google adsense

Thursday, August 3, 2017

ASKEP HIPERBILIRUBINEMIA

ASUHAN KEPERAWATAN HIPERBILIRUBINEMIA

A.    Definisi
Hiperbilirubinemia adalah tingginya kadar bilirubin serum total dalam darah lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan jaundis dan ikterus, suatu pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan kuku. Hiperbilirubinemia biasanya terjadi pada bayi baru lahir dan biasanya jinak yang dapat terjadi akibat peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi maupun terkonjugasi (Wong, 2008, p. 322; dan Hidayat, 2008, p. 94).
Hidayat (2008, p. 94) mengungkapkan ciri-ciri bayi yang mengalami hiperbilirubinemia adalah adanya ikterus terjadi pada 24 jam pertama, peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10 mg% atau lebih setiap 24 jam, konsentrasi bilirubin serum 10 mg% pada neonatus yang cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus yang kurang bulan, ikterus ditandai dengan hemolisis kemudian ikterus yang ditandai dengan keadaan berta badan lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernapasan, dan lain-lain.

B.     Etiologi
Menurut Wong (2008, p. 322), kemungkinan penyebab hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir adalah:
1.       Faktor fisiologis (perkembangan prematuritas)
2.      Berhubungan dengan pemberian ASI
3.      Produksi bilirubin berlebihan (misalnya penyakit hemolitik, defek biokimia, memar)
4.      Gangguan kapasitas hati untuk menyekresi bilirubin terkonjugasi (misalnya defisiensi enzim, obstruksi duktus empedu)
5.      Kombinasi kelebihan produksi dan kurang sekresi (misalnya sepsis)
6.      Beberapa keadaan penyakit (misalnya hipotiroidisme, galaktosemia, bayi dari ibu diabetes)
7.      Predisposisi genetik terhadap peningkatan produksi (penduduk Amerika dan Asia)

C.     Patofisiologi
Bilirubin merupakan salah satu hasil pemecahan hemoglobin yang disebabkan oleh kerusakan sel darah merah (SDM). Hasil pemecahannya terlepas ke sirkulasi tempat hemoglobin terpecah menjadi  dua fraksi. Hem dan globin. Bagian  globin (protein) di gunakan lagi oleh tubuh, dan bagian heme dirubah menjadi bilirubin tidak terkonjugasi , suatu zat yang tidak larut terikat pada albumuin.
Dihati bilirubin dilepas dari molekul albumin dan, dengan adanya enzim glukoronil transferase, dikonjulasikan dengan asam glukoronat menghasilkan  larutan dengan kelarutan tinggi, bilirubin glukoronat terkonjugasi, yang kemudian diekresikan dalam empedu. Di usus, kerja bakteri mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinogen, pigmen yang memberi warna khas pada tinja. Sebagian besar bilirubin terreduksi diekresikan ke feses; sebagian kecil di eliminasi ke urine.
Normalnya tubuh mampu mempertahankan keseimbangan antara destruktif SDM dan penggunaan atau ekpresi produk sisa, tetapi bila keterbatasan perkembangan atau proses patologis memengaruhi keseimbangan ini,bilirubin akan terakumulasi dalam jaringan dan mengakibatkan jaudis. Kemungkinan penyebab hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir
1)      Faktor fisiologi (perkembangan prematuritas)
2)      Berhubungan dengan pemberian asi
3)      Produksi bilirubin berlebihan (mis. Penyakit hemolitik, defek biokimia, memar.
4)      Ganguan kapasitas hati untuk menyekresi bilirubin terkonjugasi (mis.defiensi enzim, obtruksi duktus empedu)
5)      Bebrapa keadaan penyakit (mis. Hipotiroidisme, galaktosemia, bayi dari ibu diabetes)
6)      Predisposisi genetik terhadap peningkatan produksi (penduduk emerika asli, Asia)

Penyebab umum hiperbilirubinemia adalah jaudis fisiologis atau ikterus neonatorum ringan dan dapat sembuh sendiri. Jaundis fisiologi tidak terkait dengan proses patologis apa pun. Meskipun hampir semua bayi baru lahir mengalami peningian kadar bilirubin, hanya setengahnya yang memperlihatkan tanda jaundis yang tampak.
            Terdapat dua fase jaundis fisiologis yang terindefikasi pada bayi term. Pada fase pertama, kadar bilirubin bertahap naik sampai sekitar 6 mg/dl pada hari ketiga kehidupan, kemudian menurun sampai plato 2 sampai 3 mg/dl pada hari kelima. Kadar bilirubin tetap dalam keadan plato pada fase ke 2 tanpa peningkatan atau penurunan sampai sekitar 12 sampai 14 hari, yang kadarnya akan menurun ke harga normal >1 mg/dl (maisel, 1994; Volpe, 1995). Polan ini bervariasi sesuai kelompok ras, metode emerian makan (Asi vs botol), dan usia gestasi (maisel, 1994). Pada bayi preterm, kadar bilirubin serum dapat memuncak sampai setinggi 10 sam pai 12 mg/dl pada hari 4 sampai 5  dan perlahan menurun selama periode 2 sampai 4 minggu (Black burn, 1995; Gartner, 1994).
            Rata-rata, bayi baru lahir memproduksi dua kali lebih banyak bilirubin di bandingkan orang dewasa karena lebih tinggi kadar eritrosit yang beredar dan lebih pendeknya lama hidup sel darah merah (SDM) (hanya 70 sampai 90 hari, dibandingkan 120 hari pada anak yang lebih tua  dan orang dewasa). Selain itu, kemampuan hati untuk mengonjugasi bilirubin sanagat rendah karena terbatasnya produksi glukuronil transferase. Bayi barulahir juga memiliki kapasitas ikatan-plasma terhadap bilirubin yang lebih rendah karena rendahnya konsentrasi albumin dibandingkan anak yanglebih tua. Perubahan normal dalam sirkulasi hati setelah kelahiran mungkin berkontribusi terhadap tingginya kebutuhan fungsi hati.
            Normalnya, bilirubin terkonjugasi di reduksi menjadi urobilinoen oleh flora usus dan diekresikan dalam fises, akan tetapi, Usus bayi yang steril dan kuran motil pada awalnya kurang efektf dalam mengekskresi urobilinogen. Pada usus bayi baru lahir, enzim β-glucuronidase mampu mengonvensi bilirubin terkonjugasi menjadi bentuk tidak terkonjugasi, yang kemudian diserap oleh mukosa usua dan di traspor kehati. Proses ini, yang dikenal dengan sebagi sirkulasi atau pirau enterohepatik, jelas pada bayi baru lahir dan diperkirakan mekanismae primer dalam patologi jaundis (blackburn, 1995). Pemberian makan (1) merangsang presaltik dan menghasilkan pengeluaran mekoneum lebih cepat, sehingga menurunkan jumlah reabsorpsi bilirubin tidak terkonjuasi. Dan (2) memasukan bakteri untuk membantu reduksi bilirubin menjadi urobilinogen. Kolostrum, katartik alamiah, memfasilitasi evakuasi mukoneum.
            Pemberian ASI berhubungan dengan peningkatan insidens jaundis. Ada dua tipe yang telah terindetifikasi. Jaundis terkait pemberian ASI (jaundis awitan awal) mulai usia 2 samapi 4 hari dan terjadi pada sekitar 10% sampai 25% bayi baru lahir yang mendapatkan ASI. Jaundis ini terkait dengan proses pemberian ASI dan kemungkinan sebagai akibat dari kekurangan asuapan kalori dan cairan pada bayi yang mendapatkan ASI sebelum produksi ASI mencukupi, karena puasa berhubungan dengan penurunan klirens bilirubin dalam hati.
            Jaundis ASI (jaundis awitan lambat) mulai pada usia 5 sampai 7 hari dan terjadi pada 2% sampai 3% bayi yang mendapat ASI. Puncak peningkatan kadar bilirubin selama minggu kedua dan secara bertahap menhilang. Meskipun begitu tingginya kadar bilirubin yang mungkin menetap lama 2 sampai 12 minggu, namuan bayi ini tetap sehat. Jaundis ini mungkin disebabkan oleh faktor dalam ASI (pregnadiol, asam lemak, dan β-glucoronidase) yang menghambat konjugasi atau menurunkan ekskresi bilirubin. Frekuensi defekasi yang jarang pada bayi yang mendapatkan ASI memungkinkan semakin lamanya waktu reabsorbsi bilirubin dalam tinja.

D.    Komplikasi
Bilirubin tak terkonjugasi sangat toksik bagi neuron, maka bayi dengan jaundis berat berisiko mengalami enselopati bilirubin (kernikterus), suatu sindrom kerusakan otak berat akibat deposisi bilirubin tidak terkonjugasi di sel otak. Kernikterus menggambarkan pewarnaan kuning sel otak yang bisa mengakibatkan enselopati bilirubin ( Maisels, 1994 dalam Wong, 2008). Faktor yang memperkuat terjadinya enselopati bilirubin meliputi asidosis metabolik, rendahnya kadar albumin serum, infeksi intrakranial seperti meningitis, dan peningkatan tekanan darah mendadak (Wong, 2008).
Selain itu, setiap kondisi yang meningkatkan kebutuhan metabolik terhadap oksigen atau glukosa (mis; distres fetal, hipoksia, hipotermal, atau hipoglikemia) juga meningkatkan resiko kerusakan otak meskipun kadar bilirubin serum rendah. Tanda ensefalopati bilirubin adalah yang menunjukkan adanya depresi atau eksitasi sistem saraf. Umumnya, gejala klinis sudah dapat ditegakkan dalam beberapa jam. Gejala pedromal meliputi berkurangnya aktivitas, letargi, iritabilitas , dan kehilangan ketertarikan terhadap makan. Dalam beberapa hari, temuan yang samar ini akan diikuti oleh kekakuan pada keempat ekstremitas, epistotonus, demam, menangis iritabel, dan kejang (Wong, 2008).

E.     Penatalaksanaan
1.      Fototerapi  
Bayi yang mendapat fototerapi dibaringkan telanjang dibawah sumber cahaya dan sering diubah posisinya agar semua permukaan tubuh terpajang cahaya. Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih dari 10 mg%. Cara kerja terapi sinar yaitu menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu senyawaan tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air sehingga dapt dikeluarkan melalui urin dan faeces. Begitu fototerpi dimulai, kadar bilirubim serum harus sering diperiksa (setiap 4 sampai 12 jam) karena pengkajian visual jaundis tidak lagi dianggap valid.
Beberapa kewaspadaan perlu diperhatikan untuk melindungi bayi selama fototerapi. Mata bayi dilindungi dengan masker opak untuk melindungi pajanan terhadap cahaya. Pelindung mata harus memilki ukuran yang pasa dan posisinya yang benar, agar bisa menutup mata dengan sempurna namun jangan sampai menutup lubang hidung.
Kelopak mata bayi harus ditutup sebelum menggunakan masker, karena kornea dapat mengalami ekoriasi bila berkontak langsung dengan pembalut ini. Setiap pergantian tugas perawat, mata diperiksa mengenai adanya cairan, tekanan berlebihan pada kelopak, atau iritasi kornea. Pelindung mata dilepas selama pemberian makan, untuk memberi kesempatan mendapat rangsangan visual dan sensoris. Dapat dipakai popok khusus fototerapi tembus cahaya, Billibottoms, atau popok bikini yang dengan masker untuk menutup genetalia dan bokong.
Bayi yang diletakkan ditempat tidur terbuka harus diberi pelindung Plexiglas yang menutup diantaranya dan lampu Fluoresen untuk meminimalkan jumlah sinar ultraviolet yang mencapai kulit mereka dan untuk melindunginya bila terjadi kecelakaan pecahnya bola lampu. Suhu bayi dipantau dengan ketat untuk mencegah hipotermia atau hipertermia. Dengan memepertahankan bayi dalam posisi fleksi dengan gulungan selimut di kedua sisi badan dapat membantu mempertahankan kahangatan dan memberi kenyamanan.
Pencatatan yang akurat merupakan tanggung jawab keperawatan dan meliputi
a)      Waktu dimulai dan dihentikannya fototerapi
b)      Pelindung mata yang benar
c)      Tipe lampu fluoresen (pabriknya)
d)     Jumlah lampu
e)      Jarak anatara permukaan lampu dengan bayi (tidak boleh < 45 cm)
f)       Penggunaan fototerapi bersamaan dengan inkubator atau basinet terbuka
g)      Pengukuran fotometer intensitas cahaya
h)      adanya efek samping
Efek samping ringan yang harus diwaspadai perawat meliputi fese encer kehijauan, ruam kulit trasien, hipertermia, peningkatan kecepatan metabolisme, seperti hipokalsemia, dan priapismus. Untuk mencegah atau meminimalkna efek tersebut, suhu dipantau untuk mendeteksi tanda awal hipotermia dan hipertermia, dan kulit diobservasi menganai adanya tanda dehidrasi dan kekekringan, yang dapat menyebabkan ekrosiasi dan luka. Peluma atau losion tidak boleh dioleskan kekulit untuk menghindari kulit menjadi coklat atau efek “gosong”. Bayi cukup bulan yang mendapat fototerapi mungkin perlu penambahan volume cairan untuk mengompensasi kehilang na cairan insensibel dan intestinal. Karena fototerapi meningkatkna eksresi bilirubin tidak terkonjugasi melalui usus, feses cair menunjukkan peningkatan pengeluaran bilirubin. Sering defekasi menyebabkan iritasi perianal, sehingga penting dilakukan sauhan kulit yang teliti terutama menjaga kulit bersih dan kering.
Begitu fototerapi dihentikan permanen, terkadang terjadi peningkatan kadar bilirubin serum, sering disebut sebagai “rebound effect”, biasanya bersifat sementara dan menghilang tanpa pemberian terapi lagi.
2.      Penatalaksanaan  terapetik
Tujuan primer penanganan  hiperbilirubemia adalah mencegah ensefalopati bilirubin dan, seperti semua kelompok inkompatibilitas darah, membalikkan proses hemolitik. Bentuk penanganan utama melibatkan penggunaan fototerapi. Tranfusi tukar biasanya digunakan untuk mengurangi kadar bilirubin tinggi yang berbahaya dan terjadi pada peyakit hemolitik.
Paling efek bila diberikan kepada ibu beberapa hari sebelum persalinan. Fenobarbital membantu:
1)      Sintesis glukuronil transferase dalam hati, yang akan meningkatkan konjugasi bilirubin dan klirens hati pigmen dalam empedu.
2)      Sintesis protein, yang dapat meningkatkan albumin untuk menambah tempat ikatan bilirubin.
Produksi bilirubin pda bayi baru lahir dapat dikurangi dengan menghambat oksigen heme_suatu enzim yang diperlukan untuk pemecahan heme_ dengan metaloporfirin,. Penggunaan terhambat heme_oksigenase memberikan pendekatan preventif terjadinya hiperbilirubinemia. (martiez dkk 1999)
3.      Transfusi Tukar
       Transfusi Tukar Adalah pergantian darah sirkulasi neanatus dengan darah dari donor. Adapun prosedur transfusi tukar adalah:
a.    Bayi ditidurkan rata diatas meja dengan fiksasi longgar
b.    Pasang monitor jantung, alaram jantung diatur diluar batas 100-180 kali/menit
c.    Masukkan kateter kedalam vena umbilikus
d.   Hisap darah bayi sebanyak 20 cc, lalu dikeluarkan. Kemudian masukkan 20 cc darah pengganti kedalam tubuh bayi. Setelah menunggu 20 detik, lalu darah bayi di ambil lagi 20 cc dan dikeluarkan. Kemudian dimasukkan darah pengganti dengan jumlah yang sama, demikian siklus penggantian tersebut diulangi sampai selesai.
e.    Kecepatan mengisap dfna memasukkan darah diperkirakan 1,8 kg/cc BB/menit. Jumlah darah yang ditransfusi tukar sekitar 140-180 cc/kg BB bergantung pada tinggi rendahnya kadar bilirubin sebelum transfusi. 
ASUHAN KEPERAWATAN
A.    Pengkajian
1.      Identitas pasien dan keluarga
2.      Riwayat Keperawatan
a)      Riwayat Kehamilan
Kurangnya antenatal care yang baik. Penggunaan obat – obat yang meningkatkan ikterus ex: salisilat sulkaturosic oxitosin yang dapat mempercepat proses konjungasi sebelum ibu partus.
b)      Riwayat Persalinan
Persalinan dilakukan oleh dukun, bidan atau Data Obyektifkter. Lahir prematur / kurang bulan, riwayat trauma persalinan, hipoxin dan aspixin
c)      Riwayat Post natal
Adanya kelainan darah tapi kadar bilirubin meningkat kulit bayi tampak kuning.
d)     Riwayat Kesehatan Keluarga
Seperti ketidak cocokan darah ibu dan anak Polycythenia, gangguan saluran cerna dan hati ( hepatitis )
e)      Riwayat Pikososial
Kurangnya kasih saying karena perpisahan, perubahan peran orang tua
f)       Pengetahuan Keluarga
Penyebab perawatan pengobatan dan pemahan ortu Þ bayi yang ikterus



3.      Penilaian Menurut Kramer
Hubungan Kadar Bilirubin Dengan ikterus
Derajat ikterus
Daerah ikterus
Perkiraan kadar bilirubin (rata-rat)
Aterm
Prematur
1
2
3
4

5
Kepala sampai leher
Kepala, Badan, sampai umbilikus
Kepala, badan, paha sampai lutut
Kepala, badan, ekstremitas sampai pergelangan tangan dan kaki
Kepala, badan, semua ektremitas sampai ujung jari
5,4
8,9

11,8

15,8




-
9,4

11,4

13,3




4.      Kebutuhan Sehari – hari
a)        Nutrisi
Pada umumnya bayi malas minum ( reflek menghisap dan menelan lemah ) sehingga BB bayi mengalami penurunan.
b)        Eliminasi
Biasanya bayi mengalami diare, urin mengalami perubahan warna gelap dan tinja berwarna pucat

c)        Istirahat
Bayi sering menagis dan mudah terbangun
d)       Aktifitas
Bayi biasanya mengalami penurunan aktivitas, letargi, hipototonus dan mudah
terusik.
e)        Personal hygiene
Kebutuhan personal hygiene bayi oleh keluarga terutama ibu

5.      Pemeriksaan fisik
Keadaan umum lemah, Ttv tidak stabil terutama suhu tubuh ( hipo / hipertemi ). Reflek hisap pada bayi menurun, BB turun, pemeriksaan tonus otot ( kejang / tremor ). Hidrasi bayi mengalami penurunan. Kulit tampak kuning dan mengelupas ( skin resh ) bronze bayi syndrome, sclera mara kuning ( kadang – kadang terjadi kerusakan pada retina ) perubahan warna urine dan feses.


B.     Diagnosa
1.      Resiko tinggu perubahan suhu tubuh yang berhubungan dengan gangguan fototerapi
2.      Resiko tinggi kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan fototerapi
3.      Gangguan proses keluarga yang berhubungan dengan krisis situasi, perawatan bayi yang lama, atau perawatan ulang untuk terapi
(Wong, p.326, 2008)
4.      Diare berhubungan dengan terapi sinar/foto terapi
5.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan ikterus atau diare
6.      Potensi cevera kernikterus berhubungan dengan peningktan kadar bilirubin (Surasmi, p.68-69, 2003)
C.     Perencanaan dan Intervensi
1.      Bayi mendapat terapi yang diperlukan untuk mengurangi kadar bilirubin serum
2.      Bayi tidak mengalami komplikasi akibat terapi
3.      Keluarga menerima dukungan emosi
4.      Keluarga siap untuk fototerapi di rumah (bila ditetapkan)
(Wong, p.326, 2008)
5.      Observasi adanya ikterus
6.      Berikan minum, dengan frekuensi sering, pantau asupan, bila perlu tingkatkan 25% dari kebutuhan normal pantau haluaran dan turgor kulit
7.      Laksanakan fototerapi sesuai anjuran
8.      Tidurkan bayi 20 cm dibawah lampu
9.      Pasang penutup mata tiap, 4 jam matikan lampu lepaskan penutup mata dan memberi rangsangan visual
10.  Pantau suhu tubuh bayi dan suhu incubator
11.  Pantau area bokong dan feses
12.   Upayakan kulit selalu bersih dan kering, catat warna dan kondisi kulit tiap 8 jam dan pada saat perawatan
13.  Ubah posisi setiap 2 jam
14.  Beri orang tua kesempatan untuk berinteraksi

D.    Implementasi
Asuhan keperawatan dasar bayi denagan hiperbilirubinemia berbeda dengan setiap bayi baru lahir hanya dalam hal penatalaksanaan terapi khusus. Pencegahan jaudis fisiologis dan dengan ASI dimungkinkan dengan pengenalan makan awal dan pemberian Asi sering tanpa suplemen apapun. Harus diusahakan untuk memperoleh lingkungan termal yang optimal untuk mengurangi kebutuhan metabolisme.

a.  Fototerapi
Bayi yang mendapat fototerapi dibaringkan telanjang dibawah sumber cahaya dan sering diubah posisinya agar smua permukaan tubuh terpajan cahaya. begitu fototerapi dimulai, kadar bilirubinserum harus sering diperiksa (setiap 4 sampai 12 jam) karena pengkajian visual jaundis tidak lagi dianggap valid.
Beberapa kewaspadaan perlu diperhatikan untuk melindungi bayi selama fototerapi. Mata bayi dilindungi dengan marker opak untuk mencegah pajanan terhadap cahaya. Perlindungan mata harus memiliki ukuran yang pas dan posisinya benar, agar bisa menutup mata yang sempurna namun jangan sampai menutup lubang hidung.
Kelopak mata bayi harus ditutup sebelum mengenakan masker, karena kornea dapat mengalami ekskoriasi bila berkontak langsung dengan pembalut ini. Setiap pergantian tugas perawat, mata diperiksamengenai adanya cairan, terkena berlebihan pada kelopak, atau iritasi pada kornea. Pelindung mata dilepas selama pemberian makan, untuk memberikan mendapatkan rangsangan visual dan sensoris. Dapat dipakai popok khusu fototerapi tembus cahaya, bilibottoms, atau popok bikini yang sesuai dengan masker untuk menutup genetalia dan bokong.
Bayi diletakkan diatas tempat tidur terbuka harus diberi pelindung plexiglas yang menutup diantaranya dan lampu flouresen untuk meminimalakn jumlah sinar ultraviolet yang mencapai kulit mereka dan untuk melindunginya bila terjadi kecelakaan bola lampu. Suhu bayi di pantau dengan ketat untuk mencegah hipotermia atau hipertermia. Dengan mempertahankan bayi dalam posisi fleksi dengan gulungan selimut di kedua sisi badan dapat membantu mempertahankan kehangatan dan memberikan kenyamanan.
Pencatatan yang akurat merupakan tanggung jawab keperawatan dan meliputi:
1.    Waktu dimulai dan dihentikannya fototerapi,
2.    Pelindung mata yang benar
3.    Tipe lampu floresen (pabriknya)
4.    Jumlah lampu
5.    Jarak  antara permukaan lampu dan bayi (tidak boleh kurang dari 45 cm)
6.    Penggunaan fototerapi bersama dengan inkubator atau basinet terbuka
7.    Pengukuran fotometer intensitas cahaya
8.    Adanya efek samping
Efek samping ringan harus diwaspadai perawat meliputi feses encer kehijauan, ruam kulit transien, hipertermia, peningkatan kecepatan metabolisme, seperti hipokalsemia, dan priapismus.
Grafik pemberian fototera
A.    Bayi dengan hiperbilirubinemia dan bayi yang difototerapi
Bayi dengan hiperbilirubinemia



Bayi yang difototerapi




b.    Dukungan keluarga
Orang tua perlu mendapat jaminan mengenai kemajuan bayi mereka. Semua prosedur dilakukan untuk membiasakan orang tua dengan manfaat dan resikonya. Orang tua perlu diyakinkan bayi telanjang dibawahlampu terasa hangat dan nyaman. Orang tua mungkin merasa khawatir dengan adanya pelindung mata, karena “kebutaan” merupakan pengalaman yang mengerikan.pelindung mata dibuka saat orang tua mengunjungi untuk memfasilitasi proses pelekatan.orang tua dapat diyakinkan bahwa neonatus sudah terbiasa dengan kegelapan setelah beberapa bulan keberadaannya dalam kandungandan mendapat banyak manfaat dari rangsang auditori dan taktil.
Setiap tindakan memerlukan informed consent dan orang tua untuk terapi yang ditetapkan. Namun, dalam hal foto terapi, kecemasan berlebihan dapat terjadi ketika kata-kata  seperti “kernikterus” dan “kerusakan otak” digunakan untuk menjelaskan kemungkinan efek bila kondisi ini tidak di tangani. Suatu keharusan perawat agar tetpa sensitif terhadap perasaan orang tua dan informasi yang di perlukan selama proses ini, intervensi keperawatan yang penting adalah pengkajiaan pemahaman orang tua mengenai terapi yang dijalankan dan penjelasan mengenai keadaan terapi itu sendiri.

c.    Perencanaan pemeulangan dan asuhan di rumah
Dengan hospitalisasi yang singkat, orang tua dan bayi dapat dipulangkansebelum muncul tanda jaundis. Penting bagi perawat untuk mendiskusikan tanda jaundis dengan ibu, karena setiap gejala klinis mungkin baru muncul dirumah. Kunjunan kerumah dalam 2 atau 3 hari setelah pemulangan untuk mengevaluasi  pola makan dan pengeluaran dan jaundis menjadi rutinitas dibanyak organisasi asuhan kesehatan.
Bila diberikan fototerapi, perawat rumah sakit atau perawat asuhan rumah biasanya bertanggung jawab untuk mendidik anggota keluarga dan meningkatkan kemampuan mereka untuk mengimplementasikan keamanan pemberian terapi.instruksi tertulis dan supervisi asuhan terutama mengenai pemasangan pelindung mata bila diperlukan sangat penting . efek samping minor fototerapi dibicarakan, dan orang tua mungkin perlu intruksi untuk melakukan pemeriksaan suhu dan mencatan waktu dan jumlah pemberian makan dan popok yang basah dan tinjanya. Tanpa memerhatikan sejenak apapun kelainan ini atau terapinya, orang tua tetap memerlukan dukungan dan pengertian. Saudara kandung/subling juga mendapat manfaat dari penjelasan mengenai terapi untuk menghilangkan ketakutan atau salah pengertian.
Bila jaundis berhubungan dengan pemberian ASI, biasanya perlu uji darah lanjut untuk mengkaji kemajuan jaundisnya. Bila diresepkan penghentian sementara pemberian Asi, ibu harus di ajari untuk memompa payudaranya setiap 3 sampai 4 jam untuk mempertahankan laktasi, susu yang diperas disimpan dilemari es untuk diberikan setelah ASI boleh diberikan kembali.

E.     EVALUASI
Menurut Wong, (2008) Efektivitas intervensi keperawatan di tentukan oleh pengkajian berulang dan evaluasi terus menerus asuhan yang di dasarkan pada panduan observasi berikiut.
1.    Observasi warna kulit, diskusikan temuan bilrubinometrik dan/atau laboratorium.
2.    Observasi mengenai tanda gangguan neurologis.
3.    Periksa mengenai pemasangan pelindung mata; observasi kulit mengenai tanda dehidrasi; pantau suhu inti tubuh.
4.    Wawancarai anggota keluarga dan observasi interaksi orang tua bayi.

Hasil yang diharapkan :
1.    Bayi baru lahir sehat mulai mendapat makan segera setelah lahir.
2.    Orang tua mendapat intruksi mengenai juandis klinis sebelum pemulangan.
3.    Bayu baru lahir mendapat paparan sumber cahaya yang diresepkan (bila ada indikasi foto terapi).
4.    Bayi tidak memperlihatkan tanda efek buruk fototerapi: mata tetap bebas dari iritasi, bayi tetap terhidrasi dengan baik, dan suhu tetap di bawah 38˚C.
5.    Anggota keluarga memperlihatkan pemahaman kondisi ini dan terapinya; mereka berinteraksi dengan bayi secara memadai.
6.    Bayi tidak memperlihatkan tanda komplikasi neurologis.

Menurut Surasmi, (2003) evaluasi yang perlu dilakukan yaitu.
1.    Tidak terjadi kernikterus pada nenonatus.
2.    Tanda vital dan suhu tubuh bayi stabil dalam batas normal.
3.    Keseimbangan cairan dan elektrolit bayi terpelihara.
4.    Integritas kulit baik/ utuh.
5.    Bayi menunjukkan partisipasi terhadap rangsangan visual.
6.    Terjalin interaksi bayi dan orang tua.


Referensi:
Betz, C. L., & Sowden, L. A. (2009). Buku saku keperawatan pediatri (Penerjemah, Eny Meiliya). Jakarta: EGC.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2008). Pengantar ilmu kesehatan anak untuk pendidikan kebidananan. Jakarta: Salemba Medika.
Wong, Donna L. (2008). Buku ajar keperawatan pediatrik Wong (Penerjemah, Agus Sutarna, dkk). Edisi 6. Jakarta: EGC.

No comments:

Post a Comment

Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat