Konsep
Dasar Keluarga
A. Pengertian
Keluarga
Menurut Sayekti (1994) dalam Suprajitno
(2004; 1), keluarga adalah suatu ikatan/persekutuan hidup atas dasar perkawinan
antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki
atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan tanpa anak, baik anaknya
sendiri atau adopsi, dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.
Menurut Whall (1986) dalam Friedman
(2010; 9), defenisi keluarga adalah sebuah kelompok yang mengidentifikasi diri
dan terdiri atas dua individu atau lebih yang memiliki hubungan khusus, yang
dapat terkait dengan hubungan darah atau hukum atau dapat juga tidak namun
berfungsi sedemikian rupa sehingga mereka menganggap dirinya sebagai keluarga.
Menurut Allen, Fine, dan Demo (2000)
dalam Friedman (2010; 9) bahwa keluarga ditandai dengan kelahiran, pernikahan,
adopsi atau pilihan.
Menurut Fitzpatrick (2004) dalam Lestari
(2008; 6), keluarga adalah rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau
perkawinan atau menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental
mendasar dan fungsi-fungsi ekpresif keluarga bagi para anggotanya yang berada
dalam suatu jaringan.
Menurut Duval dan Logan (1986) dalam
Efendi dan Makhfudli (2009; 179) bahwa keluarga adalah sekumpulan orang dengan
ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan,
mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional,
serta social dari tiap anggota keluarga.
Keluarga adalah dua orang atau lebih
yang disatukan oleh kebersamaan dan kedekatan emosional serta yang
mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari keluarga (Friedman, Bowden, dan
Jones,2010; 9).
Karena defenisi ini bersifat luas,
defenisi ini mencakup berbagai hubungan di luar perspektif legal, termasuk di
dalamnya adalah keluarga yang tidak ada hubungan darah, pernikahan, atau adopsi
dan tidak hanya terbatas pada keanggotaan dalam suatu rumah tangga (Friedman,
Bowden, dan Jones,2010; 9).
B. Tipe
keluarga
Dari pengertian tentang keluarga dapat
disimpulkan bahwa karakteristik keluarga yaitu terdiri dari duat atau lebih
individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi; anggota
keluarga biasanya hidup bersama, atau jika terpisah mereka tetap memperhatikan
satu sama lain; anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing
mempunyai peran soail : suami, istri, anak, kakak, dan adik, mempunyai tujuan,
1. Tipe
keluarga tradisional :
a. The Nuclear Family
( keluarga inti) yaitu keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak
(kandung atau angkat)
b. The Dyad Family,
suatu rumah tangga yang terdiri dari suami, istri tanpa anak
c. Reconstituted nuclear, pembentukan
baru dari keluarga inti melalui perkawinan kembali suami istri, tinggal dalam
pembentukan suatu rumah dengan anak-anaknya, baik itu anak dari perkawinan lama
maupun hasil dari perkawinan baru.
d. Keluarga Usila,
keluarga terdiri dari suami, istri yang
sudah usia lanjut, sedangkan anak sudah memisahkan diri.
e. The Childless,
keluarga tanpa anak karena terlambat menikah, biasa disebabkan karena mengejar
karir atau pendidikan.
f. The Extende Family,
keluarga yang terdiri dari keluarga inti ditambah keluarga lain, seperti paman,
bibi, kakek, nenek.
g. Single Parent
yaitu keluarga yang terdiri dari satu orang tua dengan anak (kandung atau
angkat). Kondisi ini dapat disebabkna ole perceraian atan meninggal
h. Commuter Family,
yaitu kedua orang tua bekerja diluar kota, adan bias berkumpul pada hari minggu
atau hari libur saja.
i.
Multinegeration
family, beberapa keluarga yang ditinggal
bersama atau saling berdekatan dan menggunakan barang-barang pelayanan seperti
dapur, sumur yang sama.
j.
Kin-network
family, bebeerapa keluarga inftri yang tinggal dalam
satu rumah atau saling berdekatan dan saling menggunakan barang-barang dan
pelayanan yang sama (dapur, kamar mandi, televise)
k. Blended Family
yaitu keluarga yang dibentuk dari janda atau duda dan membesarkan anak dari
perkawinan sebelumnya.
l.
Single
adult living alone yaitu suatu rumah
tangga yang terdiri dari satu orang dewasa.
2. Tipe
keluarga nontradisional :
a. The unmarried teenage
mother, yaitu keluarga yang terdiri dari satu
orang dewawa terutama ibu dengan anak dari hubungan tanpa nikah.
b. The Step Parent Family,
yaitu keluarga dengan orang tua tiri.
c. Commune Family, yaitu lebih satu keluarga tanpa pertalian
darah yang hidup semuarah.
d. The non marital
heterosexual cohabiting family, yaitu keluarga yang hidup bersama,
berganti-ganti pasangan tanpa menikah .
e. Gay and Lesbian Family,
yaitu seseoarng yang mempunyai persamaan
sex tinggal dalam satu rumah sebagaimana pasang suami istri.
f. Cohabiating couple, yaitu
orang dewasa yang hidup bersama diluar ikatan per-kawinan karena alas an
tertentu.
g. Group Marriage Family, yaitu
beberepa orang dewasa yang telah merasa saling menikah, berbagi sesuatu
termasuk sex dan membesarkan anka.
h. Group Network Family, yaitu
beberapa keluarga inti yang dibatasi oleh norma dan aturan, hidup berdekatan
dan saling menggunakan barang yang sama dan bertanggung jawab membesaarkan
anak.
i.
Foster
Family, yaitu keluarga yang menerima anak yang
tidak ada hubungan saudara untuk waktu sementara.
j.
Homeless
Family, yaitu keluarga yang terbentuk tanpa
perlindungan yang permanen karena keadaan ekonomi atau problem kesehatan
mental.
k. Gang, yaitu
keluarga yang destruktif dari orang-orang muda yang mencari ikat emosional,
berkembang dalam kekerasan dan criminal.
C. Fungsi
Keluarga
1. Fungsi afektif
Fungsi afektif berhubungan berhubungan
dengan funsi internal keluarga perlindungan psikososial dan dukungan terhadap
anggotanya. Sejumlah penelitian penting dilakukan untuk memastikan pengaruh
positif kepribadian yang sehat dan ikatan keluarga pada kesehatan serta
kesejahteraan individu (singer & Ryff,2001). Hubungan sosial yang positif
berhubungan dengan hasil kesehatan yang lebih baik, umur panjang, dan penurunan
tingkat stress. Sebaliknya, kehidupan keluarga juga dapat menimbulkan stress
dan koping disfungsional dengan akibat yang dapat mengganggu kesehatan fisik
(mis., sulit tidur, tekanan darah tinggi, penurunan respons imun ) (Singer
& Ryff,2001).
Keluarga menyelesaikan tugas-tugas yang
mendukung kesehatan perkembangan dan pertumbuhan anggotanya dengan memenuhi
kebutuhan sosioemosional anggotanya, dimulai pada tahun-tahun awal kehidupan
individu dan berlanjut selama masa hidupnya. Pemenuhan fungsi efektif adalah
basis sentral baik bagi pembentukan maupun kesinambungan unit keluarga ( Satir,
1972). Citra diri individu dan rasa memilikinya berasal dari interaksi kelompok
primer (keluarga). Oleh karena itu, keluarga berfungsi sebagai sumber cinta,
pengakuan, penghargaan, dan dukungan primer.
Lovenland-Cherry (1996) menunjukkan
bahwa afektif diantara anggota keluarga menghasilkan suasana emosional pengasuhan, yang secara positif memengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan serta rasa kompetensi pribadi. Pengasuh keluarga
adalah penting bagi prilaku peningkatan kesehatan dan akibatnya sehat.
a. Komponen
fungsi afektif
Fungsi afektif melibatkan persepsi
keluarga terhadap penghargaan akan dan asuhan kebutuhan psikososial anggotanya.
Melalui pemenuhan fungsi afektif, keluarga meningkatkan kualitas kemanusiaan,
stabilisasi kepribadian dan prilaku, relatabilitas (kemampuan berhubungan
sangat baik), dan harga diri anggota keluarga.
1) Memelihara
saling asuh
Yang pertama dan terutama, pemenuhan
fungsi efektif terkait dengan menciptakan
dan memelihara sistem keluarga yang saling asuh. Salah satu nilai
keluarga yang paling penting adalah bahwa keluarga harus berfungsi sebagai
tempat singgahan hangatan, dukungan, cinta, dan penerimaan. Prasyarat untuk
mencapai saling asuh adalah komitmen dasar dari pasangan dewasa baik terhadap
satu sama lain maupun terhadap hubungan pernikahan yang secara emosional saling
memuaskan dan memerhatikan. Hal ini menjadi landasan emosional bagi orang tua
membangun struktur suportif mereka. Sikap dan prilaku memerhatikan yang
mengalir dari orang tua dan saudara kandung ke anak yang lebih kecil akan menghasilkan
suatu aliran balik dari anak ke orang tua.Brown(1978)
Mutualitas dan timbal balik adalah
konsep utama. Orang tua memberikan secara emosional kepada anak ; pada
gilirannya, emosi ini diterima oleh anak dan dib alas baik kepada orang tua
maupun sodara kandung. Hal yang sebaliknya juga terjadi: penolakan dan
kemarahan orang tua melahirkan respon marah dan penolakan pada anak mereka.
Dengan memelihara jenis lingkungan
emosional keluarga, tempat anggota keluarga saling berespons secara
adekuat, keluarga memberikan kesempatan bagi individu untuk membentuk dan
memelihara hubungan yang bermakna tidak hanya dengan anggota keluarga, tetapi
juga dengan individu lain.
Dalam sebuah pernikahan atau hubungan
rumah tangga, kebutuhan salimg memelihara saling asuh dapat di capai dengan
menentukan kebutuhan emosional terpenting dari pasangan / mitra dalam rumah
tangga dan seberapa efektif mereka saling memenuhi kebutuhan tersebut.
Harley(1994), seorang psikolong dan penasehat pernikahan, menggunakan Emotional
Needs Questionnaire untuk membantu ratusab keluarga yang ia bantu guna
menentukan kebutuhan mereka dalam pernikahan mereka. Dari keluarga yang permah
mendapat konseling darinya, lima kebutuhan dasar pria dan lima kebutuhan dasar
wanita secara konsisten muncul sebagai sumber masalah pernikahan saat kebutuhan
ini tidak terpenuhi.
2) Membina
keakraban
Dengan memenuhi fungsi afektif keluarga,
anggota keluarga mengembangkan kemampuan untuk berhubungan secara akrab atau
dekat dengan orang lain. Keakraban penting dalam hubungan manusia, karena
keakraban memenuhi kebutuhan psikologis terhadap kedekatan emosional dengan
manusia lain dan memungkinkan individu dalam hubungan untuk mengetahui kisaran
penuh dari keunikan satu sama lain.
Seorang bayi biasanya pertama kali mengalami
hubungan keakraban dengan orang tuanya, yang di mulai dengan ikatan ibu bayi.
Hubingan tersebut terus bertumbuh dan berkembang selama bertahun-tahun
berikutnya dalan keluarga asal. Ketika tercapai, rasa’ kedekatan dan
kepercayaan ini memberikan seseorang kepercayaan diri untuk mencapai batasan
luar keluarga dan membina hubungan dekat serta mememuaskan secara emosional
dengan orang lain. Ketika dewasa muda kemudian membentuk keluarga mereka
sendiri, rasa keakraban dan kedekatan ini berlanjut dan dapat di teruskan
kegenerasi berikutnya. Sebaliknya, jika ikatan awal dan rasa percaya serta
keakraban tidak terjadi dalam keluarga asal, individu tersebut tidak akan
memiliki kepercayaan diri dan kemampuan untuk berhubungan secara akrab dengan
orang lain. Sayangnya, ketidakmampuan untuk mempercayai orang lain ini biasanya
deteruskan kegenerasi berikutnya kecuali beberapa faktor mengintervensi seperti
pengalaman pribadi dan pertumbuhan pada tahapan akhir kehidupan terjadi (Bowen,
1978 ; Bying-Hall, 1995).
3) Keseimbangan
saling menghormati
Literatur mengenai pedoman orang tua
anak menampilkan pendekatan yang dikenal baik untuk menjadi orang tua, yang di
sebut sebagai keseimbangan saling menghormati (Colley, 1978). Ketika
diterapkan, keseimbangan ini membantu anggota keluarga memenuhi fungsi afektif
mereka. Pendorong utama dari pendekatan ini adalah keluarga harus memelihara
suasana yang sangat menghargai kehormatan diri yang positif dan hak baik orang
tua maupun anak. Pendorong ini di terima oleh semua anggota keluarga sehingga
masing-masing orang dalam keluarga memiliki hak pribadinya sebagai individu,
serta kebutuhan perkembangan khusus pada kelompok usianya. Keseimbangan saling
menghormati dapat di capai saat masing-masing anggota keluarga menghargai hak,
kebutuhan, dan tanggung jawab anggota lainnya (Colley,1978).
4) Ikatan
dan identifikasi
Kekuatan yang terus menerus di balik
persepsi dan kepuasan terhadap kebutuhan individu dalam keluarga disebut ikatan
atau pelekatan, istilah yang sering digunakan saling bertukar oleh ahli teori.
Pelekatan menurut Wright dan Leahey (2000, hlm.100) adalah suatu ikatan
emosional unik yang secara relative tahan lama antara dua orang yang khusus.”
Ikatan pertama kali diprakarsai dalam sebuah keluarga baru dalam hubungan
pasangan rumah tangga/ pernikahan. Ini adalah saat pasangan menemukan ikatan
dan identifikasi terjadi saat pasangan menemukan kepentingan, tujuan, dan nilai
umum serta menemukan bahwa hubungan tersebut memvalidasi semuanya itu, membawa
manfaat nyata tertentu( prestise, hubungan temen sebaya, hak istimewa
komunitas.dll.) memungkinkan pemenuhan tujuan tertentu yang tidak dapat di
penuhi sendiri (mis., memiliki anak), dan memberikan kesenangam dan kenyamanan
bersama karena kontak mereka yang terus menerus satu sama lain (Perry, 1983;
Turner, 1970). Bowlby (1977) menyebut pembentukan ikatan emosional ini “ jatuh
cinta”. Ikatan dan pelekatan yang sejenis ini terbentuk kemudian antara oarng
tua dan anak serta antara sibling saat mereka secara kesinambung dan positif
saling terkait.
5) Keterpisahan
dan keterkaitan
Satu isu utama psikologis yang
mendominasi dan melibatkan kehidupan keluarga adalah cara keluarga memenuhi
kebutuhan psikologis anggotanya, dan bagaimana ini memengaruhi identitas dan
harga diri individu. Selama tahun-tahun awal sosialisasi, keluarga membentuk
dan memprogram perilaku seorang anak, sehingga membentuk rasa identitasnya.
Minuchin (1974) lebih lamjut menjelaskan :” pemgalaman identitas manusia
memiliki dua unsure unsure rasa memiliki dan rasa terpisah. Laboratorium tempat
bahan-bahan ini di campur dan didistribusikan adalah keluarga, matriks
identitas”
Rasa memiliki anak berasal dari menjadi
bagian , atau ikatan dengan sebuah keluarga, memainkan peran sebagai anak dan
sibling. Perkembangan rasa keterpisahan
dan individualism terjadi saat anak berpartisipasi dalam peran di
keluarga dan dalam peristiwa serta situasi keluarga yang berbeda, dan melalui
keterlibatan dalam aktivitas di luar keluarga. Ketika anak bertumbuh, orang tua
secara progesif memberikan mereka lebih banyak otonomi untuk memenuhi kebutuhan
dan kepentingan unik diri mereka.(Minuchin,1974).
6) Pola
kebutuhan atau respons
Komponen afektif dari hubungan keluarga
perlu di evaluasi dalam hal sejauh mana anggota keluarga tampak saling peduli
(Hartman & Laird, 1983). Parad dan Caplan (1995) membahas pertimbangan ini
dalam diskusi mereka mengenai pengkajian pola kebutuhan-respons dalam keluarga.
Konsep ini pada dasarnya sinonim dengan fungsi afektif keluarga. Aspek saling
asuh, menghargai, ikatan , dan keterpisahan keterkaitan muncul sebagai
prasyarat penting atau syarat utama bagi pola kebutuhan – respons yang
memuaskan dalam keluarga.
Tiga fase terpisah dan saling tekait
diturunkan dalam respons afektif
keluarga terhadap kebutuhan ini. Yang pertama, anggota keluarga harus memahami
kebutuhan anggota lain dalam batasan kebudayaan keluarga. Selanjutnya,
kebutuhan ini harus di pandang dengan pertimbangan dan dilihat sebagai makna
dari perhatian( seperti yang dibahas di keseimbangan saling menghargai).
7) Peran
terapeutik
Peran ini sangat mirip dengan peran
pasangan rumah tangga orang dewasa dalam memenuhi kebutuhan peran afektif
pasangan mereka. Sementara fungsi afektif menguraikan fungsi kesehatan
jiwa keluarga yang luas sebagai kelompok
yang di rancang untuk memenuhi kebutuhan psikologis anggotanya,peran terapeutik
menguraikan sebuah peran sosidemosional yang penting dalam pernikahan
/subsistem pasangan dewasa. Khususnya , peran terapeutik yang di perankan pasangan hidup/ pasangan dalam rumah tangga
adalah berorientasi pada masalah.
2. Fungsi
sosialisasi keluarga
Sosialisasi dimulai pada saat lahir dan
berakhir hanya pada saat kematian. Sosialisasi adalah proses sepanjang hidup
ketika individu secara kontinu memodifikasi prilaku mereka sebagai respons
terhadap keadaan yang berpola secara sosial yang mereka alami.
Sosialisasi dimulai pada saat lahir dan
akan di akhiri dengan kematian. Sosialisasi merupakan suatu proses yang
berlangsung seumur hidup, dimana individu secara kontinu mengubah prilaku
mereka sebagai respons terhadap situasi yang terpola secara sosial yang mereka
alami. Ini termasuk internalisasi satu set norma-norma dan nilai-nilai yang
cocok bagi remaja usia 14 tahun, pergantian berusia 20 tahun, orang tua yang
berusia 24 tahun, kakek atau nenek yang berusia 50 tahun, juga orang yang telah
pensiun dalam usia 65 tahun.
Sosiologi mencakup semua proses dalam
sebuah komunitas tertentu atau kelompok dimana manusia, berdasarkan sifat
kelenturannya, melalui pengalaman-pengalaman yang di peroleh selama hidup .
3. Fungsi
perawatan kesehatan
Fungsi perawatan kesehatan bukan hanya
fungsi esensial dan dasar keluarga namun fungsi yang mengembangkan fokus
sentral dalam keluarga yang berfungsi dengan baik dan sehat. Akan tetapi,
memenuhi fungsi perawatan kesehatan bagi semua anggota keluarga dapat sulit akibat tantangan eksternal dan
internal. Pratt (1976, 1982) menunjukan bahwa alasan keluarga mengalami
kesulitan memberikan perawatan kesehatan bagi anggota mereka terletak pada
struktur keluarga dan system pelayanan rumah sakit.
4. Fungsi
reproduksi
Keluarga berfungsi untuk meneruskan
kelangsungan keturunan dan menambah
sumber daya manusia. Dengan adanya program berencana , maka fungsi ini sedikit
terkontrol. Di sisi lain banyak kelahiran yang tidak di harapkan atau di luar
ikatan perkawinan, sehingga lahirlah keluarga baru dengan satu orang tua.
5. Fungsi
ekonomi
Untuk memenuhi kebutuhan keluarga
seperti : makanan, pakaian, dan perumahan, maka keluarga memerlukan sumber
keuangan. Fungsi ini sulit dipenuhi oleh keluarga yang berada d bawah garis
kemiskinan. Perawat bertanggung jawab untuk mencari sumber-sumber di masyarakat
yang dapat di gunakan oleh keluarga dalam meningkatkan status kesehatan.
D. Pola
dan proses komunikasi keluarga
Komunikasi keluarga dinyatakan dalam bentuk konsep
sebagai salah satu dari empat dimensi struktur sistem keluarga, kekuasaan,
pengambilan keputusan, dan struktur peran serta norma dan nilai keluarga.
Dimensi tersebut saling berhubungan dan saling bergantung secara erat. Karena
keluarga merupakan suatu sistem sosial, terdapat interaksi dan umpan balik
bersinambungan antara lingkungan internal dan eksternal.
Struktur keluarga terkait memfasilitasi pencapaian
fungsi keluarga. Selain itu, pola komunikasi dalam sistem keluarga mencerminkan
peran dan hubungan anggota keluarga. Komunikasi dalam suatu keluarga dapat
dipandang sebagai isi pola dan diuraikan sebagai suatu komponen struktural.
Secara bersamaan, komunikasi dalam keluarga dapat dianggap interaksi yang
beruntun sepanjang waktu dan dikaji sebagai proses.
1. Pengertian
Komunikasi
Dalam Friedman, Bowden, dan Jones
(2010), menurut McCubbin dan Dahl (1985), komunikasi adalah proses pertukaran
perasaan, keinginan, kebutuhan, informasi, dan pendapat. Sedangkan Galvin dan
Brommel (1986) mendefinisikan komunikasi keluarga sebagai suatu simbolis,
proses transaksional menciptakan dan membagi arti dalam keluarga. Seperti
halnya setiap orang mempunyai gaya komunikasi yang berbeda, begitu pula setiap
keluarga mempunyai gaya dan pola komunikasi yang unik. Komunikasi yang jelas dan
fungsional antara anggota keluarga merupakan alat penting untuk mempertahankan
lingkungan yang kondusif untuk mengembangkan perasaan bergharga dan harga diri
serta menginternalisasikannya.
2. Fungsi
Komunikasi dalam Keluarga
Ada beberapa fungsi dari komunikasi
meliputi menyampaikan pesan/gagasan, membangun konsep diri, aktualisasi diri,
untuk kelangsungan hidup, memperoleh kebahagiaan, dan terhindar dari tekanan
dan ketegangan.
3. Prinsip
Komunikasi
Menurut Watzlawick dan rekan (dalam
Friedman, Bowden, & Jones, 2010) ada enam prinsip komunikasi yang menjadi
dasar untuk memahami proses komunikasi keluarga yaitu:
1) Tidak
mungkin untuk tidak berkomunikasi, karena semua perilaku adalah komunikasi
Pada setiap situasi ketika terdapat dua
orang atau lebih, individu mungkin atau tidak mungkin berkomunikasi secara
verbal, tetapi mereka tidak menghindarkan komunikasi non verbal. Dalam konteks
ini referensi komunikasi nonverbal merupakan ekspresi tanpa bahasa seperti
membalikkan badan atau mengerutkan kening, tetapi bukan merupakan bahasa
isyarat.
2) Komunikasi
mempunyai dua tingkat yaitu informasi (isi) dan perintah (instruksi)
Isi yaitu apa yang sebenarnya sedang
dikatakan (bahasa verbal) sedangkan instruksi menyampaikan menyampaikan maksud
dari pesan (goldenberg & goldenberg, 2000). Isi suatu pesan dapat berupa
pernyataan sederhana, tetapi mempunyai pesan atau instruksi bergantung pada
variabel seperti emosi, maksud, dan konteks serta dapat diekspresikan secara
nonverbal dengan kecepatan dan alur bicara, gerakan dan posisi tubuh serta nada
suara.
3) Berhubungan
dengan “pemberian tanda baca (pungtuasi)” atau rangkaian komunikasi
Komunikasi melibatkan proses transaksi,
dan dalam pertukaran tiap respons berisi komunikasi berikutnya. Anggota
keluarga masing-masing akan menjelaskan
peristiwa dan urutan interaksi secara berbeda. Akibatnya tidak ada awal
(penyebab) atau akhir (akibat) dalam transaksi komunikasi, karena terjadi respon
sirkular. Perilaku interpersonal (komunikasi) anggota keluarga karena itu
paling baik dipahami dengan pandangan kausalitas sirkular daripada linear.
Diskusi lingkaran umpan balik
selanjutnya akan mengklarifikasi ide penjelasan dalam komunikasi. Komunikasi
melayani sebagai suatu organisasi yang mempunyai tujuan dan proses penataan
diri dalam keluarga. Proses penataan diri dalam suatu sistem bergantung pada
komunikasi dua arah yang disebut lingkaran umpan balik.
Lingkaran umpan balik diperlukan dalam
transaksi ini dapat berupa negatif atau positif. Secara paradoksikal, umpan
balik negatif dipandang ‘positif’ karena
bersifat korektif; umpan balik ini mengatur atau memodulasi komunikasi atau
alur informasi sehingga sistem dapat menyesuaikan secara homeostatis untuk
mempertahankan stabilitas. Negatif bukan berarti menghakimi, tetapi hanya
sebagai acuan arah alur informasi. Umpan balik negatif yang mengatur diri jika
pengirim mulai berinteraksi dengan mengirimkan suatu pesan dan kemudian karena
input yang baru saja diterima dari pengirim, memodifikasi pesannya sebelum
balasan mungkin atau diharapkan terjadi. Proses penyelesaian masalah dan
pengambilan keputusan bergantung pada umpan balik negatif. Proses ini mulai
saat masalah muncul dan teridentifikasi. Dalam situasi penyelesaian masalah
keluarga, pengirim atau orang yang memulai interaksi biasanya mengidentifikasi
masalah, anggota keluarga kemudian menggali masalah, berbagai solusi dibahas,
dan akhirnya dibuat keputusan.
Umpan balik positif meningkatkan
ketidakstabilan atau penyimpangan dari keadaan homeostatis. Secara teoritis,
apabila umpan balik positif terus mengguanakan potensi kekuatan penyimpangan
dari homeostatis atau stabilitas, ke suatu keadaan ketika sistem akan merusak
sendiri atau tidak lagi berfungsi (Steinglass, 1978, dikutip daro goldenberg
&goldenberg,2000). Argumentasi antara orang tua dan anak yang etrus
membesar adalah salah satu contoh jenis
interaksi umpan balik positif keluarga yang biasa terjadi. Umpan balik positif
tidak selalu menimbulakan konsekuensi yang berlawanan. Pada kenyataannya umpan
balik positif diperlukan keluarga agar terjadi perubahan dan pertumbuhan.
Mungkin terdapat keadaan yang tidak stabil dan ketegangan sesaat dalam
keluarga, namun selanjutnya pengguanaan umpan balik positif secara selektif
diperlukan untuk terjadinya suatu peribahab dan pertumbuhan.
4) Terdapat
dua tipe komunikasi yaitu digital dan analogik
Komunikasi digital adalah komunikasi
verbal (isyarat) yang pada dasarnya menggunakan kata dalam pemahaman arti yangg
sama. Sedangkan analogik adalah ide atau sesuatu hal yang dikomunikasikan,
dikirim sevara nonverbal dan sikap yang representatif (Hartman & Laird,
1983). Komunikasi analogik dikenal sebagai bahasa tubuh, mengirim pesan melalui
sikap tubuh, ekspresi wajah, irama dan nada kata yang di ucapkan. Komunikasi
analogik yang menyampaikan metakomunikasi, walaupun sering kali ambigu dan
tidak ringkas tetapi cenderung sebagai cara mengomunikasikan hubungan yang
lebih kuat.
5) Prinsip
redundansi (kemubaziran)
Telah diamati secara konsisten bahwa
interaksi keluarga didalam kisaran terbatas dalam urutan perilaku berulang.
Oleh karena itu, apabila pengamat keluarga kehilangan dari satu urutan atau
pola perilaku, menurut prinsip pengulangan, urutan ini akan segera
dimanifestasikan sendiri lagi. Prinsip ini merupakan dasar pengembangan
penelitian keluarga yang menggunakan keterbatasan pengamatan interaksi keluarga
sehingga dapat memberikan penghayatan yang valid ke dalam pola umum komunikasi
keluarga.
Pola interaksi berulang dalam keluarga
merupakan bukti bahwa peraturan komunikasi berjalan dalam keluarga. Pola ini
secara alami muncul sebagai konsekuensi dari interaksi multipel antara anggota
keluarga, begitu mereka mengetahui apa yang diharapkan dari masing-masing
anggota keluarga. Knapp (1984) menegaskan bahwa terdapat peraturan yang
tertutup dan terbuka untuk menginformasikan kepada anggota keluarga kapan dan
apa komunikasi yang dibutuhkan, dipilih, atau dilarang.
6) Semua
interaksi komunikasi yang simetris atau komplementer
Pada komunikasi simetris, perilaku pelaku
interaksi bercermin pada perilaku pelaku interaksi lainnya. Dalam komunikasi
komplementer, perilaku seorang pelaku interaksi melengkapi perilaku pelaku
interaksi lainnya. Jika satu dari dua tipe komunikasi tersebut digunakan secara
konsisten dalam hubungan keluarga, tipe komunikasi ini mencerminkan nilai dan
peran serta pengaturan kekuasaan keluarga.
4. Proses
Komunikasi
Menurut
Friedman, Bowden, & Jones (2010), proses komunikasi ada dua jenis yaitu:
1) Proses
komunikasi fungsional
Menurut
Sells (dalam Friedman, Bowden, & Jones, 2010) komunikasi fungsional
didefenisikan sebagai pengiriman dan penerimaan pesan baik isi maupun tingkat
intruksi pesan yang langsung dan jelas. Dengan kata lain, komunikasi yang sehat
dan fungsional dalam suatu kelurga memerlukan pengirim untuk mengirimkan maksud
pesan melalui saluran yang relative jelas dan penerima pesan mempunyai
pemahaman arti yang sama dengan apa yang dimaksudkan oleh pengirim.
a) Pengirim
fungsional
Menurut Satir
(1967) ( dalam Friedman, Bowden, & Jones, 2010) komunikasi secara
fungsional dapat:
(1) Menyatakan
maksud dengan jelas
Salah
satu landasan untuk secara tegas menyatakan maksud seseorang adalah penggunaan
komunikasi yang selaras pada tingkat intruksi. Sebagai contoh, pada kasus
seseorang yang sedang marah, pesan literal kosisten dengan nada suara, posisi
dan sikap tubuhnya.
(2) Intensitas
dan keterbukaan
Ketika
seseorang berkomunikasi, pengirim meminta sesuatu dari penerima. Permintaan
tersebut meliputi berbagai tingkat intensitas dan keterbukaan, keduanya melibatkan
seberapa tegas pegirim menyatakan pesannya. Intensitas berkenaan dengan
kemampuan pengirim mengomunikasikan persepsi internal dari perasaan, keinginan,
dan kebutuhan secara efektif dengan intensitas yang sama dengan persepsi
internal yang dialaminya. Agar terbuka, pengirim fungsional menginformasikan
kepada penerima tentang keseriusan pesan dengan menyatakan bagaimana penerima
seharusnya merespon pesan tersebut. Sebagai contoh tingkat keterbukaan yang
tinggi adalah: “saya ingin pulang kerumah sekarang. Saya sangat lelah”.
(3) Mengklarifikasi
dan mengualifikasi pesan
Penggunaan
pernyataan klarifikasi dan kualifikasi. Pernyataan tersebut memungkinkan
pengirim untuk lebih spesifik dalam memastikan persepsinya terhadap kenyataan
dengan persepsi orang lain. Contoh jenis pernyataan klarifikasi dan kualifikasi
tipe spesifik meliputi peryataan “saya ingin” seperti “jangan ganggu saya
ketika saya sedang mendisiplinkan anak-anak” atau peryataan “saya merasa”,
misalnya “saya kadang merasa frustasi ketika tangan saya tidak mampu melakukan
pekerjaan rumah”.
(4) Meminta
umpan balik
Meminta
umpan balik, yang memunkinkan ia untuk memverifikasi apakah pesan diterima
secara akurat, dan memungkinkan pengirim untuk mendapatkan informasi yang
diperlukan untuk mengklarifikasi maksud. Pada contoh berikut ini, pengirim
meminta umpan balik untuk memperoleh persepsi penerima atau reaksi terhadap
pesan yang sudah dikomunikasikan oleh pengirim: “saya terus bertanya kedapa
diri sendiri, apakah kita harus memberitahu kepada anak-anak bahwa saya
menderita kanker? Bagaimana manurutmu? Atau”karena kegiatanmu masih dibatasi
akibat kondisi jantungmu, menurut saya orang tuamu seharusnya dating berkunjung
pada lain waktu. Apa reaksimu?”
(5) Terbuka
terhadap umpan balik
Pengirim
yang terbuka terhadap umpan balik akan menunjukkan kesediaan untuk
mendengarkan, bereaksi tanpa defensive, dan mencoba untuk memahami. Agar
mengerti, pengirim harus mengetahui validitas pandangan penerima. Jadi dengam
meminta kritik yang lebih spesifik atau pernyataan “memastikan”, pengirim
menunjukkan penerimaannya dan minatnya terhadap umpan balik.
b) Penerima
fungsional
Penerima
fungsional mencoba untuk membuat pengkajian maksud suatu pesan secara akurat.
Dengan melakukan hal ini, mereka akan lebih baik mempertimbangkan arti pesan dengan
benar dan dapat lebih tepat mengkaji sikap dan maksud pengirim, serta perasaan
yang diekspresikan dalam komunikasi (Friedman, Bowden, & Jones, 2010; 251).
(1) Mendengarkan
secara efektif
Mendengarkan
secara efektif berarti memfokuskan perhatian penuh pada seseorang terhadap apa
yang dikomunikasikannya dan mentup semua hal yang akan merusak pesan. Pendengar
aktif dengan sikap mengkomunikasikan secara aktif bahwa ia mendengarkan.
Mengajukan pertanyaan merupakan bagia terpenting dari mendegarkan aktif
(2) Memberikan
umpan balik
Memberikan
umpan balik terhadap pengirim yang memberitahu pengirim begaimana penerima
mennafsirkan pesan. Pernytaan ini mendorong pengirim untuk menggali lebih
lengkap. Sebagai conntoh, “apa yang anda maksud ketika anda mengatakan saya mudah
frustasi terhadap saudara wanita saya?”. Umpan balik juga dapat melalui suatu
proses keterkaitan. Yaitu, penerima membuat suatu hubungan antara pengalaman pribadi terdahulu
atau kejadian yang terkait dengan komunikasi pengirim.
Melakukan
paraphrase dan memeriksa persepsi adalah bentuk lain dari umpan balik dan dapat
dicapai dengan bertanya atau membuat pernyataan rangkuman pesan pengirim.
Penerima melakukan hal ini dengan mengulangi pernyataan pengirim pesan
menggunakan bahasanya sendiri. Tujuan sentral dari paraphrase adalah untuk
mengklarifikasi pesan pengirim. Misalnya, “jadi anda mengatakan …” atau “apa
yang saya mengerti adalah …”.
(3) Membarikan
validasi
Dalam
penggunaan validasi, penerima menyampaikan pemahamannya terhadap pemikiran dan
perasaan pengirim. Validasi tidak berarti penerima setuju dengan pesan yang
dikomunikasikan pengirim, tetapi menunjukkan penerimaan atau pesan tersebut
berharga.
2) Proses
komunikasi disfungsional
a) Pengirim
disfungsional
Komunikasi
pengirim disfungsional sering kali tidak efektif pada satu atau lebih
karakteristik dasar dari pengirim fungsional. Dalam menyatakan kasus,
mengklarifikasi dan mngualifikasi,dalam menguraikan, dan keterbukaan terhadap
umpan balik. Penerima sering kali ditinggalkan dalam kebingungan dan harus menebak
apa yangmenjadi pemikiran atau perasaan pengirim pesan.
(1) Membuat
asumsi
Ketika
asumsi dibuat, pengirim mengandalkan, pengirim mengandalkan apa yang penerima
rasakan atau fikirkan tentang suatu peristiwa atau seseorang tanpa memvalidasi
persepsinnya. Pengirim disfungsional biasanya tidak menyadari asumsi yang ia
buat. Ia jarang mengklarifikasi isi atau maksud pesan sehingga dapat terjadi
distorasi pesan. Apabila hal ini terjadi, ini dapat menimbulkan kemarahan pada
penerima, yang diberi pesan, yang pendapat serta perasaan tidak dianggap.
(2) Mengekspresikan
perasaan secara tidak jelas
Karena
takut ditolak, ekspresi perasaan pengirim dilakukan dengan sikap terselung dan
sama sekali tertutup. Ucapan yang kasar, seringkali tidak jelas, dan
memungkinkan pengirim untuk menghindari tanggung jawab atas perasaan
bermusuhannya. Apabila dikonfirmasi, pengirim akan selalu dapat membalas bahwa
ia hanya bercanda.
(3) Membuat
respon yang menghakimi
Komunikasi
disfungsional yang ditandai dengan kecendrungan untuk secara konstan
mengevaluasi pesan menggunakan system nilai pengirim. Pernyataan yang
menghakimi selal mengandung pesan moral tambahan. Pesan pernyataan tersebut
jelas bagi penerima bahwa pengirim pesan mengevaluasi nilai dari pesan orang
lain sebagai “benar” atau “salah”, “baik” atau”buruk”, “normal” atau “tidak
normal”. Tidak hanya pesan yang sedang di evaluasi atau dinilai, namun juga
pengirim pesan yang secara tidak langsung dievaluasi atau dinilai. Kata-kata
“seharusnya” dan “harus” menyiratkan bahwa pengirim adalah tokoh otoriter yang
dapat menghakimi orang lain karena ia mengetahui apa yang “baik” atau “buruk”.
(4) Ketidakmampuan
untuk mendefenisikan kebutuhan sendiri
Sering
kali, pengirim disfungsional secara tidak sadar merasa tidak berharga, tidak
berhak untuk mengungkapkan kebutuhannya atau berharap kebutuhan pribadinya akan
dipenuhi. Kebutuhan yang tersembunyi untuk dilimpahi kasih sayang didefinisikan
sebagai keutuhan yang tidak terungkap untuk mendapatkan bantuan, empati, atau
aspek “diperhatikan”. Kebutuhan ini juga mencakup harapan agar orang lain
seharusnya mampu untuk mengantisipasi kebutuhan pengirim dan bahwa ia meminta
perhatian atau bantuan atas permintaan yang tidak memuaskan. Keluhan dapat
merupakan pesan tidak langsung tentang kebutuhan atau keinginan pengirim,
diungkapkan dalam bentuk ketidakpuasan.
(5) Komunikasi
yang tidak sesuai
Penampilan
komunikasi yang tidak sesuai merupakan jenis komunikasi yang disfungsional dan
terjadi apabila dua pesan yang bertentangan atau lebih secara serentak
dikirimkan. Penerima ditinggalkan dengan teka-teki tentang bagaimana harus
merespon. Pada ketidak sesuaian verbal-nonverbal, pengirim mengkomunikasikan
suatu pesan secara verbal, namun melakukan metakomunikasi nonverbal yang
bertentangan dengan pesan verbal. Ini biasanya diketahui sebagai “pesan
campuran”. Misalnya “saya tidak marah pada anda!” diucapkan dengan keras, nada
suara tinggi dan tangan mengepal.
b) Penerima
disfungsional
(1) Gagal
untuk mendengarkan
Suatu
pesan dikirimkan, namun penerima tidak memperhatikan atau mendengarkan pesan
tersebut. Terdapat beberapa alasan terjadinya kegagalan untuk mendengarkan,
berkisar dari tidak ingin memerhatikan hingga tidak memiliki kemampuan untuk
medengarkan. Hal ini biasanya terjadi karena distraksi, seperti bising, waktu
yang tidak tepat, atau kecemasan tinggi, atau hanya karena gangguan
pendengaran.
(2) Menggunakan
diskualifikasi
Diskualifikasi
adalah respon tidak langsung yang memungkinkan penerima untuk tidak menyetujui
pesan tanpa benar-benar tidak menyetujuinya.
(3) Menghina
Sikap
ofensif komunikasi menunjukkan bahwa penerima pesan bereaksi secara negative,
seperti sedang terancam. Penerima tampak bereaksi secara defensive terhadap
pesan dengan mengasumsikan sikap oposisi dan mengambil posisi menyerang.
Permintaan dibuat dengan kosisten dalam sikap negative atau dengan harapan yang
negative.
(4) Gagal
menggali pesan pengirim
Untuk
mengklarifikasi maksud atau arti suatu pesan, penerima fungsional mencari
penjelasan lebih lanjut. Sebaliknya, penerima disfungsional menggunakan respon
tanpa menggali, seperti membuat asumsi, memberikan sasaran yang premature, atau
memutus komunikasi. Ketika penerima disfungsional tidak ingin melanjutkan
pembicaraan tentang isu hangat tersebut, ia membuat pernyataan atau menggunakan
tindakan yang membatasi diskusi selanjutnya tentang isu tersebut. Teknik nini
sering digunakan untuk mennghindari perasaan tidak nyaman atau negative.
(5) Gagal
memvalidasi pesan
Validasi
berkenaan dengan penerimaan penerima. Oleh karena itu, kurangnya validasi
menyiratkan bahwa penerima dapat merespon secara netral (menunjukkan bukan
penerimaan maupun penolakan) atau mendistorsi da menyalah tafsirkan pesan.
Mengasumsikan bukan mengklarifikasi pemikiran pengirim adalah suatu contoh
kurangnya validasi.
c) Pengirim
dan penerima disfungsional
Dua
jenis interaksi yang tidak sehat, melibatkan baik pengirim maupun penerima,
juga secara luas di diskusikan dalam literature komunikasi. Komunikasi yang
tidak sehat merupakan komunikasi yang mencerminkan pembicaraan “paralel” yang
menunjukkan ketidakmampuan untuk memfokuskan pada satu isu.
Dalam
pembicaraan parallel, setiap individu dalam interaksi secara konstan menyatakan
kembali isunya tanpa betul-betul mendengarkan pandangan orang lain atau
mengenali kebutuhan orang lain. Orang yag berinteraksi disfungsional mungkin
tidak mampu untuk memfokuskan pada satu isu. Tiap individu melantur dari satu
isu ke isu yang lain bukan menyelesaikan suatu masalah atau meminta suatu
pengungkapan.
5. Pola
komunikasi
Menurut Friedman, Bowden, dan Jones (2010), pola
komunikasi ada dua jenis, yaitu :
1) Pola
komunikasi fungsional dalam keluarga
Pola
komunikasi keluarga merupakan karakteristik, pola interaksi sirkular yang
berkesinambung yang menghasilkan arti dari transaksi antara anggota keluarga
(Paters, 1974). Kemampuan anggota keluarga untuk mengenal dan merespon pesan
nonverbal merupakan aspek penting pada keluarga yang sehat.
Curran
(1983) yang meneliti tentang kelurga sehat, menulis bahwa sifat pertama dari
keluarga yang sehat adalah komunikasi yang jelas dan kemampuan untuk saling
mendengarkan. Komunikasi yang baik diperlukan untuk menumbuhkan dan
memperthankan hubungan saling percaya.
a) Berkomuniksi
secara jelas dan selaras
Keselarasan adalah suatu keadaan dan cara
bekomunikasi dengan diri sendiri dan orang lain (Satir et al, 1991, hal. 65).
Ketika anggota keluarga berkomunikasi dengan selaras terdapat konsistensi
antara tingkat isi (pesan literal) dan instruksi (metapesan) komunikasi. Apa
yang sedang diucapkan , sama dengan isi pesan. Kata-kata yang kita ucapkan,
perasaan yang kita ekspresikan, dan perilaku yang kita tampilakn semunya
konsisten. Dengan keselarasan, penerima mampu dengan lebih jelas memahami pesan
pengirim, membuat komunikasi dalam suatu keaurga menjadi lebih sehat.
Pola komunikasi dalam keluarga funsional menujukkan
penerimaan terhadap perbedaan, begitu pula sikap menghakimi yang minimum dan
kritik yang tidak realistic antara satu dengan yang lain.
Komunikasi pada keluarga yang sehat merupakan suatu
proses yang sangat dinamis dan saling timbal balik. Pesan tidak hanya dikirim
dan diterima. Sebagai contoh, setelah pengirim memulai suatu pesan, penerima
pesan mungmin menampakkan ekspersi wajah melalui umpan balik “negative”,
mengubah pesan pengirim sebelum ia selesai berbicara. Akibatnya, pengirim dapat
mengubah kata-kata dalam pesan tersebut pada saat sedang mengirim nya, sehingga
penerima akan mempunyai kerangka acuan yang sama. Akan tetapi, sifat dinamis
dan komunikasi fungsional membuat interaksi menjadi kompleks dan tidak dapat
diramalkan. Komunikasi, bahkan pada keluarga sehat sering kali masih mengalami
permasalahan.
b) Komunikasi
emosional
Komunikasi
emosional berkenaan dengan ekspresi emosi atau perasaan dari ekspresi marah,
terluka , sedih, dan cemburu hingga bahagia, kasih saying dan kemesraan (Wright
& Leahey, 2000)
Satir
(1983) meyakini bahwa pengenalan terhadapa perasaan merupakan hal penting bagi
funsi sehat suatu kelurga. Suatu kasus : Lewis dan rekan (1976) meneliti
perbedaan antar kelurga berkulit putih yang fungsional dan disfungsional,
kelurga non-hispanik dan menemukan bahwa kelurga yang sehat menujukkan spectrum
perasaan yang penuh, sedangkan kelurga yang lebih disfungsional secara
emosional kaku dalam mengekspresikan perasaannya. Pada kelurga ynag lebih
disfungsional, orang tua boleh marah pada anaknya, tetapi anak tidak boleh
marah pada orang tua. Baik ekspresi kemesraan maupaun kasih sayang
diperkenankan dalama keluarga yang lebih disfungsional. Ekspresi emosional(oleh
orang tua dan anak) pada satu studi terkini menegaskan dampak positif bahwa
keterbukaan emosional terletak pada kompetensi social anak-anak (Boyum &
parke, 1995).
c) Area
komunikasi yang terbuka dan keterbukaan diri
Keluarga
dengan pola komunikasi funsional menhargai keterbukaan saling menghormati
pesaan, pikiran dan kepedulian, spontanitas, autentik, dan kebutuhan diri.
Selanjutnya keluarga ini akan juga mampu mendiskusikan bidang kehidupan isu
personal, soal dan kepedulian serta tidak tacit pada konflik. Area ini disebut
“area komunkiasi terbuka”.
Satir
(1972) menegaskan bahwa anggota keluarga yang saling terus terang dan jujur
antar satu dengan orang lain adalah orang-orang yang merasa yakin untuk
mempertaruhkan interaksi yang berarti, dan cenderung untuk menghargai
keterbukaan diri (mengungkapkan pemikiran dan perasaan akrab).
d) Hierarki
kekuasaan dan peraturan keluarga
System keluarga yan berlandaskan pada hierarki
kekuasaan dan komunikasi mengandung “komando atau perintah” secara umum
mengalir kebawah dalam jaringan komunikasi keluarga. Interaksi fungsional dalam
hierarki kekauasaan terjadi apabila kekuasaan distribusikan menurut kebutuha
perkembangan anggota keluarga (Minuchin, 1974), atau apabila kekuasaan ayng
diterapkan menurut kemampuan dan sumber anggota keluarga serta sesuai dengan
ketentuan kebudayaan keluarga dari suatu hubungan kekuasaan keluarga.
e) Konflik
dan resolusi konflik keluarga
Konfik
verbal merupakan bagian rutin dalam interaksi keluarga normal. Literature
tentang konflik keluarga menunjukkan bahwa keluarga yang sehat tampak mampu
“mengatasi konflik dan memetik manfaat yang positif, tetai tidak terlalu banyak
konflik yang dapat menggangu hubungan keluarga” (Vuchinich, 1987).
Resolusi
konflik merupakan tugas interaksi yang vital dalam suatu kelurga (sabatelli
& Chawick, 2000). Orang dewasa dalam kelurga perlu belajar untuk mengalami
konflik konstruktif. Walaupun, orang dewasa menyelesaikan konflik dengan
berbagai cara, resolusi konflik yang fungsionl terjadi apabila konflik tersebut
dibahas secara terbuka dan strategis diterapkan untuk menyelesaikan konflik
atau (dalam keluarga yang memiliki anak) ketika orang tua secara tepat
menggunakan kewenangan mereka untuk mengakhiri konflik. Orang tua dan orang
dewasa lain didalam suatu keluarga perlu untuk bertindak sebagai model peran
bagi anak-anak mereka dalam hal pengungkapan konflik/perbedaan dan
penyelesaiaan konflik.
f) Penelitian
tentang interaksi pernikahan
Hasil
dari penelitian Reusch dan rekan (1974) menunjukkan bahwa dalam perkawinan
tersebut ketika konflik dihindari dan perasaan negative dikubur, perasaan
negative meracuni hubungan. Mereka mengamati bahwa menghindari konflik dapat
menyebabkan devitalisasi perkawinan pasangan merasa terlepas secara emosional
dan saling tidak peduli. Keberadaan konflik yang berat antara pasangan
ditemukan mempunyi pengaruh yang negative terhadap peran orang tua dan anak.
2) Pola
komunikasi disfungsional dalam keluarga
Komunikasi
disfungsional didefenisikan sebagai transmisi tidak jelas dan/atau tidak
lagsung serta penerimaan dari salah satu atau keduanya, isi dan instruksi
(maksud) dari pesan dan/tidak kesesuaian anatar tinkat isi dan instruksi dari
pesan. Tranmisi tidak langsung dari suatu pesan berkenaan dengan pesan yang
dibelokkan dari sasarana yang seharusnya kepada orang lain dalam keluarga.
Transmisi langsung dari suatu pesan berarti pesan “mengenai” sasaran yang
sesuai.
Dalam
interaksi keluarga yang disfungsional, dua anggota keluarga atau lebih
membangun jarigan dan strategis berulangkali dari komunikasi disfungsional yang
mencoba untuk mepertahan kesimbangan unik keluarga. Proses disfungsional
tersebut sering samar, dan maksud komunikasi menjadi tertutup atau tersembunyi.
Jadi, pengkajian akurat terhadapa pola komunikais sirkular menjdi lebih sulit.
Salah satu factor utama yang menimbulkan pola komunikasi disfungsional adalah
terdapatnya rasa harga diri yang rendah pada keluarga dan anggotanya.
a) Egosentris
Individu
mefokuskan pada kebutuhan diri sendiri dan mengabaikan kebutuhan orang lain.
Perasaan atau persepektif yang mencirikan komunikasi egosentris. Dengan kata
lain, anggota keluarga yang egosentris mencari sesuatu dari oaring lain untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Apabila individu tersebut harus memberian sesuatu,
maka mereka akan melakukan keengganan, dan rasa permusuhan, defensive, atau
sikap pengobanan diri. Jadi, tawar-menawar atau negosiasi secara efektif sulit
dilakukan, karena seseorang yang egosentris meyakini bahwa mereka tidak b oleh
kalah untuk sekecil apapun yang mereka berikan (satir, 1983).
b) Kebutuhan
mendapkatkan persetujuan total
Nilai
keluarga tentang mempertahankan persetjuan total dan menghindari konflik
berawal dari ketika seorang dewasa atau pasangan yang menikah menemukan bahwa
mereka berbeda satu sama lain, walaupun perbedaan yang pasti mungkin sulit
untuk dijelaskan seperti yang diekspresikan dalam pendapat, kebiasaan,
kesukaan, dan harapan, mungkin terlihat sebagai ancaman karena ini dapat
mengarah pada ketidaksetujuan dan kesadaran bahwa mereka merupakan dua individu
yang terpisah.
Jika
suami istri mempunyai harga diri rendah dan dan merasa bahwa merupakan
kebutuhan mutlak untuk dicintai dan disetuji setiap saat, mereka berupaya
secara konstan menyenangkan pasanganya. Kenutuhan untuk secara terus-menerus
untuk menyenangkan pasangan, menhambat mereka untuk berkomunikasi denganterbuka
jika terjadi suatu situasi yang tidak menyenangkan atau ketidaksetujuan.
c) Kurang
empati
Dibalik
ketidakpedulian, individu ini dapat menderita akibat perasaan tidak berdaya.
Tidak saja mereka tidak menghargai diri mereka sendri, mereka juga tidak
menghargai orang lain. Hal ini menimbulkan suasana tegang, ketakutan, dan/atau
meyalahkan. Kondisi ini terlihat pada gaya komunikasi yang lebih membingungkan,
samar, dan tidak langsung, terselubung, dan defensive bukan memperlihatkan
keterbukaan, kejelasan dan kejujuran.
d) Area
komunikasi yang tetutup
Sementara
keluarga yang lebih fungsional memiliki area komunikasi yang terbuka, keluarga
yang sedikit fungsional sering kali menujukkan area komunikasi yang tertutup.
Keluarga mempunya peraturan tidak tertulis tentang subjek apa yang disetujui
untuk dibahas. Peraturan secara tidak tertulis ini secara nyata terlihat ketika
anggota keluarga melanggar dengan membahas subjek yang tidak disetujui atau
mengungkapkan perasaan yang terlarang.
6. factor
yang mempengaruhi pola komunikasi keluarga
Menurut Friedman, Bowden, dan Jones (2010), factor
yang mempengaruhi pola komunikasi
keluarga adalah sebagai berikut :
1) pola
komunikasi dalam keluarga dengan perbedaan latar belakang etnik/kebudayaan
Komunikasi
ditanamkan dalam suatu matriks keyakinan dan pola perilaku, yang kebanyakan
bertolak dari kebudayaan. Akan tetapi dalam, dalam penelitian literature,
komunikasi dalam sering kali di
diskusikan tanpa mempertimbangakan konteks kebudayaan sekitar. Sebagai contoh,
sillarts (1995) menyatakan bahwa kebanyakan penelitian yang pernah dilakukan
untuk meneliti komunikasi dan kepuasan pernikahan, hanya sedikit yang
mempertimbangkan orientasi kebudayaan pasangan.
Sementara
keluarga etnik yang berorientasi tradisional, etnisitas mewakilkan cara
kehidupan yang secara penuh terintegrasi dalam identitas individu dan keluarga,
dan bentuk etnisitas ini masih terus ada, pola kebudayaan mempunyai kekuasaan
yang perlu dipertimbangkan. Oleh karena itu apada keluarga yang etnik
tradisional, pola komunikasi keluarga beragam dari kleas menengah Amerika.
Umunya keluarga kulit putih.diuraikan dalam bagian komunikasi pada awal bagian
ini. Komunikasi didalam keluarga beragam dalam pencakapan (gaya dan penekanan),
ruang personal, kontak mata, sentuhan, dan orientasi waktu (Lipson, 1996).
2) Perbedaan
komunikasi selama siklus kehidupan keluarga
Komunikasi
keluarga beraga disepanjang riwayat tahap perkembangan keluarga dan dengan
perubahan yang sejalan dengan usia dan isu perkembanga individu anggota
keluarga. Salah satu perubahan yang nyata adalah dalam keterbukaan dan keluasan
pembicaraan disepanjang siklus kehidupan keluarga.
Literature
komunikasi keluarga menujukkan perubahan pola pada semua tahap siklus kehidupan
keluarga, seperti hubungan anak yang sudah dewasa dengan oaring tua yang sudah
lansia. Konsep penting pada setiap tahap siklus kehidupan keluarga adalah
apakah terdapat kesesuaian antara isu perkembangan individu anggota keluarga,
yang diibaratkan roda gigi oleh
Erickson, atau apakah terdapat ketidaksesuaian sehubungan dengan isu
perkembangan anggota keluarga sebagai keseluruhan yang berkonflik. Sebagai
contoh, mungkin terdapat kesesuaian yang baik antara tugas perkembangan orang
dewasa dalam mengasuh generasi selanjutnya dan melahirkan anak. Mungkin
terdapat ketidaksesuaiana yang sangat besar antara tugas perkembangan ibu
berusia remaja untuk meperoleh kemandirian, kebutuhan bayi akan pengasuhan, dan
tugas nenek untuk menyiapkan diri untuk menghadapi pensiunan dan
kariernya.
3) Perbedaan
gender dalam komunikasi
Seiring
dengan gerakan wanita yang berkembang pesat, begitu pula minta terhadap
perbedaan gender dalam komunikasi. Saat ini sudah diakui secara luas bahwa
terdapat perbedaan utama dalam interaksi antargender.
Penelitian
menunjukkan perbedaan sikap pria dan wanita serta pola percakapan, pendekatan,
pengambilan keputusan yang berbeda, cara yang berbeda dalam merespons masalah
orang lain, dan perbedaan dalam mengenal konflik serta solusinya. Sebagai contoh,
wanita melihat percakapan sebagai suatu cara membangun hubungan dan menciptakan
keakraban, sedangkan pria memandang percakapan sebagai cara untuk menunjukkan
status dan pengetahuan mereka (kesempatan kompetitif untuk menghubungkan
informasi dan mendiskusikan kegiatan). Wanita mencari kesepakatan, sedangkan
pria mencari keputusan yang tepat. Ketika wanita mendiskusikan suatu masalah
mereka ingin memahami, sementara pria ingin mendapatkan solusi. Ketika bekerja
dalam menyelesaikan konflik, wanita cenderung bersikap afiliatif dan kooperatif
serta ingin membicarakan tentang ketidaksetujuan, sedangkan pria cenderung
untuk mengasumsikan sikap yang lebih memaksa, dan kompetitif, serta ingin
menjauhkan diri mereka dari konflik.
4) Perbedaan
komunikasi dalam bentuk keluarga
Bentuk
keluarga merupakan berbagai susunan struktur keluarga, dari keluarga inti
tradisional dengan dua orang tua hingga orang tua tunggal dan homoseksual.
Komunikais keluarga dipengaruhi oleh tipe dari bentuk keluarga. Sudah banyak
penelitian yang dilakukan terhadap pasangan heteroseksual dan keluarga inti
dengan dua orang tua, biasanya tidak termasuk keluarga orang tua tunggal, dual caeer, orang tua tiri, homoseksual,
dan extended family.
Pada
konflik dalam dengan orang tua tiri, gambaran komunikasi paling banyak dibahas.
Karena dua keluarga disatuka bersama, tipa keluarga mempunyai kebudayaan dan
riwayat masing-masing, dengan sedikit panduan untuk mengandalakan bagaimana
seharusnya peran orang tua tiri dengan anak tiri, sehingga tidak heran konflik
merupakan kepedulian utama.
5) Perbedaan
komunikasi berhubungan dengan manibudaya keluarga
Fitzpartick
dan Ritchie (1993) menyebutkan keluarga sebagai “manibudaya pribadi”. Pola
komunikasi keluarga tertentu merupakan konfigurasi koheren dari sifat keluarga,
yang terdiri dari suatu keluarga dan identitas keluarga. Pada kebudayaan
tardisonal, etnisitas mewakili pandangan kehidupan dan penilaian, dengan
demimian manibudaya keluarga dan kebudayaan yang lebih besar sangat mirip satu
sama lain. Akan tetapi, didalam masyarakat heterogen modern, individu anggota
keluarga dapat berasal dari etnik atau latar belakang yang berbeda yang sesuai
dengan sejauh mana mereka terakumulasi. Pada situasi ini, manibudaya keluarga
dapat mencerminkan pengaruh kebudayaan atau bahkan hampir tidak terpengaruh.
Dalam keluarga nontradisonal yang sekuler, terdapat lebih banyak keterbukaan
untuk menjadi unik menciptakan pola komunikasi tertentu.
7. komunikasi
dalam keluarga dengan gangguan kesehatan
Istilah gangguan kesehatan berkenaan dengan setiap
perubahan yang memengaruhi proses kehidupan klien (fisiologis, psikologis,
social-budaya, perkembangan, dan spiritual) (carpenito, 2000). Gangguan dalam
status kesehatan sering kali mencakup penyakit kronik dan penyakit yang
mengancam kehidupan serta ketidakmampuan fisik dan mental yang akurat atau
kronik, namun dapat juga meliputi perubahan dalam area kesehatan lainnya.
Temuan kesehatan tentang adaptasi keluarga terhadap
penyakit kronik dan mengancam kehidupan secara konsisten menunjukkan bahwa
factor sentral dalam funsi keluarga yang sehat adalah terdapatnya ketrbukaan,
kejujuran, dan komunikasi yang jelas dalam mengatasi penagalamn kesehatan yang
menimbulkan stress serta isu terkait lainnya.
1) Area
pengkajian
a) Dalam
mengobservasi keluarga secara utuh dan/atau serangkaian hubungan keluarga,
sejauhmana pola komunikasi fungsional dan disfungsional yang digunakan.
Perilaku spesifik berikut ini dapat dikaji:
(1) Seberapa
tegas dan jelas anggota menyatakan kebutuhan dan perasaan mereka?
(2) Sejauh
mana anggota menngunakan klarifikasi dan kualifikasi dalam interaksi ?
(3) Apakan
anggota mendapatkan dan merespon umpan balik secara baik, atau mereka secara
umum tidak medorong adanya umpan balik dan pengalian tentang suatu isu?
(4) Seberapa
baik anggota mendengarkan dan memperhatikan ketika berkomunikasi?
(5) Apakah
anggota mencari validasi satu sama lain?
b) Bagaimana
pesan emosional disampaikan dalam keluarga dan substensi keluarga ?
(1) Seberapa
sering pesan emosional disampaikan ?
(2) Jenis
emosi apa yang dikirimkan ke dalam subtensi kelurga? Apakah emosi negative,
positif atau kedua emosi dikirimkan?
c) Bagaimana
frekuensi dan kualitas komunikasi di dalam jaringan komunikasi dan rangkaian
hubungan kekeluargaan?
(1) Bagaimana
cara atua siakap anggota keluarga (suami-istri, ayah-anak, anak-anak,) saling
berkomunikasi?
(2) Bagaiaman
pola engiriman pesan penting yang baiasanya? Apakah terdapat perantara ?
(3) Apakah
pesan sesuai dengan perkembangan usia anggota?
d) Bagaimana
factor-faktor berikut mempengaruhi pola komunikasi keluarga?
(1) Konteks/situasi
(2) Tahapan
siklus kehidupan keluarga
(3) Latar
belakang etnik keluagra
(4) Perbedaan
gender dalam keluarga
(5) Bentuk
keluarga
(6) Stuatus
sosioekonomi keluarga
(7) Mandibudaya
unik kleuarga
2) Diagnosis
keperawatan keluarga
Diagnosis komunikasi keperawatan keluaraga secara
luas dapat terjadi, seperti komunikasi keluarga disfungsional atau komunikasi
orang tua-anak, saudara kandung, pasangan dewasa atau suami istri disfungsional.
Diagnosis keperawatan keluarga umum lainnya dalam area ini adalah hambatan
komunikasi keluarga atau masalah komunikasi keluarga.
3) Intervensi
keperawatan keluarga
Intervensi pendidikan kesehatan dam konseling
dirancang untuk mengubah keluarga meliputi :
a) Mengidentifikasi
keinginan dan menyusun rencana kolaboratif untuk suatu perubahan
b) Mengakui,
mendukung, dan membimbing anggota keluarga ketika mereka mulai mencoba untuk
berkomunikasi secara jelas dan selaras
c) Membantu
perubahan perilaku yang telah menjadi sasaran sejak pertemuan terdahulu.
Tanyakan perilaku komunikasi yang baru, dan apakah ada masalah yang terjadi,
serta jika mereka mempunyai pertanyaan atau hal penting tentang perubahan
tersebut.
E. Struktur
Peran Keluarga
1.
Teori Pesan: Definisi
dan Konsep Penting
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang
diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu
system. Ada dua perspektif dasar menyangkut peran orientasi strukturalis yang
menekankanpengaruh normatif (kultural) yaitu pengaruh yang berkaitan dengan
status-status tertentu dan peran-peran terkait (Mubarak, 2009, p.71).
Sebuah peran didefinisikan sebagai kumpulan dari
perilaku yang secara relative homogen dibatasi secara normatif dan diharapkan
dari seseorang yang menempati posisi social yang diberikan. Peran berdasarkan
pada pengharapan atau penetapan peran yang membatasi apa saja yang harus
dilakukan oleh individu dalam situasi tertentu agar memenuhi pengharapan diri
atau orang lain terhadap meraka. Posisi atau status didefinisikan sebagai letak
seseorang dalam suatu system social. Peran digolongkan di bawah konsep posisi.
Sementara peran adalah perilaku yang dikaitkan dengan seseorang yang memegang
sebuah posisi tertentu, posisi mengidentifikasikan status atau tempat seseorang
dalam suatu system social (Friedman, 2010, p.298).
a. Perilaku,
Performa, dan Pengukuhan Peran
Perilaku,
performa, pengukuhan peran semuanya adalah istilah yang dapat saling tertukar,
yang menunjukkan apa yang benar-benar dilakukan seseorang dalan sebuah posisi
sebagai respon terhadap pengharapan peran. Pengharapan atau penetapan rangkaian
perilaku yang tepat untuk posisi social dasar dan peran yang terkait dengan
mereka (peran keluarga, peran keluarga) berkembang dan terbentuk dalan sebuah
konteks sosial (Friedman, 2010, p.298).
Banyak
peran yang terkait dengan posisi social dasar kita dipelajari dalam konteks
keluarga. Pengharapan peran social dimodifikasi atau diperluas sebagai hasil
dari pemaparan individu terhadap modal peran dan kepribadian individu tersebut-
yaitu, kapasitas, temperamen, sikap, dan kepentingannya. Dengan kata lain,
seorang individu mengukuhkan peran tertentu berdasarkan pada pengharapan
masyarakan tetapi dimodifikasi oleh identifikasinya dengan model peran dan
karakteristik peran individu. Hasil akhir modifikasi peran individu adalah
perilaku atau performa peran seseorang sebenarnya. Gambar menggambarkan proses
perilaku peran sebenarnya terbentuk (Friedman, 2010, p.298).
b. Pembagian
Peran, Pengambilan Peran, dan Peran Timbal-balik/ Komplementer
Pembagian
peran adalah pertisipasi dau orang atau lebih dalam peran yang sama meskipun
mereka memegang posisi yang berbeda. Terdapat pembagian peran yang luas pada
sebagian besar keluarga saat ini. Pemisahan struktur peran yang sangat jelas
jarang terjadi. Contoh pembagian peran normatif
dalam keluarga adalah pada kasus peran sosialiasi anak saat ibu da ayah
biasanya berpartisipasi bersama, selain guru sekolah, pemimpin pemuda,
rohaniawan dan sebagainya(Friedman, 2010, p.299).
Konsep
penting lainnya dalam teori peran yaitu pengambilan peran. Agar anggota
keluarga mengukuhkan peran, meraka harus mampu membayangkan diri mereka dalam
peran seorang pendamping, atau mitra peran, dengan cara ini mereka mampu
memberi tugas sebuah peran kepada orang lain dan juga dapat memahami lebih baik
bagaimana mereka berperilaku dalam peran mereka sendiri (Friedman, 2010, p.299).
Prinsip
komplementer (pelengkap) yang berkenaan dengan keadekuatan fungsional peran
dalam situasi social yang berdasarkan kecocokan antara performa dan harapan
pasangan dalam sebuah hubungan. Prinsip komplemen sangat besar maknanya kerena
terutama bertangguang jawab terhadap derajat keselarasan dan stabilitas yang
terjadi dalam hubungan interpersonal. Kapan pun terdapat perbedaan dalam
harapan dan performa peran keluarga, kemungkinan kurangnya komplementer peran
dan kemungkinan konflik dan ketegangan terjadi. Sebagai contoh, seseorang harus
melihat peran guru bersamaan dengan peran murid, karena keduanya diperlukan
agar dapat berfungsi. Masyarakan menentukan perilaku masing-masing orang dalam
pengaturan timbal-balik ini sehingga masing-masing akan mengetahui apa yang
diharapkan dari mitra peran. Mitra peran secara konstan saling memengaruhi
perilaku peran melalui banyak interaksi mereka dengan satu sama lain (Friedman,
2010, p299).
c. Stress/
Ketegangan Peran dan Konflik Peran
Stress
peran terjadi saat suatu struktur social, seperti keluarga, menciptakan
tuntutan yang sangat sulit, menimbulkan konflik atau tidak mungkin dilakukan
oleh penerima posisi dalam struktr social tersebut. Stress peran menimbulkan
ketegangan peran – perasaan frustasi dan ketegangan subjektif
(Friedman.2010.p;299).
Menurut
Mubarak (2010) mengatakan konflik peran terjadi saat seseorang yang menempati
posisi mereka bahwa ia dihadapkan pada harapan yang tidak sesuai. Sumber
ketidaksesuaian tersebut dapat diakibatkan oleh perubahan harapan pada pelaku,
yang lainnya atau lingkungan. Ada terdapat tiga tipe konflik peran yang dibahas
dalam lituratur:
1) Konflik
Antarperan
Konflik
antarperan adalah konfilk yang terjadi jika pola-pola perilaku atau norma-norma
dari suatu peran tidak kongruen dengan peran lain yang dimainkan secara
bersamaan oleh individu. Konfilk antraperan terjadi ketika peran yang konflik
dari seseorang individu (yaitu sekelompok peran yang dimainkan) termasuk
sejumlah peran yang tidak seimbang. Tipe konflik ini disebabkan oleh
ketidakseimbangan perilaku yang berkaitan dengan berbagai peran atau besarnya
tenaga yang dibutuhkan oleh peran-peran ini, misalnya dalam sebuah kasus di
keluarga peran sebagai siswa, penjaga rumah, memasak, perkawinan, dan perawatan
anak dilakukan sekaligus.
2) Konflik
Peran Antarpengirim
Konflik
peran antarpengirim adalah suatu konfilk dimana dua orang atau lebih memegang
harapan-harapan yang berkonflik, menyangkut pemeranan suatu peran. Ilustrasi
tentang tipe konflik ini adalah adanya harapan-harapan yang berkonflik
menyangkut bagaimana peran seseorang, seperti seorang perawat yang menunjukkan
peran yang professional. Seorang kepala perawat akan mengharpkan efisiensi dari
suatu tindakan kepada klien, sedangkan klien mungkin mengharapkan segalanya
terpusat pada dirinya, berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang dirasakannya,
sedangkan perawat mengharapkan agar dapat memberi perawatan individu sesuai
dengan standar profesinya.
3)
Person-Role
Conflict
Person-role conflict meliputi
suatu konflik antara nilai-nilai internak individu, nilai-nilai eksternal (yang
dikomunikasikan kepada pelaku oleh orang lain), dan berperilaku pada situasi
yang sarat dengan stress peran. Tipe konflik peran ini sama dengan tipe konflik
peran yang kedua, kecuali dalam hal tidak adanya perbedaan dalam
harapan-harapan peran diantara orang-orang diluar lingkungan. Orang dapat
berfikir person-role conflict yang timbul dalam keluarga dengan anak remaja
adalah apabila anak remaja tersebut memiliki pemikiran internal menyangkut
perannya sebagai seorang remaja dan sebayanya menentukan suatu peran yang
sangat berbeda.
2. Peran
Keluarga
Peran keluarga dapat diklasifikasikan menjadi dua
kategori:
a. Peran
Formal Keluarga
Peran
formal atau terbuka adalah peran eksplisit yang terkandung dalan struktur peran
keluarga (ayah-suami dll). Terdapat keterbatasan jumlah posisi yang ditimbulkan
sebagai posisi normative dalam keluarga inti klasik dengan dua orang tua.
Posisi ini disebut sebagai posisi formal dan berpasangan serta terdiri atas
ayah-suami, istri-ibu, anak laki-laki-saudara laki-laki, anak perempuan-saudara
perempuan. Dalam extanded family (tiga generasi) ada posisi yang lebih
berpasangan, dan dalam keluarga orang tua tunggal terdapat lebih sedikit posisi
yang berpasangan (Friedman.2010.p;301).
Masing-masing
posisi normatif sekelompok keluarga dihubungkan peran yang terkait. Suami-ayah
diharapkan sebagai pencari nafkah dan istri-ibu sering kali diharapkan untuk
mengambil peran kepemimpinan dalam mengelolaan rumah. Pada keluarga orang tua
tunggal ibu sering kali mengemban tanggung jawab peran normative baik sebagai
ibu maupun ayah. Pada keluarga dengan orang tua tiri, suami akan sering
memainkan peran suami-ayah, tetapi karena anak-anak tersebut bukan anak
biologisnya, peran ayah menjadi peran pura-pura ayah (peran tersebut kurang
terkristalisasi).
Menurut
Nasrul (1998) dalam buku Efendi (2009, p.184) mengatakan peran formal dam
keluarga dibagi menjadi tiga bagian:
1) Peran
sebagai ayah
Ayah
sebagai suami dari istri dan ayah dari anak-anak berperan sebagai pencari
nafkah, pendidik, pelindung, dan member rasa aman. Juga sebagai kepala
keluarga, anggota keluarga social, serta anggota masyarakat dan lingkungan
2) Peran
sebagai ibu
Ibu
sebagai istri dan ibu dari anak-anak berperan untuk mengurus rumah tangga
sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan salah satu anggota
kelompok social, serta sebagai anggota masyarakat dan lingkungan disamping
dapat berperan pula sebagai pencari nafkah tambahan keluarga.
3) Peran
sebagai anak
Anak
melaksanakan peran psikososial sesuai dengan tingkat perkembangannya, baik
fisik, mental, sosial, dan spiritual
b.
Peran
Informal Keluarga
Anggota keluarga individu akan memainkan banyak
peran dalam sebuah keluarga, baik formal maupun informal, dengan saling berbagi
beberapa peran ini. Keberadaan peran informal diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan integrasi dan adaptasi dari kelompok keluarga. Kievit (1968, dalam
Friedman, 2010, p.305) menjelaskan bahwa:
“Peran informal memiliki kebutuhan yang berbeda,
sedikit cenderung berdasarkan usia atau jenis kelamin dan lebih banyak
cenderung berdasarkan atribut kepribadian dari anggota keluarga. Oleh karena
itu, satu orang anggota dapat menjadi mediator, yang mencari kemungkinan
kompromi saat anggota keluarga lain terlibat dalam konflik. Anggota lain dapat
menjadi pelawak, yang memberikan keriangan dan kegembiraan pada peristiwa
bahagia, dan rasa humor yang sangat dibutuhkan dalam masa kritis dan distress.
Peran informal lain mungkin ada dan muncul, seiring kebutuhan unit keluarga
bergeser dan berubah. Dalam bekerja dengan keluarga, kesadaran akan peran
informal dapat memfasilitasi pemahaman mengenai sifat khusus masalah yang
dihadapi dan agar mendapatkan kemungkinan solusi. Perfoma efektif peran
informal dapat memfasilitasi perfoma peran formal yang adekuat.”
Berikut ini adalah beberapa contoh dari peran
informal atau tertutup lainnya yang dijelaskan dalam literature (Benne &
Sheats, 1948; Hartman & Laird, 1983; Kantor & Lehr, 1975; Satir, 1972;
Vogel & Bell, 1960; dalam Friedman, 2010, p. 306-307). Peran informal ini
dapat atau tidak dapat berperan pada stabilitas keluarga – beberapa diantaranya
bersifat adaptif dan lainnya mengganggu kesejahteraan pokok keluarga.
1)
Pendorong.
Pendorong memiliki arti bahwa dalam keluarga terjadi
kegiatan mendorong, memuji, setuju dengan, dan memerima kontribusi dari orang
lain. Akibatnya ia dapat merangkul orang lain dan membuat mereka merasa bahwa
pemikiran mereka penting dan bernilai untuk didengarkan
2)
Penyelaras/ Pengharmonis
Penyelaras menengahi perbedaan yang terdapat
diantara anggota keluarga dengan menghibur atau melunakkan ketidaksepakatan dan
menyatukan kembali perbedaan pendapat.
3)
Inisiator-Kontributor
Inisiator-kontributor menyarankan atau mengusulkan
idea tau perubahan cara berkenaan dengan masalah atau tujuan kelompok pada
kelompok. Kantor dan Lehr (1975, dalam Friedman, 2010, p.306) menyebut tipe
peran ini sebagai peran “penggerak” yang dicirikan dengan memrakarsai tindakan.
4)
Negosiator
Negosiator adalah salah satu dari pihak yang
berkonflik atau tidak setuju. Negosiator menyerahkan posisinya, mengakui
kesalahan, atau menawarkan melalui “jalan tengah”.
5)
Penghalang
Penghalang cenderung negatif terhadap semua ide,
menolak tanpa dan diluar alasan. Kantor dan Lehr (1975, dalam Friedman, 2010,
p.306) menyebut peran ini sebagai oposisi.
6)
Dominator
Dominator mencoba untuk memperkuat kewenangan atau
superioritas dengan memanipulasi kelompok atau anggota tertentu, menunjukkan
kekuasaannya dan bertindak seakan-akan ia mengetahui segalanya dan paling
sempurna.
7)
Penyalah
Peran
ini serupa dengan penghambat dan dominator. Penyalah adalah pencari kesalahan,
diktator, penyuruh “yang mengetahui segalanya”.
8)
Pengikut
Pengikut
sejalan dengan pergerakan kelompok, kurang lebih menerima ide orang lain secara
pasif, berfungsi sebagai pendengar dalam diskusi dan keputusan kelompok.
9)
Pencari pengakuan
Pencari pengakuan mencoba dengan cara apapun yang
mungkin untuk mencari perhatian terhadap diri dan keinginan, pencapaian,
dan/atau masalahnya.
10) Martir
Martir tidak menginginkan apapun untuk dirinya
tetapi mengorbankan apapun untuk kebaikan anggota keluarga yang lain.
11) Wajah
Tanpa Ekspresi (“Great Stone Face”)
Orang yang memainkan peran ini menggurui secara
terus-menerus dan dengan tanpa menunjukkan emosi mengenai semua hal yang
“benar” untuk dilakukan, persis seperti sebuah komputer. Satir (1975, dalam
Friedman, 2010, p.306) menyebut peran informal ini sebagai superreasonable (sangat rasional).
12) Sahabat
Sahabat adalah teman bermain keluarga yang
memperturutkan diri sendiri dan memperbolehkan perilaku anggota keluarga atau
dirinya tanpa mempertimbangkan akibatnya. Ia biasanya tampak tidak berhubungan
saat masalah keluarga didiskusikan.
13) Kambing
Hitam Keluarga
Kambing hitam keluarga adalah anggota yang dikenal
bermasalah dalam keluarga. Sebagai korban atau wadah ketegangan dan kemarahan
terbuka dan tertutup keluarga, kambing hitam berfungsi sebagai katup
pengamanan.
14) Pendamai
Pendamai adalah pengambil hati, selalu mencoba
menyenangkan, tidak pernah tidak setuju, berbicara atas nama kedua belah pihak
– singkatnya, “seorang yang selalu berkata iya.”
15) Pengasuh
Keluarga
Pengasuh keluarga adalah anggota yang diperlukan
untuk mengasuh dan merawat anggota lainnya yang membutuhkan.
16) Pionir
Keluarga
Perintis keluarga menggerakkan keluarga menuju
teritori yang tidak diketahui, menuju ke pengalaman baru.
17) Anggota
yang Tidak Relevan atau Distraktor
Distraktor adalah tidak relevan; dengan menunjukkan
perilaku mencari perhatian ia membantu keluarga menghindari atau mengabaikan
masalah yang menimbulkan penderitaan atau kesulitan.
18) Koordinator
Keluarga
Koordinator keluarga mengatur dan merencanakan
aktivitas keluarga, dengan demikian meningkatkan kohesivitas dan melawan
perpecahan keluarga.
19) Perantara
Keluarga
Perantara keluarga adalah “papan penghubung” – ia
(sering kali ibu) mengirim dan memantau komunikasi di seluruh keluarga.
20) Penonton/
Saksi
Peran penonton serupa dengan “pengikut” kecuali
dalam beberapa kasus lebih pasif. Penonton mengamati tetapi tidak melibatkan
dirinya; ia bertindak sebagai orang luar.
(Friedman,
2010, p. 305-307; Mubarak, 2009, p.73-74; Mubarak, 2006, p.261-262)
3.
Kekuasan
dan Pengambilan Keputusan dalam Keluarga
Kekuasaan keluarga diteliti terutama dengan
memfokuskan pembuat keputusan (Scanzoni & szinovacz; szinovacs, dalam
friedman, Bowden, & jones, 2010). Pembuat keputusan berkenaan dengan suatu
proses yang di arahkan dengan pencapaian persetujuan dan komitmen dari anggota
keluarga untuk melaksanakan serangkaian tindakan atau mempertahankan status
quo. Focus sentral adalah bagaimana membuat keputusan (friedman, Bowden, &
jones, 2010)
Pemegang kekuasaan
dalam keluarga (Effendi, 1998, p.34)
a.
Patriakal,
yang dominan dan memegang kekuasaan dalam keluarga adalah di pihak ayah
b.
Matriakal,
yang dominan dan memegang kekuasaan dalam keluarga adalah di pihak ibu
c.
Equalitarian,
yang memegang kekuasaan dalam keluarga adalah ayah dan ibu
4.
Faktor
yang Mempengaruhi Struktur Peran
Menurut Friedman (2010, p.308-314), struktur peran
keluarga baik formal maupun informal dipengaruhi oleh:
a.
Perbedaan
Kelas Sosial
Peran keluarga sangat dipengaruhi oleh tuntutan dan
kepentingan yang diletakkan pada struktur sosial yang lebih besar. Jadi,
sebagai respon “penelantaran halus” masyarakat kita terhadap keluarga miskin,
berbagai adaptasi peran keluarga telah berkembang sebagai cara memecahkan
masalah dan isu yang berulang karena menjadi miskin. Keluarga orang tua tunggal
menyusun bagian bermakna dari keluarga yang tinggal dalam kemiskinan, dan
proporsi keluarga pekerja yang miskin selama 30 tahun (Leeds, 1996, dalam
Friedman, 2010, p.308)
1)
Keluarga
Berpenghasilan Rendah
Stabilitas pernikahan lebih tidak stabil pada
keluarga berpenghasilan rendah dibandingkan kelas sosial lain, dengan
perceraian dua atau tiga kali lebih banyak pada keluarga yang dikepalai oleh
pekerja yang tidak memiliki keterampilan dibandingkan keluarga yang dikepalai
oleh orang dewasa yang merupakan bagian dari professional kelas menengah.
Tingginya angka pengangguran pada kelompok yang sangat miskin adalah stresor
utama dalam hubungan pernikahan dan penyebab bermakna dari terputusnya
pernikahan.
Keluarga berpenghasilan rendah sering kali memiliki
struktur ikatan yang relatif longgar, meskipun peran pasangan pernikahan dan
pembagian tanggung jawab mereka biasanya formal. Dalam banyak keluarga miskin
terdapat demarkasi kejelasan peran keluarga yang berdasarkan pada apakah
pekerjaan terletak di dalam atau di luar rumah. Garis otoritas kuat ini
berfungsi untuk memperkuat jarak emosional pasangan. Suami umumnya memainkan
peran minimal dalam keluarga berpenghasilan rendah, seringa kali membentuk
perannya semata-mata sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan material.
Peran menjadi orang tua telah menjadi titik utama
bagi wanita dari keluarga berpenghasilan rendah, dan ibu sering kali lebih
tradisional dalam hal pandangannya mengenai pengasuhan anak (mis., penekanan
yang lebih besar pada kemampuan menghormati, kepatuhan, kebersihan, dan
disiplin anak). Dengan kata lain, fokus menjadi orang tua dalam keluarga miskin
adalah pemenuhan fungsi pemeliharaan –penyediaan makanan bagi anak-anak; memastikan mereka makan, mendapatkan
istirahat yang adekuat, mandi, berangkat ke sekolah tepat waktu – dan pada
pengaturan perintah dan disiplin di rumah. Sebagai perbandingan, keluarga
berpenghasilan menengah atau tinggi cenderung menempatkan penekanan yang lebih
besar pada pembentukan keandalan diri dan kemandirian anak serta lebih
mengetahui prinsip perkembangan dan psikologis dalam hubungan orang tua – anak
(Kohn, 1977, dalam Friedman, 2010, p.308).
Saudara kandung yang lebih tua dalam keluarga
berpenghasilan rendah sering kali terlibat dalam menyosialisasikan saudara
kandung yang lebih muda – lebih banyak dibandingkan umumnya pada keluarga kelas
menengah atau atas. Kelompok sebaya anak dalam keluarga miskin juga sangat
penting, khususnya bagi anak laki-laki yang mencari model maskulin, memberikan
peran sentral ibu dan peran ayah yang lebih pasif atau “hilang” dalam mengasuh
anak.
2)
Keluarga
Kelas Pekerja dan Menengah
Rubin (1976, dalam Friedman, 2010, p.308) meneliti
pekerja kasar dan keluarga mereka serta menemukan bahwa semakin berpendidikan
si suami maka semakin besar derajat persahabatan dalam pernikahan. Hal ini
dipastikan oleh studi selanjutnya. Berlawanan dengan pernikahan kelas pekerja
yang memiliki tingkat “pemisahan jenis kelamin” yang tinggi dalam keluarga,
persahabatan adalah alasan kuat bagi permulaan dan keberlanjutan pernikahan
dalam keluarga kelas menengah.
Keluarga kelas pekerja umumnya cenderung memiliki
peran keluarga yang lebih berbasis tradisional dibandingkan keluarga kelas
menengah – suami menjadi lebih otoriter dalam perannya sebagai kepala rumah
tangga (Dickinson & Leming, 1995, dalam Friedman, 2010, p.308). Dunia suami
berputar di sekitar peran provider, sementara istri memiliki tanggung jawab
primer terhadap rumah dan anak-anak selain bekerja di luar rumah.
Membesarkan anak sekarang ini umumnya merupakan
peran bersama pada orang tua kelas menengah, dan perilaku peran mereka terhadap
anak berbeda secara kualitatif dari keluarga kelas bawah. Telah ditunjukkan
bahwa satu alasan utama untuk hal ini mungkin pembentukan yang tidak disadari
pada anak agar bertahan di dunia yang dialami oleh orang tua. Sebagai contoh,
jika keluarga miskin, orang tua mengharapkan anak laki-laki mereka mungkin akan
bekerja di posisi yang menekankan kepatuhan, penghormatan terhadap kekuasaan,
dan kecocokan. Oleh karena itu, pelatihan yang meningkatkan kreativitas,
pertanyaan, dan kemandirian akan menghambat apa yang diperlukan anak dalam
peran kerja orang dewasa di masa yang akan datang. Sebaliknya, orang tua kelas
menengah lebih memperhatikan pertumbuhan psikologis, perbedaan individu,
kemandirian, keandalan diri pada anak mereka. Sifat ini yang didorong oleh
orang tua kelas menengah yang merupakan kunci keberhasilan dalam kehidupan
kerja kelas menengah (Kohn, 1969, 1977, dalam Friedman, 2010, p.309).
b. Bentuk Keluarga
Mayoritas
keluarga di Amerika sekarang ini bukan keluarga inti tradisional dengan dua
orang tua “ideal” yang khas. Struktur peran keluarga akan beragam sejalan
dengan varian dalam bentuk keluarga. Karena keluarga orang tua tunggal dan
orang tua tiri kemungkinan adalah dua bentuk keluarga inti yang paling umum,
kedua tipe bentuk keluarga ini akan diuraikan dalam hal pengaturan peran unik
dan penekanan peran mereka.
1)
Peran
Dalam Keluarga Orang Tua Tunggal
Jumlah keluarga orang tua tunggal telah membengkak
dengan cepat dalam 15 sampai 20 tahun terakhir. Sebagian besar keluarga orang
tua tunggal dikepalai oleh ibu, meskipun makin banyak ayah yang mengepalai
keluarga orang tua tunggal. Sekitar 17% keluarga orang tua tunggal dikepalai
oleh pria (U.S. Bureau of the Cencus, 1998, dalam Friedman, 2010, p.309). Pria
yang menjadi ayah tunggal khasnya memiliki keadaan ekonomi yang lebih baik
dibandingkan wanita yang menjadi ibu tunggal, sebagian karena, perbedaan
terus-menerus dalam pendidikan dan penghasilan antara pria dan wanita (Nortan
& Glick, 1986; Teachman, Tedrow, & Crowder, 2001, dalam Friedman, 2010,
p.309).
Dua gambaran peran menonjol dari keluarga ini adalah
(1) kelebihan beban peran dan konflik peran, dan (2) perubahan peran orang tua
tunggal. Orang tua harus memenuhi peran ibu dan ayah sekaligus, tanpa dukungan
suatu hubungan pernikahan. Orang tua tunggal cenderung kelebihan peran baik
peran maupun konflik dengan berbagai komitmen peran mereka, karena mereka
memiliki tugas ganda untuk diemban. Dengan pasangan untuk bergantung, terdapar
beberapa fleksibilitas peran (jika peran mengasuh anak dan mengurus rumah
tangga dibagi) dan meskipun orang tua tunggal terbebas dari tanggung jawab
peran pernikahan, hubungan orang dewasa lainnya sering kali memasuki dan
menimbulkan tuntutan pada waktu orang tua tunggal yang terbatas. Karena
sebagian besar orang tua juga bekerja, ketagangan tinggi terhadap peran
keluarga/ pekerjaan dan penurunan tingkat kesejahteraan ditemukan dalam sebuah
studi yang dilakukan oleh Burden (1986).
Penelitian yang bermankna telah dihasilkan oleh
ilmuwan perilaku yang telah meneliti keluarga orang tua tunggal berhubungan
dengan dampak jangka panjang pada anak. Kumpulan bukti dari banyak studi secara
konsisten menunjukkan bahwa anak dalam keluarga orang tua tunggal memiliki
masalah yang lebih besar (secara emosional dan perilaku) dibandingkan anak dari
keluarga inti dengan dua orang tua (tingkat penghasilan dikendalikan dalam
studi ini). Mereka juga cenderung dua kali keluar dari sekolah menengah atas
dan menjadi ibu remaja (Popenoe, 1995, dalam Friedman, 2010, p.309).
2)
Peran
Dalam Keluarga Orang Tua Tiri
Dengan semakin bertambahnya jumlah perceraian dan
menikah lagi (80% orang yang menikah lagi, setengahnya bercerai dalam 3 tahun),
terdapat pertambahan keluarga orang tua tunggal yang sangat banyak (Glick,
1994, dalam Friedman, 2010, p.309). Pada 75% kasus ini, tipe bentuk keluarga
ini menunjukkan masuknya suami baru dan ayah pengganti (ayah tiri),
dibandingkan ibu tiri, ke dalam keluarga orang tua yang dikepalai wanita yang
telah terbentuk. Keluarga orang tua tiri beresiko lebih tinggi mengalami
masalah serius dibandingkan keluarga “pernikahan pertama” atau “pernikahan
kedua” tanpa satu pun anak; 60% dari semua pernikahan kedua terakhir dengan
perceraian. Satu dari alasan primer untuk hal ini adalah kompleksitas
keterlibatan yang makin besar dengan masuknya ayah tiri kedalam keluarga yang
telah terbentuk, disertai dengan percampuran kewajiban setia istri – pengalaman
ibu – terhadap suami barunya di satu pihak dan kepada anaknya di pihak lain.
Kebingungan peran atau ambiguitas peran adalah
sumber tekanan utama bagi orang tua tiri
dan anak tiri. Mungkin penyebab dasar yang menimbulkan kebingungan peran
bagi ayah tiri dan yang mengakibatkan ketidakseimbangan keluarga adalah isu
pengasuhan dan pendisiplinan anak. Keragaman praktik dan nilai membesarkan anak
sangat besar. Masing-masing orang tua mengambil latar belakang keluarganya saat
mendefinisikan keyakinan, praktik, dan disiplin dalam membesarkan anak serta
sangat sulit untuk mencampuri nilai dan keyakinan ini karena banyak darinya
yang tidak berdasarkan objektivitas. Ketika orang tua memasuki hubungan, yaitu
saat ayah tiri mengepalai rumah tangga tetapi bukan orang tua sesungguhnya,
sintesis nilai dan aturan ini akan menimbulkan masalah.
Oleh karena itu, anak-anak melalui pemaparan
terhadap praktik pengasuhan anak oleh orang tua kandung mereka, telah membentuk
perilaku apa yang diterima dan tidak diterima, baik untuk dirinya sendiri
maupun orang tua mereka. Dalam keluarga orang tua tiri, ayah tiri tidak
memiliki hak biologis terhadap anak-anak – istrinya harus menekankan ini
kepadanya. Hal ini menempatkan ayah tiri pada posisi yang tidak dapat
dipertahankan.
Ketika konflik berkembang tentang mendisiplinkan
anak, ibu merasa memiliki hak alami untuk memutuskan isu tersebut. Jika ayah
tiri mendisiplikan anak, ibu akan sering kali merasa marah, atau lebih sering,
secara tindak langsung menyerang balik dengan tidak mendukung suami. Kejadian
terakhir ini khususnya sangat menghancurkan bagi seluruh keluarga dan sering
kali memperburuk konflik, dengan ibu terpecah antara kesetiaan pada anaknya dan
pada suaminya. Selain itu, menyatukan orang tua biologis yang tidak memiliki
hak perwalian, sistem kekerabatan orang tua tiri, dan anak orang tua tiri dari
pernikahan sebelumnya dapat membutuhkan perubahan peran keluarga yang lebih
lanjut. Anak dalam keluarga orang tua tiri juga memiliki kesulitan dalam
menyesuaikan rumah tangga baru mereka. Mereka tidak yakin mengenai bagaimana
berhubungan dengan orang tua tiri dan orang tua biologis dengan jenis kelamin
yang sama dan mengalami konflik kesetiaan (Crosbie-Burnett, 1994, dalam
Friedman, 2010, p.310).
c.
Latar
Belakang Budaya/ Etnik
Norma dan nilai yang berasal dari budaya atau etnik
yang sangat berpengaruh mengenai bagaimana peran dijalankan dalam suaru sistem
keluarga yang baku. Pengetahuan akan nilai dasar, kebiasaan, dan tradisi
kelompok etnik tertentu penting guna menginterpretasi apakah peran keluarga
berfungsi. Pada beberapa budaya, peran formal keluarga dilakukan oleh anggota
keluarga luas yang memegang posisi keluarga lainnya. Contoh yang umum dari
situasi ini adalah saat seorang paman bertindak sebagai ayah pengganti dalam
keluarga orang tua tunggal. Anggota keluarga besar (seperti kakek, paman, atau
kakak laki-laki) dapat, pada beberapa budaya, bertindak sebagai ayah pengganti
bahkan saat ayah ada, tanpa menyebabkan konflik atau ketegangan hubungan
apapun. Nenek dari ibu juga dapat melakukan peran keluarga formal, khususnya
keluarga orang tua tunggal Afrika-Amerika (Burron & deVries, 1995, dalam
Friedman, 2010, p.310).
d.
Tahap
Perkembangan Keluarga
Amatlah jelas bahwa cara bagaimana peran keluarga
dikukuhkan secara substansi berbeda dari satu tahap kehidupan keluarga dengan
tahap lain. Sebagai contoh, peran orang tua berubah sering mitra peran mereka
(anak mereka), bertumbuh dan berubah. Perilaku dan keterampilan menjadi orang
tua yang dibutuhkan untuk mengasuh bayi yang bergantung agak berbeda
dibandingkan perilaku peran yang dituntut orang tua dengan remaja yang mencari
kemandirian maksimum dan perbedaan dari keluarga. Perubahan pola peran keluarga
terjadi dalam banyak situasi keluarga yang beragam. Sebagai contoh, Haveman,
vanBerkum, Reijinders, dan Heller (1997, dalam Friedman, 2010, p.310) meneliti
keluarga yang memiliki seorang anggota keluarga yang mengalami retardasi mental
belajar bagaimana kebutuhan mereka akan layanan, tuntutan waktu, dan beban
pengasuhan berubah sejalan dengan siklus kehidupan keluarga.
Analisis data dari 2573 orang tua yang memiliki anak
yang mengalami retardasi mental menunjukkan bahwa “…meskipun tuntutan
pengasuhan menurun dari masa kanak-kanak, keluarga menerima tugas mereka kurang
normatif pada masa dewasa, saat sebagian besar keluarga tanpa anak yang
mengalami disabilitas tidak lagi mengasuh anak mereka di rumah”. Para peneliti
mencatat bahwa masing-masing tahap kehidupan memiliki tantangan yang unik bagi
orang tua dari anggota keluarga yang mengalami retardasi mental, beberapa
serupa dengan keluarga anggota yang tidak mengalami disabilitasi dan beberapa
tantangan situasi khusus.
Selain itu, tahap perkembangan orang tua di titik
yang berbeda dalam kehidupan anaka akan mempengaruhi kesesuaian mereka dalam
hal urutan kebutuhan dan tugas perkembangan. Sebagai contoh, tugas perkembangan
ibu remaja akan kemandirian lebih besar dapat tidak sinkron dengan kebutuhan
ketergantungan bayi.
e.
Model
Peran
Perilaku peran kita sebagai orang tua atau
suami-istri sering kali meniru peran yang kita amati dari yang diperankan orang
tua kita. Sebagai contoh, sangat umum untuk menemukan seseorang cenderung
memperlakukan anak mereka di masa lalu. Dengan memikirkan pengamatan ini, ahli
terapi keluarga menitik beratkan dalam memandang aspek antar generasi peran
pernikahan dan orang tua.
Ketika anggota keluarga menunjukkan masalah peran
yang dialami (transisi atau konflik peran), mengkaji model peran dari anggota
keluarga yang bermasalah dapat membantu. Analisis ini bertujuan menemukan
tentang kehidupan awal keluarga, saat individu belajar perannya dan peran
pasangannya (seperti belajar peran anak perempuan, serta ibu), dan bagaimana
pengalaman awal tersebut dapat mempengaruhi perilaku dan kesulitan perannya
saat ini.
f.
Peristiwa
Situasional Terutama Masalah Sehat/ Sakit (Peran Keluarga Selama Gangguan
Kesehatan)
Peristiwa hidup situasional utama yang dihadapi
keluarga dengan tidak dapat dihindari mempengaruhi fungsi peran mereka. Situasi
ini biasanya peristiwa yang menimbulkan tekanan seperti bencana alam,
penggangguran, atau gangguan kesehatan anggora keluarga. Pada struktur peran
keluarga selama gangguan kesehatan anggota keluarga, seperti saat seseorang
mengalami penyakit kronik atau disabilitas fisik atau mental. Pada sebagian
besar kasus, ketika seseorang menderita gangguan kesehatan, satu atau lebih
anggota keluarga mengamban peran pemberi asuhan.
1) Peran Ibu dalam Sehat dan Sakit
Peran
penting wanita di sebagian besar keluarga yaitu sebagai pemimpin kesehatan dan
pemberi asuhan. Kriteria seperti apaun telah digunakan dalam studi untuk
mengukur pengambilan keputusan dan peran kesehatan – termasuk tindakan saat
penyakit tidak dapat disembuhkan dan diobati, layanan medis dan kesehatan yang
dimanfaatkan, serta sumber bantuan keluarga primer – peran pervasive dan inti
dari ibu sebagai pengambil keputusan kesehatan utama, pendidik, konselor, dan
pemberi asuhan dalam matriks keluarga telah menjadi temuan konstan (Finley,
19889; Litman, 1974; dalam Friedman, 2010, p.311). Dalam peran ini, ibu
mendefinisikan gejala dan memutuskan alternatif sumber yang tepat. Ia juga
memegang kendali yang kuat terhadap apakah anak akan mendapat layanan
pencegahan atau pengobatan, dan bertindak sebagai sumber utama kenyamanan serta
bantuan selama masa sakit.
Salah satu cara yang dapat memperkirakan pentingnya
peran ibu menjadi pemimpin kesehatan adalah dengan mengamati apa yang akan
terjadi padanya dan keluarga saat ia sakit dan tidak mampu melakukan perannya.
Ibu biasanya menerima peran sakit hanya jika benar-benar wajib dan kemudian
hanya jika tidak dapat ditolak. Karena performa perannya dianggap penting
terhadap fungsi keluarga, penyakitnya cenderung sangat mengganggu dan merusak
pengaturan. Keluarga perlu memahami perjalanan masalah kesehatan untuk
memfasilitasi fleksibilitas peran yang melibatkan keluarga dalam tanggung jawab
memberikan asuhan dan mengurus anak saat orang tua sakit (Rolland, 1994, dalam
Friedman, 2010, p.311).
2) Peran Pemberian Asuhan Keluarga
Anggota
keluarga, dan khususnya wanita, memainkan peran penting sebagai pemberi asuhan
primer tidak hanya untuk lansia yang lemah, tetapi untuk banyak anggota
keluarga dari semua usia yang masih bergantung, sering kali akibat disabilitas
fisik atau mental kronik. Kemampuan dan kemauan mereka untuk memberikan asuhan
sering menjadi sebuah faktor penting dalam menentukan apakah bisa atau tidak
anggota yang mengalami disabilitas atau sakit dapat menghindari anggota masuk
rumah sakit.
Peran
pemberi asuhan bervariasi sesuai dengan posisi atau hubungannya dengan penerima
asuhan yaitu peran berubah secara bermakna saat pemberi asuhan adalah pasangan
hidup, orang tua, anak, saudara kandung, atau teman. Ibu adalah pemberi asuhan
primer bagi anak yang sakit kronik. Pasangan atau anak usia dewasa adalah
pemberi asuhan lansia yang paling sering. Orang tua mengasuh anak usia dewasa
mereka yang mengalami disabilitas sampai mereka tidak mampu lagi melakukannya.
Selanjutnya, saudara kandung menjadi pemberi asuhan primer (Roberto, 1993,
dalam Friedman, 2010, p.313).
Faktor
lain yang meningkatkan beban situasi pemberian asuhan adalah pelanggaran norma
sosial mengenai peran. Hal ini sering kali terjadi dalam empat situasi berikut:
saat anak merawat orang tua, saat pria atau wanita melakukan tugas rumah tangga
yang biasanya dilakukan oleh jenis kelamin yang lain, saat orang tua merawat
anak usia dewasa yang mengalami disabilitas, dan saat kakak merawat adik atau
sebaliknya (Avioli, 1989; Horwitz, 1993; dalam Friedman, 2010, p.313)
3) Perubahan Peran Selama Sakit dan
Hospitalisasi
Dalam
sebuah periode krisis, misalnya yang disebabkan oleh penyakit serius anggota
keluarga, struktur keluarga dimodifikasi, luasnya modifikasi bergantung pada
seberapa besar derajat anggota yang sakit yang mampu menjalankan peran biasanya
dalam keluarga dan pemusatan peran atau tugas-tugas yang kosong dari keluarga.
Peran yang diambil oleh ibu adalah, seperti yang dibahas sebelumnya, contoh
yang baik dari pemusatan peran anggota. Ketika penyakit menyebabkan kekosongan
peran-peran penting, keluarga sering kali memasuki sebuah keadaan tidak
seimbang yaitu hubungan peran dan kekuasaan berubah sampai homeostasis baru
tercapai (Fife, 1985; Hill, 1958).
Fungsi peran
yang seimbang dan dibagi sering kali menjadi tidak dapat dipertahankan oleh
pasangan saat salah seorang dari pasangan menjadi tidak mampu. Negosiasi
perbaikan peran sering kali dibutuhkan untuk mencegah ketegangan dan
kebingungan peran (Rolland, 1994, dalam Friedman, 2010, p.313). Dalam sebuah
studi mengenai pengaruh asuhan penyakit kritis terhadap anggota keluarga
melaporkan perubahan dalam peran keluarga dan peningkatan tanggung jawab
sebagai akibat dari hospitalisasi perawatan kritis.
Ada dua
tipe dasar perubahan peran yang terjadi akibat hilangnya atau ketidakmampuan
anggota keluarga.
a) Anggota keluarga yang lain memiliki
cukup sumber dari dalam dan luar sehingga mereka mampu melakukan kewajiban dan
tugas-tugas peran dasar dan penting yang tidak mampu diemban oleh anggota
keluarga yang sakit – ini merupakan cara situasi ditangani dengan fungsional.
b) Anggota keluarga kekurangan sumber dari
dalam dan luar yang diperlukan,dan sebagai akibatnya, peran dasar dan penting
tertentu dalam keluarga tidak dilakukan atau dilakukan tetapi tidak memuaskan.
Dengan kata lain, keluarga yang berfungsi secara adekuat dapat
secara fleksibel memodifikasi peran keluarga untuk memenuhi tuntuan situasi
atau dapat mendatangkan sumber dan bantuan dari luar untuk mengisi kekosongan.
Akan tetapi, dalam keluarga yang disfungsional. Hal ini tidak terjadi.
Karena perubahan peran diperlukan akibat hilangnya atau
ketidakmampuan satu anggota keluarga, konflik peran dan ketegangan peran sering
kali ada, khususnya selama tahap ketidakseimbangan keluarga segera setelah
kehilangan atau ketidakmampuan, saat struktur keluarga dalam masa transisional.
Baik konflik antarperan atau intraperan dapat terjadi, saat anggota keluarga
“dipaksa” menerima peran baru dan memiliki kesempatan kecil untuk belajar peran
ini atau untuk mengatur ulang semua tanggung jawab peran lain mereka.
Ketegangan atau stress peran sering kali menjadi hasil akhir. Anggota keluarga
yang dibebani dengan penerimaan peran baru dapat seringkali merasa khawatir,
cemas, dan bersalah karena mereka merasa tidak dapat melakukan pekerjaan secara
kompeten dalam peran baru mereka atau dengan tambahan tanggung jawab ini,
kompleks peran mereka sangat menuntut dan tidak dapat diatur (Friedman, 2010,
p.314).
F. Nilai-Nilai Keluarga
1. Definisi
a. Nilai
Nilai
adalah keyakinan abadi bahwa sikap perilaku tertentu atau keadaan akhir
eksistensi. Nilai adalah gambaran utama sistem keyakinan individu karena
kualitas yang berlangsung lama; bukan merupakan perilaku sementara . nilai
berfungsi sebagai panduan untuk bertindak (Friedmen, Bownden, & Jones,
2010; 326). Sedangkan menurut Potter & Perry, 2005; 326) Nilai adalah
keyakinan personal mengenai harga atas suatu ide, tingkah laku, kebiasaan, atau
objek yang menyusun suatu standar yang mempengaruhi tingkah laku .
Nilai
berfungsi sebagai panduan umum berperilaku. Dalam keluarga, nilai membimbing
atau mengarahkan perkembangan keyakinan norma atau aturan yang dianut keluarga.
Misalnya, jika seseorang menilai kesehatan dan merasakan kesehatan adalah
sesuatu yang didambakan, ia lebih cenderung untuk melakukan pencegahan
kesehatan dan menjalani perilaku hidup sehat. Selain itu, ia memiliki batasan
moral (aturan atau norma keluarga) menentang kebiasaan hidup tidak sehat
(Friedmen, Bownden, & Jones, 2010; 326).
b. Nilai
keluarga
Nilai keluarga didefinisikan sebagai
suatu sistem ide, perilaku, dan keyakinan tentang nilai suatu hal atau konsep
yang secara sadar maupun tidak sadar mengikat anggota keluarga dalam kebudayaan
sehari-hari atau kebudayaan umu (parad &Caplan, 1965dalam Friedmen,
Bownden, & Jones, 2010; 326).
Nilai keluarga bukan hanya merupakan
suatu cerminan dari masyarakat tempat individu atau keluarga berada, tetapi
juga cerminan dari sub- budaya ketika individu atau keluarga diidentifikasi.
Sebagian orang termasuk dalam sub-budaya berdasarkan kelas sosial, latar
belakang etnik, pekerjaan, jenis kelamin, kelompok teman sebaya, agama yang
dianut dan lain-lain (Friedmen, Bownden, & Jones, 2010; 327).
Keluarga
sering memiliki nilai yang tidak mereka sadari. Kebutuhan praktis belaka sering
kali mengganggu nilai keluarga dalam kehidupan sehari-hari sehingga nilai
tersebut tidak dapat dikenali lagi (Greadon, 1985).Dalam membantu keluarga,
baik perilaku aktual dan nilai yang dianut, keduanya perlu dipahami apa yang dikatakan
penting oleh keluarga mungkin berbeda dengan perilaku aktual(Friedmen, Bownden,
& Jones, 2010; 327).
c. Keyakinan
Wrigth,
Watson, dan Bell (1996)dalam Friedmen,2010; 327) menyatakan bahwa keyakinan
adalah lensa atau mata bagaimana kita melihat atau mempersepsikan kehidupan.
Keyakinan merupakan pijakan kuat dari perilaku kita dan merupakan esensi dari
kepedulian kita. Keyakinanan merupakan cetak biru atau dasar bagi kita untuk
membangun kehidupan dan berinteraksi dengan kehidupan lainnya. Istilah keyakinan
di setarakan dengan perilaku, penjelasan, perjanjiaan, asumsi yangdibangun,
kecenderungan, dan nilai, keyakinan membimbing dan mengarahkan keluarga serta
individu dalam bertindak (Wright &leahey, 2000).
Jadi
keyakinan dan perilaku satu sama lain
saling berkaitan dan berhubungan. Pilihan keluarga membuat perubahan
dari keyakinan merek, yang pada gilirannya di kembangkan dari sistem nilai yang
dianut mereka. Sistem keyakinan keluarga dapat dipelajari, dikomunikasikan, dan
dipertahankan sepanjang waktu. Keyakinan memiliki akar kebudayaan dan sosial yang mendalam (Friedmen, Bownden,
& Jones, 2010; 327).
d. Norma
Norma
adalah pola perilaku yang dianggap benar oleh masyarakat, sebagai sesuatu yang
berdasarkan pada sistem nilai keluarga. Norma juga merupakan perilaku
modalitas. Dengan kata lain, norma menentukan perilaku peran yang tetap bagi
setiap posisi di dalam keluarga dan masyarakat serta menentapkan bagaimana
mempertahankan atau menjaga hubungan timbal balik, dan bagaimana perilaku peran
dapat berubah dengan perubahan usia pemilik
posisi ini (Friedmen, Bownden, & Jones, 2010; 327).
e. Aturan
keluarga
Aturan
keluarga merupakan refleksi atau ungkapan yang lebih khusus dari nilai keluarga
dibandingkan dengan norma keluarga. Peraturan adalah pengaturan khusus bagaimana
keluarga menegakkan atau menetapkan perilaku yang dapat diterima atau tidak
diterima. Aturan keluarga, lebih banyak dituntun oleh nilai abstrak, memberikan
stabilitas, kesamaan dan mengarahkan kebutuhan anggota keluarga. Holman (1979)
menyatakan bahwa aturan keluarga membentuk mini-budaya (mini kultul)keluarga,
pengertian umum yang medefinisikan karakter individu dari setiap keluarga
karena berbeda dari semua keluarga lain (Friedmen, Bownden, & Jones, 2010;
327).
2. Kesenjangan
di dalam sistem nilai
a. Keragaman
nilai sosial
Konflik
yang tidak terelakan di antara keluarga dan masyarakat, terjadi karena terdapat
begitu banyak faktor dan pengalaman yang membuat perubahan nilai dan norma
individu atau keluarga. Isu dan konflik yang tidak diselesaikan sering tampak
karena tradisi dan kumpulan norma yang baru muncul secara bersamaan, yang kedua
nya berada di dalam atau di luar keluarga (Friedmen, Bownden, & Jones,
2010; 328).
Di
dalam komunitas, kelompok atau individu tertentu menolak norma-norma baru dan
lebih berpegang teguh pada pola tradisional, sedangkan individu dan kelompok
lain menemukan pola tradisional yang tidak dapat diterima dan terikat pada
serangkaian norma dan nilai yang baru. Perubahan sosial menyebabkan timbulnya
wilayah konflik yang besar. Meskipun nilai masyarakat kita pluralisme, yaitu
sistem serta pola yang tradisional dengan yang baru dapat berjalan secara
berdampingang, perbedaan sosial ini berperan dalam menimbulkan konflik dan
kebingungan dalam keluarga. Isu nilai keluarga yang sangat umum berhubungan
dengan arti pernikahan itu sendiri bagi individu yang terlibat. Secara
tradisional, pernikahan telah dipandang sebagai suatu yang sakral dan mengikat;
saat ini, diantara orang yang mendukung nilai sosial yang baru, pernikahan
mungkin dipandang sebagai suatu kontrak semata yang dengan mudah dapat
dibatalkan apabila salah satu atau kedua belah pihak mempunyai ketidakpuasan
yang logis (Friedmen, Bownden, & Jones, 2010; 328).
b. Pertentangan
nilai antara budaya dan sub-budaya yang dominan
Sumber
umum lainnya dari konflik nilai adalah pertentangan antara nilai kebudayaan
dominan dan kelompok rujukan kebudayaan keluarga. Ketika kita mengangap
keluarga sebagai alat media di antara kebudayaan (masyarakat luas) dan
individu, ini berarti bahwa dasar ketidaksesuaian dalam nilai antara kelompok
rujukan kebudayaan keluarga dan masyarakat yang lebih luas mengakibatkan
konflik nilai tertentu, yang meningkatkan ketegangan dalam keluarga sebagai
suatu sistem dan juga berpengaruh negatif terhadap anggota keluarga (Friedmen,
Bownden, & Jones, 2010; 328).
c. Pertentangan
nilai antara generasi
Suatu
keluarga dapat terdiri dari beberapa generasi individu, masing-masing membawa
nilai dasar generasinya ke dalam kelompok keluarga. Nilai konflik tidak dapat
dihindarkan ketika kakek memegang nilai tradisi, orang tua dipengaruhi oleh
kombinasi nilai tradisi dan progresif, serta anak-anak dipengaruhi oleh nilai
baru.konflik diantara generasi ini bisa terjadi terutama bila rumah tangga
merupakan extended family atau
keluarga yang memiliki anak usia remaja. Pertentangan nilai antara generasi ini
juga membesar pada generasi pertama
keluarga imigran dari negara-negara Timur (Hong & Ham,1992 dalam Friedmen,
Bownden, & Jones, 2010; 328-329).
d. Perbedaan
antara anggota keluarga dan profesional pelayanan kesehatan
Salah
satu stresor utama dalam hubungan antara tenaga profesional pelayanan kesehatan
dan klien keluarga adalah perbedaan sosial yang ada karena perbedaan kelas
sosial atau nilai kebudayaan. Apabila profesional kesehatan dan keluarga tidak
memiliki dasar keyakinan dan nilai yang sama, hasilnya sering berbeda. tujuan,
komunikasi yang tidak jelas, dan masalah interaksi. Sebagai tenaga yang
profesional yang bekerja dalam sistem pelayanan kesehatan. Nilai kebudayaan
dominan ini umumnya terdapat pada orang yang berkulit putih, Anglo Saxon,
Protestan (WASP), Brink (1976) dalam Friedmen, Bownden, & Jones, 2010; 329)
menjelaskan sistem nilai perawat Amerika
sebagai berikut:
Perawat
Amerika dididik di Amerika Serikat, masuk dalam klarifikasi sistem nilai, “old
Yankee”.Perawat Amerika berciri futuristik, berorientasi menjalankan tugas
profesi, individualis dalam membuat keputusan, namun berorientasi langsung di
institusi kesehatan, meyakini bahwa penyakit dapat ditanggulangi, dan tidak
memandang manusia itu baik atau jahat, tapi sebagai orang sakit.
Selain
itu, usia rata-rata perawat tradisional sekitar 44 tahun. Konflik nilai dapat
timbul ketika perawat baru dari generasi muda (generasi x) berinteraksi dengan
kelompok sebaya mereka (baby boomer)
dan dengan bertambahnya jumlah pasien lansia.
3. Variabel
Utama yang Mempengaruhi Nilai Keluarga
Ada
beberapa variabel atau faktor penting yang sangat memengaruhi apakah keluarga
meengasimilasi “orientasi nilai utama” dari masyarakat, atau apakah perbedaan
prioritas dan nilai atau norma yang berbeda dapat berjalan. Tiga variabel
penting adalah kelas sosial, etnisitas keluarga, serta keluarga dalam susunan
atau struktur (Creed,2000; Lebey, 2001). Variabel penting lainnya meliputi
tingkat akulturasi keluarga terhadap kebudayaan dominan, perbedaan generasi,
lokasi geografis, dan idiosinkretik personal dan keluarga.
a. Status
SosioEkonomi Keluarga
Status
ekonomi keluarga membentuk gaya hidup keluarga, status ini juga merupakan
faktor yang sangat kuat di dalam nilai keluarga. Sebagai contoh, nilai inti
dominan dari rakyat Amerika merupakan nilai yang mewakili sebagian besar nilai
keluarga kelas menengah Amerika. Keluarga miskin berbagi dengan nilai dominan
seperti produktivitas dan kerja. Terkait dengan dimensi waktu, keluarga miskin
lebih berorientasi pada masa kini daripada kelas menengah.
Diantara
beberapa keluarga miskin, misalnya waktu dan perjanjian dipersepsikan sebagai
sesuatu yang “fleksibel”. Artinya, kegiatan dimulai jika semua orang yang
terlibat sudah sampai. Sebaliknya, keluarga kelas menengah, menganut nilai
waktu yang dominan dan mengharapkan ketepatan waktu serta ketrampilan manajemen
waktu yang baik. Keluarga ini khas berorientasi masa depan dan oleh karena itu
mereka merencanakan serta mempersiapkan untuk masa depan (Giger
&Davidhizar, 1999).
b. Etnisitas
dan Akulturasi Keluarga
Latar
belakang etnik memberikan perbedaan yang besar dalam memandang pentingnya suatu
nilai inti bangsa bagi keluarga. Contohnya; keluarga Irlandia-Amerika
menempatkan nilai yang tinggi pada kemandirian. Hingga muncul ungkapan “Anda
sudah merapikan tempat tidur, sekarang berbaringlah diatasnya”, yang
mengungkapkan arti bahwa anggota keluarga yang sudah menikah tidak boleh
membawa masalah rumah tangga mereka kepada orang tua.
Dalam
kebudayaan Cina, kekohesifan kelompok, penghormatan sosial, kepatuhan,
ketertiban/keteraturan sosial sangat bernilai. Orang tua keluarga Cina-Amerika
secara tradisional sangat peduli terhadap perilaku anak mereka agar sesuai
dengan adat istiadat yang diinginkan atau dibenarkan. Anak mereka dididik untuk
mendengar dan menaati petunjuk orang tua dan orang yang lebih tua dari mereka
tanpa keberatan (Xiao,1999)
Nilai Inti Perbedaan
Kebudayaan tertentu, Keluarga yang Berorientasi Tradisional
EtnisKeluarga
|
Nilai/akulturasi
|
1. Irlandia-Amerika
2. Indian-Amerika
3. Italia-Amerika
4. Yahudi-Amerik
5. Afrika-Amerika
6. Asia-Amerika
7. Asia-Indian
8. Latin
|
Mandiri,
berorientasikeagamaanyangkuat, bicaradengan nada tinggi, humoris,
senangbergaul.
Hidupharmonisdenganalam,
inspirasi spiritual, pengobatantradisional, hormatkepada yang lebihtua,
otoritas, dananak-anak, kolektivisme (keluargadansuku), kebanggaanetnik.
Kekeluargaan,
perantradisionalpria-wanita, loyal menjalanihubungan personal.
Menghargaipendidikan,
sukses, keluarga, danbersangkutandengankomunitas,
komitmenterhadapprinsipdemokrasi.
Pertalian
yang kuatdandukungandarikerabatdanteman, fleksibilitasdalamperankeluarga,
komitmendanpartisipasikeagaman yang kuat.
Hormatkepada
yang lebihtua, kekeluargaan, rukun, dansalingtergantungdalamhubungan, saleh,
hemat, penghormatankepadaleluhur, hormatpadapenguasa,
berorientasipendidikandanprestasi.
Kemurnian,
pengorbanan, ketidakpedulian, spiritualitas.
Kekeluargaan,
hormatterhadapotoritasdan orang yang lebihtua, berorientasikeagamaan yang
kuat, orang dinilaidarikarakterbukansuksesmereka,
orientasimasakinilebihbesar.
|
Tabel gambaran nilai
inti dari beberapa kelompok etnik
Tingkat
akulturasi keluarga terhadap nilai kebudayaan dominan juga sangat berbeda.
Semakin terakulturasi keluarga, semakin keluarga menganut nilai inti bangsa.
c. Letak
Geografi (Urban, Suburban atau Rural)
Sebuah
keluarga yang tinggal (atau telah menetap untuk waktu lama) di komunitas rural
(desa), urban (kota) atau suburban (pinggiran kota) juga memainkan peranan
penting dalam membentuk nilai mereka. Dalam hal tempat tinggal penduduk desa
versus kota, penduduk desa cenderung lebih tradisional dan konservatif daripada
penduduk urban dan suburban. Masyarakat suburban sebaian besar terdiri dari
kelas menegah, dan biasanya lebih mendukung nilai kebudayaan kelas menengah
penduduk urban. Sebaliknya, masyarakat urban, terdiri dari beragam populasi,
pada umumnya terdiri dari keluarga yang berasal dari beragam kelas social, dan
bermacam etnik serta kelompok rasial, jadi keluarga urban biasanya menunjukkan
perbedaan nilai yang besar, meskipun secara umum cenderung memilih pandangan
social dan politik yang lebih liberal.
d. Perbedaan
Generasi
Variabel
lain yang memengaruhi nilai dan norma keluarga adalah pada generasi manakah
anggota tersebut hidup. Kebanyakan nilai inti ditanamkan pada masa usia dini
oleh orang tua. (Lustig, 1998). Akan tetapi, nilai inti juga dapat berubah
karena pergeseran nilai yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya, nilai tertentu
merupakan nilai utama ketika orang mengalami masa remaja pada tahun 1950-an.
Individu tersebut saat ini berada pada masa pensiun/tua atau pada fase keluarga
yang membuat perjanjian, dan mereka masih menganut nilai yang berorientasi pada
kepercayaan/agama (nilai-nilai yang mempunyai potensi yang lebih dalam hidup
mereka dibanding remaja masa kini).
McLeod dan Cooper (1996) dan Slater (1970) menggambarkan perbedaan
kekuatan nilai ketika mereka membandingkan nilai “generasi muda (youth
generation)” adalah “generasi saya (me generation)” dan “generasi X” dengan
nilai lama dari kebudayaan yang dominan (orang dewasa).
G. Stres,
Koping dan Adaptasi Keluarga
1. Konsep
stres dan koping dasar
Stres adalah respon atau keadaan
ketegangan yang disebabkan oleh stresor atau oleh tuntuan aktual/yang dirasakan
yang tetap tidak teratasi. Stres adalah ketegangan dalam seseorang atau sistem
sosial (mis.,keluarga) dan merupakan reaksi terhadap situasi yang menimbulkan
tekanan (Burgess, 1987).
Stresor
adalah agen pemrakarsa atau presipitasi yang mengaktifkan proses stres. Agen
presipitasi yang mengaktifkan stres dalam keluarga adalah peristiwa hidup atau
kejadian yang cukup kuat untuk menyebabkan perubahan dalam sistem keluarga.
Stresor keluarga dapat berupa peristiwa atau pengalaman interpersonal,
lingkungan, ekonomi atau sosial-budaya. Jumlah peristiwa perkembangan (yang
diharapkan) dan situasional (yang tidak diharapkan) serta ketegangan
intrakeluarga (tekanan dalam hubungan di antara anggota keluarga).
Koping
terdiri atas upaya pemecahan masalah yang dihadapi oleh individu dengan tuntuan
yang sangat relevan dengan kesejahteraannya tetapi membebani sumber seseorang.
Pearlin dan Schooler (1978) menambahkan pernyataan mengenai dugaan keefektifan respon
koping saat mereka menderfinisikan koping sebagai respon (kognitif perilaku
atau persepsi) terhadap ketegangan hidup eksternal yang berfungsi untuk
mencegah, menghindari, atau mengendalikan distres emosional.
Koping
keluarga didefinisikan sebagai proses aktif saat keluarga memanfaatkan sumber
keluarga yang ada dan mengembangkan perilaku serta sumber baru yang akan
memperkuat unit keluarga dan mengurangi dampak peristiwa hidup yang penuh
dengan stres. Koping keluarga adalah tindakan atau kognisi khusus yang
dilakukan keluarga saat beradaptasi terhadap stres. Strategi koping keluarga
dan individu terbentuk serta berubah sepanjang waktu sebagai respon terhadap
tuntutan atau stresor yang dialami (Menaghan, 1983).
Krisis
keluarga merupakan keadaan atau masa kacau dalam kehidupan keluarga saat
peristiwa yang sangat menimbulkan stres atau rangkaian kejadian yang secara
signifikan membebani sumber dan kemampuan koping keluarga disertai tidak dapat
melihat pemecahan masalah. Keterampilan pemecahan masalah keluarga yang
biasanya efektif menjadi tidak berguna atau berkurang selama kegawatan
psikososial (Kus, 1992).
Ada
dua jenis situasi yang dapat menempatkan keluarga ke dalam krisis, yaitu :
a. peristiwa
perkembangan
Peristiwa
perkembangan atau maturasi adalah peristiwa yang berakar dari pengalaman
keluarga dalam proses pertumbuhan psikososial anggota (mis., menjadi orang
tua). Peristiwa ini terdapat dalam tahap siklus kehidupan normal baik bagi
keluarga maupun anggotanya.
b. Situasional
Peristiwa
situasional tidak umum aau secara normal diharapkan, seperti kematian anak atau
penyakit. Bergantung pada sumber, kemampuan koping, dan persepsi keluarga
terhadap suatu peristiwa.
2. Adaptasi
keluarga
Adaptasi
adalah proses mengelola tuntutan stresor melalui pemanfaatan sumber, koping,
dan strategi pemecahan masalah. Hasilnya akhirnya adalah perubahan keadaan
fungsi yang dapat positif atau negatif yang menyebabkan peningkatan atau
penurunan keadaan sejahtera keluarga (Burgess, 1978). Misalnya mencari bantuan
dari lembaga masyarakat dapat merupakan gerakan yang sangat positif saat
bantuan dari luar dibutuhkan untuk membantu anak belajar mengatasi masalah
tetapi strategi adaptif yang sama dapat negatif jika menjadi cara dominan
keluarga memecahkan masalahya. Hal ini karena keluarga tidak belajar
memanfaatkan sumber dari dalam keluarga sendiri.
Adaptasi
keluarga didefinisikan sebagai proses sistem keluarga yang berkelanjutan yang
digunakan untuk mencapai tugas-tugas adaptif dalam situasi penyakit kronik yang
berlangsung sepanjang waktu saat anggota keluarga beradaptasi terhadap situasi
kehidupan penuh stres seperti merawat anak yang mengalami penyakit kronik.
Proses
adaptasi dalam sistem keluarga disebut
resilience keluarga. Pendekatan resilience keluarga guna bekerja dengan
keluarga dibentuk di atas kompetensi dan kekuatan anggota keluarga dan
keluarganya yang memungkinkan penyediaan layanan kesehatan bergeser dari model
patogenik ke model berbasis kekuatan.
3. Fase
waktu stres dan strategi koping
Perawat perlu menyadari fase waktu stres
serta strategi koping anggota keluarga dan unit keluarga yang dapt digunakan
selama setiap tiga periode waktu.
a. Periode
antrestres
Dalam periode
sebelum benar-benar menghadapi stresor, antisipasi mungkin terjadi. Terdapat
kesadaran terhadap bahaya yang mengancam atau ancaman situasi yang dirasakan.
Jika keluarga atau orang yang membantu dapat mengidentifikasi stresor yang akan
datang, bimbingan antisipasi serta strategi koping pencegahan dapat dicari atau
diberikan untuk memperlemah atau mengurangi dampak stresor.
b. Periode
stres aktual
Dengan energi
yang besar yang dikeluarkan dalam menangani stresor dan stres, banyak fungsi
keluarga sering kali diabaikan atau dilakukan secara tidak adekuat sampai
keluarga kembali memiliki sumber untuk mengatasi stres dan stresor. Contohnya
adalah saat keluarga secara total mengatur kehidupan keluarganya seputar
perawatan anggota yang mengalami sakit kronik. Dalam situasi ini, keluarga
dapat sangat disfungsional sepanjang waktu ketika kebutuhan anggota yang sehat
tidak terpenuhi dan perkembangan perjalanan kehidupan keluarga terganggu.
c. Periode
pasca stres
Strategi koping
yang diterapkan setelah periode stres akut terdiri dari strategi untuk
mengembalikan keluarga ke keadaan homeostatis yang seimbang. Untuk meningkatkan
kesejahteraan keluarga selama fase ini, keluarga perlu sering bekerjasama,
saling mengungkapkan perasaan dan memecahkan masalahnya atau mencari dan
memanfaatkan dukungan keluarga guna memperbaiki situasi penuh stres. Empat
kemungkinan pasca trauma adalah :
1) Keluarga
berfungsi pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya
2) Keluarga
berfungsi pada tingkat yang sama dengan pra stress
3) Keluarga
berfungsi pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan sebelumnya
4) Perpecahan
keluarga (mis., perpisahan, perceraian, pengabaian)
4. Stresor
dan dampaknya
Keluarga
setiap harinya dihujani dengan stimulus yang menyebabkan ketegangan, beberapa
di antaranya hanya menimbulkan iritasi ringan dan sulit sulit dilihat seperti
kebisingan lalu lintas dan perumahan yang tidak layak yang beberapa diantarnya
membahayakan keluarga seperti masalah pernikahan atau kehilangan anak. Keluarga
jarang berhadapan dengan stresor tunggal pada satu waktu tetapi sering kali
tepajan oleh stresor baik normatif maupun situasional secara simultan.
Para
peneliti mengembangkan alat berbasis keluarga yang mengkaji perubahan hidup
dalam keluarga. Alat pengkajian yang paling sering digunakan adalah Family
Inventory of Life Events adn Changes (FILE). FILE adalah instrumen yang dapa
digunakan untuk mengkaji dan mengakumulasi stresor keluarga. Tujuh peristiwa
hidup yang paling menimbulkan stres dalam skala FILE total adalah :
a. Kematian
seorang anak
b. Kematian
salah satu orang tua atau pasangan
c. Pasangan
atau orang tua berpisah atau bercerai
d. Adanya
penganiayaan fisik atau seksual atau kekerasan dalam rumah keluarga
e. Anggota
keluarga mengalami cacat fisik atau sakit kronik
f. Pasangan
atau orang tua berselingkuh
g. Anggota
keluarga dipenjara atau ditahan sementara
5. Strategi
koping keluarga
a. Strategi
koping keluarga internal
Dalam strategi
koping keluarga internal, ada tiga jenis strategi koping intra-keluarga yang
umum, yaitu :
1) Strategi
hubungan
a) Mengendalikan
kelompok keluarga
Burges
(1978) menekankan bahwa strategi koping ini termasuk disiplin diri di antara
anggota keluarga sangat dibutuhkan dalam awal situasi penuh stres seperti saat
orang tua menghadapi kecelakaan serius di rumah. Mereka harus memelihara
ketenangan dan kemampuan memecahkan masalah karena mereka bertanggung jawab
terhadap kehidupan mereka sendiri dan kehidupan anak mereka.
b)
Kebersamaan yang lebih
besar
Salah satu cara membuat keluarga
makin erat dan memelihara serta mengelola tingkat sttres dan moral yang
dibutuhkan keluarga adalah dengan berbagi perasaan dan pemikiran serta terlibat
dalam pengalaman atau aktivitas keluarga. Aktivitas keluarga di waktu luang
merupakan sumber koping yang sangat penting. Kebersamaan yang lebih besar
menghasilkan kohesi keluarga yang lebih tinggi, atribut keluarga yang
mendapatkan perhatian luas sebagai atribut keluarga inti.
2)
Strategi kognitif
a)
Normalisasi
Strategi koping fungsional keluarga
lainnya adalah kecenderungan bagi keluarga untuk menormalisasi sesuatu sebanyak
mungkin saat mereka mengatasi stresor jangka panjang yang cenderung mengganggu
kehidupan keluarga dan aktivitas rumah tangga. Normalisasi adalah menegaskan
kehidupan keluarga sebagai kehidupan yang normal. Keluarga “menormalkan” dengan
memelihara ritual dan rutinitas terhadap anggota keluarga yang mengalami
penyakit kronik. Hal ini membantu keluarga mengatasi stres dan meningkatkan
rasa keutuhan.
b)
Pengendalian makna
masalah dengan membingkai ulang dan penilaian pasif
Interpretasi yang diberikan terhadap
peristiwa dapat membuat perbedaan antara berespon berlebihan terhadap situasi,
bereaksi dengan cara yang realistik, dan bereaksi secara adekuat. Keluarga yang
menggunakan strategi koping ini dengan membingkai ulang cenderung melihat aspek
positif dari peristiwa hidup penuh stres dengan membuat perbandingan positif
dan membuat peristiwa atau pengalaman penuh stres tidak terlalu penting dalam
hierarki keluarga. Pembingkaian ulang adalah cara persepsi koping individu yang
dipengaruhi oleh keyakinan keluarga. Peran agama dan spiritualitas berperan
penting dalam membentuk keyakinan. Cara kedua adalah penilaian pasif, keluarga
menggunakan strategi koping kognitif kolektif dalam memandang stresor atau
kebutuhan yang menimbulkan stres sebagai sesuatu yang akan selesai dengan
sendirinya dan tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut.
c)
Pemecahan masalah bersama
Pemecahan masalah bersama dapat
dijelaskan sebagai sebuah situasi saat keluarga secara bersama-sama mampu
mendiskusikan masalah dengan segera, mencari pemecahan yang didasarkan pada
logika dan mencapai kesepakatan mengenai apa yang akan dilakukan berdasarkan
sekumpulan isyarat, persepsi dan saran dari berbagai anggota keluarga.
d)
Medapatkan informasi
dan pengetahuan
Keluarga yang lebih berbasis
kognitif berespon terhadap stres dengan mencari pengetahuan dan informasi
berkenaan dengan stresor atau kemungkinan stresor. Dengan mendapatkan informasi
yang bermanfaat dapat meningkatkan pengendalian terhadap situasi tertentu dan
dapat mengurangi rasa takut keluarga terhadap sesuatu yang tidak diketahui, dan
juga membantu keluarga menilai stresor lebih akurat dan mengambil tindakan yang
tepat.
3)
Strategi komunikasi
a) Terbuka
dan jujur
Satir (1998)
mengamati bahwa komunikasi dalam keluarga yang fungsional adalah langsung,
terbuka, jujur dan jelas. Keterbukaan adalah komunikatif dalam berbagai ide dan
perasaan. Pemecahan masalah kolaboratif yang dibahas sebagai strategi koping
kognitif juga merupakan strategi koping komunikasi yang memfasilitasi koping
dan adaptasi keluarga.
b. Strategi
koping keluarga eksternal
1) Memelihara
jalinan aktif dengan komunitas
Kategori ini
merujuk pada upaya koping keluarga yang terus-menerus, jangka panjang dan umum,
bukan upaya seseorang menyesuaikan untuk mengurangi stresor khusus siapa pun.
Keluarga berperan dan mendapat manfaat dari jaringan dukungan dan layanan
komunitas yang aktif.
2) Memanfaatkan
sistem dukungan sosial
Dukungan sosial
keluarga merujuk pada dukungan sosial yang dirasakan oleh anggota keluarga
dapat diakses. Dukungan sosial ini dapat datang dari dalam dukungan sosial
keluarga, seperti dukungan pasangan atau dukungan sibling. Dukungan sosial
informal dapat berasal dari keluarga besar, teman, dan orang-orang di
lingkungan sekitar. Sedangkan dukungan sosial formal dapat berupa bimbingan
konseling dengan ahli dan mencari informasi dari penyedia layanan kesehatan dan
profesional lain.
3) Dukungan
spiritual
Berbagai studi
menunjukkan hubungan jelas antara kesejahteraan spiritual dan peningkatan
kemampuan individu atau keluarga untuk mengatasi stres dan penyakit. Agama
adalah dorongan yang kuat dan pervasif dalam membentuk keluarga. Dukungan
spiritual penting dalam mendukung kepercayaan keluarga sehingga mereka dapat
mengatasi penderitaan. Keyakinan dan kepercayaan pada Tuhan dan doa
diidentifikasi sebagai cara keluarga yang sangat penting dalam mengatasi
stresor yang mengancam hidup.
DAFTAR
PUSTAKA
Christensen, Paula J. 2009. Proses keperawatan: aplikasi model konseptual. Ed. 4. Jakarta: EGC
Efendy. (1998). Dasar-dasar keperawatan kesehatan masyarakat.
Jakarta: EGC
Effendi,
Ferry. (2009). Keperawatan kesehatan
komunitas: teori, dan praktik dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Friedman,
M.M. (1998). Keperawatan keluarga: teori
dam praktek. Ed.3. Jakarta: EGC
Friedman., Marilyn M. (2010). Buku ajar keperawatan keluarga: riset, teori
dan praktik. Ed.5. Jakarta: EGC
Mubarak,
Wahit Iqbal. (2009). Ilmu keperawatan
komunitas buku 2: konsep dan aplikasi. Jakarta: Salemba Medika
Mubarak,
W.I. & Santoso, B.A. (2006). Buku
ajar ilmu keperawatan komunitas: teori & aplikasi dalam praktik dengan
pendekatan asuhan keperawatan komunitas, gerontik, dan keluarga. Jakarta:
Sagung Seto
Setiadi.
(2007). Konsep dan penulisan riset
keperawatan. (Ed.1). Jogjakarta: Graha Ilmu
Suprajitno.
(2004). Asuhan keperawatan keluarga:
aplikasi dalam praktik. Jakarta: EGC
No comments:
Post a Comment
Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat