisme, seperti
hipokalsemia, dan priapismus. Untuk mencegah atau meminimalkna efek tersebut,
suhu dipantau untuk mendeteksi tanda awal hipotermia dan hipertermia, dan kulit
diobservasi menganai adanya tanda dehidrasi dan kekekringan, yang dapat
menyebabkan ekrosiasi dan luka. Peluma atau losion tidak boleh dioleskan
kekulit untuk menghindari kulit menjadi coklat atau efek “gosong”. Bayi cukup
bulan yang mendapat fototerapi mungkin perlu penambahan volume cairan untuk
mengompensasi kehilang na cairan insensibel dan intestinal. Karena fototerapi
meningkatkna eksresi bilirubin tidak terkonjugasi melalui usus, feses cair
menunjukkan peningkatan pengeluaran bilirubin. Sering defekasi menyebabkan
iritasi perianal, sehingga penting dilakukan sauhan kulit yang teliti terutama
menjaga kulit bersih dan kering.
Begitu
fototerapi dihentikan permanen, terkadang terjadi peningkatan kadar bilirubin
serum, sering disebut sebagai “rebound effect”, biasanya bersifat sementara dan
menghilang tanpa pemberian terapi lagi.
2. Penatalaksanaan terapetik
Tujuan primer penanganan hiperbilirubemia adalah mencegah ensefalopati
bilirubin dan, seperti semua kelompok inkompatibilitas darah, membalikkan
proses hemolitik. Bentuk penanganan utama melibatkan penggunaan fototerapi.
Tranfusi tukar biasanya digunakan untuk mengurangi kadar bilirubin tinggi yang
berbahaya dan terjadi pada peyakit hemolitik.
Paling efek bila
diberikan kepada ibu beberapa hari sebelum persalinan. Fenobarbital membantu:
1) Sintesis
glukuronil transferase dalam hati, yang akan meningkatkan konjugasi bilirubin
dan klirens hati pigmen dalam empedu.
2) Sintesis
protein, yang dapat meningkatkan albumin untuk menambah tempat ikatan
bilirubin.
Produksi
bilirubin pda bayi baru lahir dapat dikurangi dengan menghambat oksigen
heme_suatu enzim yang diperlukan untuk pemecahan heme_ dengan metaloporfirin,. Penggunaan terhambat
heme_oksigenase memberikan pendekatan preventif terjadinya hiperbilirubinemia.
(martiez dkk 1999)
3. Transfusi
Tukar
Transfusi Tukar Adalah pergantian darah sirkulasi neanatus dengan darah
dari donor. Adapun prosedur transfusi tukar adalah:
a. Bayi
ditidurkan rata diatas meja dengan fiksasi longgar
b. Pasang
monitor jantung, alaram jantung diatur diluar batas 100-180 kali/menit
c. Masukkan
kateter kedalam vena umbilikus
d. Hisap
darah bayi sebanyak 20 cc, lalu dikeluarkan. Kemudian masukkan 20 cc darah
pengganti kedalam tubuh bayi. Setelah menunggu 20 detik, lalu darah bayi di
ambil lagi 20 cc dan dikeluarkan. Kemudian dimasukkan darah pengganti dengan
jumlah yang sama, demikian siklus penggantian tersebut diulangi sampai selesai.
e. Kecepatan
mengisap dfna memasukkan darah diperkirakan 1,8 kg/cc BB/menit. Jumlah darah
yang ditransfusi tukar sekitar 140-180 cc/kg BB bergantung pada tinggi
rendahnya kadar bilirubin sebelum transfusi.
ASUHAN
KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas
pasien dan keluarga
2. Riwayat
Keperawatan
a) Riwayat
Kehamilan
Kurangnya
antenatal care yang baik. Penggunaan obat – obat yang meningkatkan ikterus ex:
salisilat sulkaturosic oxitosin yang dapat mempercepat proses konjungasi
sebelum ibu partus.
b) Riwayat
Persalinan
Persalinan
dilakukan oleh dukun, bidan atau Data Obyektifkter. Lahir prematur / kurang
bulan, riwayat trauma persalinan, hipoxin dan aspixin
c) Riwayat
Post natal
Adanya
kelainan darah tapi kadar bilirubin meningkat kulit bayi tampak kuning.
d) Riwayat
Kesehatan Keluarga
Seperti
ketidak cocokan darah ibu dan anak Polycythenia, gangguan saluran cerna dan
hati ( hepatitis )
e) Riwayat
Pikososial
Kurangnya
kasih saying karena perpisahan, perubahan peran orang tua
f) Pengetahuan
Keluarga
Penyebab perawatan pengobatan dan
pemahan ortu Þ bayi yang ikterus
3. Penilaian
Menurut Kramer
Hubungan Kadar
Bilirubin Dengan ikterus
Derajat
ikterus
|
Daerah
ikterus
|
Perkiraan kadar bilirubin
(rata-rat)
|
|
Aterm
|
Prematur
|
||
1
2
3
4
5
|
Kepala sampai leher
Kepala, Badan, sampai umbilikus
Kepala, badan, paha sampai lutut
Kepala, badan, ekstremitas sampai
pergelangan tangan dan kaki
Kepala, badan, semua ektremitas
sampai ujung jari
|
5,4
8,9
11,8
15,8
|
-
9,4
11,4
13,3
|
4. Kebutuhan
Sehari – hari
a)
Nutrisi
Pada
umumnya bayi malas minum ( reflek menghisap dan menelan lemah ) sehingga BB
bayi mengalami penurunan.
b)
Eliminasi
Biasanya
bayi mengalami diare, urin mengalami perubahan warna gelap dan tinja berwarna
pucat
c)
Istirahat
Bayi sering menagis dan mudah
terbangun
d)
Aktifitas
Bayi biasanya
mengalami penurunan aktivitas, letargi, hipototonus dan mudah
terusik.
e)
Personal hygiene
Kebutuhan
personal hygiene bayi oleh keluarga terutama ibu
5. Pemeriksaan
fisik
Keadaan
umum lemah, Ttv tidak stabil terutama suhu tubuh ( hipo / hipertemi ). Reflek
hisap pada bayi menurun, BB turun, pemeriksaan tonus otot ( kejang / tremor ).
Hidrasi bayi mengalami penurunan. Kulit tampak kuning dan mengelupas ( skin
resh ) bronze bayi syndrome, sclera mara kuning ( kadang – kadang terjadi
kerusakan pada retina ) perubahan warna urine dan feses.
B.
Diagnosa
1. Resiko
tinggu perubahan suhu tubuh yang berhubungan dengan gangguan fototerapi
2. Resiko
tinggi kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan fototerapi
3. Gangguan
proses keluarga yang berhubungan dengan krisis situasi, perawatan bayi yang
lama, atau perawatan ulang untuk terapi
(Wong, p.326, 2008)
4. Diare
berhubungan dengan terapi sinar/foto terapi
5. Kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan ikterus atau diare
6. Potensi
cevera kernikterus berhubungan dengan peningktan kadar bilirubin (Surasmi,
p.68-69, 2003)
C.
Perencanaan dan
Intervensi
1. Bayi
mendapat terapi yang diperlukan untuk mengurangi kadar bilirubin serum
2. Bayi
tidak mengalami komplikasi akibat terapi
3. Keluarga
menerima dukungan emosi
4. Keluarga
siap untuk fototerapi di rumah (bila ditetapkan)
(Wong, p.326, 2008)
5. Observasi
adanya ikterus
6. Berikan
minum, dengan frekuensi sering, pantau asupan, bila perlu tingkatkan 25% dari
kebutuhan normal pantau haluaran dan turgor kulit
7. Laksanakan
fototerapi sesuai anjuran
8. Tidurkan
bayi 20 cm dibawah lampu
9. Pasang
penutup mata tiap, 4 jam matikan lampu lepaskan penutup mata dan memberi
rangsangan visual
10. Pantau
suhu tubuh bayi dan suhu incubator
11. Pantau
area bokong dan feses
12. Upayakan kulit selalu bersih dan kering, catat
warna dan kondisi kulit tiap 8 jam dan pada saat perawatan
13. Ubah
posisi setiap 2 jam
14. Beri
orang tua kesempatan untuk berinteraksi
D.
Implementasi
Asuhan
keperawatan dasar bayi denagan hiperbilirubinemia berbeda dengan setiap bayi
baru lahir hanya dalam hal penatalaksanaan terapi khusus. Pencegahan jaudis
fisiologis dan dengan ASI dimungkinkan dengan pengenalan makan awal dan
pemberian Asi sering tanpa suplemen apapun. Harus diusahakan untuk memperoleh
lingkungan termal yang optimal untuk mengurangi kebutuhan metabolisme.
a. Fototerapi
Bayi yang mendapat
fototerapi dibaringkan telanjang dibawah sumber cahaya dan sering diubah
posisinya agar smua permukaan tubuh terpajan cahaya. begitu fototerapi dimulai,
kadar bilirubinserum harus sering diperiksa (setiap 4 sampai 12 jam) karena
pengkajian visual jaundis tidak lagi dianggap valid.
Beberapa kewaspadaan
perlu diperhatikan untuk melindungi bayi selama fototerapi. Mata bayi
dilindungi dengan marker opak untuk mencegah pajanan terhadap cahaya.
Perlindungan mata harus memiliki ukuran yang pas dan posisinya benar, agar bisa
menutup mata yang sempurna namun jangan sampai menutup lubang hidung.
Kelopak mata bayi harus
ditutup sebelum mengenakan masker, karena kornea dapat mengalami ekskoriasi
bila berkontak langsung dengan pembalut ini. Setiap pergantian tugas perawat,
mata diperiksamengenai adanya cairan, terkena berlebihan pada kelopak, atau
iritasi pada kornea. Pelindung mata dilepas selama pemberian makan, untuk
memberikan mendapatkan rangsangan visual dan sensoris. Dapat dipakai popok
khusu fototerapi tembus cahaya, bilibottoms, atau popok bikini yang sesuai
dengan masker untuk menutup genetalia dan bokong.
Bayi diletakkan diatas
tempat tidur terbuka harus diberi pelindung plexiglas yang menutup diantaranya
dan lampu flouresen untuk meminimalakn jumlah sinar ultraviolet yang mencapai
kulit mereka dan untuk melindunginya bila terjadi kecelakaan bola lampu. Suhu
bayi di pantau dengan ketat untuk mencegah hipotermia atau hipertermia. Dengan
mempertahankan bayi dalam posisi fleksi dengan gulungan selimut di kedua sisi
badan dapat membantu mempertahankan kehangatan dan memberikan kenyamanan.
Pencatatan yang
akurat merupakan tanggung jawab keperawatan dan meliputi:
1. Waktu
dimulai dan dihentikannya fototerapi,
2. Pelindung
mata yang benar
3. Tipe
lampu floresen (pabriknya)
4. Jumlah
lampu
5. Jarak antara permukaan lampu dan bayi (tidak boleh
kurang dari 45 cm)
6. Penggunaan
fototerapi bersama dengan inkubator atau basinet terbuka
7. Pengukuran
fotometer intensitas cahaya
8. Adanya
efek samping
Efek
samping ringan harus diwaspadai perawat meliputi feses encer kehijauan, ruam
kulit transien, hipertermia, peningkatan kecepatan metabolisme, seperti
hipokalsemia, dan priapismus.
Grafik
pemberian fototera
A.
Bayi
dengan hiperbilirubinemia dan bayi yang difototerapi
Bayi dengan
hiperbilirubinemia
|
|
|
|
Bayi
yang difototerapi
|
|
b. Dukungan
keluarga
Orang
tua perlu mendapat jaminan mengenai kemajuan bayi mereka. Semua prosedur
dilakukan untuk membiasakan orang tua dengan manfaat dan resikonya. Orang tua
perlu diyakinkan bayi telanjang dibawahlampu terasa hangat dan nyaman. Orang
tua mungkin merasa khawatir dengan adanya pelindung mata, karena “kebutaan”
merupakan pengalaman yang mengerikan.pelindung mata dibuka saat orang tua
mengunjungi untuk memfasilitasi proses pelekatan.orang tua dapat diyakinkan
bahwa neonatus sudah terbiasa dengan kegelapan setelah beberapa bulan
keberadaannya dalam kandungandan mendapat banyak manfaat dari rangsang auditori
dan taktil.
Setiap tindakan memerlukan informed
consent dan orang tua untuk terapi yang ditetapkan. Namun, dalam hal foto
terapi, kecemasan berlebihan dapat terjadi ketika kata-kata seperti “kernikterus” dan “kerusakan otak”
digunakan untuk menjelaskan kemungkinan efek bila kondisi ini tidak di tangani.
Suatu keharusan perawat agar tetpa sensitif terhadap perasaan orang tua dan
informasi yang di perlukan selama proses ini, intervensi keperawatan yang
penting adalah pengkajiaan pemahaman orang tua mengenai terapi yang dijalankan
dan penjelasan mengenai keadaan terapi itu sendiri.
c. Perencanaan
pemeulangan dan asuhan di rumah
Dengan hospitalisasi
yang singkat, orang tua dan bayi dapat dipulangkansebelum muncul tanda jaundis.
Penting bagi perawat untuk mendiskusikan tanda jaundis dengan ibu, karena
setiap gejala klinis mungkin baru muncul dirumah. Kunjunan kerumah dalam 2 atau
3 hari setelah pemulangan untuk mengevaluasi
pola makan dan pengeluaran dan jaundis menjadi rutinitas dibanyak
organisasi asuhan kesehatan.
Bila diberikan
fototerapi, perawat rumah sakit atau perawat asuhan rumah biasanya bertanggung
jawab untuk mendidik anggota keluarga dan meningkatkan kemampuan mereka untuk
mengimplementasikan keamanan pemberian terapi.instruksi tertulis dan supervisi
asuhan terutama mengenai pemasangan pelindung mata bila diperlukan sangat
penting . efek samping minor fototerapi dibicarakan, dan orang tua mungkin
perlu intruksi untuk melakukan pemeriksaan suhu dan mencatan waktu dan jumlah
pemberian makan dan popok yang basah dan tinjanya. Tanpa memerhatikan sejenak
apapun kelainan ini atau terapinya, orang tua tetap memerlukan dukungan dan
pengertian. Saudara kandung/subling juga mendapat manfaat dari penjelasan
mengenai terapi untuk menghilangkan ketakutan atau salah pengertian.
Bila jaundis
berhubungan dengan pemberian ASI, biasanya perlu uji darah lanjut untuk
mengkaji kemajuan jaundisnya. Bila diresepkan penghentian sementara pemberian
Asi, ibu harus di ajari untuk memompa payudaranya setiap 3 sampai 4 jam untuk
mempertahankan laktasi, susu yang diperas disimpan dilemari es untuk diberikan
setelah ASI boleh diberikan kembali.
E.
EVALUASI
Menurut
Wong, (2008) Efektivitas intervensi keperawatan di tentukan oleh pengkajian
berulang dan evaluasi terus menerus asuhan yang di dasarkan pada panduan
observasi berikiut.
1. Observasi
warna kulit, diskusikan temuan bilrubinometrik dan/atau laboratorium.
2. Observasi
mengenai tanda gangguan neurologis.
3. Periksa
mengenai pemasangan pelindung mata; observasi kulit mengenai tanda dehidrasi;
pantau suhu inti tubuh.
4. Wawancarai
anggota keluarga dan observasi interaksi orang tua bayi.
Hasil yang
diharapkan :
1. Bayi
baru lahir sehat mulai mendapat makan segera setelah lahir.
2. Orang
tua mendapat intruksi mengenai juandis klinis sebelum pemulangan.
3. Bayu
baru lahir mendapat paparan sumber cahaya yang diresepkan (bila ada indikasi
foto terapi).
4. Bayi
tidak memperlihatkan tanda efek buruk fototerapi: mata tetap bebas dari
iritasi, bayi tetap terhidrasi dengan baik, dan suhu tetap di bawah 38˚C.
5. Anggota
keluarga memperlihatkan pemahaman kondisi ini dan terapinya; mereka
berinteraksi dengan bayi secara memadai.
6. Bayi
tidak memperlihatkan tanda komplikasi neurologis.
Menurut Surasmi,
(2003) evaluasi yang perlu dilakukan yaitu.
1. Tidak
terjadi kernikterus pada nenonatus.
2. Tanda
vital dan suhu tubuh bayi stabil dalam batas normal.
3. Keseimbangan
cairan dan elektrolit bayi terpelihara.
4. Integritas
kulit baik/ utuh.
5. Bayi
menunjukkan partisipasi terhadap rangsangan visual.
6. Terjalin
interaksi bayi dan orang tua.
Referensi:
Betz, C. L., & Sowden, L. A. (2009). Buku saku keperawatan pediatri (Penerjemah,
Eny Meiliya). Jakarta: EGC.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2008). Pengantar ilmu kesehatan anak untuk pendidikan kebidananan. Jakarta:
Salemba Medika.
Wong, Donna L. (2008). Buku ajar keperawatan pediatrik Wong (Penerjemah, Agus Sutarna,
dkk). Edisi 6. Jakarta: EGC.
No comments:
Post a Comment
Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat