F.
Konsep
dan Penanganan Resiko Gangguan Konsep Diri pada Berduka dan Kehilangan
1. Berduka
dan Kehilangan
a. Pengertian
Kehilangan adalah sesuatu yang signifikan yang membutuhkan
adaptasi melalui proses berduka yang terjadi ketika sesuatu atau seseorang
tidak dapat lagi ditemui, diraba, didengar, diketahui dan dialami. (Potter
& perry, 2005)
Kehilangan merupakan situasi actual atau potensial yang di
dalammnya sesuatu yang dinilai berharga berubah, tidak lagi ada atau menghilang
yang dapat mengalami kehilangan citra tubuh, orang terdekat, rasa
kesejahteraan, pekerjaan, barang pribadi, keyakinan,atau sensi terhadap diri
sendiri.(Kozier, 2010)
Sedangkan Tarwoto & Wartonah (2003), mendefenisikan
kehilangan sebagai suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
Berduka adalah proses yang mengalami reaksi psikologis, social
dan fisik terhadap kehilangannyang dipersepsikan.(potter & perry, 2005)
Berduka merupakan respon total terhadap pengalaman emosional
akibat kehilangan yang dimanifestasikan dalam pikiran, perasaan, dan perilaku
yang berhubungan dengan distress atau kesedihan yang mendalam. (Kozier, 2010)
Berduka merupakan respon emosi yang diekspresikan terhadap
kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, susah
tidur, dll.(Tarwoto & Wartonah, 2003)
b. Tipe
dan Sumber Kehilangan
Menurut Kozier (2010), terdapat dua
tipe umum kehilangan, yaitu:
1) Kehilangan
actual; merupakan kehilangan yang dapat diketahui oleh orang lain
2) Kehilangan
persepsi; yaitu kehilangan yang dialami oleh seseorang tetapi tidak dapat
dipastikan oleh orang lain.
Kehilangan
psikologis sering berupa persepsi kehilangan karena kehilangan psikolog tidak
dapat dipastikan secara langsung. Misalnya, seorang wanita yang berhenti
bekerja untuk merawat anaknya di rumah dapat merasakan persepsi kehilangan
kemandirian dan kebebasan.
Kehilangan
yang diantisipasi dialami sebelum kehilangan benar-benar terjadi. Misalnya,
seorang wanita yang suaminya sedang menjelang ajal dapat mengalami kehilangan
actual sebagai antisipasi terhadap kematian suaminya.
Menurut
potter & perry 2005, tipe kehilangan dapat bersifat actual atau dirasakan;
kehilangan yang bersifat actual dapat dengan mudah diidentifikasi. Misalnya,
seorang anak yang teman mainnya pindah rumah atau seorang dewasa yang
kehilangan pasangan akibat bercerai. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan
dapat disalahartikan, seperti kehilangan kepercayaan diri.
Menurut kozier
2010, terdapat beberapa sumber kehilangan, antara lain:
1) Kehilangan
aspek diri: bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau atribut psikologis. Kehilangan
aspek diri mengubah citra tubuh seseorang, walaupun kehilangan mungkin tidak
terlihat nyata. Misalnya: jaringan parut di wajah akibat luka bakar secara umum
dapat jelas dilihat oleh orang, kehilangan bagian tubuh yang berada di dalam
perut. Pada lanjut usia, perubahan terjadi dalam kemampuan fisik dan mental
dimana dalam kehidupan mungkin mengalami banyak kehilangan: pekerjaan,
aktivitas biasa, kemandirian, kesehatan, teman dan keluarga.
2) Kehilangan
objek eksternal diri
Yang terdiri atas:
a) Kehilangan
objek benda mati yang bermakna penting bagi individu. Seperti: kehilangan uang
atau terbakarnya rumah
b) Kehilangan
objek benda hidup. Seperti: binatang peliharaan yang memberikan kasih sayang
dan persahabatan.
3) Perpisahan
dari lingkungan biasa
Perpisahan
dari lingkungan dan orang yang memberikan keamanan dapat menyebabkan sensasi
kehilangan. Anak yang usia 6 tahun cenderung merasakan kehilangan saat pertama
kali meninggalkan lingkungan yang sudah dikenalnya untuk pergi sekolah.
4) Kehilangan
orang yang dicintai
Kehilangan
orang yang dicintai atau orang yang disayangi karena penyakit, perceraian,
perpisahan atau kematian. Pada beberapa penyakit, seseorang dapat mengalami
perubahan kepribadian yang membuat teman dan keluarganya merasa bahwa mereka
telah kehilangan orang tersebut.
5) Kehilangan
hidup
Seseorang
yang menghadapi kematian menjalani hidup, merasakan, berpikir, dan merespon
terhadap kejadian dan orang sekitarnya sampai terjadi kematian.
Sebagian
orang menganggap kematian sebagai jalan masuk ke dalam kehidupan setelah
kematian yang akan mempersatukan dengan orang yang kita cintai di surge.
Sedangkan orang lain takut perpisahan, dilalaikan, kesepian dan cedera.
Ketakutan terhadap kematian sering menyebabkan individu menjadi lebih
bergantung. (Potter & perry, 2005)
c. Proses
kehilangan
Menurut
Yosep (2010), proses kehilangan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)
Stressor
internal/eksternal – gangguan dan kehilangan – individu memberi makna positif –
melakukan kompensasi dengan kegiatan positif – perbaikan (beradaptasi dan
merasa nyaman)
2)
Stressor
internal/eksternal – gangguan dan kehilangan – individu memberi makna – merasa
tidak berdaya – marah dan berlaku agresi – diekspresikan ke dalam diri – muncul
gejala sakit fisik
3)
Stressor
internal/eksternal – gangguan dan kehilangan – individu memberi makna – merasa
tidak berdaya – marah dan berlaku agresi – diekspresikan ke luar diri individu
– konpensasi dengan perilaku konstruktif – perbaikan (beradaptasi dan merasa
nyaman)
4)
Stressor
internal/eksternal – gangguan dan kehilangan – individu memberi makna – merasa
tidak berdaya – marah dan berlaku agresi – diekspresikan ke luar diri individu
– konpensasi dengan perilaku dekstruktif – merasa bersalah – ketidakberdayaan.
d. Tahap
berduka
Tabel
2. Tahap berduka Kubler-Ross (Kozier,2010)
Tahap
|
Respon perilaku
|
Implikasi
keperawatan
|
Penyangkalan
|
Tidak percaya
telah terjadi kehilangan
Tidak siap
mengatasi masalah praktis, seperti setelah kehilangan kaki dan menunjukkan
keceriaan palsu sehingga memperlama penyangkalan
|
Dukung klien
secara verbal tetapi tidak mengaitkan penyangkalan.
Kaji perilaku
diri sendiri untuk memastikan bahwa perawat tidak ikut terlarut dalam
penyangkalan klien
|
Marah
|
Klien atau
keluarga dapat mengarahkan rasa marah kepada perawat atau staf berkenaan
dengan hal-hal yang normalnya tidak menggu mereka
|
Bantu klien
memahami bahwa rasa marah adalah respon normal terhadap perasaan kehilangan
& ketidakberdayaan. Hindari menarik diri atau balas marah, jangan
menanggapi rasa marah secara pribadi. Atasi kebutuhan yang melandasi setiap
rasa marah. Berikan kekuatan kontinuitas untuk meningkatkanperasaan aman.
Biarkan klien untuk mengontrol kehidupan merekan sebanyak mungkin
|
Penawaran
|
Berupaya
melakukan tawar-menawar untuk menghidari kehilangan.
Dapt
mengekspresikan perasaan bersalah atau takut mendapatkan hukuman akibat dosa
di masa lalu, baik nyata ataupun khayalan
|
Dengarkan
dengan penuh perhatian dan dorong klien untuk bicara guna meredakan rasa
bersalah dan rasa takut yang tidak rasional.
Apabila tepat,
tawarkan dukungan spiritual
|
Depresi
|
Berduka karena
sesuatu yang terjadi dan kerena sesuatu yang tidak terjadi.
Dapat bicara
dengan bebas (mis: mengingat kembali kehilangan di masa lalu seperti
kehilangan uang atau pekerjaan), atau dapat menarik diri
|
Biarkan klien
mengekspresikan kesedihan.
Lakukan
komunikasi nonverbal dengan duduk tenang tanpa mengharapkan pembicaraan.
Sampaikan perhatian dengan sentuhan
|
Penerimaan
|
Menerima
kehilangan
|
Bantu keluarga
dan teman memahami penurunan kebutuhan klien untuk bersosialisasi.
Dorong klien
untuk berpartisipasi sebanyak mungkin dalam program terapi
|
Tabel
2. Tahap berduka menurut Engel (Kozier, 2010)
Tahap
|
Respon
perilaku
|
Syok dan tidak
percaya
|
Tidak mau
menerima kehilangan
Merasa
terkejut
Menerima
situasi secara intelektual, tetapi menyangkalnya secara emosional
|
Menyadari
|
Realita
kehilangan mulai menembus kesadaran
Rasa marah
dapat ditujukan pada lembaga, perawat, atau orang lain
|
Reslifusi
|
Melakukan
ritual berkabung (mis: pemakaman)
|
Menyelesaikan
kehilangan
|
Berupaya
mengatasi pelepasan yang menyakitkan
Tetap tidak
mampu menerima objek kasih saying baru untuk menggantikan seseorang atau
objek yang telah hilang
Dapat menerima
hubungan yang lebih bergantung dengan orang pendukung dan memikirkan dan
membicarakan tentang memori onjek yang telah hilang
|
Idealisasi
|
Menghasilkan
gambaran objek yang telah hilang yang hamper bebas dari gambaran yang tidak
diharapkan
Menekan semua
perasaan negative dan permusuhan pada objek yang telah hilang
Dapat merasa
bersalah dan menyesal tentang tindakan yang menyakiti atau tidak menyenangkan
di masa lalu yang dilakukan terhadap orang yang meninggal tersebut. Secara
tidak sadar merasakan kekaguman yang sangat terhadap objek yang hilang.
Ingatan akan
objek yang telah hilang menimbulkan perasaan sedih dan menumbuhkan kembali perasaan
kepada orang lain
|
Hasil akhir
|
Perilaku
dipengaruhi oleh beberapa factor: makna penting objek yang telah hilang
sebagai sumber dukunan, derajat ketergantungan pada hubungan, derajat
ambialensi pada onjek yang telah hilang, jumlah dan sifat hubungan lain, dan
jumlah serta sifat pengalaman berduka sebelumnya.
|
e. Manifestasi
berduka
Perawat
mengkaji klien atau anggota keluarga yang berduka setelah kehilangan untuk
menentukan fase atau tahap berduka. Secara fisiologis, tubuh berespon terhadap
kehilangan atau kemungkinan kehilangan dengan reaksi stress, dan perawat
mengkaji tanda-tanda klinis dari respon klien.
Manifestasi
berduka yang dianggap normal bisa berupa mengungkankan rasa kehilangan,
menangis, mengalami gangguan tidur, kehilangan selera makan dan sulit
berkonsentrasi. Perawat harus mengobservasi dan mendengar apa yang dikatakan
dan dilakukan
klien yang berduka sebagai petunjuk apa yang klien rasa dan piker. Isi berduka
adalah apa yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dilakukan dan secara fisiologi
dialami individu selama prosess berduka. Isi berduka juga dapat dikatakan
sebagai respon manusia dan berkolerasi dengan apa yang diajukan sebagai model
holistic berduka yang memiliki lime dimensi proses berduka yaitu:
Table
2. Dimensi Respon dan Gejala klien yang Berduka
No
|
Dimensi respon
|
Gejala
|
1
|
Respon
kognitif
|
a) Gangguan asumsi dan keyakinan
b) Mempertanyakan dan berupaya menemukan makna kehilangan
c) Berupaya mempertahankan keberadaan orang yang meninggal
d) Percaya pada kehidupan akhirat dan seolah-olah orang yang menimggal
adalah pembimbing
|
2
|
Respon
emosional
|
a) Mrah, sedih, cemas
b) Kebencian
c) Merasa bersalah
d) Perasaan mati rasa
e) Emosi yang berubah-ubah
f) Penderitaan dan kesepian yang berat
g) Keinginan untuk mengembalikan ikatan dengan individu atau benda yang hilang
h) Depresi, apatis, putus asa selama pase disorganisasi dan keputusasaan
i)
Saat fase reorganisasi,
muncul rasa mandiri dan percaya diri
|
3
|
Respon
spiritual
|
a) Kecewa dan marah kepada Tuhan
b) Penderitaan karena ditinggalkan atau merasa ditinggalkan
c) Tidak memiliki harapan: kehilangan makna
|
4
|
Respon
perilaku
|
a) Melakukan fungsi secara “otomatis”
b) Menangis terisak, menangis tidak terkontrol
c) Sangat gelisah: perilaku mencari
d) Iritabilitas dan sikap bermusuhan
e) Mencari dan menghindari tempat dan aktivitas yang dilakukan bersama
orang yang meninggal
f) Menyimpan barang berharga orang yang meninggal padahal ingin
membuangnya
g) Kemungkianan menyalahgunakan obat atau alcohol
h) Kemungkianan melakukan upaya bunuh diri atau pembunuhan
i)
Mencari aktivitas dan
refleksi personal selama fase reorganisasi
|
5
|
Respon
fisiologi
|
a) Sakit kepala
b) Gangguan nafsu makan, berat badan turun
c) Tidak bertenaga
d) Palpitasi, gangguan pencernaan
e) Perubahan system imun dan endokrin
|
f. Faktor
yang mempempengaruhi kehilangan dan respon berduka
Menurut
Kozier (2010), terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi cara individu
merespon kehilangan, antara lain:
1) Usia
Usia memengaruhi pemahaman dan reaksi
seseorang terhadap kehilangan. Individu biasanya tidak mengalami orang yang
dicintai pada interval teratur. Akibatnya, persiapan untuk pengalaman ini sulit
dilakukan koping dengan kehilangan lain dalam hidup. Seperti: kehilangan
binatang peliharaan, kehilangan seorang teman dll
a) Masa
kanak-kanak.
Anak-anak
berbeda dari orang dewasa tidak hanya dalam pemahaman mereka mengenai
kehilangan dan kematian tetapi juga bagaimana mereka dipengaruhi oleh
kehilangan orang lain. Dalam situasi krisis dan kehilangan, anak-anak kadang
kala dikesampingkan atau dilindungi dari rasa sakit.
b) Masa
dewasa awal dan pertengahan.
Seiring
dengan pertumbuhan seseorang, mereka mengalami kehilangan sebagai bagian dari
perkembangan normal. Misalnya, pada usia paruh baya, kehilangan seorang orang
tua akibat kematian tampak lebih normal terjadi dibandingkan kematian orang
yang lebih muda. Dewasa paruh baya dapat mengalami kehilangan selain kematian.
Misalnya, kehilangan akibat gangguan kesehatan atau gangguan fungsi tubuh dan
kehilangan berbagai fungsi peran dapat dirasakan sulit bagi dewasa paruh baya.
c) Masa
dewasa akhir.
Kehilangan
yang dialami lansia terdiri dari kehilangan kesehatan, mobilitas, kemandirian
dan peran kerja. Bagi lansia, kehilangan akibat kematian pasangan yang telah
bersamanya dalam waktu lama amat menyakitkan.
2) Makna
kehilangan
Makna
kehilangan bergantung pada persepsi orang yang mengalami kehilangan. Seseorang
dapat mengalami kehilangan yang besar karena perceraiaan, sementara orang lain
mugkin hanya menganggapnya gangguan ringan.
Sejumlah
factor yang mempengaruhi makna kehilangan antara lain:
1) Makna
orang, objek, atau fungsi yang hilang
2) Derajat
perubahan yang harus dilakukan karena kehilangan
3) Keyakinan
dan nilai seseorang
Bagi lansia yang telah mengalami
banyak kehilangan seperti kematian diri mereka sendiri mungkin tidak dianggap
sebagai sesuatu yang negative dan mereka mungkin hanya bersifat apatis dan
bukan reaktif terhadapnya.
Dari
pada takut menghadi akan kematian, beberapa orang mungkin lebih takut
kehilangan control atau menjadi beban.
4) Budaya.
Budaya mempengaruhi reaksi individu
terhadap kehilangan. Cara mengungkapkan duka cita ditentukan oleh kebiasaan
budaya. Dalam budaya yang beberapa generasi dan anggota keluarga besar tinggal
di rumah yang sama atau dekat secara fisik, dampak kematian anggota dapat
diredam karena peran yang meninggal diisi dengan cepat oleh kerabat yang lain.
Beberapa
kelompok budaya menghargai dukungan social dan ekspresi kehilangan. Di beberapa
kelompok, ekspresi duka dengan meratap, menangis, dengan kepasrahan fisik dan
demonstrasi ekspresi lainnya dapat diterima dan didorong. Kelompok lain mungkin
menganggap demonstrasi ini sebagai kehilangan control, lebih menyukai ekspresi
berduka yang lebih tenang dan tabah.
5) Keyakinan
spiritual
Keyakinan
dan praktik spiritual sangat mempengaruhi reaksi seseorang terhadap kehilangan
dan perilaku yang ditimbulkan. Sebagian besar kelompok agama memiliki kebiasaan
yang berhubungan dengan menjelang ajal dan sering kali sangat penting bagi
klien dan orang pendukung.
6) Jenis
kelamin
Sosialisasi
peran jenis kelamin oleh banyak orang di AS dan Kanada. Pria sering kali
diharapkan untuk bersikap kuat dan tidak menunjukkan emosi selama berduka.
Sedangkan wanita, diperbolehkan menunjukkan rasa berduka dengan menangis. Dan
juga anggapan bahwa seorang pria mungkin menganggap jaringan parut di wajahnya
sebagai macho tetapi seorang wanita menganggap hal tersebut sesuatu yang buruk.
7) Status
sosioekonomi
Status
sosioekonomi sering kali mempengaruhi system pendukung yang tersedia pada saat
kehilangan. Jaminan pension atau asuransi, misalnya dapat menawarkan berbagai
pilihan cara untuk mengatasi kehilangan pada janda, duda atau individu yang
cacat, seorang yang diharapkan dengan kehilangan yang berat dan kesulitan
ekonomi mungkin tidak mampu mengatasi keduanya.
8) System
pendukung
Orang
terdekat individu yang sedang berduka sering kali menjadi orang pertama yang
mengetahui dan memberikan bantuan emosional, fisik, dan fungsional yang
dibutuhkan. Dukungan mungkin tersedia saat kehilangan pertama-tama diketahui,
tetapi saat orang pendukung kembali ke aktivitas sehari-harinya, kebutuhan akan
dukungan yang berkelanjutan mungkin tidak terpenuhi. Kadang kala, individu yang
berduka tidak mampu atau tidak siap menerima dukungan saat dukungan tersebut
ditawarkan.
9) Penyebab
kehilangan atau kematian
Pandangan
individu dan masyarakat mengenai penyebab kehilangan atau kematian dapat secara
bermakna mempengaruhi respon berduka. Kehilangan atau kematian di luar kendali
orang yang terlibat mungkin lebih diterima dibandingkan kehilangan atau
kematian yang dapat dicegah, seperti kecelakaan kendaraan bermotor karena
pengemudi yang mabuk. Cedera atau kematian yang terjadi selama kegiatan yang
terhormat, seperti saat menjalankan tugas dianggap terhormat, sementara yang
terjadi selama kegiatan terlarang mungkin dianggap sebagai kejadian yang patut
diterima oleh individu tersebut.
3) Proses
keperawatan
a) Pengkajian
Pengkajian keperawatan pada klien yang
mengalami kehilangan terdiri atas tiga komponen utama:
(1) Riwayat
keperawatan
(2) Pengkajian
sumber koping pribadi
(3) Pengkajian
fisik
Apabila klien melaporkan kehilangan
yang bermakna, sangat penting mengkaji bagaimana klien bisa mengatasi
kehilangan dan apa sumber-sumber yang tersedia untuk membantu kopingnya. Dan
mengkaji data mengenai status kesehatan umum, stressor pribadi lain, tradisi,
ritual, dan keyakinan budaya dan spiritual yang berhubungan dengan kehilangan
dan berduka serta jaringan pendukung
orang tersebut akan dibutuhkan untuk menentukan perencenaan asuhan.
Apabila pengkajian menunjukkan tanda
dan gejala fisik atau psikologis yang berat, klien harus dirujuk ke pemberi
perawatan yang tepat.
G.
Konsep
dan Penanganan Risiko Gangguan Konsep Diri pada Masalah Ansietas
1. Pengertian
Ansietas merupakan satu keadaan yang ditandai
oleh rasa khawatir disertai dengan gejala somatic yang menandakan suatu
kegiatan berlebihan dari susunan saraf autonomic (SSA). Ansietas merupakan
gejala yang umum tetapi non-spesifik yang sering merupakan satu fungsi emosi. Ansietas
yang patologik biasanya merupakan kondisi yang melampaui batas normal terhadap
satu ancaman yang sungguh-sungguh dan maladaptive (Kaplan, 1998).
Ansietas merupakan respon normal terhadap
situasi yang mengancam dan dapat menjadi factor motivasi yang positif sepanjang
daur kehidupan manusia (Varcolis, 2006). Ansietas dapat dipandang sebagai suatu keadaan ketidakseimbangan atau
tegangan yang cepat mengusahakan koping. Koping kemudian dapat dipandang
sebagai suatu transaksi antara orang dengan lingkungan.
Keberhasilan transaksi menurunkan tegangan dan
meningkatkan rasa sejahtera. Adanya stress atau ancaman terhadap keutuhan
seseorang, penahan, keamanan, dan pengendalian akan menyebabkan ansietas.
Penyakit merupakan salah satu stress (Hudak, 1997).
Berikut tertadap berbagai gangguan ansietas
utama :
a.
Fobia adalah ketakutan terhadap objek atau situasi yang tidak mengandung bahaya yang sesungguhnya
(Davison, 2006). Pasien yang fobia biasanya bereaksi dengan cemas terhadap
situasi social (fobia social), atau benda tertentu yang spesifik seperti ular
(fobia yang sederhana), atau situasi seperti terkunci dalam ruangan sempit
(Klautrofobia) (Kaplan, Harold I 1998).
b.
Gangguan panic adalah serangan panic berulang yang
mencakup timbulnya simtom-simtom fisiologis secara mendadak, seperti pusing, denyut jantung yang cepat, dan
gemetar, disertai dengan teror dan perasaan berada dalam bencana; kadangkala
disertai dengan agoraphobia, ketakutan berada ditempat umum (Davison, 2006).
c.
Gangguan ansietas menyeluruh
(Generalized Anxiety Disorder), pasien dengan GAD akan terus menerus merasa
cemas, sering kali tentang hal-hal kecil. Sebagian besar diantera kita dari
waktu ke waktu memiliki kekhawatiran. Namun, pasien yang menderita GAD memiliki
kekhawatiran yang kronis. Mereka menghabiskan banyak waktu untuk
mengkhawatirkan banyak hal dan menganggap kekhawatiran mereka sebagai sesuatu
yang tidak dapat dikontrol (Ruscio, Borkovek & Ruscio, 2001).
d.
Gangguan obsesif-kompulsif, pada
pasien yang gangguan obsesif-kompulsif mempunyai obsesi (gagasan, buah pikiran,
atau impuls yang secara berulang dan menetap menggangu secara ego-distonik)
atau kompulsi (suatu perilaku, perbuatan atau upacara[ritual]) yang diulang
seolah untuk menetralisasi rasa cemas atau demi mencegah rasa tak nyaman atau
mencegah terjadinya peristiwa yang menakutkan (Kaplan, Harold I 1998).
e.
Gangguan stress pascatrauma,
masa setelah pengamalan trauma di mana seseorang mengalami peningkatan
kemunculan, penolakan stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian traumatis yang
dialami, dan kecemasan yang disebabkan oleh ingatan terhadap peristiwa tersebut
(Davison, 2006).
f.
Gangguan stress akut,
simtom-simtonnya sama dengan gangguan stress pascatrauma, namun hanya
berlangsung selama empat minggu atau kurang (Davison, 2006).
2. Etiologi
Ansietas
a. Teori
psikoanalisis
Freud
adalah orang pertama yang mencoba menjelaskan secara sistematis perkembangan
perilaku fobik. Menurut freud, fobia merupakan pertahana terhadap kecemasan
yang disebabkan oleh impuls-impuls id yang ditekan. Kecemasan ini dialihkan
dari impuls id yang ditakuti dan dipindahkan ke suatu objek atau situasi yang
memiliki koneksi simbolik dengannya. Fobia muncul ke permukaan ketika pada masa
dewasa, seseorang mengalami beberapa bentuk stres.
b. Teori
behavioral
Teori
behavioral berfokus pada pembelajaran sebagai cara berkembangnya fobia.
Beberapa tipe pembelajaran mungkin berperan:
1) Avoidance
conditioning
Melalui classical conditioing seseorang dapat belajar
untuk takut pada suatu stimulus netral (CS) jika stimulus tersebut dipasangkan
dengan kejadian yang secara intrinsik menakutkan atau menyakitkan.
2) Modeling
Selain
belajar untuk takut terhadap sesuatu sebagai akibat pengalaman yang tidak
menyenangkan dengannya, ketakutan dapat dipelajari dengan meniru reaksi orang
lain. Dengan demikian, beberapa fobia dapat terjadi melalui modeling, bukan
melalui pengalaman yang tidak menyenangkan terhadap objek atau situasi yang
ditakuti. Berbagai perilaku, termasuk respons-respons emosional, dapat
dipelajari dengan menyaksikan suatu model. Pembelajaran terhadap rasa takut
dengan mengamati orang lain secara umum disebut sebgai vicarious learning.
Vicarious learning juga dapat terjadi melalui instruksi verbal, yaitu reaksi
fobik dapat dipelajari melalui deskripsi yang diberikan orang lain tentang apa
yang mungkin terjadi selain melalui observasi terhadap ketakutan orang lain.
3) Teori
kognitif
Sudut
pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan fobia secara khusus
berfokus pada bagaimana proses berfikir manusia dapat berperan sebaga diathesis
dan pada bagaimana pikiran dapat membuat fobia menetap. Kecemasan dikaitkan
dengan kemungkinan yang lebih besar untuk menanggapi stimuli negatif,
menginterpretasi informasi yang tidak jelas sebagai informasi yang mengancam,
dan mempercayai bahwa kejadian negatif memiliki kemungkinan lebih besar untuk
terjadi di masa mendatang. Teori kognitif mengenai fobia juga relevan untuk
berbagai fitur lain dalam gangguan rasa takut yang menetap dan fakta bahwa ketakutan
tersebut sesungguhnya tampak irasional bagi mereka yang mengalaminya. Fenomena
ini dapat terjadi karena rasa takut terjadi melalui proses-proses otomatis yang
terjadi pada awal kehidupan dan tidak disadari. Setelah proses awal tersebut,
stimulus dihindari sehingga tidak diproses cukup lengkap dan yang dapat
menghilangkan rasa takut tersebut.
4) Faktor
biologis
a) Faktor
sistem saraf otonom
Orang
yang mengalami fobia sosial seringg kai merasa takut bahwa wajah mereka akan
memerah atau berkeringat secara berlebihan didepan umum. Karena berkeringat dan
memerahnya wajah dikendalikan oleh sistem saraf otonom, aktivitas sistem saraf
otonom yang berlebihan kemungkinan merupakan suatu diathesis. Dengan demikian,
bila aktivitas otonom yang berlebihan (tercemin dalam memerahnya wajah)
memiliki relevansi dengan fobia sosial, rasa takut terhadap konsekuensi
aktivitas otonom mungkin merupakan hal yang lebih penting.
b) Faktor genetic
c) Teori
psikologis
Teori
psikologis utama mengenai agorafobia yang sering menyertai gangguan panik
adalah hipotesis ketakutan-terhadap-ketakutan, yang berpendapat bahwa
agorafobia bukanlah ketakutan terhadap tempat-tempat umum itu sendiri,
melainkan ketakutan mengalami serangan panik di tempat umum.
3. Tingkatan Ansietas
Menurut beberapa ahli, ada 4 tingkat ansietas yaitu ansietas ringan,
ansietas sedang, ansietas berat dan panik. Pada masing-masing tahap individu
memperlihatkan perubahan perilaku, kemampuan kognitif dan respon emosional
ketika berupaya menghadapi ansietas:
a. Ansietas ringan
Ansietas ringan berhubungan
dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi
waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Ansietas memotivasi belajar dan
menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas (Stuart,1998; p, 175-176). Pada
ansietas ringan individu dapat memproses informasi, belajar, dan menyelesaikan
masalah. Keterampilan kognitif mendominasi tingkat ansietas ini. (Videbeck,
2008; p,309)
b. Ansietas sedang
Ansietas
sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada
hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga seseorang mengalami
perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.
(Stuart,1998; p,175-176)
c. Ansietas Berat
Ansietas
berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cendrung
untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat
berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi
ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan
pada suatu area lain. (Stuart ,1998; p, 175-176) . Individu yang mengalami
ansietas berat sulit berpikir dan melakukan pertimbangan, otot-ototnya menjadi
tegang, tanda-tanda vital meningkat, dan ia mondar-mandir, memperlihatkan
kegelisahan, irritabilitas, dan kemarahan, atau menggunakan cara
psikomotor-emosional yang sama lainnya untuk melepaskan ketegangan (Videbeck,
2008; p, 309-310)
d.
Tingkat
Panik
Tingkat
panik dari ansietas berhubungan dengan terperangah,
ketakutan dan teror. Rincian terpecah dari proporsinya, tidak mampu melakukan sesuatu
walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Terjadi
peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang
lain, persepsi menyimpang, kehilangan pemikiran rasional. (Stuart,1998; p, 175-176).
Dalam keadaan panic, alam psikomotor emosional individu tersebut mendominasi,
disertai respons fight, flight, atau freeze. Lonjakan adrenalin menyebabkan
tanda-tanda vital sangat meningkat, pupil membesar untuk memungkinkan lebih
banyak cahaya yang masuk, dan satu-satunya proses kognitif berfokus pada
pertahanan individu tersebut (Videbeck, 2008; p, 309).
Tabel Perbedaan Respon Tingkat Ansietas
No
|
Tingkat ansietas
|
Respon fisik
|
Respon kognitif
|
Respon emosional
|
1
|
Ringan
|
Ketegangan otot ringan, sadar akan
lingkungan, rileks atau sedikit gelisah, penuh perhatian, rajin, sesekali
napas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat sedikit, gejala ringan pada
lambung, muka berkerut, serta bibir bergetar
|
Lapang persepsi luas, mampu menerima
rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah
secara efektif dan terangsang untuk melakukan tindakan
|
Tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada
tangan, dan suara kadang-kadang meninggi
|
2
|
Sedang
|
Ketegangan otot sedang, tanda-tanda vital
meningkat, pupil dilatasi, mulai keringat, sering mondar-mandir, kewaspadaan
dan ketegangan meningkat, suara berubah bergetar dan nada suara tinggi,
sering berkemih, sakit kepala, mulut kering, anoreksia, diare/konstipasi.
|
Lapang persepsi menurun, tidak perhatian
secara selektif, focus terhadap stimulasi meningkat, rentang perhatian
menurun, penyelesaian masalah menurun, pembelajaran terjadi dengan
memfokuskan pemikiran.
|
Gerakan tersentak-sentak, terlihat lebih
tegang, bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur, dan perasaan tidak aman.
|
3
|
Berat
|
Ketegangan otot berat, pengeluaran keringat
meningkat, sakit kepala, penglihatan berkabut, serta tampak tegang
|
Lapang persepsi terbatas, proses berfikir
terpecah-pecah, sulit berfikir, penyelesaian masalah buruk, tidak mampu
mempertimbangkan informasi, hanya memperlihatkan ancaman,
|
Perasaan terancam meningkat dan komunikasi
menjadi terganggu (verbalisasi cepat)
|
4
|
Panik
|
Flight, fight (keinginan untk pergi
selamanya), ketegangan otot sangat berat, napas pendek, rasa tercekik dan
palpitasi, sakit dada, pucat, hipotensi, serta rendahnya koordinasi motorik
|
Persepsi sangat sempit, fikiran tidak logis,
terganggu, kepribadian kacau, tidak dapat menyelesaikan masalah, focus pada
fikiran sendiri jadi tidak rasional, sulit memahami stimulus eksternal,
halusinasi, ilusi mungkin terjadi.
|
merasa
terbebani, merasa tidak mampu, tidak berdaya,
lepas kendali, mengamuk, putus asa, marah, sangat takut, mengharapkan hasil
yang buruk, berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan/atau orang
lain
|
4.
Proses Terjadinya Ansietas
(Lampiran)
5.
Penatalaksanaan Ansietas
a. Psikoterapi
Beberapa
teknik sering digunakan oleh ahli psikoterapi perilaku (Videbeck, 2008):
1) Positive
reframing, yaitu mengubah pesan negatif menjadi pesan positif. Ahli terapi
mengajarkan individu menciptakan pesan positif yang digunakan selama episode
panik. Misalnya, klien diajarkan untuk berfikir, “ saya dapat memperlambat
denyut jantung saya. Ini pasti cuma rasa cemas.” Jantung saya berdegup kencang.
Saya rasa saya akan meninggal.” Pesan tersebut dapat disimpan sehingga mudah
dibaca, misalnya ditulis di buku alamat atau pada kartu di dompet.
2) Assertive
Training, yaitu latihan asertif yang membantu individu lebih mengendalikan
situasi hidup. Teknik latihan asertif membantu individu menegosiasikan situasi
interpersonal dan membangun keyakinan diri.
Menurut Hawari (2008) penatalaksanaan asietas
pada tahap pencegahaan dan terapi memerlukan suatu metode pendekatan yang
bersifat holistik, yaitu psikoterapi.
1) Psikoterapi
Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan
individu, antara lain :
a) Psikoterapi suportif, untuk memberikan
motivasi, semangat dan dorongan agar pasien yang bersangkutan tidak merasa
putus asa dan diberi keyakinan serta percaya diri.
b) Psikoterapi re-edukatif, memberikan pendidikan
ulang dan koreksi bila dinilai bahwa ketidakmampuan mengatsi kecemasan.
c) Psikoterapi re-konstruktif, untuk dimaksudkan
memperbaiki kembali (re-konstruksi) kepribadian yang telah mengalami goncangan
akibat stressor.
d) Psikoterapi kognitif, untuk memulihkan fungsi
kognitif pasien, yaitu kemampuan untuk berpikir secara rasional, konsentrasi
dan daya ingat.
e) Psikoterapi psiko-dinamik, untuk menganalisa
dan menguraikan proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa
seseorang tidak mampu menghadapi stressor psikososial sehingga mengalami
kecemasan.
f)
Psikoterapi keluarga, untuk memperbaiki hubungan kekeluargaan, agar
faktor keluarga tidak lagi menjadi faktor penyebab dan faktor keluarga dapat
dijadikan sebagai faktor pendukung
b. Terapi
Farmakologi pada Pasien Ansietas
1) Antidepresan
Munurut
Judith Hopfer (2004), biasanya obat-obat antidepresan digunakan dalam
pengobatan berbagai bentuk depresi endogen, sering digabung dengan psikoterapi.
Penggunaan lainnya meliputi:
a) Pengobatan
kecemasan (doksepin)
b) Enuresis
(imipramin)
c) Sindrom
nyeri kronis (amitriptilin, doksepin, imipramin, dan nortriptilin.
Sedangkan
menurut Mary J. Mycek (2001) agen antiansietas menyebabkan depresi SSP
menyeluruh. Agens ini dapat mengakibatkan toleransi pada penggunaan kronik dan
memiliki potensi ketergantungan fisik atau psikologis. Secara umum obat ini
digunakan untuk mengobati gangguan ansietas dan pemulihan gejala ansietas
sementara.
1) Kerja
Obat
Aktivitas
antidepresan cenderung disebabkan oleh ambilan ulang dopamin, norepinefrin, dan
serotonin oleh neuron presinaps yang mengakibatkan terakumulasinya
neurotransmiter tersebut. Kebanyakan memiliki sifat antikolinergik dan sedatif
yang bermakna, yang menjelaskan kebanyakan efek sampingnya (Judith Hopfer,
2004).
2) Kontraindikasi
Secara Umum
Hipersensitivitas.
Jangan digunakan pada glaukoma sudut sempit. Jangan digunakan pada kehamilan
atau laktasi atau sesaat setelah Infark Miokard (Judith Hopfer, 2004). Tidak
boleh digunakan dalam kombinasi dengan depresan SSP lain, pada pasien koma,
atau pada pasien dengan nyeri tidak terkendali (Mary J. Mycek, 2001)
3) Kewaspadaan
Secara Umum
Gunakan
secara hati-hati pada pasien lansia dan mereka yang menderita penyakit KV
sebelumnya. Pria lansia dengan pembesaran prostat dapat lebih rentan menderita
retensi urin. Dosis yang akan diberikan memerlukan titrasi lambat: awitan
respons terapeutik mencapai 2-4 minggu (Judith Hopfer, 2004).
Obat ini digunakan secara hati-hati pada pasien
lansia atau pasien lemah, pasien dengan disfungsi hati atau ginjal, pasien dengan riwayat
penyalahgunaan/ketergantungan obat atau pasien depresi dengan keinginan bunuh
diri. Jangan menghentikan penggunaan
obat secara tiba-tiba setelah penggunaan yang cukup lama (Mary J. Mycek, 2001).
4) Kategori-Kategori
Obat Antidepresan/Antiansietas
a) Antidepresan
Trisiklik (ATS)
(1) Amitriptilin
(2) Amoksapin
(3) Doksepin
(4) Imipramin
(5) Nortriptilin
b) Monoamin
Oksidase Inhibitor (MAOI)
Monoamin
oksidase inhibitor (MAOI) adalah suatu
enzim mitokondria yang ditemukan dalam jaringan saraf dan jaringan lain,
seperti usus dan hati. Dalam neuron, MAO berfungsi sebagai “ katup penyelamat”,
memberikan deaminasi okidatif dan mneg-nonaktifkan setiap molekul
neurotransmiter (norepinefrin, dopamin, dan serotinin) yang berlebih dan bocor
keluar vesikel sinaptik ketika neuron istirahat. Inhibitor MAO dapat
mng-nonaktifkan enzim secara ireversibel
atau reversibel, sehingga molekul neurotransmiter tidak mengalami degradasi dan
karenanya keduanya menumpuk dalam dalam neuron presinaptik danmasuk ke ruang
sinaptik. Hal ini menyebabkan aktivasi reseptor
dan norepinefrin dan serotonin, dan menyebabkan aktivasi antidepresi
obat (Myeek, Mary, 2001).
Tiga
inhibitor MAO yang ada untuk pengobatan depresi sekarang
Isokarboksazid(Marplan), Fenelzin (Nardil) dan Transilpromin (Parnate)
1) Indikasi
Digunakan
untuk pengobatan depresi neurotik atau atipikal, biasanya sebagau adjuvan psikoterapi pada
pasien yang tidak mentoleransi bentuk terapi lain yang lebih konvesional
(antidepresan trisiklik atau terapi elektrokonvulsif).
2) Kerja
Obat
a) Menghambat
enzim monoamin oksidase
b) Mengakibatkan
akumulasi berbagai neutransmiter (dopamin, epinefrin, norepinefrin, dan
serotonin) di dalam tubuh.
c) Efek
terapeutik: memperbaiki alam perasaan pasien depresi.
3) Kontraindikasi
dan Perhatian
Dikontraindikasikan
pada pasien dengan hipersensitivitas, pasien dengan panyakit hati dan ginjal
yang parah, pasien dengan penyakit serebrovaskular, pasien dengan
freokomositoma, pasien dengan gagal jantung kongestif, pasien yang memiliki
riwayat sakit kepala, pasien berumur <16 tahun, dan tidak diperbolehkan
diberikan bersamaan dengan meperidin, fluoksetin, paroksetin, atau sentralin. Gunakan
secara hati-hati pada pasien dengan kecendrugan bunuh diri atau adanya riwayat
ketergantungan obat, pasien dengan penyakt KV simtomatik, pasien dengan
hipertiroidisme, pasien dengan gangguan kejang, pasien hamil atau laktasi,
pasien anak-anak, dan pasien yang dibedah (yang baru dilakukan pembedahan)
4) Efek
Samping
a) SSP:
gelisah, insomnia, pusing, sakit kepala, konfusi, kejang, kelemahan, mengantuk.
b) Mata dan
THT: glaukoma, nistagmus, penglihatan kabur .
c) KV:
krisis hipertensif, hipotensi ortostatik, aritmia, edema.
d) GI:
konstipasi, anoreksia, mual, muntah, diare, nyeri, abdomen, mulut kering.
e) GU:
disuria, inkontinensia urin, retensi urin.
f) Derm:
ruam.
g) Endo:
hipoglikemia.
h) MS:
artralgia.
c)
SSRI (Selective Serotonin
Reuptake Inhibitor )
Inhibitor
ambil kembali serotonin selektif (selective serotonin reuptake inhibitor)
merupakan grup kimia antidepresan baru yang khas, hanya menghambat ambilan
serotonin secara spesifik. Berbeda dengan antidepresan trisiklik yang menhambat
tanpa seleksi ambilan-ambilan norepinefrin, serotonin, reseptor muskarinik, H1-histaminikdan
α1-adrenergik. Namun demikian, inhibitro ambilan kembali serotonin
yang baru harus digunakan secara seksama sampai nanti setelah efek jangka
panjang diketahui (Mycek Mary, 2001)
d) Ansiolitik
Ansiolitik
merupakan kelompok obat anti-ansietas, yang disebut juga sebagai agen
sedatif-hipnotik. Kelompok utama dari ansiolitik adalah benzodiazepin (kelompok
minor tranquilizer). Ansietas dalam batasan-batasan tertentu dapat dianggap
normal, tetapi jika ansietas berlebihan dan dapat mengganggu, maka mungkin
perlu diberikan antiansietas. Kerja dari antiansietas menyerupai sedatif –hipnotik,
tetapi tidak seperti antipsikotik (Kee Joyce, 1996).
DAFTAR PUSTAKA
AIPNI
(2010). Kurikulum pendidikan ners.
Fakultas keperawatan universitas indonesia. Jakarta
Asmadi.
(2008). Teknik Prosedural Keperawatan:
konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien. Jakarta: Salemba Medika
Atkinson,L.,
Lita, Atkinson, C., Richard, dkk. (1992). Pengantar
Psikologi Jilid I (edisi Ke-11). Batam: Interaksara
Carpenito,
L. J. (1997). Buku saku: Diagnosa
keperawatan. Edisi 6. Jakarta:EGC
Deglin,
Judith Hopfer.( 2004). Pedoman Obat untuk
Perawat Ed.4. Jakarta: EGC
Hawari,
D.(2008) Manajemen Stres Cemas dan
Depresi, Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Hudak,
Carolyn M. (1997). Keperawatan Kritis;
Pendekatan Holistik. Jakarta EGC
Isaacs, Ann.( 2004). Panduan belajar : keperawatan kesehatan jiwa dan psikiatrik.
Edisi 3. Jakarta :EGC
Kaplan
Harold I. (1998). Ilmu Kedokteran Jiwa
Darurat. Jakarta : Widya Medika Kozier,
B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2010). Asepsis. Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep,
proses dan praktek.Ed. 7. Vol 2. Jakarta: EGC
Kee,
Joyce L. (1996). Farmakologi: Pendekatan
Proses Keperawatan. Jakarta: EGC
Keliat, B.A., Panjaitan, R.U., & Daulima,
N.H.C., (2005). Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta : EGC
Mycek,
Mary J. (2001). Farmakologi: Ulasan
Bergambar Ed. 2. Jakarta: Widya Medika
Potter & Perry (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses dan Praktik. Edisi 4 Volume 1. Jakarta: EGC
Pustaka familia. 2006. Konsep Diri Positif, Menentukan Prestasi
Anak. Yogyakarta: Kanisius
Riyanti,B.P.,Prabowo,
Hendro, dan Puspitawati, Ira. (1996). Psikologi
Umum I (Seri Diktat Kuliah). Jakarta: Universitas Gunadarma
Stuart,
G.W., & Sundeen, S.J., (1998). Buku
Saku Keperawatan Jiwa (terjemahan). Edisi 3. Jakarta: EGC
Suliswati
dkk. 2005. Konsep dasar keperawatan
kesehatan jiwa. Jakarta : EGC
Sunaryo (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
S.
Hall, Calvin, dan Gardner Lindzey. (1993). Theories
of Personality (terjemahan A. Supratika). Yogyakarta: Kanisius
Tarwoto
& Wartonah. (2004). Kebutuhan dasar
manusia dan proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Videbeck,
Sheila. L. (2008), Buku Ajar Keperawatan
Jiwa. Jakarta. EGC
Wong, D. L, (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC
No comments:
Post a Comment
Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat