google adsense

Thursday, August 3, 2017

ASKEP MENINGITIS

A.    Asuhan Pada Keperawatan Meningitis
1.      Pengertian
Meningitis adalah infeksi pada meninges yang biasanya disebabkan oleh invasi bakteri dan hanya sedikit oleh virus. Prognosisnya tergantung pada usia anak, organisme, dan respon anak terhadap terapi. Meningitis bakteri menyebabkan kematian jika tidak ditangani segera. Kebanyakan kasus terjadi antara usia 1 bulan dan 5 tahun. Bayi dibawah usia 12 bulan paling rentan terhadap meningitis bakteri.(Muscari, Mary E. 2005).
Meningitis adalah radang membran pelindung yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang, yang dikenal secara kolektif sebagai meninges. Peradangan dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, atau mikroorganisme lain, dan kurang umum oleh obat-obatan tertentu. Meningitis dapat mengancam jiwa karena kedekatannya peradangan untuk otak dan sumsum tulang belakang, sehingga kondisi ini diklasifikasikan sebagai suatu keadaan darurat medis.
2.      Etiologi
Menurut Muscari, Mary E. 2005 dia menyebutkan etiologi dari meningitis ada beberapa hal diantaranya :
a)      E.coli, streptococcus grup B dan liseria monotogenes merupakan organisme paling sering menyebabkan meningitis pada neonatus
b)      Haemophilus influenza , neiseria meningitis dan diplococcus pneumoniae merupakan organisme yang paling umum menyebabkan meningitis pada bayi dan anak-anak, namun vaksin HIB mampu menurunkan insidensi meningitis H. Influenza. Organisme penyebab lainnya adalah sterptococcus β-hemolitikus dan staphylococcus aureus.
c)      Meningitis virus disebabkan oleh coxsackie, virus echo atau gondong. Merupakan penyakit yg dpt sembuh sendiri dan berlangsung antara7 sampai 10 hari.
Sedangkan menurut corwin, elizabeth 2009 :
a)      Streptococcus pneumoniae (pneumococcus). Bakteri ini yang paling umum menyebabkan meningitis pada bayi ataupun anak-anak. Jenis bakteri ini juga yang bisa menyebabkan infeksi pneumonia, telinga dan rongga hidung (sinus).
b)      Neisseria meningitidis (meningococcus). Bakteri ini merupakan penyebab kedua terbanyak setelah Streptococcus pneumoniae, Meningitis terjadi akibat adanya infeksi pada saluran nafas bagian atas yang kemudian bakterinya masuk kedalam peredaran darah.
c)      Haemophilus influenzae (haemophilus). Haemophilus influenzae type b (Hib) adalah jenis bakteri yang juga dapat menyebabkan meningitis. Jenis virus ini sebagai penyebabnya infeksi pernafasan bagian atas, telinga bagian dalam dan sinusitis. Pemberian vaksin (Hib vaccine) telah membuktikan terjadinya angka penurunan pada kasus meningitis yang disebabkan bakteri jenis ini.
d)     Listeria monocytogenes (listeria). Ini merupakan salah satu jenis bakteri yang juga bisa menyebabkan meningitis. Bakteri ini dapat ditemukan dibanyak tempat, dalam debu dan dalam makanan yang terkontaminasi. Makanan ini biasanya yang berjenis keju, hot dog dan daging sandwich yang mana bakteri ini berasal dari hewan lokal (peliharaan).
e)      Bakteri lainnya yang juga dapat menyebabkan meningitis adalah Staphylococcus aureus dan Mycobacterium tuberculosis
3.      Patofisiolgi

4.      Manifestasi klinis
Menurut brunner & suddath (2000)
1.      Gejala umum
a.       Gejala yang timbul merupakan akibat dari infeksi dan peningkatan tekanan intracranial
b.      Sakit kepala dan demam merupakan gejala awal yang sering timbul
c.       Perubahan tingkat kesadaran berkaitan dengan tipe bakteri yang menyerang
d.      Disorientasi dan kerusakan memori(ingatan) merupakan hal yang umum terjadi pada awal penyakit
e.       Letargi, tidak memberikan respons, dan koma dapat berkembang sejalan dengan perkembangan penyakit.

2.      Tanda-tanda iritasi meningeal
a.       Rigiditas  nukhal(kaku kuduk) merupakan tanda dini
b.      Tanda kernig posiitif: ketika berbaring dengan paha difleksikan pada abdomen, tungkai tidak dapat ekstensi sempurna 
c.       Tanda burdzinski positif: saat leher fleksi, maka diikuti juga dengan fleksi lutut dan panggul; saat dilakukan fleksi salah satu ekstremitas bawah secara pasif, gerakan serupa juga tampak pada ekstremitas yang berlawanan.
d.      Fotofobia

Menurut suriadi, SKp, MNS & Rita yulianni, SKp, M. Psi(2006). Manifestasi klinis meningitis adalah:
a.       Neonatus
1)      Menolak untuk makan
2)       reflex mengisap kurang
3)      muntah atau diare
4)      tonus otot kurang
5)       kurang gerak
6)      dan menangis lemah.

b.      Anak-anak dan remajan
1)      Demam tinggi
2)      sakit kepala
3)      muntah yang diikuti dengan perubahan sensori  dan kejang
4)      mudah terstimulasi dan teragitasi
5)      fotofobia
6)       delirium
7)      Halusinasi
8)       perilaku agresif atau maniak
9)      stupor, koma, kaku kuduk, opistotonus
10)  tanda kernig brudzinski positif
11)  reflex fisiologis hiperaktif
12)  ptechiae atau pruritus (menunjukan adanya infeksi meningococcal)

c.       Bayi dan anak(usia 3 bulan hingga 2 tahun)
1)      Demam
2)      malas makan
3)      muntah, mudah terstimulasi
4)      kejang dan  menangis dengan merintih
5)      ubun-ubun menonjol, kaku kuduk
6)      tanda kernig dan brudzinsky positif

Menurut ngastiyah (2005) Gambaran klinis meningitis purulenta adalah:
1.       Gejala infeksi akut
a.       Anak menjadi lesu
b.      mudah terangsang
c.       panas
d.      muntah
e.       anoreksia dan pada anak yang besar mungkin didapatkan keluhan sakit kepala, pada Infeksi  yang disebabkan oleh  meningococcus terdapat petekia dan herpes labialis.

2.      Gejala tekanan intracranial meninggi
a.       Anak sering muntahnyeri kepala (pada anak yang besar)
b.       morning cry(pada neonates), yaitu tangis yang merintih
c.       kesadaran bayi/anak menurun dari apatis sampai koma.
d.      Kejang yang terjadi dapat bersifat umum
e.        fokal atau twitching.
f.       Ubun-ubun besar menonjol dan tegang
g.      terdapat gejala kelainan serebral lainnyseperti paresis atau paralisis, strabismus (crack pot sign) dan pernafasan cheyne stokes. Kadang-kadang pada anak besar terdapat hipertensi dan chocked disc dari papilla nervus optikus.

3.      Gejala rangsangan meningeal
a.       Terdapat kuduk kaku, bahkan dapat terjadi regiditas umum
b.      Tanda-tanda spesifik seperti kernig
c.       Brudzinskiy I dan II positif
d.      Pada anak besar sebelum gejala dia atas terjadi serinng terdapat keluhan sakit di leher dan punggung.
Menurut ngastiyah (2005) Gambaran klinis meningitis tuberkulosa adalah:
Secara klinis belum terdapat gejala meningitis nyata walaupun selaput otak sudah terkena. Hal demikian terdapat pada tuberculosis miliaris, sehingga pada penyebaran miliar sebaiknya dilakukan pungsi lumbal walaupun gejala meningitis belum tampak.
1.      Gejala biasanya didahului oleh stadium prodormal
a.       Iritasi selaput otak
b.      Meningitis biasanya mulai perlahan tanpa panas atau terdapat kenaikan suhu yang ringan saja, jarang terjadi akut dengan panas yang tinggi.
c.       Sering dijumpai anak mudah terangsang atau menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu.
d.      Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala.
e.       Anoreksia
f.       Obstipasi dan muntah juga sering dijumpai
a.          Stadium ini kemudian disusul dengan stadium transisi
a.       kejang
b.      Seluruh tubuh menjadi kaku dan timbul opistotonus
c.       Reflek tendon menjadi lebih tinggi
d.      Ubun-ubun menonjol dan umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf mata sehingga timbul gejala strabismus dan nistagmus
e.       Sering tuberkel terdapat di koroid
f.       Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran lebih menurun hingga timbul stupor
c.    Stadium terminal  kelumpuhan-kelumpuhan
a.       Koma menjadi lebih dalam
b.      Pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali
c.       Nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
d.      Sering terjadi pernafasan “cheyne-stokes”
e.       Hipereksia timbul dan anak meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali
Tiga stadium tersebut biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu sebelum anak meninggal.
B.     Manifestasi Klinis Miningitis
1.      Meningitis Bakteri
a.       Anak dan remaja
1)      Awitan mendadak
2)      Demam
3)      Menggigil
4)      Sakit kepala
5)      Vomitus
6)      Perubahan sensorium
7)      Kejang (sering menjadi tanda awal)
8)      Iritabilitas
9)      Agitasi
10)  Kaku duduk, dapat berlanjut menjadi opistotonos
11)  Tanda kernig dan Brudzinski positif
12)  Respon reflex hiperaktiv tetapi bervariasi
13)  Tanda dan gejala yang khas sesuai dengan masing-masing organism:
a)      Ruam petekie atau purpurik (infeksi meningokokus) khususnya jika disertai dengan keadaan mirip syok
b)      Kelainan sendi (infeksi meningokokus dan H. influenzae)
c)      Telinga mengeluarkan secret yang kronis (meiningitis pneumokokus)

b.      Bayi dan anak yang masih kecil
1)      Demam
2)      Pemberian makan buruk
3)      Vomitus
4)      Iritabilitas yang nyata
5)      Serangan kejang yang sering (disertai tangisan yang bernada tinggi)
6)      Fontanela menonjol
7)      Kaku duduk dapat terjadi atau tidak terjadi
8)      Tanda kernig dan Brudzinski tidak membantu dalam menegakkan diagnosis
9)      Epiema subdural (infeksi H. influenzae)

c.       Neonatus: Tanda-tanda spesifik
1)      Sangat sulit menegakkan diagnosis
2)      Menifestasi samar dan tidak spesifik
3)      Pada saatt lahir terlihat sehat, tetapi dlam beberapa hari mulai terlihat dan menunjukan perilaku yang buruk
4)      Menolak pemberian susu atau makan
5)      Kemampuan mengisap susu buruk
6)      Vomitus atau diare
7)      Tonus otot buruk
8)      Penurunan gerakan
9)      Fontanela yang penuh, tegang, dan menonjol dapat terlihat pada akhir perjalanan penyakit
10)  Leher biasanya lemas (supel)

d.      Neonatus: Tanda nonspesifik yang mungkin terdapat
1)      Hipotermia atau demam
2)      Ikterus
3)      Iritabilitas
4)      Mengantuk
5)      Kejang
6)      Pernafasan ireguler/ apnea
7)      Sianosis
8)      Penurunan berat badan

2.      Meningitis Nonbakteri
1)      Awitan mendadak atau bertahap
2)      Sakit kepala
3)      Demam
4)      Malaise
5)      Gejala gastrointestinal
6)      Tanda iritasi miningen yang timbul satu atau dua hari setelah awitan penyakit
7)      Nyeri abdomen
8)      Mual dan muntah
9)      Nyeri punggung dan tungkai
10)  Tukak tenggorokan
11)  Nyeri dada
12)  Fotofobia
13)  Rasa nyeri atau pegal yang menyeluruh pada otot
14)  Ruam makulopapular
15)  Biasanya semua gejala menghilang secara spontan dan cepat dan anak akan sembuh dalam waktu 3 sampai 10 hari tanpa dampak yang tersisa

5.      Pemeriksaan penunjang
1.      Pemeriksaan cairan otak melalui fungsi lumbal, didapatkan :
a.         Tekanan
b.         Warna cairan otak: pada keadaan normal cairan otak tidak berwarna. Pada   menigitis purulenta berwarna keruh sampai kekuning-kuningangan. Sedangkan pada meningitis tuberkulosis cairan otak berwarna jernih.
c.         Protein ( 0,2-0,4 Kg ) pada miningitis meninggi
d.         Kadar Glukosa dan klorida
e.         Kadar ureum, dan elekltrolit
2.      Pemeriksaan darah,
a.         HB, HT, LED (laju endap darah)< Ery, lekosit
b.        Kultur darah
3.      Uji tuberkulin positif dari kurasan lambung untuk meningitis tuberkulosis
4.      Pemeriksaan radiologi
a.         CT Scan, dlilakukan untuk menetukan adanya edema celebral atau penyakit saraf lainya.
b.        Rotgen kepala.
c.         Rotgen thorak.
5.      Elektroensefalografi ( EEG ), akan menunjukkan perlambatan yang menyeluruh di kedua hemisfer dan derajatnya sebanding dengan radang.
MANAGEMEN TERAPI
Terapi bertujuan memberantas penyebab infeksi disertai perawatan intensif suporatif untuk membantu pasien melaluimasa kritis :
1. Penderita dirawat di rumah sakit
2. Pemberian cairan intravena
3. Bila gelisah berikan sedatif/penenang
4. Jika panas berikan kompres hangat, kolaborasi antipiretik
5. Sementara menunggu hasil pemeriksaan terhadap kausa diberikan:
a. Kombinasi amphisilin 12-18 gram, klorampenikol 4 gram, intravena 4x sehari
b. Dapat dicampurkan trimetropan 80 mg, sulfa 400 mg
c. Dapat pula ditambahkan ceftriaxon 4-6 gram intra vena
6. Pada waktu kejang :
a. Melonggarkan pakaian
b. Menghisap lendir
c. Puasa untuk menghindari aspirasi dan muntah
d. Menghindarkan pasien jatuh
7. Jika penderita tidak sadar lama :
a. Diit TKTP melalui sonde
b. Mencegah dekubitus dan pneumonia ostostatikdengna merubah posisi setiap dua jam
c. Mencegah kekeringan kornea dengan borwater atau salep antibiotik
8. Jika terjadi inkontinensia pasang kateter
9. Pemantauan ketat terhadap tanda-tanda vital
10. Kolaborasi fisioterapi dan terapi bicara
11. Konsultasi THT ( jika ada kelainan telinga, seperti tuli )
12. Konsultasi mata ( kalau ada kelainan mata, seperti buta )
13. Konsultasi bedah ( jika ada hidrosefalus )

Pemeriksaan penunjang
1.      Pemeriksaan lab darah lengkap
HB, HT, LED< Ery, lekosit
2.      Kultur darah
3.      CT-scan, X-ray
4.      Lumbal fungsi (kultur cairan otak, bila peningkatan sel darah putih, protein meningkat, glukosa menurun, tekanan csf meningkat lebih 180 mmHg à adanya infeksi)

6.      Asuhan keperawatan
a.       Pengkajian
1)      Anamnesis
     Muttaqin (2008, p. 74-81) mengatakan anamnesis pada miningitis meliputu keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan pengkajian psikososial (pada anak perlu dikaji dampak hospitalisasi).
a)      Keluhan utama
Hal yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah suhu badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.
b)      Riwayat penyakit sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui untuk mengetahui jenis kuman penyebab. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai terjadinya serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian pasien yang miningitis biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan dengan akibat infeksi dan peningkatan tekanan intraktanial. Keluhan tersebut diantaranya sakit kepala dan demam adalah gejala awal yang sering. Sakit kepala dihubungkan dengan meningitis yang selalu berat dan sebagai akibat iritasi  meningen. Demam umumnya ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang dan tindakan apa yang telah diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
c)      Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkan klien mengalami infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, tindakan bedah saraf, riwayat trauma kepala dan adanya pengaruh immunologis pada masa sebelumnya. Riwayat sakit TB paru perlu ditanyakan pada klien terutama pada keluhan batuk produktif yang pernah menjalani pengobatan obat anti tuberculosis yang sangat berguna untuk mengidentifikasi miningitis tuberkulosa. Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering  digunakan klien, seperti pemakaian obat kortikosteroid, pemakaian jenis – jenis anti biotik dan reaksinya (untuk menilai restitensi pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
d)     Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien miningitis meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Sebagian besar pengkajian ini dapat diselesaikan melalui interaksi menyeluruh dengan klien dalam pelaksanaan pengkajian lain dengan memberi pertanyaan dan tetep melakukan pengawasan sepanjang waktu untuk menentukan kelayakan ekspresi emosi dan pikiran. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari – harinya baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu tibul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Pada pengkajian pada klien anak perlu diperhatiakn dampak hospitalisasi pada anak dan familly center. Anak dengan miningitis sangat rentan terhadap tindakan invasif yang sering dilakukan untuk mengurangi keluhan, hal ini memberi dampak stress pada anak dan menyebabkan anak kurang kooperatif terhadap tindakan keperawatan dan medis. Pengkajian psikososial yang baik dilaksanakan pada saat observasi anak- anak bermain atau selama berinteraksi dengan orang tua. Anak – anak sering kali tidak mampu untuk mengekspresikan perasaan mereka dan cenderung utuk memperlihatkan masalah mereka melalui tingkah laku.

2)      Pemeriksaan fisik
a)      Tanda – Tanda Vital ( TTV )
Pada klien miningitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal 38 – 41o C, dimulai pada fase sistemik, kemerahan, panas, kulit kering, berkeringat. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan iritasi meningen yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi berhubungan dengan tanda – tanda peningkatan TIK. Jika disertai peningkatan frekuensi nafas sering kali berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernafasan sebelum mengalami niningitis. Tekanan darah normal atau peningkatan dan berhubungan dengan tanda – tanda peningkatan TIK.
b)      B1 (Breathimg)
 Inspeksi apakah klien batuk, produksi spurtum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas dan peningkatan frekuensi napas yang sering didapatkan pada klien miningitis yang disertai adanya gangguan pada sistem pernapasan. Palapsi toraks hanya dilakukan jika terdapat deformitas pada tulang dada pada klien dengan efusi pleura massif (jarang terjadi pada klien miningitis). Auskultasi bunyi napas tambah seperti ronkhi pada klien dengan miningitis tuberkulosa dengan penyebaran primer dari paru.
c)      B2 (blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama dilakukan pada klien miningitis pada tahap lanjut seperti apabila klien sudah mengalami renjatan ( syok ). Infeksi fulminasi terjadi pada sekitar 10% klien dengan miningitis meningokokus, dengan tanda – tanda septikemia : demam tinggi yang tiba – tiba muncul, lesi purpura yang menyebar (sekitar wajah dan ekstermitas), syok dan tanda- tanda koagulasi intravaskular diseminata (CID). Kematian mungkin terjadi dalam beberapa jam setelah serangan infeksi.
d)     B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
(1)   Pengkajian tingkat kesadaran
 Kualitas tingkat kesadaran klien merupakan parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kewaspadaan pada klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sitem persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien miningitis biasanya berkisar pada tingkat letergi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.

(2)   Pengkajian fungsi serebral
Status mental : observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien miningitis tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.

(3)   Pengkajian saraf kranial, Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf I-XII.
(a)    Saraf I: Biasanya pada klien miningitis tidak ada kelainnan pada fungsi penciuman.
(b)   Saraf II: Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan papiledema mungkin didapatkan terutama pada miningitis superatif disertai abses serebri dan efusi subdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan TIK berlangsung lama.
(c)    Saraf III, IV, dan VI: Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien miningitis yang tidak disertai penurunan kesadran biasanya tanpa kelainan. Pada tahap lanjut miningitis yang telah menggangu kesadaran, tanda – tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan didapatkan. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien miningitis mengeluh mengalami fotofobia atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya.
(d)   Saraf V: Pada klien miningitis pada umumnya tidak didapatka paralisis pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.
(e)    Saraf VII: Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
(f)    sarafI IX dan X: Kemampuan menelan baik
(g)   saraf XI: Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Adanya usaha dari klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk
(h)   saraf XII: Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecap normal.

(4)   Pengkajian sistem motorik
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan, dan koordinasi pada miningitis tahap lanjut mengalami perubahan
(5)   Pengkajian refleks
Pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal. Refleks patologis akan didapatkan pada klien miningitis pada tingkat kesadaran koma. Adanya refleks babinski (+) merupakan tanda lesi UMN.
(6)   Pengkajian sistem sensorik
Pemeriksaan sensorik pada miningitis biasanya didapatkan sensasi raba, nyeri, suhu yang normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaan tubuh, sensasi propiosefsi, dan diskriminatif normal.

Pemeriksaan fisik lainnya yang berhubungan dengan peningkatan TIK (tekanan intrakranial). Tanda – tanda peningkatan TIK sekunder akibat eksudut purulen dan edema serebral terdiri atas : perubahan karakteristik, tanda – tanda vital (melebarnya tekanan nadi dan bradikardi). Pernapasan tidak teratur, sakit kepala, muntah, dan penurunan tingkat kesadaran.adanya ruam merupakan salah satu ciri yang mencolok pada miningitis meningokokus (neisseria meningitis). Sekitar setengah dari semua klien dengan tipe miningitis mengembangkan lesi- lesi pada kulit diantaranya ruam petekie dengan lesi purpura sampai ekimosis pada daerah yang luas. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tamda yang mudah dikenali yang umumnya terlihat pada semua tipe meningitis. Tanda tersebut adalah kaku kuduk, tanda kerning , dan adanya tanda brudzinski.
(1)   Kaku kuduk
Kaku kuduk merupakan tanda awal. Adanya upaya untuk fleksi kepala mengalami kesulitan karena adanya spasme otot – otot leher. Fleksi paksaan menyebabkan nyeri berat
(2)   Tanda kernig positif
Ketika klien dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat diekstensikan sempurna.
(3)   Tanda brudzinski
Tanda ini didapatkan jika leher klien difleksikan, terjadi fleksi lutut dan pinggul, jika dilakukan fleksi pasif pada ekstermitas bawah pada salah satu sisi gerakan yang sama terlihat pada sisi ekstermitas yang berlawanan.

3)      Pengkajian pada anak
Muttaqin (2008, p. 80-82) mengatakan pengkajian pada anak sedikit berbeda dengan klien dewasa, hal ini disebabkan pengkajian anamnesis lebih banyak pada orang tua dan pemeriksaan fisik yang berbeda karena belum sempernanya organ pertumbuhan terutama pada neonatus. Pengkajian yang biasa didapatkan pada anak bergantung pada luasnya penyebaran infeksi dimeningen dan usia anak. Hal lain yang mempengaruhi klinis pada anak adalah jenis organisme yang menginvasi meningen dan seberapa jauh keefektifan pemberian dari terapi, hal ini adalah jenis antibiotik yang dipakai sangat berpengaruh terhadap klinis pada anak. Untuk memudahkan penilaian klinis, gejala dan meningitis pada anak dibagi menjadi tiga, yaitu anak, bayi, dan neonatus.
Pada anak manifestasi klinisnya timbulnya sakit secara tiba – tiba, adanya demam, sakit kepala, panas dingin, muntah, dan kejang – kejang. Anak menjadi rewel dan agitasi, serta dapat berkembang fotofobia, derilium, halusinasi, tingkah laku yang agresif atau mengantuk stupor dan koma. Gejala atau gangguan pada sistem pernapasan atau gastrointenstinal seperti sesak napas, muntah dan diare.tanda yang khas adalah adanya tahanan pada kepala jika difleksikan, kaku kuduk, tanda kerning dan brudzenski. Akibat perfusi yang tidak optimal biasanya memberikan tanda klinis kulit kering dan sianosis. Gejala lainnya yang lebih spesifik seperti peteki (adanya perpura pada kulit) sering didapatkan apabila anak mengalami infeksi meningokokus, keluarnya cairan dari telinga merupakan gejala khas pada anak yang mengalami miningitis pneumococal dan congenital dermal sinus terutama disebabkan oleh imfeksi E. Colli.
Pada bayi manifestasiklinisnya biasanya tanpak pada anak usia 3 bulan sampai 2 tahun dan sering ditemukan adanya demam, nafsu makan menurun, muntah, rewel, mudah lelah dan kejang – kejang, serta menangis meraung – raung. Tanda khas dikepala adalah fontanel menonjol. Reginitas nukal merupakan tanda miningitis pada anak, sedangkan tanda – tanda brudzinski dan kerning dapat terjadi namun lampat atau ada pada kasus miningitis tahap lanjut.
Pada neonatus biasanya masi sulit untuk diketahui karena manifestasi klinisnya tidak jelas dan tidak spesifik, namun pada beberapa keadaan gejalanya mempunyai kemiripan dengan anak yang lebih tua, neonatus biasanya menolak untuk makan, kemampuan untuk menetek buruk, gangguan gastrointenstinal berupa muntah dan kadang – kadang diare. Tonus otot lemah, pergerakan melemah dan kekuatan menangis melemah. Pada khasus lanjut terjadi hipothermia / demam, ikterus, rewel, mengantuk, kejang- kejang, frekuensi napas yang tidak teratur / apnoe, sianosis, dan penurunan berat badan, tanda fontanel menonjol mungkin ada atau tidak. Leher fleksible dan tidak didapatkan adanya kaku kuduk. Pada fase yang lebih berat, terjadi kolaps kardiovaskular, kejang dan apnoe biasanya terjadi jika tidak diobati atau jika tidak dilakukan tindakan yang cepat.
4)      Pemerikasaan diagnostik
Muttaqin (2008, p. 82) mengatakan pemeriksaan diagnostik rutin pada klien miningitis, meliputi laboraturium klinik rutin (Hb, leukosit, LED, trombosit, retikulosit, glukosa.). pemeriksaan fal hemostasis diperlukan untuk mengetahui secara dini adanya DIC. Serum elektrolit dan glukos adinilai untuk mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremi.
Pemeriksaan laboraturium yang khas pada miningitis adalah analisis cairan otak. Lumbal pungsi tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial. Analisis cairan otak diperikasa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa. Kadar glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya, kadar glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien miningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.
Untuk lebih spesifik mengetahui jenis mikroba, organisme penyebab infeksi dapat diidentifikasi melalui kultur kuman pada cairan serebrospinal dan darah. Caunter immuno electrophoresis (CIE) digunakan secara luas untuk mendeteksi antigen bakteri pada cairan tubuh, umumnya cairan serebrospinal dan urin.
Pemeriksaan lainnya diperlukan sesuai klinis klien, meliputi foto rontgen paru, dan CT scan dilakukan untuk menentukan adanya edema serebral atau penyakit saraf lain. Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang sudah sangat parah.
5)      Pengkajian penatalaksanaan medis
Muttaqin (2008, p. 82) mengatakan Penatalaksaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi perawat dan perlu menyesuikan dengan standar pengobatan sesuai tempat kerja yang berguna sebagai bahan kolaborasi dengan tim medis. Secara ringkas penatalaksanaan pengobatan miningitis meliputi pemberian antiobiotik yang mampu melewati darah – barier otak kedalam ruang subaraknoit dalam konsentrasi yang cukup untuk menghentikan perkembangbiakab bakteri. Biasanya menggunakan sefaloposforin generasi keempat atau sesuai dengan hasil uji resistensi antibiotik agar pemberian antimikroba lebih efektif digunakan.
Sedangkan menurutt Doenges (1999, p. 308) pengkajian pasien dengan meningitis adalah sebagai berikut:
1)      Dasar data pengkajian pasien
a)    Aktivitas/istirahat
Gejala: Perasaan tidak enak (malaise).
Keterbatasan yang ditimbulkan oleh kondisinya.
Tanda: Ataksia, masalah berjalan, kelumpuhan, gerakan involunter. Kelemahan secara umum, keterbatasan dalam rentang gerak.
            Hipotonia.

b)   Sirkulasi
Gejala: Adanya riwayat kardiopatologi, seperti endokarditis, beberapa penyakit jantung kongenital (abses otak).
Tanda: Tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat (berhubungan dengan peningkatan TIK dan pengaruh pada pusat vasomotor).
            Takikardia, disritmia (pada fase akut), seperti disritmia sinus (pada meningitis).

c)    Eliminasi
Tanda: Adanya inkontinensia dan atau retensi.

d)   Makanan/cairan
Gejala: Kehilangan nafsu makan.
            Kesulitan menelan (pada periode akut).
Tanda: Anoreksia, muntah.
            Turgor kulit jelek, membrane mukosa kering.

e)    Hygiene
Tanda: ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri (pada periode akut).

f)    Neurosensori
Gejala: Sakit kepala (mungkin merupakan gejala pertama dan biasanya berat).
            Parestesia, terasa kaku pada semua persarafan yang terkena, kehilangan sensasi (kerusakan pada saraf cranial). Hiperalgesia/meningkatnya sensitivitas pada nyeri (meningitis). Timbul kejang (meningitis bakteri atau abses otak).
            Gangguan dalam penglihatan, seperti diplopia (fase awal dari beberapa infeksi).
            Fotofobia (pada meningitis).
            Ketulian (pada meningitis atau ensefalitis) atau mungkin hipersensitif terhadap kebisingan.
            Adanya  halusinasi penciuman/sentuhan
Tanda:
 Status mental/tingkat kesadaran; letargi sampai kebingungan yang berat hingga koma, delusi dan halusinasi/psikosis organic (ensefalitis).
Kehilangan memori, sulit dalam mengambil keputusan (dapat merupakan awal gejala berkembangnya hidrosefalus komunikan  yang mengikuti meningitis bakterial).
Afasia/kesulitan dalam berkomunikasi.
Mata (ukuran/reaksi pupil); unisokor atau tidak berespons terhadap cahaya (peningkatan TIK), nistagmus (bola mata bergerak-gerak terus menerus).
Ptosis (kelopak mata atas jatuh). Karakteristik fasial (wajah); perubahan pada fungsi motorik dan sensorik (saraf cranial V dan VII terkena).
Kejang umum atau local ( pada abses otak), kejang lobus temporal. Otot mengalami hipotonia/flaksid paralisis  (pada fase akut meningitis), spastic (ensefalitis).
Hemiparese atau hemiplegia (meningitis/ensefalitis).
Tanda Brudzinski positif dan/atau tanda kernig positif merupakan indikasi adanya iritasi meningeal (fase akut).
Rigiditas nukal (iritasi meningeal).
Refleks tendon dalam: terganggu, babinski positif.
Refleks abdominal menurun/tidak ada, refleks kremastetik hilang pada laki-laki (meningitis).



g)   Nyeri/kenyamanan
Gejala: Sakit kepala (berdenyut dengan hebat, frontal) mungkin akan diperburuk oleh ketegangan; leher/punggung kaku; nyeri pada gerakan ocular, fotosensitivitas, sakit; tenggorokan nyeri.
Tanda: Tampak terus terjaga, perilaku distraksi/gelisah. Menangis/menuduh/mengeluh.

h)   Pernapasan
Gejala:  Adanya riwayat infeksi sinus atau paru (abses otak).
Tanda:  Peningkatan kerja pernapasan (episode awal).
            Perubahan mental (letargi sampai koma) dan gelisah.

i)     Keamanan
Gejala: Adanya riwayat infeksi saluran pernapasan atas/infeksi lain, meliputi: mastoiditis, telinga tengah, sinus, abses gigi; infeksi pelvis, abdomen atau kulit; fungsi lumbal, pembedahan, fraktur pada tengkorak/cedera kepala, anemia sel sabit.
            Imunisasi yang baru saja berlangsung; terpajan pada meningitis, terpajan oleh campak, chicken pox, herpes simpleks, mononucleosis, gigitan binatang, benda asing yang terbawa.
            Gangguan penglihatan/pendengaran.
Tanda:  Suhu meningkat, diaforesis, menggigil.
            Adanya ras, purpuramenyeluruh, pendarahan subkutan.
            Kelemahan secara umum; tonus otot flaksid atau spastic; paralisis atau paresis.
            Gangguan sensasi.

j)        Penyuluhan/pembelajaran
Gejala:  Adanya riwayat menggunakan obat (abses otak).
            Hipersensif terhadap obat (meningitis non bakteri).
            Masalah medis sebelumnya, seperti penyekit kronis/gangguan umum, alkololisme, diabetes mellitus, splenektomi, implantasi pirau vertikel.

2)      Perioritas keperawatan
Menurut Doenges (1999., p. 311) perioritas keperawatan adalah:
a)    Memaksimalkan fungsi serebral dan perfusi jaringan.
b)   Mencegah komplikasi/trauma.
c)    Menghilangkan ansietas /memberikan dukungan emosional pada pasien/keluarga.
d)   Nyeri menurun/minimal.
e)    Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan kebutuhan akan pengobatan.

b.      Diagnosa keperawatan
Muttaqin (2008, p. 83), mengatakan diagnosa keperawatan untuk meningitis adalah sebagai berikut:
1)      Gangguan perfusi  jaringan serebral  yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial
2)      Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan akumualsi sekret, kemampuan batuk menurun akibat penurunan kesadaran
3)      Risiko pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik
4)      Risiko tinggi trauma yang berhubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan penurunan tingkat kesadaran
5)      Nyeri yang berhubungan dengan iritasi lapisan otak
6)      Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan otot, penurunan kesadaran, kerusakan persepsi/kognitif
7)      Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan kerusakan penerima rangsang sensori, transmisi sensori, dan integrasi sensori

c.       Intervensi  dan Implementasi
Muttaqin (2008, p.83), sasaran klien dapat meliputi jalan napas klien yang bersih dan kembali efektif, klien bebas dari cedera, dan nutrisi klien terpenuhi.
1)      Dx 1: Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun akibat penurunan kesadaran
Tujuan: dalam waktu 33x24 jam setelah diberikan tindakan jalan napas kembali efektif.
            Kriteria:
a)      Secar subjektif sesak napas berkurang
b)      Frekuensi napas 16-20 kali/menit
c)      Tidak mengguanakan otot bantu napas
d)     Tidak ada mengi dan ronki
e)      Dapat mendemonstrasikan cara batuk efektif

Intervensi
Rasional
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot-otot aksesori, warna dan kekenalan sputum.
Memantau dan mangatasi komplikasi potensial.
Pengkajian fungsi pernapasan dengan interval yang teratur adalah penting karena pernapasan yang tidak efektif dan adanya kegagalan, karena adanya kelemahan atau paralisis pada otot-otot interkostal dan diafragma yang berkembnag cepat.
Atur posisi fowler dan semifowler.
Peninggian kepala tempat tidur memudahkan pernapasan, meningkatkan ekspansi dada dan meningkatkan batuk efektif.
Ajarkan cara bauk efektif.
Klien berada pada risiko tinggi jika tidak dapat batuk dengan efektif untuk membersihkan jalan napas dan mengalami kesulitan dalam menelan, yang dapat menyebabkan aspirasi saliva dan mencetuskan gagal nafas akut.
Lakukan fisioterapi dada;vibrasi dada.
Terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk efektif
Penuhi hidrasi cairan via oral, seperti minum air putih, dan pertahankan asupan cairan 2.500 ml/hari.
Pemenuhan cairan dapat mengencerkan mukus yang kental dan dapat membantu pemenuhan cairan yang banyak keluar dari tubuh.
Lakukan pengisapan lendir di jalan napas
Pengisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan kepatenan jalan nafas menjadi bersih.

2)      Dx 2: risiko cedera yang berhubungan dengan kejang, perubahan status mental, dan penurunan tingkat kesadaran
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam perawatan klien bebas dari cedera yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran.
Kriteria: klien tidak mengalami cedera apabila terjadi kejang.
Intervensi
Rasionalisasi
Monitor kejang pada kaki, tangan, mulut, dan otot-otot lainnya.
Gambarkan tribilitas sistem persarafan pusat memerlukan evaluasi yang sesuai dengan intervensi yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Persiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan, pengaman, dan alat suksion selalu berada dekat klien.
Melindungi klien bila kejang terjadi.
Pertahankan bedrest total selama fase akut.
Mengurangi risiko jatuh/terluka jika vertigo, sinkop, dan ataksia terjadi.
Kolaborasi pemberian terapi; diazepam, fenobarbital.
Untuk mencegah atau mengurangi kejang.
Catatan: fenobarbital dapat menyebabkan respiratorius depresi dan sedasi.


3)      Dx 3: risiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrsisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik.
Tujuan: dalam 5x24 jam setelah mendapat intervensi nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria:  tidak adanya tanda malnutrisi dengan nilai laboraturium  dalam batas normal
Intervensi
Rasional
Kaji kemampuan klien dalam menelan, batuk, adanya sekret.
Faktor-faktor tersebut menentukan kemampuan menelan klien dan klien harus dilindungi dari risiko aspirasi.
Auskultasi bising usus, amati penurunan atau hiperaktivitas bising usus.
Fungsi gastrointestinal tergantung pula pada kerusakan otak, bising usus menentukan respons feeding atau terjadinya komplikasi misalnya ileus.
Timbang berat badan sesuai indikasi.
Untuk mengevaluasi efektivitas dari asupan makanan.
Berikan makanan dengan cara meninggikan kepala.
Menurunkan risiko regurgitasi atau aspirasi.
Pertahankan lingkungan yang tenang dan anjurkan keluarga atau orang terdekat untuk memberikan makanan pada klien.
Membuat klien merasa aman sehingga asupan dapat dipertahankan.

Sedangkan menurutt Doenges (1999, p. 312) pengkajian pasien dengan meningitis adalah sebagai berikut:
Dx 1: perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan edema serebral
Intervensi
Rasional
Pertahankan tirah baring dengan posisi kepala datar dan pantau tanda vital sesuai indikasi setelah dilakukan pungsi lumbai.


Pantau atau catat status neurologis dengan teratur dan bandingkan dengan keadaan normalnya, seperti GCS



Kaji adanya regiditas, nukal, gemetar, kegelisahan yang meningkat, peka rangsang dan adanya serangan kejang.

Bantu pasien untuk berkemih/membatasi batuk, muntah, mengejan. Anjurkan pasien untuk mengeluarkan napas selama pergerakan/ perpindahan di tempat tidur


Anjurkan keluarga untuk berbicara dengan pasien jika diperlukan
Perubahan tekanan CSS mungkin merupakan potensi adanya resiko herniasi batang otak yang memerlukan tindakan medis dengan segera

Pengkajian kecendrungan adanya perubahan tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK berguna dalam menentukan lokasi, penyebaran/luasnya dan perkembangan dari kerusakan serebral

Merupakan indikasi adanya iritasi meningeal dan mungkin juga terjadi dalam periode akut atau penyembuhan dari trauma otak.

Aktivitas seperti ini akan meningkatkan tekanan intratorak dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK. Ekshalasi selama perubahan posisi tersebut dapat mencegah pengaruh maneuver valsalva.

Mendengarkan suara yang menyenangkan dari orang terdekat/keluarga tampaknya menimbulkan pengaruh relaksasi pada beberapa pasien dan mungkin akan dapat menurunkan TIK.

Dx2: Nyeri akut berhubungan dengan adanya proses infeksi/inflamasi
Intervensi
Rasional
Berikan lingkungan yang tenang, ruangan agak gelap sesuai indikasi


Tingkatkan tirah baring, bentulah kebutuhan perawatan diri yang penting

Letakan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas mata

Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman, seperti kepala agak tinggi sedikit pada meningitis

Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif secara tepat dan masase otot daerah leher/bahu

Gunakan pelembab yang agak hangat pada nyeri leher/punggung, jika tidak ada demam.
Menurunkan reaksi terhadap stimulasi dari luar atau sensitivitas pada cahaya dan meningkatkan istirahat/relaksasi.

Menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri

Meningkatkan vasokontriksi, penumpukan resepsi sensori yang selanjutnya akan menurunkan nyeri.
Menurunkan iritasi meningeal, resultan ketidaknyamanan lebih lanjut


Dapat membantu merelaksasikan ketegangan otot yang meningkatkan reduksi nyeri atau rasa tidak nyaman tersebut

Meningkatkan relaksasi otot dan menurunkan rasa sakit/ rasa tidak nyaman.

Dx3: resiko cedera berhubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan penurunan tingkat kesadaran.
Intervensi
Rasional
Pantau adanya kejang/kedutan pada tangan, kaki dan mulut atau otot wajah yang lain.


Berikan keamanan pada pasien dengan member bantalan pada penghalang tempat tidur, pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan napas buatan plastic atau gulungan lunak dan alat penghisap.
Mencerminkan adanya iritasi SSP secara umum yang memerlukan evaluasi segera dan intervensi yang mungkin mencegah komplikasi

Melindungi pasien jika terjadi kejang. Catatan: memasukka jalan napas buatan/gulungan lunak hanya jika rahangnya relaksasi, jangan dipaksa, memasukkan ketika giginya menutup, dan jaringan lunak akan rusak.

Sedangkan menurut Smeltzer (2001, p. 2176), prognosis pasien bergantung pada dukungan perawatan yang diberikan. Pasien yang parah dengan kombinasi adanya demam, dehidrasi, alkalosis, dan edema serebral memungkinkan terjadinya kejang. Obstruksi jalan apas atau disritmia jantung dapat terjadi, sehingga intervensi keperawatan harus bekerja sama dengan dokter:
1)      Pada semua tipe meningitis, status klinis pasien dan tanda-tana vital dikaji terus menerus sesuai perubahan kesadaran yang dapat menimbulkan obstuksi jalan napas. Penentuan gas darah arteri, pemasangan selang endotrake (trakeostomi) dan penggunaan ventilasi mekanik. Oksigen dapat diberikan untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri parsia (PaO2) pada tingkat yang diinginkan.
2)      Pantau tekanan arteri untuk mengkaji syok, yang mendahului gagal jantung dan pernapasan. Catat adanya vasokonstriksi dan sianosis yang menyebar, dan ekstremitas dingin. Demam yang tinggi diturunkan untuk menurunkn kerja jantung dan oksigen otak.
3)      Penggantian cairan intravena dapat diberikan, tetapi perawatan tidak dilakukan untuk melebihi hidrasi pasien karena risiko edema serebral.
4)      Berat badan , elektrolit serum, volume dan berat jenis urrine, dan osmolalitas urine dipantau secara  ketat, dan khususnya bila dicurigai hormon sekresi antidiuretik yang tidak teoat (ADH).
5)      Penatalaksanaan keperawatan yang berkelanjutan memerlukan pengkajian yang terus menerus terhadap status klinis pasien, perhatikan terhadapa kebersihan kulit dan mulut, peningkatan kenyamanan, dan perlindungan selama kejang dan saat koma.
6)      Rabas dari hidung dan mulut dipertimbangkan infeksius. Isolasi pernapasan dianjurkan selama 24 jam setelah mulainya terapi antibioti.

d.      Evaluasi
1)      Bersihan jalan napas efektif
2)      Fungsi serebral dan perfusi jaringan maksimal
3)      Tidak ada komplikasi/trauma
4)      Tidak adanya ansietas  pada pasien/keluarga
5)      Nyeri menurun/minimal
6)      Mendapat informasi tentang proses penyakit/prognosis dan kebutuhan akan pengobatan
7)      Klien bebas dari cedera yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran
8)      Nutrisi klien terpenuhi
9)      Perfusi jaringan normal .


Referensi
Corwin, elizabeth J. 2009. Buku saku. Ed.3. jakarta : EGC
Muscari, Mary E. 2005. Panduan belajar :keperawatan pediatrik. Jakarta : EGC
Baughman, diene C, (2000). Keperawatan medical-bedah: buku saku brunner dan suddath. Jakarta: EGC
Suriadi & Rita yulianni, (2006). Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi 2. Jakarta: PT. PERCETAKAN PENEBAR SWADAYA
Ngastiyah (2005). Perawatan anak sakit. Edisi 2. Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian pasien. Ed.3. jakarta:EGC
Muttaqin, arif. (20080. Pengantar asuhan keperawatan pada klien dnegan gangguan sistem persarafan. Jakarta: Salmeba Medika
Smeltzer, S., Bare, B.G. (2001). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC


No comments:

Post a Comment

Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat