A.
Spiritual
1. Pengertian
Spiritualitas
adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta.
Sebagai contoh seseorang yang percaya kepada Allah sebagai Pencipta atau
sebagai Maha Kuasa (Hamid, 2009, p.2). Menurut Emblen (1992, dalam potter &
perry, 2005, p.564) ada beberapa kata-kata yang digunakan untuk menjabarkan
spiritualitas termasuk makna, transenden,
harapan, cinta, kualitas, hubungan, dan eksistensi.
Gambaran lain spiritualitas meliputi kekuatan dalam diri, pemaknaan dan tujuan,
serta mengetahui dan menjadi sesuatu (Burkhardt, 1994, dalam cerpenit0, 2009
p.1053).
Sedangkan
Farran et al (1989, dalam Potter & Perry, 2005, p.564) menggunakan definisi
fungsional spiritualitas yaitu komitmen tertinggi individu, yang merupakan
prinsip yang paling komprehensif dari perintah, atau nilai final yaitu argumen
yang sangan kuat yang diberikan untuk pilihan yang dibuat dalam hidup kita.
Terdapat dua karakteristik penting tentang spiritualitas yang disetujui oleh
sebagian penulis: (1) spiritualitas adalah kesatuan tema dalam kehidupan kita,
(2) spiritualitas merupakan keadaan hidup (Potter & Perry, 2005, p.564).
2. Aspek
dalam spiritualitas
Menurut
Bukhardt (1993, dalam hamid, 2009, p.2) spiritualitas meliputi aspek sebagai
berikut.
a.
Berhubungan dengan sesuatu
yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan.
b.
Menemukan arti dan
tujuan hidup.
c.
Menyadari kemampuan
untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri.
d.
Mempunyai perasaan
keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi.
3. Dimensi
Spiritual
Secara tradisional, model holistik keperawatan tentang kesehatan telah mencakup dimensi berikut : fisik, spikologis, kultural, perkembangan sosial, dan spiritual. Satu model atau spiritual untuk meninjau dimensi spiritual adalah sesuatu yang terintegrasi. Setiap dimensi berhubungan dengan dimensi lainnya, juga mengandung gambaran atau karakteristik yang unik.
Gambar 1 dimensi
spiritual : suatu pendekatan terintegrasi
Clark et al (1991)
menekan bagaimana dimensi spiritual menyebar diseluruh dimensi lainnya, baik
itu dikenali atau dikembangkan oleh individu atau tidak. Individu dikuatkan
melalui ‘spirit’ mereka, yang mengakibatkan peralihan kearah kesejahteraan.
Pengaruh spiritual terutama sangat penting selama periode sakit. Ketika
penyakit kehilangan atau nyeri mempengaruhi seseorang energi orang tersebut
menipis, dan spirit orang tersebut terpengaruhi.
Mickley
et.al. (1992, dalam Hamid, 2009, p.2) menguraikan spiritualitas sebagai suatu
yang mutidimensi, yaitu dimensi
eksistensial dan dimensi agama.
Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi
agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa.
Selanjutnya
Stoll (1989, dalam Hamid, 2009, p.2) menguraikan bahwa spiritualitas sebagai
konsep dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi
vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun
kehidupan seseorang. Dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri
sendiri, dengan orang lain, dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan
terus-menerus antara dua dimensi tersebut.
Dimensi
spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan
dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang
menghadapi stres emosional, penyakit fisik, atau kematian. Kekuatan yang timbul
dari kekuatan manusia (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995; Murray &
Zentner, 1993, dalam Hamid, 2009, p.2)
Table
Pandangan Teoritis Tentang Spiritual
Teori
|
Aplikasi dalam keperawatan
|
Filosofi
|
Memberikan pemahaman yang luas tentang dimensi
spiritual. Dari pandangana fisiologis, perawat dapat meneliti, esensial,
asal, sifat, dan nilai keyakinan spiritual seseorang. Fisiologis membantu
seseorang meneliti keyakinan seseorang guna memahami secara logis dan
seberapa jauh spiritualisasi merupakan cara hidup seseorang.
|
Teologi
|
Pandangan ini membantu perawat mencapai pemahaman
tentang keyakinan seseorang mengenai sifat Tuhan atau menghargai kehidupan
yang lebih tinggi. Teologi membentuk keyakina seseorang tentang hidup dan
makna dari pengalaman ini.
|
Fisiologi
|
Pandangan gisiologis tentang spiritual membantu
perawat utuk memahami interaksi yang terjadi di antara tubuh, pikiran dan
spirit dalam sehat sakit.
|
Psikologis
|
Pandangan psikologis memberi perawta suatu
pamahanan tenatng proses mental seseorang pengalaman, dan emosi serta peran
spiritual yang dimainkan dalam ekspresinya. Perawat harus mencerna pada apa
yang memberi makna hidup pada klien. Kemana klien mencapai pedoman, dan dari
sumber apa klien mendapat dorongan dan harapan.
|
Sosiologi
|
Semua orang dipengaruhi oleh masyarakat atau
kelompok dimana mereka hidup. Pandangan ini membantu perawat memahami
pentingnya individu dalam kelompok mendapatkan hubungan dengan seseorang yang
mempunyai keyakinan serupa. Pandangan ini juga menunjukkan kepentingan dan
makna yang dimilki ritual dan praktik bagi individu dan kelompok.
|
4. Karakteristik
spiritualitas
Berikut
adalah bebarapa karakteristik spiritualitas.
a.
Hubungan dengan diri
sendiri. Kekuatan dalam atau/dan self-reliance:
1) Pengetahuan
diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya);
2) Sikap
(percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa depan, ketenangan
pikiran, harmoni/keselarasan dengan diri sendiri).
b.
Hubungan dengan alam harmonis:
1) Mengetahui
tentang tanaman, pohon, margasatwa, dan iklim;
2) Berkomunikasi
dengan alam (bertanam dan berjalan kaki), mengabadikan, dan melindungi alam.
c.
Hubungan dengan orang
lain harmonis/suportif:
1) Berbagi
waktu, pengetahuan, dan sumber secara timbal balik;
2) Mengasuh
anak, orangtua, dan orang sakit;
3) Meyakini
kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat, dan lain-lain).
Bila tidak harmonis akan terjadi:
1) Konflik
dengan orang lain;
2) Resolusi
yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.
d.
Hubungan dengan
ketuhanan. Agamis atau tidak agamis:
1) Sembahyang/berdoa/meditasi;
2) Perlengkapan
keagamaan;
3) Bersatu
dengan alam.
Secara
ringkas, dapat dinyatakan seseorang terpenuhi kebutuhan spiritualitasnya jika
mampu:
a.
Merumuskan arti
personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di dunia/kehidupan;
b.
Mengembangkan arti penderitaan
dan meyakini hikmah dari suatu kejadian atau penderitaan;
c.
Menjalin hubungan
positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya, dan cinta;
d.
Membina integritas
personal dan merasa diri berharga;
e.
Merasakan kehidupan
yang terarah terlihat melalui harapan;
f.
Mengembangkan hubungan
antar-manusia yang positif.
4. Kebutuhan
spiritual
Menurut
Carson (1989, dalam Hamid, 2009, p. 3) kebutuhan spiritual adalah kebutuhan
untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memnuhi kewajiban agama,
serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencaintai, menjlain
hubungan penuh dengan rasa percaya kepada Tuhan. dapat disimpulkan bahwa
kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup,
kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan, dan kebutuhan
untuk memberi dan mendapatkan maaf (Hamid, 2009, p.3).
B.
Komponen
– Komponen Spiritual
1. Agama
Agama merupakan suatu
sistem ibadah yang terorganisasi atau teratur. Agama mempunyai keyakinan
sentral, ritual dan praktik yang biasanya berhubungan dengan kematian,
perkawinan dan keselamatan. Agama mempunyai aturan-aturan tertentu yang
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari yang memberi kepuasan bagi yang
menjalankannya. Perkembangan keagamaan individu merujuk pada penerimaan
keyakinan, nilai, aturan dan ritual tertentu (Hamid, 2009).
Secara umum agama atau
keyakinan spiritual merupakan upaya seseorang untuk memahami tempat seseorang
dalam kehidupannya, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya dalam hubungan
dengan lingkungan secara menyeluruh.
2. Iman
dan makna/tujuan hidup
Iman adalah meyakini atau berkomitmen
terhadap sesuatu atau seseorang. Dalam islam, iman secara bahasa berarti
membenarkan (tashdiq), sedangkan menurut istilah bermakna mengucapkan dengan
lisan, membenarkan dalam hati dan mengamalkan dengan perbuatannya. Seorang
muslim yang mempunyai keimanan yang baik akan mengakui bahwa tujuan hidupnya
adalah untuk beribadah pada Allah baik dengan amal dunia maupun akhirat.
Sebagaimana firman Allah : katakanlah: “sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS 6:162)
Makna hidup mencakup alasan terjadinya suatu
peristiwa, tujuan hidup dan keyakinan akan kekuatan utama dalam kehidupan.
Semua
agama mengakui adanya Tuhan. Bagi individu yang beragama, kegiatan ritual, doa,
dan ibadah merupakan cara utama untuk berhubungan denga Tuhan. Karakteristik penting yang secara
universal oleh semua individu tentang Tuhan adalah Yang Maha melebihi manusia.
Hal ini sangat penting dalam kenyamanan yang berkaitan dengan tuhan, bahwa ada
Yang Maha Menyayangi atas penderitaan pasien, ada Yang Maha Kuasa yang
menentukan yang terbaik untuk kita dan atas segala ketidakmampuan.
Tingkat keimanan seseorang dengan Tuhan
sejajar dengan keterkaitan (hubungan) seseorang dengan Tuhan, yang kemudia
mempengaruhi cara pandangannya terhadap suatu masalah. Dalam Islam diyakini
bahwa orang yang beriman terhadap suatu masalah. Dalam Islam diyakini bahwa
orang yang beriman mempunyai hubungan yang baik dengan Allah. Orang yang
beriman memandang penyakit yang dideritanya sebagai ujian dari Allah, karena
dalam pandangan agama Islam orang yang menderita sakit itu dapat diaggap
sebagai ujian keimanan.
“ dan sesungguhnya akan
kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar.” (Q.S. Azzumar, 39: 10)
3. Harapan
Harapan adalah proses antisipasi yang
melibatkan interaksi antara berpikir dan bertindak yang diarahkan kepada
kepuasan di masa yang akan datang yang bermakna secara personal. Harapan
merupakan faktor penting dalam menghadapi stres, mempertahankan kualitas hidup,
atau melanjutkan hidup. Dalam menghadapi penyakit yang berat dan kronis,
seringkali orang diliputi rasa putus asa karena sudah melakukan upaya yang
maksimal sebagaimana mestinya, namun belum juga memperoleh kesembuhan. Individu
yang memiliki spiritual yang baik, hendaknya menghindari timbulnya rasa
keputusasaan karena Allah SWT melarang manusia berputus asa dari rahmat-Nya dan
Allah akan mengganti penderitaan seseorang dengan pengampunan Dosa.
“
katakanlah hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka
sendiri, jaganlah berputus asa dari Rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni
dari segala dosa, sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S.
Azzumar, 39: 53)
4. Pengampunan
Beberapa individu melihat kondisinya saat
ini sabagai sesuatu yang berkaitan dengan dosa, penyesalan, pengampunan dan
hukuman. Penting untuk mengingatkan pasien bahwa rasa bersalah yang berkaitan
dengan kondisinya sekarang adalah tidak tepat, dimana kehidupan (penderitaan)
yang dijalani sekarang merupakan diluar kendali manusia. Bahkan beberapa hadist
menegaskan bahwa sakit dapat menghapus kesalahan dan melenyapkan dosa,
diantaranya:
“
Tidak satu musibah pun yang menimpa diri seseorang muslim, baik berupa kesusahan
dan penderitaan, kesedihan dan kedukaan maupun penyakit, bahkan sepotong dari
duri yang menusuk, kecuali dihapuskan Allah dengan itu sebagian
keselahan-kesalahannya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Hendaknya orang yang sakit itu sabar dan
tabah dalam menghadaapi sakit yang dideritanya. Tidak ada pemberian yang paling
berharga dari Allah yang Maha Esa kepada seorang hamba lebih baik dari pada
kesabaran. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas, Aku mendengar Rasulullah SAW.
Bersabda, “sesunggunhnya Allah ta’ala berfirman, “Jika seorang hamba mendapat
cobaan dari-Ku mengenai dua kesayangannya (kedua matanya), kemudian ia
bersabar, nanti akan Kuganti dengan surga.”
C.
Kesejahteraan
Spiritual
Kesejahteraan
spiritual atau kesehatan adalah rasa keharmonisan saling keterdekatan antara
diri dengan orang lain, alam, dan dengan kehidupan tertinggi. Rasa keharmonisan
ini dicapai ketika seseorang menemukan keseimbangan antara nilai, tujuan, dan
sistem keyakinan mereka dengan hubungan mereka dalam diri mereka sendiri dan
orang lain. Pada saat terjadi stress, penyakit, penyembuhan atau kehilangan,
seseorang mungkin berbalik kecara-cara lama dalam merespon atau menyesuaikan
dengan situasi. Sering kali gaya koping ini terdapat dalam keyakinan atau nilai
dasar orang tersebut. Keyakinan ini sering berakar dalam spiritualitas orang
tersebut. Sepanjang hidup seseorang individu mungkin tumbuh lebih spiritual,
menjadi lebih menyadari tentang makna, tujuan dan nilai hidup (Potter &
Perry, 2005).
Kesejahteraan
spiritual atau kesehatan spiritual di mannifestasikan dengan perasaan menjadi
“secara umum hidup, bertujuan, dan memuaskan”. Menurut Plich (1988),
kesejahteraan spiritual adalah cara hidup, gaya hidup yang memandang dan
menghidupkan hidup menjadi bertujuan dan
menyenangkan, yang mencari pilihan yang menopang hidup dan memperkaya hidup
untuk dipilih secara bebas pada setiap kesempatan, dan yang menanamkan akarnya
secara kuat ke dalam nilai spiritual dan atau keyakinan agama tertentu
(Kozier,2010).
Manusia
memelihara atau meningkatkan spiritualitas mereka dalam banyak cara. Beberapa
orang berfokus pada perkembangan bagian dalam diri dan dunia; yang lain
berfokus pada ekspresi energi spiritual mereka dengan orang lain atau dunia
luar. Berhubungan dengan bagian dalam diri atau jiwa seseorang dapat dicapai
dengan melakukan dialog diri dengan Yang Maha
Kuasa atau dengan diri sendiri dengan cara berdo’a atau meditasi, dengan
menganalisa mimpi, dengan berkomunikasi dengan alam, atau mengalami inspirasi
seni. Ekspresi energi spiritual seseorang terhadap orang lain dimanifestasikan
dalam hubungan saling mencintai dengan dan mmelayani orang lain, kesenangan dan
tawa, partisipasi dalam layanan keagamaan dan perkumpulan dan kegiatan
keagamaan, dan dengan ekspresi kasih sayang, empati, pengampunan dan harapan.
Perawat yang menjunjung spiritualitas mereka sendiri mampu bekerja lebih baik
dengan klien yang memiliki kebutuhan spiritualitas; perawat juga perlu merasa
nyaman denga spiritualitas seseorang (Kozier,2010).
Karakteristik
yang mengindikasikan kesejahteraan spiritualitas
1. Rasa
kedamaian di dalam diri
2. Rasa
kasih sayang terhadap sesama
3. Menghargai
hidup
4. Rasa
syukur
5. Menghargai
persamaan maupun perbedaan
6. Humor
7. Kebijaksanaan
8. Kemurahan
hati
9. Kemampuan
trasenden diri
10. Kapasitas
untuk cinta tanpa syarat
D.
Pengaruh
Spiritual Terhadap Kesehatan Dan Sakit
Beberapa pengaruh
keyakinan spiritual yang perlu dipahami oleh perawat:
1. Keyakinan
spiritual yang mempengaruhi asuhan keperawatan
Praktik
tertentu yang umumnya berkaitan dengan pelayanan kesehatan mungkin mempunyai
makna keagamaan dengan klien antara lain: diet, metode KB, atau terapi medic
lain
a. Keyakinan
yang memengaruhi diet dan nutrisi
Banyak
agama memiliki larangan terkait diet. Mungkin terdapat aturan mengenai jenis
makanan dan minuman yang diperbolehkan dan yang dilarang. Sebagai contoh, umat
yahudi ortodoks diharamkan memakan babi atau kerang, dan umat islam diharamkan
meminum minuman beralkohol dan memakan babi.
Beberapa
ketaatan terhadap agama ditunjukkan dengan berpuasa, yaitu berpantang makan
dalam periode waktu tertentu. Contoh agama melaksanakan puasa, antara lain
islam, yahudi, dan katolik. Penyedia layanan kesehatan harus membuat rencana
diet yang dianjurkan dengan memerhatikan keyakinan diet dan berpuasa klien.
b. Keyakinan
terkait penyembuhan
Klien
dapat memiliki keyakinan agama yang menghubungkan penyakit dengan gangguan
spiritual. Penyembuhan bagi klien tersebut dapat tampak tidak berhubungan
dengan praktik penyembuhan saat ini. Perawat perlu mengkaji keyakinan klien dan
apabila memungkinkan, mencakup dalam merencanakan beberapa aspek penyembuhan
yang merupakan bagian system keyakinan klien.
c. Keyakinan
terkait pakaian
Banyak
agama memiliki hukum atau tadisi yang mengatur cara berpakain. Sebagai contoh,
pria penganut yahudi ortodoks dan yahudi konservatif meyakini bahwa mereka
harus menutup kepalla mereka sepanjang waktu sehingga menggunakan yarmulke. Banyak muslimah juga menutup
rambut mereka terkait etnik tertentu atau latar belakang budaya mereka.
Beberapa agama, misalnya islam, mewajibkan tubuh (batang tubuh, lengan, dan
kaki) tertutup. Gaun rumah sakit dapat membuat wanita yang berharap mematuhi
kode berpakaian sesuai agama merasa gelisah dan tidak nyaman. Klien terutama
dapat bingung ketika menjalani uji diagnostikatau penangan, seperti mamografi,
yang mewajibkan ia menanggalkan pakain.
d. Keyakinan terkait kematian
Keyakinan
keagamaan dan spiritual berperan penting pada saat penganutnya menjelang ajal,
demikian juga pada kejadian hidup penting lain. Banayak orang meyakini bahwa
seseorang yang meninggal mengalihkan hidupnya ketempat yang lebih baik.
Beberapa
agama memiliki ritual khusus saat menjelang ajal dan kematian yang harus
dijalankan oleh penganutnya. Penganut ritual ini member kenyamanan pada orang
yang menjelang ajal dan orang mereka cintai. Beberapa ritual dilaksanakan
sementara individu masih hidup dan mencakup doa khusus, bernyanyi, dan
membacakan tulisan sacral. Pendeta katolik roma melaksanakan sakramen perminyakan
ketika klien sakit san menjelang ajal. Muslim yang menjelang ajal ingin tubuh
atau kepala mereka dihadapkan ke arah kiblat (denny, 1993).
Griffith
(1996) menyatakan bahwa selama penyakit terminal klien dan keluarga harus
ditanya mengenai upacara atau ritual yang dilaksanakan saat kematian. Beberapa
agama memiliki keyakinan bahwa tubuh orang yang meninggal hanya boleh disentuh
oleh anggota keyakinan mereka saja. Pemeluk agama islam (denny, 1993) dan
yahudi (fishbane, 1993) melaksanakan ritual memandikan mayat oleh anggota
keluarga atau oleh petugas pengurus jenazah. Symbol keagamaan atau penuh hormat
dan ditaruh dekat jenazah (Griffith, 1996). Perawat dapat mendukung keluarga
yang meninggal dengan memberikan lingkungan yang kondusif untuk melaksanakan ritual
kematian mereka.
2. Sumber
dukungan
Menurut
hamid (2008, p.12), pada saat mengalami stress, individu akan mencari dukungan
dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk dapat menerima
keadaan sakit yang dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses
penyembuhan yang lama dengan hasil yang belum pasti. Sembahyang atau berdoa,
membaca kitab suci, dan praktik keagamaan lainnya sering membantu memenuhi
kebutuhan spiritual yang juga merupakan suatu perlindungan terhadap tubuh.
3. Sumber
kekuatan dan penyembuhan
Menurut
taylor, lillis, & le mone (1997) (dalam hamid, 2008, p.12) nilai dari
keyakinan agama tidak dapat dengan mudah di evaluasi. Walaupun demikian,
pengaruh keyakinan tersebut dapat diamati oleh tenaga kesehatan dengan mengetahui
bahwa individu dapat menahan distress fisik yang luar biasa karena mempunyai
keyakinan yang kuat. Keluarga pasien akan mengikuti semua proses penyembuhan
yang memerlukan upaya luar biasa karena keyakinan bahwa semua usaha tersebut
akan berhasil.
Manusia
sebagai makhluk spiritual mempunyai hubungan dengan kekuatan diluar dirinya,
hubungan dengan tuhannya, dan mempunyai keyakinan dalam hidupnya. Keyakinan
yang dimiliki seseorang akan berpengaruh terhadap perilakunya. Misalnya, pada
individu yang meyakini penyakit disebabkan oleh pengaruh “roh jahat”. Ketika
seseorang sakit, upaya pertolongan pertama yang dilakukan adalah mendatangi
dukun. Memngingat besarnya pengaruh keyakinan terhadap kehidupan seseorang,
perawat harus memotivasi klien untuk senantiasa memelihara kesehatannya.
4. Sumber
konflik
Menurut
Hamid (2008, p.12), pada situasi tertentu dapat terjadi konflik antara
keyakinan agma dengan praktik kesehatan. Misalnya, ada orang yang memandang
penyakit sebagai suatu bentuk hukuman karna pernah berdosa. Ada agama tertentu
yang menganggapp manusia sebagai makhluk yang tidak berdaya dalam mengendalikan
lingkungannya sehingga penyakit diterima sebagai takdir, bukan sebagai suatu
yang harus disembuhkan.
E. Perkembangan
Spiritual
Selain secara fisik, kognitif dan moral, individu juga berkembang secara
spiritualitas. Beberapa aspek perkembangan spiritual keagamaan yang sehat pada
setiap tahap perkembangan adalah sebagai berikut:
1.
Bayi dan Todler
Bayi dan todler mendapat kualitas
spiritual keyakinan, mutualitas, keberanian, harapan dan cinta yang mendasar.
Transisi ke tahap keyakinan berikutnya dimulai ketika bahasa pikiran anak mulai
memungkinkan penggunaan simbol (Kozier, 2010, p. 499)
Tahap awal perkembangan spiritual adalah
rasa percaya kepada yang mengasuh yang sejalan dengan perkembangan rasa aman
dan dalam hubungan interpersonal, karena sejak awal kehidupan manusia mengenal
dunia melalui hubungannya dengan lingkungan, khususnya orang tua. Bayi dan
todler belum memiliki rasa benar atau salah, serta keyakinan spiritual. Mereka
mulai meniru kegiatan ritual tanpa mengerti arti kegiatan tersebut serta ikut
ke tempat ibadah yang memengaruhi citra diri mereka (Hamid, 2008, p. 5)
2. Preschool
Fase penuh fantasi dan imitasi ketika anak dapat dipengaruhi oleh
contoh, alam perasaan, dan tindakan. Anak dapat menghubungkan secara intuisi
dengan kondisi terakhir keberadaan melalui cerita dan gambar, penyebaran fakta
dan perasaan. Imajinasi dianggap sebagai realitas (Kozier, 2010, p. 499)
Sikap orang tua tentang kode moral dan
agama mengajarkan kepada anak tentang apa yang dianggap baik dan buruk. Anak
prasekolah meniru apa yang mereka lihat bukan yang dikatakan orang lain kepada
mereka. Pada usia ini anak sering bertanya tentang moralitas dan agama, seperti
bertanya “apa itu surga?”. Mereka meyakini bahwa orang tua mereka seperti Tuhan
(Hamid, 2008, p. 5)
Menurut Kozier, Erb dan Wilkinson (1995)
dalam Hamid (2008, p. 6), metode pendidikan spiritual yang paling efektif
adalah dengan memberikan indoktrinasi dan memberi kesempatan pada mereka untuk
memilih caranya. Mereka percaya bahwa Tuhan yang membuat hujan dan angin.
3.
School
Anak berusaha memilah fantasi dan fakta
dengan menuntut adanya bukti atau demonstrasi kenyataan. Cerita sangat penting
untuk menemukan makna dan mengorganisasikan pengalaman. Anak menerima cerita
dan keyakinan secara harfiah. Kemampuan untuk mempelajari keyakinan dan praktik
budaya serta keagamaan (Kozier, 2010, p. 499)
Anak usia sekolah mengharapkan Tuhan
menjawab doanya, yang salah akan dihukum dan yang baik akan diberi hadiah. Pada
masa prapubertas, anak sering mengalami kekecewaan karena mereka mulai
menyadari bahwa doanya tidak selalu dijawab menggunakan cara mereka dan mulai
mencari alasan tanpa mau menerima keyakinan begitu saja (Hamid, 2008, p. 6)
4.
Remaja
Pengalaman mengenal dunia saat ini diluar
unit keluarga dan keyakinan spiritual dapat membantu pemahaman terhadap
lingkungan yang luas. Secara umum menyesuaikan diri dengan keyakinan orang
disekitar mereka namun belum dapat menilai keyakinan secara objektif (Kozier,
2010, p. 499)
Pada masa remaja, anak mulai membandingkan
standar orang tua mereka dengan orang tua lain dan menetapkan standar apa yang
akan diintegrasikan dalam perilakunya. Remaja juga membandingkan
pandangan ilmiah dengan pandangan agama serta mencoba menyatukannya. Pada masa ini, remaja yang memiliki orang tua yang
berbeda agama, akan memutuskan pilihan agama yang dianutnya atau tidak memilih
satu pun dari kedua agama orang tuanya (Hamid, 2008, p. 6)
5.
Dewasa Muda
Perkembangan identitas dan pandangan
terhadap dunia berbeda dari orang lain, individu membentuk komitmen, gaya
hidup, keyakinan dan sikap yang mandiri. Mulai mengembangkan makna personal
terhadap simbol keagamaan dan keyakinan (Kozier, 2010, p. 499)
Kelompok usia dewasa muda sering
dihadapkan dengan pertanyaan yang bersifat keagamaan dari anaknya dan akan
menyadari atau mengingat kembali apa yang diajarkan kepadanya pada masa
kanak-kanak dahulu, dan pembelajaran yang diberikan oleh orang tuanya dahulu
dipakai untuk mendidik anaknya (Hamid, 2008, p. 6-7)
6.
Dewasa Menengah dan
Lansia
Menghargai masa lalu, lebih memperhatikan
suara hati, lebih waspada terhadap mitos, prasangka, dan citra yang ada karena
latar belakang sosial. Berusaha menyelesaikan kotradiksi dalam pikiran dan
pengalaman dan untuk tetap terbuka terhadap kebenaran orang lain (Kozier, 2010,
p. 499)
Mampu meyakini dan memiliki rasa
partisipasi dalam komunitas nonekslusif. Dapat berusaha menyelesaikan masalah
sosial, politik, ekonomi, atau ideologi dalam masyarakat. Mampu merangkul
kehidupan meskipun masih longgar (Kozier, 2010, p. 499)
Kelompok usia dewasa pertengahan dan
lansia mempunyai lebih banyak waktu untuk kegiatan agama dan berusaha untuk mengerti akan nilai agama yang
diyakini oleh generasi muda. Perasaan kehilangan karena pensiun dan tidak aktif
serta menghadapi kematian orang lain (saudara, sahabat) menimbulkan rasa kesepian
dan mawas diri. Perkembangan filososif agama yang lebih matang, sering dapat
membantu orang tua untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan
dan merasa berharga, serta lebih dapat menerima kematian sebagai sesuatu yang
tidak dapat ditolak atau dihindarkan (Hamid, 2008, p. 7)
F. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Spiritual
Menurut taylor, Lillis
& Le Mone (1997) dan Craven & Hirnle (1996) dalam Hamid (2009, p. 13) faktor penting
yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang adalah :
1.
Pertimbangan tahap
perkembangan
Dari hasil penelitian
ditemukan bahwa manusia mempunyai persepsi tentang Tuhan dan bentuk sembahyang
yang berbeda menurut usia, seks, agama, dan kepribadian manusia.
2. Keluarga
Peran orang tua sangat
menentukan dalam perkembangan spiritual anak. Oleh karena keluarga merupakan
lingkungan terdekat dan lingkungan pertama anak dalam mempersepsikan kehidupan
di dunia, maka pandangan anak pada umumnya diwarnai oleh pengalaman mereka
dalam berhubungan dengan orang tua dan saudaranya.
3. Latar
belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan dan
nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya. Pada umumnya
seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga.
4.
Pengalaman hidup
sebelumnya
Pengalaman hidup baik
yang positif maupun pengalaman negatif dapat mempengaruhi spiritualitas
seseorang. Sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan
secara spiritual kejadian atau pengalaman tersebut.
5.
Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan
dapat menguatkan kedalaman spiritual seseorang. Krisis sering dialami ketika
seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan dan
bahkan kematian, khususnya pada pasien terminal atau dengan prognisis yang
buruk.
6.
Terpisah dari ikatan
spiritual
Menderita sakit
terutama yang bersifat akut, seringkali membuat individu merasa terisolasi dan
kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial.
7.
Isu moral terkait
dengan terapi
Pada kebanyakan agama,
proses penyembuhan dianggap sebagai cara tuhan untuk menunjukkan kebesarannya,
walaupun ada juga agama yang menolak intervensi pengobatan.
8.
Asuhan keperawatan yang
kurang sesuai
Ketika memberi asuhan
keperawatan kepada klien, perawat diharapkan peka kebutuhan spiritual klien,
tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkinan justru perawat menghindar untuk
memberikan asuhan spiritual sehingga mengakibatkan kebutuhan klien akan
spiritual tidak terpenuhi.
G. Persiapan
Spiritualitas Perawat
Persiapan spiritualitas perawat yang perlu dilakukan adalah
mendampingi pasien, menggali sumber spiritual diri sendiri dan meningkatkan
pengetahuan. Setiap manusia mempunyai tiga kebutuhan spiritual yang sama, yaitu
kebutuhan akan arti dan tujuan hidup,
kebutuhan untuk mencintai dan
berhubungan, serta kebutuhan untuk mendapatkan
pengampunan. Kebutuhan klien tersebut sering ditemui oleh perawat dalam
menjalankan perannya sebagai pemberi pelayanan/asuhan keperawatan. Ketika
perawat menyusun perencanaan untuk menjadi contoh peran spiritual bagi
kliennya, perawat juga membuat persiapan/menyusun tujuan bagi dirinya sendiri
(Hamid, 2008).
Menurut Taylor, Lilis, dan Le Mone (1997, dalam Hamid, 2008)
dalam hal ini perawat akan:
1.
Mempunyai
pegangan tentang keyakinan spiritual yang memenuhi kebutuhannya untuk
mendapatkan arti dan tujuan hidup, mencintai dan berhubungan, dan pengampunan.
2.
Bertolak
dari kekuatan spiritual dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika menghadapi
nyeri, penderitaan, dan kematian dalam melakukan praktik profesional.
3.
Meluangkan
waktu untuk memupuk kekuatan spiritual diri sendiri.
4.
Menunjukkan
perasaan damai, kekuatan batin,kehangatan, keceriaan, caring, dan kreativitas dalam interaksinya dengan orang lain.
5.
Menghargai
keyakinan dan praktik spiritual orang lain walaupun berbeda dengan keyakinan
spiritual perawat.
6.
Meningkatkan
pengetahuan perawat tentang bagaimana keyakinan spiritual klien memengaruhi
gaya hidup mereka, berespon terhadap penyakit, pilihan pelayanan kesehatan dan
pilihan terapi.
7.
Menunjukkan
kepekaan terhadap kebutuhan spiritual klien.
8.
Menyusun
strategi asuhan keperawatan yang paling sesuai untuk membantu klien yang sedang
mengalami distres spiritual.
Untuk
mengkaji berapa jauh perawat telah memenuhi kebutuhan spiritualitasnya sendiri,
Taylor, Lilis, dan Le Mone (1997) menyarankan menggunakan daftar periksa pengkajian seperti contoh di bawah ini yang berfungsi untuk menentukan seberapa baik
seorang perawat telah memenuhi kebutuhan spiritualnya.
Daftar Periksa Pengkajian
|
||||
Pernyataan
|
Hampir selalu
|
Kadang-kadang
|
Hampir
|
Tidak pernah
|
·
Saya merasa
nyaman dengan kepercayaan dan nilai spiritual saya.
·
Kepercayaan saya
memenuhi kebutuhan untuk merasa mencintai, memiliki, mendapat pengampunan,
memperoleh arti, dan tujuan hidup.
·
Saya menghargai
sistem kepercayaan orang lain.
·
Saya mendapatkan
kekuatan dari kepercayaan keagamaan saya untuk menghadapi tantangan dalam
kehidupan saya sehari-hari.
|
|
|
|
|
H.
Praktik
Spritual (Ibadah) Sebagai Bagian Dari Terapi Penyembuhan Dalam Asuhan Keperawatan
Pargament (1997) dalam Kozier (2010)
mengatakan bahwa klien sering kali mengidentifikasi praktik keagamaan seperti
doa, sebagai strategi yag tinggi untuk melakukan koping terhadap penyakit. Praktik
spritual yang paling umum sering mempengaruhi asuhan keperawatan pada pasien
yaitu hari raya, pembacaan kitab suci, simbol saktal, doa, dan meditasi. Sikap
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dapat dipengaruhi pengetahuan
perawat tentang spritual klien dan kepekaan perawat terhadap respon pasien
selama pemberian asuhan (Kemp, 2010 dalam Kozier, 2010).
1. Hari
raya
Hari
raya adalah satu hari yang ditetapkan untuk perayaan agama tertentu. Semua
agama diseluruh dunia memiliki hari raya. Sebagai contoh, umat kristiani,
merayakn Paskah dan Hari Natal, umat yahudi merayakan Yon Kippur dan Passover,
umat budha merayakan hari lahir budha, umat islam memiliki bulan suxi
ramadahan, dan umat hindu merayakan Mahashivarathri, perayaan Dewa Syifa.
Banyak agama mengharuskan berpuasa, do’a yang lama, refleksi da ritual pada
hari natal (hari raya besar); namun penganut yang sakit serius sering kali
diberi pengecualian untuk kewajiban tertentu.
Konsen
sabat sangat umum baik untuk umat Kristiani maupun Yahudi, sebagi respon
terhadap firman yang ada di Injil ” ingatlah hari sabat untuk mengingat
kesucian”. Sebagian besar umat kristiani merayakan hari sabat pada hari minggu
sementara umat Yahudi merayakannyan pada hari sabtu. Klien yang kepad praktik
keagamaannya mungkin ingin menghindari penanganan tertentu atau gangguan lain
pada saat mereka beristirahat dan melakukan refleksi.
Umat
islam melaksanakan praktik shalat lima waktu sehari semalam dan klien muslim
mungkin membutuhkan bantuan untuk mempertahankan keimanannya. Selaian itu, umat
muslim biasanyanberkumpul pada hari jum’at siang untuk melakukan ibadah shalat
jum’at dan mendengarkan khotbah. Umat Hindu dan Budha mempraktikkan meditasi
dan peratan harus menciptakan waktu tenang untuk meditasi mereka.
Perayaan
keagamaan yang khitmat sepanjang tahun mungkin mengacu pada hari raya besar,
dan dapat mencakup puasa, refleksi, dn berdo’a. Banyak rumah sakit atau pelayan
kesehatan memfasilitasi pelaksaan ritual untuk klien dan staf pada hari raya.
Karena banyak agama yang mengikuti kalender selain kalender Gregorius, kalender
yang dijadikan panduan oleh banyak agama dapat digunakan untuk mengdentifikasi
hari raya berbagai kelompok agama (Griffith, 1996).
2. Kitab
suci
Setiap
agama memiliki tulisan sakral dan kitab yang menjadi pedoman keyakinan dan perilaku penganutnya; selain itu, tulisan
sakral sering kali menyampaikan cerita instruktif mengenai para pemimpin agama,
raja dan pahlawan. Pada sebagian agama, tulisan ini dianggap sebagai ucapan
sang khalik yang ditulis oleh para nabi dan khalifah. Umat kristiani memiliki kitab
suci Injil, umat yahudi memiliki kitab tauran, umat islam memiliki Alqu’an,
umat Hindu Weda dan umat Budha memiliki ajaran dari Tripitaka. Naskat tersebu
secara umum menetapkan hukum-hukum keagamaan dalam bentuk peringatan dan
peraturan untuk hidup. Hukum kegamaan tersebut dapat diinterpretasidalam
berbagai cara subkelompok penganut agama dan daoat memengaruhi kegiatan klien
untuk menerima anjuran penaganan; sebagi contoh, transfusi darah dilarang pada
ajaran umat saksi jehova.
Individu
sering kali mendapatkan kekuatan dan harapan setelah menbaca buku-buku
keagamaan saat mereeka sakit atau saat menalami krisis. Contoh certa keagaman
yang dapat memberikan kenyamanan bagi klien adalah penderitaan nabi, baik pada
kitab sucu yahudi dan kristen baik itu tentang Yesus.
3. Simbol
sakral
Simbol
sakral mencakup perhiasan, liontin, tasbih, lammbang, patung, atau ornamen
tubuh (mis., tato). Yang memiliki makna keagamaan dan spritual. Simbol tersebut
dapat digunakan untuk menunjukkan keyakinan seseorang, untuk mengigatkan
pemakaiannya akan keyakinannyan, untuk memberikan perlindungan spritual, atau
untuk menjadi sumber kenyamanan atau kekuatan. Individu dapat mrngguanakan
liontin keagamaan sepanjang hidup, dan mereka mungkin berharap untuk
mengenakannya saat menjalani studi diagnostik, penanganan medis, atau
pembedahan dan untuk berdoa’a umat muslim bissa membawa tasbih.
Individu
dapat memiliki lambang atau patung keagamaan di dalam rumah, di mobil atau di
tempat kerja sebagai bagian personal untuk sembahyang dan meditasi. Klien yang
dirawat inap atau yang menjalani pengobatan di fasilitas kkeperawatan jangka panjang mungkin berharap untuk di perboleh membawa atau memajang simbol
spritual berupa lambang atau patung sebagai sumber kenyamanan.
4. Doa
dan meditasi
Doa
merupakan satu praktik spritual bagi banyak orang dan juga merrupak praktik keagamaan. Satu eksiklopedia
agama mendefinisikan doa sebagai “komunikasi manusia dengan tuhan atau entitas
spritual” belaka (Gill, 1987, hlm. 486). Beberapa orang meragukan definisi tersebut
karena menurut definisi tersebut, doa mewajibkan orang yang berdoa memiliki
keyakinan pada Tuhan atai entitas spritual, padahal tiidak semua oarang yang
berdoa memilikinya. Sementara itu beberapa orang menganggap doa sebagai fenomena
universal yang tidak mewajibkan keyakinan
tersebut ( Ulanov 1983), sebagai contoh, menyatakan bahwa setiap orang berdoa: “ Orang berdoa meskipun mereka tidak
menyebutnyan berdoa. Kita berdoa setiap kali kita meminta pertolongan,
pemahaman atau kekuatan didalam atau diluar agama.”
Berdoa adalah mendengar
dan menyimak diri sendiri yang berbicara. Doa adalah niat baik ditambah cinta
yang sering kali dikomunikasikan dengan “Yang Absolut.” Menurut Dossey (1999). Dengan demikian, doa adalah harapan
atau pemikiran yang penuh cinta terhadap diri sendiri atau orang lain, dan buka satu bentuk
sihir baik yang positif maupun negatif.
Tedapat berbagai
penggalan doa Paloma and Gallap (1991) menetapkan katagori pengalaman doa sebagai berikut:
a. Ritual
(mis., Hail Mary, doa-doa hafalan yang dapat di ulang)
b. Petisi
kepada Tuhan ( Tuhan nsembuhkan lah saya)
c. Kolokial
(doa berupa percakapan)
d. Meditasional
(saatt-saat diam dan tidak berfokus pada apapun, satu fase yang bermakna atau
pada aspek tertentu dari Tuhan)
Kendati pengalaman doa
meditasional dan kolokial tersebut berkaitan dengan kesejahteraan spritual dan
kualitas hidup pada orang dewasa yang
sehat, pengalaman doa petisi mungkin menjadi yang paling membuatnya nyaman dan
sesuai untuk mereka yang sedang sakit. Beberapa agama mewajibkan ibadah setiap
hari atau menetapkan waktu spesifik untuk berdo dan beribadah. Mereka
membutuhkan waktu tenang tanpa gangguan selama
mereka membaca buku doa mereka, mengunakan rasario, tasbih, atau lambang
keagamaan lain yang tersedia bagi mereka.
Meditasi adalah kegiatan memfokuskan pikiran seseeorang tau
terlibat dalam refleksi diri atau konteraplasi. Beberapa orang meyakini bahwa,
melalui meditasi yang mendalam, seseorang dapat memengaruhi atau mengontrol
fungsi fisik dan psikologis serta perjalanan penyakit.
Dalam agama islam praktik spritual yang sangat mempengaruhi
kesehatan pasien serta mempengaruhi asuhan keperawatan pasien antara lain
adalah shalat, puasa, pembacaan ayat-ayat Al-Quran dan doa serta dzikir.
1. Shalat
Menurut bahasa, shalat mengandung dua pengertian,
yaitu berdoa dan bershalawat. Berdoa berarti memohon hal-hal baik, kebaikan,
kebajikan, nikmat, dan rezeki, sedangkan bershalawat berarti meminta
keselamatan, kedamaian, keamanan, dan pelimpahan rahmat Allah. Shalat merupakan
perwujudan seorang hamba terhadap perintah dan kewajiban dari Tuhan, dan
sebagai sarana yang di dalamnya seorang hamba meminta ketabahan untuk
menghadapi berbagai kesulitan dan ujian yang dialami di dunia ini dan sebagai
bentuk memuji kebesaran dan kemuliaan Allah. Shalat merupakan salah satu
kegiatan ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim karena shalat merupakan
salah satu dari lima rukun islam. Shalat menjadi dasar yang harus ditegakkan
daan ditunaikan sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat yang ada (Raya &
Mulia, 2003).
Shalat
adalah ibadah yang di dalamnya terjadi hubungan ruhani antara makhluk dan
Penciptanya. Shalat juga dipandang sebagai munajat yaitu berdoa dengan hati
yang khusyuk kepada Allah. Orang yang mengerjakan shalat dengan khusyuk, ia
seakan-akan berhadapan dan melakukan dialog dengan Allah. Suasana spritual
seperti ini dapat menolong manusia untuk mengungkapkan segala perasaan dan
berbagai permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, ia mendapatkan tempat
untuk mencurahkan segala yang ada dalam pikirannya. Dengan shalat yang khusyuk
orang akan mendapatkan ketenangan jiwa, karena merasa diri dekat dengan Allah
dan memperoleh ampunan-Nya (Sururin, 2004)
2. Doa
dan zikir
Dzikir mempunyai
kedudukan yang penting dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah. Dzikir kepada
Allah menempati posisi sentral amaliah jiwa yang beriman, karena dzikir adalah
keseluruhan getaran hidup yang digerakkan oleh kalbu dalam totalitas Ilahi.
Totalitas inilah yang kemudian mempengaruhi seorang hamba, dan saat-saat hamba
tersebut istirahat dalam tidurnya. Dikarenakan alasan inilah dzikir dipandang
mempunyai peranan penting dalam upaya mengobati penyakit jiwa manusia (Solihin,
2004).
Dikatakanlah di dalam
Al-Quran surat Ar-Ra’d ayat 28 :
“yaitu orang-orang yang
beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya
dengan dzikir dan mengingat Allah hati menjadi tentram”.
Dari
paparan di atas, banyak orang memahami bahwa dzikir merupakan salah satu cara
terapi semua penyakit jiwa yang dialami manusia. Penyakit yang muncul adalah
akibat dari hati yang tidak tenang. Untuk itu, kesembuhan hati merupakan
kesembuhan keseluruhan. Dalam hal inilah, dzikir dapat menenangkan hati dan
jiwa orang yang sedang mengalami goncangan dan menetralisasi pikiran yang
sedang merasakan kepenatan (Solihin, 2004).
Sebagian
ahli kedokteran jiwa telah meyakini bahwa penyembuhan penyakit klien dapat
dilakukan lebih cepat jika memakai cara pendekatan keagamaan, yaitu dengan
membangkitkan potensi keimanan kepada Tuhan lalu menggerakkannya ke arrah
pencerahan jiwa. Dengan kondisi pencerahan jiwa inilah, akhirnya timbul
kepercayaan diri bahwa Tuhan adalah satu-satunya kekuatan penyembuh dari
berbagai penyakit yang diderita. Kepercayaan inilah yang menjadi daya dorong
yang kuat bagi kesembuhan penyakit jiwa yang dialami klien (Solihin, 2004).
Dipandang dari sudut kesehatan jiwa, doa dan dzikir
mengandung unsur psikoterapeutik yang mendalam. Psikoreligius terapi ini tidak
kalah pentingnya dibandingkan dengan psikoterapi psikiatrik karena ia
mengandung kekuatan spiritual kerohanian yang membangkitkan rasa percaya diri
dan rasa optimisme (harapan kesembuhan). Dua hal ini, yaitu rasa percaya diri
(self konfident) dan optimisme, merupakan dua hal yang amat essensial bagi
penyembuhan suatu penyakit di samping obat‑obatan dan tindakan medis yang
diberikan (Purwanto, 2007)
Hawari
(2005)mentakan bahwa Matthew (1996) dari Universitas Georgetown, Amerika
Serikat melaporkan, dalam pertemuan tahunan American
Association for the Advancement of Science (1996) tercuat ide bahwa mungkin
suatu saat kelak, tugas para dokter bukan lagi hanya menuliskan resep obat,
tetapi juga menuliskan doa dan zikir pada kertas resep sebagai pelengkap. Hal
ini disebabkan dari 212 studi yang telah dilakukan oleh para ahli sebelumnya,
ditemukan 75% responden menyatakan bahwa komitmen agama (berdoa dan berzikir)
berpengaruh positif pada kesehatan pasien, hanya 7% yang berkesimpulan tidak.
Selanjutnya dikemukakan, manfaat terapi keagamaan ini sangat baik, terutama bagi
penderita NAPZA (narkotik, alkohol, zat adiktif), depresi, kanker, hipertensi,
dan penyakit jantung.
Penelitian
Snyderman (1996, dalam Hawari 2005) menyebutkan bahwa terapi medis saja tidak
cukup tanpa disertai dengan doa dan zikir, sebaliknya doa dan zikir saja tanpa
disertai dengan terapi medis, tidaklah efektif. Cristhy (1998, dalam Hawari
2005) dalam penelitian berjudul Prayer as
Medicine, mendukung kesimpulan penelitiannya pendahulunya (Snyderman) dan
menyatakan bahwa doa dan zikir juga merupakan obat bagi penderita, selain obat
dalam pengertian medis. Ia menyimpulkan, “medicine” (obat) yang diberikan
kepada penderita mengandung dua arti. Yaitu “ prayer” (doa) dan “drugs”
(obat/pil).
Dari
hasil-hasil penelitian-penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa komitmen
agama berhubungan dengan manfaat bidang klinik. bagi mereka yang menderita
sakit hendaknya berusaha berobat disertai dengan doa dan zikir, hal ini sesuai
dengan dua buah hadits berikut yang artinya :
“
Seseorang yang sedang menderita penyakit fisik maupun psikis (kejiwaan),
diwajibkan untuk berusaha berobat kepada ahlinya disertai dengan berdoa dan
berdzikir” (HR. Muslim, Ahmad, Tirmizi). Diriwayatkan oleh Muslim dari Utsman
bin Abdul Ash bahwa ia mengadukan rasa sakit yang dideritanya pada Rasulullah
SAW. Maka Rasulullah SAW Bersabda,” Taruhlah tanganmu diatas bagian tubuh yang
terasa sakit itu dan ucapkanlah, Bismillah,
lalu sebutkanlah sebanyak tujuh kali, “Aku berlindung dengan kemuliaan dan
kebesaran Allah dari bencana penyakit yang kurasakan dan kucemaskan ini”, kata
Utsman selanjutnya, “Kulakukanlah seperti itu beberapa kali, maka Allah
melenyapkan penyakit itu dan aku senantiasa disuruh melakukan dan membaca doa
itu kepada keluargaku dan juga kepada orang-orang lain”.
Dari
Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW Bersabda,”Barang siapa menjenguk orang sakit
yang belum lagi akan sampai ajalnya lalu ia membaca doa ini di hadapannya
sebanyak tujuh kali,”Aku memohon kepada Allah yang Maha Agung, Tuhan Arsy yang
Agung, untuk menyembuhkanmu, “Maka Allah akan menyembuhkan orang sakit dari
sakitnya itu”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
3. Membaca Kitab suci
Individu
sering mendapatkan kekuatan dan harapan setelah membaca kitab suci dan buku-buku keagamaan saat mereka sakit atau
sedang mengalami krisis. Kisah-kisah dalam alquran dan pertolongan serta
balasan yang Allah berikan pada orang sakit yang sabar memberikan kenyamanan
dan ketenangan bagi klien.
3. Puasa
Puasa merupakan pemicu kehidupan dan kesehatan manusia secara
komprehensif, seperti makan, bernafas, bergerak, dan tidur. Semua makhluk
hidup, jika tanpa tidut dan tubuhnya tanpa bergerak, tubuhnya akan menderita
suatu jenis penyakit. Demikian juga tanpa puasa, tubuh juga akan terserang
berbagai penyakit, karena keduanya merupakan kebutuhan biologis bagi makhluk
hidup. Tubuh manusia ketika sedang berpuasa mulai menghancurkan benda-benda
makanan yang masuk ke dalam usus. Ketika makanan tersebut habis, maka protein-protein
yang terbentuk mulai disebarkan ke seluruh tubuh yanhg berbeda-beda., dan
pertama kan masuk ke dalam hati dan otot. Maka berpuasa dalam waktu tertentu
dan tidak melebihi proporsi sebagaimana bulan Ramadhan, tersebarnya
protein-protein ke seluruh tubuh akan selalu dalam kondisi yang baru sehingga
akan mengembalkan peremajaan dalam hidupnya. Selain itu dengan berpuasa maka,
dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti berikut.
a. Puasa
dapat menguranngi penyakit Diabetes Melitus
Pada waktu berpuasa kadar gula
dalam tubuh berkurang sampai ukuran yang minimal. Artinya, hal ini akan memberi
kesempatan kepada kelenjar pankreas untuk beristirahat. Pankreas bekerja untuk
memproduksi insulin. Insulin dengan segala peredarannya akan mempengaruhi zat
gula dalam darah. Apabila makanannya bertambah, maka bertambah pula pankreas
dalam memprodukasi insulin, maka kelenjar-kelenjar ini akan terlalu kuat
menanggung beban dan akhirnya tidak mampu menjalankan tugasnya. Maka
bertumpuklah kadar gula dalam darah, sehingga sedikit-sedikt bertambah,
sehingga lama kelamaan berubah menjadi penyakit gula (diabetes). Maka jalan
terbaik untuk memelihara pankreas dari beban ini adalah dengan berpuasa secara
seimbang dan teratur.
b. Berpuasa
akan menyehatkan perut
Sekurang-kurangnya selama 12 jam
dalam sehari pada waktu berpuasa usus besar akan kosong secara se,purna. Dan
hal ini dilakukan dalam waktu sebulan penuh. Masa ini cukup untuk membersihkan
makanan yang tertimbun dalam usus besar dan memberikan kesempatan untuk usus besar
beristirahat dari proses pencernaan. Oleh karena itu dalam bulan puasa usus
besar bersih dari makanan yang tertumpuk.
c. Berpuasa
untuk mengontrol diri
Waktu berpuasa merupakan kesempatan
yang paling baik untuk menjaga kesehatan dari segala kebiasaan yang
membahayakan kesehatan, seperti merokok, mengisap ganja, dan minuman keras.
Karena ibadah ini mengandung unsur-unsur tertentu dari jenis yang menyebabkan
saraf seseorang menjadi kecanduan. Jika seseorang telah menjadi pecandu, maka
tidak mungkin menghentikannya secara tiba-tiba, jika dilakukan maka ia merasa
sakit dan lemah sarafnya. Tetapi jika menghilangkan kebiasaan itu dengan
berpuasa selama 12 jam setiap hari dan dalam masa empat minggu secara rutin,
maka zat yang terkandung dalam ganja, alkohol, dan nikotin, hari demi hari
secara bertahap sedikit demi sedikit berkurang kadarnya, sehingga saraf akan
bebas dari pengaruh benda-benda berbahaya dengan mudah dan nyaman. Oleh karena
itu, bagi pecandu membebaskan dirinya dari kecanduan pada bulan Ramadhan lebih
mudah daripada hari-hari yang lain.
d. Puasa
dan penyakit-penyakit kulit
Puasa akan mengurangi kadar gula
dalam darah, sehingga berpengaruh pula pada kadar gula pada kulit, hal ini
sesuai dengan kondisi darah dalam kulit. Kekeringan kadar air dalam kulit
dapat:
1) Menambah
ketegaran dan daya tahan terhadap bakteri.
2) Memperkecil
kemungkinan berkembangnya penyakit, bengkak, penyakit kulit dan berkembangnya
ke seluruh tubuh.
3) Puasa
juga akan mengeringkan penyakit-penyakit indrawi(mata0 dan penyakit kulit yang
berlemak.
4) Dengan
membebaskan usus dari proses pencernaan, maka akan memperkecil gas-gas beracun
dan asamnya makanan yang menyebabkan bisul-bisul pada kulit.
Berpuasa
merupakan proses pengembangan dan aktualisasi diri ke arah manusia bertakwa.
Dengan berpuasa orang akan menjadi sadar, yakin dan sabar melatih dirinya dalam
menahan lapar dan haus, serta menahan segala keinginan hawa nafsu dalam jangka
waktu tertentu. Puasa yang dilakukan dengan kesadaran, keimanan dan ketakwaan
kepada Allah merupakan benteng yang kokoh bagi pertahanan diri terhadap segala
godaan hawa nafsu. Puasa yang demikian akan mendorong manusia untuk bersikap
ikhlas, jujur, benar, dan mengendalikan diri dalam setiap amal yang
dilakukannya. Puasa yang benar akan memberikan ketenangan jiwa. Apabila orang
sering melakukan puasa berarti ia akan jauh dari sifat jahat, semakin
terkendali dan kuatlah benteng pertahanan dirinya. Dengan demikian, orang yang
berpuasa dapat terhindar dari penyebab gangguan kejiwaan dan tercegah dari
penyakit jiwa (Sururin, 2004).
Tahap-tahap Psikoterapi doa menurut
Purwanto (2007) :
1.
Tahap kesadaran sebagai hamba
Inti
dari terapi ini adalah pembangkitan kesadaran, kesadaran terhadap kehambaan dan
kesadaran akan kelemahan sebagai manusia. Bentuk kesadaran ini akan menghantarkan
seseorang yang berdoa berada pada keadaan lemah. Tanpa adanya kesadaran akan
kelemahan diri ini maka kesungguhan dalam berdoa sulit dicapai. Hakikat berdoa
adalah meminta, yang meminta derajatnya harus lebih rendah dari pada yang
dimintai. Untuk itu sebelum seseorang berdoa diharuskan untuk merendahkan diri dihadapan
Allah.
Bentuk kesadaran diri ini dapat dilakukan dengan melihat kepada diri sendiri misalnya melihat jantung bahwa jantung itu bergerak bukan kita yang menggerakkan, darah yang mengalir bukan atas kehendak kita, atau juga dapat melihat masalah yang sedang dihadapi, ketidakberdayaan, ketidakmampuan mengatasi hal ini dimunculkan dalam kesadaran sehingga bukan nantinya dapat menimbulkan sikap menerima dan sikap pasrah. Pada tahap ini seseorang juga disadarkan akan gangguan kejiwaan atau penyakit yang dialami. Penyakit tersebut bukan ditolak namun diterima sebagai bagian dari diri kemudian dimintakan sembuh kepada Allah.
Bentuk kesadaran diri ini dapat dilakukan dengan melihat kepada diri sendiri misalnya melihat jantung bahwa jantung itu bergerak bukan kita yang menggerakkan, darah yang mengalir bukan atas kehendak kita, atau juga dapat melihat masalah yang sedang dihadapi, ketidakberdayaan, ketidakmampuan mengatasi hal ini dimunculkan dalam kesadaran sehingga bukan nantinya dapat menimbulkan sikap menerima dan sikap pasrah. Pada tahap ini seseorang juga disadarkan akan gangguan kejiwaan atau penyakit yang dialami. Penyakit tersebut bukan ditolak namun diterima sebagai bagian dari diri kemudian dimintakan sembuh kepada Allah.
2.
Tahap penyadaran akan kekuasaan Allah
Selanjutnya setelah diri sadar akan segala kelemahan dan segala ketidakmampuan diri maka pengisian dilakukan yaitu dengan menyadari kebesaran Allah kasih sayang dan terutama adalah maha penyembuhnya Allah. Tahap ini juga menimbulkan pemahaman tentang hakikat sakit yang dialami bahwa sakit berasal dari Allah dan yang akan menyembuhkan adalah Allah. Penyadaran akan kekuasaan Allah ini dapat dilakukan dengan melihat bagaimana Allah menggerakkan segala sesuatu, menghidupkan segala sesuatu
Tahap ini juga dapat menumbuhkan keyakinan kita kepada Allah atas kemampuan Allah dalam menyembuhkan. Bagaimana seseorang dapat berdoa kalau dirinya tidak mengenal atau meyakini bahwa Sang Penyembuh tidak dapat menyembuhkan. Yakin juga merupakan syarat mutlak dari suatu doa karena Allah sesuai dengan prasangka hambanya, jika hambanya menyangka baik maka Allah baik demikian pula sebaliknya. Kegagalan utama terhadap jawaban Allah atas doa yang kita panjatkan kepada Allah adalah keraguan kita. Seringkali ketika berdoa namun hati mengatakan ”dikabulkan tidak ya” atau mengatakan ”mudah-mudahan dikabulkan” kalimat ini maksudnya tidak ingin mendahului Allah tapi sebenarnya adalah meragukan Allah dalam mengabulkan doa kita.
Ada perbedaan antara mendahului kehendak Allah dengan keyakinan yang tujukan kepada Allah. Jika mendahului biasanya menggunakan kata seharusnya begini, harus begini, tapi jika yakin kita optimisme akan kehendak Allah dan tidak masuk pada kehendak Allah. Sebagai contoh bila kita berdoa Ya Allah hilangkan kesedihan hati saya maka kita yakin kepada Allah bahwa Allah memberikan kesembuhan. Hal yang penting juga adalah afirmasi terhadap doa yang kita panjatkan kalau berdoa harus yakin dikabulkan tidak ada alasan lain untuk tidak yakin selain dikabulkan. Sebab Allah akan mengabulkan apa yang kita yakini dari pada apa yang kita baca dalam doa kita.
Selanjutnya setelah diri sadar akan segala kelemahan dan segala ketidakmampuan diri maka pengisian dilakukan yaitu dengan menyadari kebesaran Allah kasih sayang dan terutama adalah maha penyembuhnya Allah. Tahap ini juga menimbulkan pemahaman tentang hakikat sakit yang dialami bahwa sakit berasal dari Allah dan yang akan menyembuhkan adalah Allah. Penyadaran akan kekuasaan Allah ini dapat dilakukan dengan melihat bagaimana Allah menggerakkan segala sesuatu, menghidupkan segala sesuatu
Tahap ini juga dapat menumbuhkan keyakinan kita kepada Allah atas kemampuan Allah dalam menyembuhkan. Bagaimana seseorang dapat berdoa kalau dirinya tidak mengenal atau meyakini bahwa Sang Penyembuh tidak dapat menyembuhkan. Yakin juga merupakan syarat mutlak dari suatu doa karena Allah sesuai dengan prasangka hambanya, jika hambanya menyangka baik maka Allah baik demikian pula sebaliknya. Kegagalan utama terhadap jawaban Allah atas doa yang kita panjatkan kepada Allah adalah keraguan kita. Seringkali ketika berdoa namun hati mengatakan ”dikabulkan tidak ya” atau mengatakan ”mudah-mudahan dikabulkan” kalimat ini maksudnya tidak ingin mendahului Allah tapi sebenarnya adalah meragukan Allah dalam mengabulkan doa kita.
Ada perbedaan antara mendahului kehendak Allah dengan keyakinan yang tujukan kepada Allah. Jika mendahului biasanya menggunakan kata seharusnya begini, harus begini, tapi jika yakin kita optimisme akan kehendak Allah dan tidak masuk pada kehendak Allah. Sebagai contoh bila kita berdoa Ya Allah hilangkan kesedihan hati saya maka kita yakin kepada Allah bahwa Allah memberikan kesembuhan. Hal yang penting juga adalah afirmasi terhadap doa yang kita panjatkan kalau berdoa harus yakin dikabulkan tidak ada alasan lain untuk tidak yakin selain dikabulkan. Sebab Allah akan mengabulkan apa yang kita yakini dari pada apa yang kita baca dalam doa kita.
3.
Tahap Komunikasi
Setelah sadar akan kelemahan dan penyakit yang dialami, dan sadar akan kebesaran Allah maka selanjutnya adalah berkomunikasi dengan Allah sebagai bagian penting dari proses terapi. Tahap komunikasi ini dapat berbentuk :
Setelah sadar akan kelemahan dan penyakit yang dialami, dan sadar akan kebesaran Allah maka selanjutnya adalah berkomunikasi dengan Allah sebagai bagian penting dari proses terapi. Tahap komunikasi ini dapat berbentuk :
a. Pengungkapan
pengakuan segala kesalahan dan dosa, ini merupakan langkah awal sebab dengan
hati yang bersih kontak dengan Allah akan lebih jernih.
b. Pengungkapan
kegundahan hati dan kegilasahan yang dialami, tahap ini dapat berefek katarsis
yaitu memberikan segala permasalahan keluar diri, dalam kontek ini kita
memberikan segala kegalauan hati kepada Allah. Selain itu dengan pengungkapan
ini kita akan menumbuhkan rasa dekat kepada Allah. Tahap ini juga merupakan
curhat seperti seorang anak dengan ibunya, begitu dekat dan tidak ada yang
ditutupi, jujur kepada Allah dari apa yang dirasakan apa yang dipikirkan apa
yang menjadi kekhawatiran. Tahap ini jika dilakukan dengan benar sudah
merupakan terapi terhadap jiwa, seperti halnya seorang klien yang mencurahkan
segala unek uneknya kemudian didengar oleh psikolognya dengan penuh penerimaan,
dengan penuh kasih sayangnya.
c. Permohonan
doa kesembuhan terhadap apa yang dialami. Permohonan doa bukanlah perminataan
yang memaksa Allah untuk mengabulkan. Untuk itu doa yang dipanjatkan harus
disertai dengan kerendahan hati, dengan segenap sikap butuh kepada Allah.
Posisi hamba yang berdoa adalah meminta dia tidak berhak untuk memaksa, hamba
tadi hanya diberi wewenang untuk meyakini bahwa doanya dikabulkan bukan memaksa
allah untuk mengabulkan.
Tahap
menunggu diam namun hati tetap mengadakan permohonan kepada Allah. Doa
merupakan bentuk komunikasi antara yang meminta dan yang memberi. Ketika proses
permintaan sudah disampaikan maka proses pemberian (dijawabnya doa) harus
ditunggu karena pemberian atau dijawabnya bersifat langsung. Syarat untuk dapat
menerima jawaban ini adalah dengan sikap rendah diri, terbuka, dan tenang
(tidak tergesa gesa).
DAFTAR PUSTAKA
Capernito, L. J. 2009. Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada Praktik
Klinis. (Kusrini Semarwati Kadar, Penerjemah). Jakarta: EGC.
Hamid,
A.Y.S. (2008). Bunga rampai asuhan
keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: EGC
Hawari, D. (2007), Dimensi Religi dalam Praktik Psikiatri dan
Psikologi, Jakarta: Penerbit FKUI
Kemp,
C., (2010). Klien Sakit Terminal Seri
Asuhan Keperawatan, Jakarta: EGC.
Kozier, Barbara. (2010). Buku ajar fundamental keperawatan : konsep,
proses dan praktik. Ed 7. Jakarta : EGC
Potter, A. Patricia, Perry, A. Griffin.
2005. Fundamental keperawatan: konsep,
proses, dan praktik. Ed.4 Vol.2. (Renata Komalasari, Penerjemah). Jakarta:
EGC.
Purwanto,
S. (2007). Psikoterapi Doa. Dikutip
pada tanggal 3 April 2012, dari setiyo.blogspot.com/2007/02/terapi-doa.html
Raya, A.T & Mulia, S.M. (2003).
Menyelami Seluk-Beluk Ibadah Dalam Islam.
Jakarta Timur : Prenada Media
Solihin, M. (2004). Terapi Sufistik: Penyembuhan Penyakit
Kejiwaan Perspektif Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia
Sururin.
(2004). Ilmu Jiwa Agama. Ed.1.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
No comments:
Post a Comment
Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat