A. Sejarah
Perkembangan Keperawatan Spiritual
Sejak awal diketahui, manusia selalu memiliki usaha
untuk memberikan dua fungsi dari perawatan untuk penyembuhan penyakit kepada
sesama. Yang pertama, keperawatan lebih erat kaitannya dengan aspek kepedulian,
sekarang khususnya sebagai praktisi keperawatan yang mencapai keunggulannya
dalam profesi, perawatan harus memiliki kedua fungsi perawatan dan penyembuhan.
Ini berarti bahwa sejarah juga berubah untuk memasukan sejarah praktik
penyembuhan (Barbara, 2003, p.21).
1. Keperawatan
di Era Pra Kristiani
Sebelum membahas pengaruh Kristen mengenai
keperawatan sehat sakit, pelayanan
kesehatan di era pra-Kristiani harus dikaji terlebih dahulu. Ilmu Kedokteran
dan keperawatan dalam peradaban kuno menyediakan fondasi yang memiliki banyak praktek
kesehatan dari perawat Kristen. Budaya kuno ini juga dipengaruhi oleh konsep
perawat kristen. Budaya kuno juga dipengaruhi oleh konsep amalan Kristen dalam
hubungannya dalam merawat mereka yang sakit (Bullough & Bullough, 1987).
Studi arkeologi di era budaya pra-Kristen telah mengungkapkan dua jenis terkait
namun berbeda dari perawat. Satu kelompok terdiri dari wanita terampil yang
"menjalani untuk disewa"; lebih sering diidentifikasi, bagaimanapun,
"perawat" yang mana posisi mereka adalah sebagai budak di rumah
tangga kaya (Dolan, Fitzpatrick, & Herrmann, 1983, p; 81). Para perawat ini
berlatih seni sesuai dengan model medis yang ditetapkan oleh masyarakat
masing-masing (O’Brien, 2010, p. 24)
Keperawatan dapat dieksplorasi dalam
sejumlah budaya awal. Di Babilonia, "Kode Hammurabi" menyarankan
bahwa asuhan keperawatan diberikan untuk pasien antara kunjungan dokter (Walsh,
1929, p;10). Penemuan awal Buddhis di Cina dinilai dari banyaknya tanaman yang
menyebabkan terapi keperawatan menggunakan Herbologi (Sellew & Nuesse,
1946, p;6). Praktek medis agama Hindu di India mengikutsertakan peran perawat laki-laki
(Grippando, 1986, p;3). Di Irlandia, para imam Druidic kuno dan pendeta
disarankan pada perawatan dan penyembuhan penyakit dalam (Dolan, Fitzpatrick,
& Herrmann, 1983, p;40). Keempat masyarakat utama, Namun, yang spiritual
dan budaya kontribusi yang paling sering dikutip sebagai pendukung seni dan
ilmu kedokteran dan keperawatan modern adalah dari Mesir, Yunani, Roma dan
Israel (O’Brien, 2010, p. 24-25).
a. Mesir
Asal
usul pengobatan di Mesir mengandung unsur sihir dan agama yang kuat, namun,
praktek pembalseman diajarkan melalui anatomi manusia di Mesir, dari mana
mereka dapat memperoleh prosedur bedah (Deloughery, 1977, p;7.). Sejarah Mesir
menawarkan dokter pertama, Imhotep, serta buku medis yang pertama, Ebers
Papyrus (Frank, 1959, p;9 dalam O’Brien, 2010, p. 25).
Mesir
prihatin tentang masalah kesehatan masyarakatnya seperti kelaparan dan
kekurangan gizi. Sementara menawarkan doa-doa dan pengorbanan/persembahan
kepada dewa untuk kegiatan religius mereka, mereka juga mengambil tindakan
pencegahan seperti menyimpan gandum untuk kebutuhan di masa depan. Para
peneliti telah menetapkan bahwa sebuah sekolah untuk pendidikan dokter Mesir
sudah ada sejak 1100 SM, sebagai hasilnya sejumlah pengobatan terapeutik
praktis untuk merawat orang sakit dikembangkan. Ahli sejarah Perawat Dietz dan
Lehozky (1967) menyimpulkan dengan demikian bahwa "tidak diragukan lagi
beberapa bentuk asuhan/pelayanan keperawatan naluriah (spiritual) harus ada
pada saat ini" (p;10) (O’Brien, 2010, p. 25)
b. Yunani
Dalam
catatan sejarah membuktikan bahwa "keperawatan di era Yunani-Romawi
sebagian besar merupakan tanggung jawab dari anggota keluarga sendiri baik
pasien ataupun budak yang dipekerjakan untuk memberikan keterampilan khusus.
Dasar pemikiran spiritual untuk memberikan asuhan keperawatan adalah tugas dan
cinta untuk kerabat "(Swaffield, 1988, hlm 28-30). Para dokter Yunani kuno
yang sempurna, tentu saja adalah Hippocrates (460-370 SM), yang memerintahkan
perawat untuk "menggunakan mata dan telinga, dan untuk alasan dari fakta
bukanlah dari asumsi gratuitious" (Deloughery, 1977, hal. 8). Hippocrates
mengingatkan mereka yang cenderung sakit menjadi cemas untuk pasien mereka
yang kesejahteraan rohani dan 'tidak
membahayakan "(Frank, 1959, p. 17 dalam O’Brien, 2010, p. 25).
Meskipun
Hippocrates tidak mengidentifikasi keperawatan sebagai profesi, banyaknya dalam
menentukan terapi termasuk dalam bidang praktek keperawatan. Beberapa contoh
termasuk ajaran bahwa "diet cairan seharusnya hanya diberikan dalam
keadaan demam"; "spon/kompres dingin (harus digunakan) untuk suhu
tinggi", dan "gargles panas (harus diambil) untuk tonsilitis
akut" (Dietz & Lehozky, 1967 , p. 16 dalam O’Brien, 2010, p. 25).
c. Roma
Roma
tidak menawarkan kemajuan besar dalam praktek medis dan keperawatan sebelum
umat Kristen, tetapi sangat bergantung pada pengetahuan dokter yunani. sebelum
munculnya kedokteran yunani, perawatan di
rumah, pasien yang sakit
dipandu oleh penggunaan obat-obatan
alami dari rakyat. Agama berpengaruh
dalam merawat orang sakit, dewa roman ditawarkan korban curahan dalam
permohonan untuk bantuan yang berkaitan dengan kebutuhan kesehatan dan
penyakit. setelah penaklukan pemuda roman Korintus banyak mulai belajar di
athens dan secara pribadi mencapai keterampilan penyembuhan. Secara
bersama-sama mencapai keterampilan
penyembuhan model yunani dengan pendidikan profesional, namun apresiasi dan
penghormatan terhadap para dewa sebagai
tambahan penting untuk prosedur therapeutik. berdoa kepada dewa, atau untuk
beberapa dewa, dianggap sebagai terapi yang dapat membantu dalam merawat
seorang pasien di roma.
d. Israel
Orang-orang
ibrani dari israel diidentifikasi dalam keprihatinan hukum mosaik. banyak dari
mereka menyediakan perawatan untuk orang sakit dan lemah. Agama di sana mengajarkan tentang kebersihan
kesehatan secara umum: aturan diet
,kebersihan, jam kerja, dan istirahat.
Sellew dan Nuesse mengamati bahwa sejak aturan-aturan yang dipaksakan oleh
kelompok dan tidak diserahkan kepada kehendak individu, tetapi pada aturan
kesehatan masyarakat. Mereka menegaskan bahwa rakyat israel sebenarnya
"meletakkan dasar-dasar keperawatan kesehatan masyarakat pada
prinsip-prinsip abadi, karena mereka secara alami menganggap mengunjungi orang
sakit sebagai kewajiban agama.
2. Sejarah Keperawatan Spiritual Terkait dengan Ajaran Islam
Prof. Dr. Omar Hasan Kasule,
Sr, 1998 dalam studi Paper Presented at the 3rd International Nursing
Conference "Empowerment and Health: An Agenda for Nurses in the 21st
Century" yang diselenggarakan di Brunei Darussalam 1-4 Nopember 1998,
menggambarkan Rufaidah adalah perawat profesional pertama dimasa sejarah islam.
Beliau hidup di masa Nabi Muhammad SAW di abad pertama Hijriah/abad ke-8
Sesudah Masehi, dan diilustrasikan sebagai perawat teladan, baik dan bersifat
empati. Rufaidah adalah seorang pemimpin, organisatoris, mampu memobilisasi dan
memotivasi orang lain. Dan digambarkan pula memiliki pengalaman klinik yang
dapat ditularkan kepada perawat lain, yang dilatih dan bekerja dengannya. Dia
tidak hanya melaksanakan peran perawat dalam aspek klinikal semata, namun juga
melaksanakan peran komunitas dan memecahkan masalah sosial yang dapat
mengakibatkan timbulnya berbagai macam penyakit. Rufaidah adalah public health nurse dan social worker, yang menjadi inspirasi
bagi profesi perawat di dunia Islam.
Rufaidah binti Sa'ad memiliki
nama lengkap Rufaidah binti Sa'ad Al Bani Aslam Al Khazraj, yang tinggal di
Madinah, dia lahir di Yathrib dan termasuk kaum Ansar (golongan yang pertama
kali menganut Islam di Madinah). Ayahnya seorang dokter, dan dia mempelajari ilmu
keperawatan saat bekerja membantu ayahnya. Dan saat kota Madinah berkembang,
Rufaidah mengabdikan diri merawat kaum muslim yang sakit, dan membangun tenda
di luar Masjid Nabawi saat damai. Dan saat perang Badar, Uhud, Khandaq dan
Perang Khaibar dia menjadi sukarelawan dan merawat korban yang terluka akibat
perang. Dan mendirikan Rumah sakit lapangan sehingga terkenal saat perang dan
Nabi Muhammad SAW sendiri memerintahkan korban yang terluka dirawat olehnya.
Pernah digambarkan saat perang Ghazwat al Khandaq, Sa'ad bin Ma'adh yang
terluka dan tertancap panah di tangannya, dirawat oleh Rufaidah hingga
stabil/homeostatis. (Omar Hassan, 1998)
Rufaidah melatih pula beberapa
kelompok wanita untuk menjadi perawat, dan dalam perang Khaibar mereka meminta
ijin Nabi Muhammad SAW, untuk ikut di garis belakang pertempuran untuk merawat
mereka yang terluka, dan Nabi mengijinkannya. Tugas ini digambarkan mulia untuk
Rufaidah, dan merupakan pengakuan awal untuk pekerjaaannya di bidang
keperawatan dan medis.
Konstribusi Rufaidah tidak
hanya merawat mereka yang terluka akibat perang. Namun juga terlibat dalam
aktifitas sosial di komuniti. Dia memberikan perhatian kepada setiap muslim,
miskin, anak yatim, atau penderita cacat mental. Dia merawat anak yatim dan
memberikan bekal pendidikan. Rufaidah digambarkan memiliki kepribadian yang
luhur dan empati sehingga memberikan pelayanan keperawatan yang diberikan
kepada pasiennya dengan baik pula. Sentuhan sisi kemanusiaan adalah hal yang
penting bagi perawat, sehingga perkembangan sisi tehnologi dan sisi kemanusiaan
(human touch) mesti seimbang. Rufaidah juga digambarkan sebagai pemimpin dan
pencetus Sekolah Keperawatan pertama di dunia Islam, meskipun lokasinya tidak
dapat dilaporkan (Jan, 1996), dia juga merupakan penyokong advokasi pencegahan
penyakit (preventif care) dan menyebarkan pentingnya penyuluhan kesehatan
(health education).
Sejarah islam juga mencatat
beberapa nama yang bekerja bersama Rufaidah seperti : Ummu Ammara, Aminah, Ummu
Ayman, Safiyat, Ummu Sulaiman, dan Hindun. Beberapa wanita muslim yang terkenal
sebagai perawat adalah : Ku'ayibat, Aminah binti Abi Qays Al Ghifari, Ummu
Atiyah Al Ansariyat dan Nusaibat binti Ka'ab Al Maziniyat. Litelatur lain
menyebutkan beberapa nama yang terkenal menjadi perawat saat masa Nabi Muhammad
SAW saat perang dan damai adalah: Rufaidah binti Sa'ad Al Aslamiyyat, Aminah
binti Qays al Ghifariyat, Ummu Atiyah Al Anasaiyat, Nusaibat binti Ka'ab Al
Amziniyat, Zainab dari kaum Bani Awad yang ahli dalam penyakit dan bedah mata.
Ummu Ammara juga dikenal juga
sebagai Nusaibat binti Ka'ab bin Maziniyat, dia adalah ibu dari Abdullah dan
Habi, anak dari Bani Zayd bin Asim. Nusaibat dibantu suami dan anaknya dalam
bidang keperawatan. Dia berpartisipasi dalam Perjanjian Aqabat dan perjanjian Ridhwan,
dan andil dalam perang Uhud dan perang melawan musailamah di Yamamah bersama
anak dan suaminya. Dia terluka 12 kali, tangannya terputus dan dia meninggal
denan luka2nya. Dia terlibat dalam perang Uhud, merawat korban yang luka dan
mensuplai air dan juga digambarkan berperang menggunakan pedang membela Nabi.
a. Masa Sejarah Perkembangan Islam dalam Keperawatan
Masa
sejarah perkembangan islam dalam keperawatan, tidak dapat dipisahkan dalam
konteks perkembangan keperawatan di Arab Saudi khususnya, dan negara-negara di
timur tengah umumnya. Berikut ini akan lebih dijelaskan tentang sejarah
perkembangan keperawatan di masa Islam dan di Arab Saudi khususnya.
1) Masa penyebaran
Islam/ The Islamic Period (570 – 632 M)
Dokumen tentang keperawatan sebelum-islam (pre-islamic
period) sebelum 570M sangat sedikit ditemukan. Perkembangan keperawatan di masa
ini, sejalan dengan perang kaum muslimin/jihad (holy wars), memberikan gambaran
tentang keperawatan dimasa ini. Sistem kedokteran masa lalu yang lebih
menjelaskan pengobatan dilakukan oleh dokter ke rumah pasien dengan memberikan
resep, lebih dominan. Hanya sedikit sekali lilature tentang perawat, namun
dalam periode ini dikenal seorang perawat yang bersama Nabi Muhammad SAW telah
melakukan peran keperawatan yaitu Rufaidah binti Sa'ad/Rufaidah Al-Asamiya
(Tumulty 2001, Al Osimy, 1994)
2) Masa Setelah
Nabi/Post –Prophetic Era (632 – 1000 M)
Sejarah
tentang keperawatan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW sudah sulit ditemukan
(Al Simy, 1994). Dokumen yang ada lebih didominasi oleh kedokteran dimasa itu.
Dr Al-Razi yang digambarkan sebagai seorang pendidik, dan menjadi pedoman yang
juga menyediakan pelayanan keperawatan. Dia menulis dua karangan tentang
"The Reason Why Some Persons and the Common People Leave a Physician Even
if He Is Clever" dan "A Clever Physician Does Not Have the Power to
Heal All Diseases, for That is Not Within the Realm of Possibility." Di
masa ini ada perawat diberi nama "Al Asiyah" dari kata Aasa yang
berarti mengobati luka, dengan tugas utama memberikan makanan, memberikan obat,
dan rehidrasi.
3) Masa Late to
Middle Ages (1000 – 1500 M)
Dimasa ini
negara-negara Arab membangun RS dengan baik, dan mengenalkan perawatan orang
sakit. Ada gambaran unik di RS yang tersebar dalam peradaban Islam dan banyak
dianut RS modern saat ini hingga sekarang, yaitu pemisahan antar ruang pasien
laki-laki dan wanita, serta perawat wanita merawat pasien wanita dan perawat
laki-laki, hanya merawat pasien laki-laki (Donahue, 1985, Al Osimy, 2004).
4) Masa Modern (1500
– sekarang) Early Leaders in Nursing’s Development
Masa ini
ditandai dengan banyaknya ekspatriat asing (perawat asing dari Eropa, Amerika
dan Australia, India, Philipina) yang masuk dan bekerja di RS di negara-negara
Timur Tengah. Bahkan dokumen tentang keperawatan di Arab, sampai tahun 1950
jarang sekali, namun di tahun 1890 seorang misionaris Amerika, dokter dan
perawat dari Amerika telah masuk Bahrain dan Riyadh untuk merawat Raja Saudi
King Saud. (Amreding, 2003).
Dimasa ini
ada seorang perawat Timur Tengah bernama Lutfiyyah Al-Khateeb, seorang perawat
bidan Saudi pertama yang mendapatkan Diploma Keperawatan di Kairo dan kembali
ke negaranya, dan di tahun 1960 dia membangun Institusi Keperawatan di Arab
Saudi.
Meskipun
keperawatan masih baru sebagai profesi di Timur tengah, sebenarnya telah
dibangun di masa Nabi Muhammad SAW. Dimana mempengaruhi philosofi praktek, dan
profesi keperawatan. Dan sejak tahun 1950 dengan dikenalkannya organized health
care dan pembangunan RS di Arab Saudi, keperawatan menjadi lebih maju dan bukan
hanya sekedar pekerjaan.
b. Keperawatan,
Islam, Masa Kini dan Mendatang
Menurut Dr. H Afif Muhammad (2004), masalah sehat
dan sakit adalah alami sebagai ujian dari Allah SWT, hingga manusia tidak akan
bisa terbebas dari sakit. "Sehat kerap membuat orang lupa dan lalai baik
dalam melaksanakan perintah-perintah Allah maupun mensyukuri nikmat sehatnya.
Kita sering menyebut kondisi yang tidak menyenangkan seperti sakit sebagai
musibah yang terkesan negatif, padahal musibah berkonotasi positif.
Tugas seorang perawat dalam meningkatkan
spiritualitas pasien adalah dengan menekankan pasien agar tidak berputus asa
apalagi menyatakan kepada pasiennya tidak memiliki harapan hidup lagi.
"Pernyataan tidak memiliki harapan hidup untuk seorang muslim tidak dapat
dibenarkan. Meski secara medis tidak lagi bisa menanganinya, tapi kalau Allah
bisa saja menyembuhkannya dengan mengabaikan hukum sebab akibat," katanya.
Perawat juga memandu pasiennya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT hingga
kondisinya semakin saleh yang bisa mendatangkan "manjurnya" doa.
Di negara-negara timur tengah, konteks keperawatan
sendiri banyak dipengaruhi oleh sejarah keperawatan dalam Islam, budaya dan
kepercayaan di Arab, keyakinan akan kesehatan dari sudut pandang islam (Islamic
health belief), dan nilai-nilai profesional yang diperoleh dari pendidikan
keperawatan. Tidak seperti pandangan keperawatan di negara barat, keyakinan
akan spiritual islam tercermin dalam budaya mereka.
B. Praktik Spiritual
(Ritual Ibadah) dalam Islam yang Berkaitan dengan Sehat-Sakit
1.
Puasa
Puasa mengandung makna “menahan diri” atau “mengendalikan
diri”. Ungkapan “menahan diri” mempunyai makna yang luas. Pertama, menahan diri
untuk tidak makan dan minum, mulai dari terbit fajar dan berakhir ketika
matahari terbenam, lamanya kira-kira 13-14 jam. Kedua, menahan diri juga mencakup
pengertian melatih kemampuan megendalikan emosi, hawa nafsu, maupun perbuatan
yang tidak baik (Wirakusumah, 2010, p. 200)
Lama berpuasa, yaitu 13-14 jam, tidak akan berpengaruh negatif
terhadap kesehatan, malah sebaliknya, puasa terbukti sangat bermanfaat.
Kekhawatiran terhadap kekurangan energi selama puasa sebenarnya tidak
beralasan. Umumnya, tubuh manusia mempunyai cadangan energi berupa lemak yang
disimpan di berbagai bagian tubuh atau cadangan berupa glikogen (diubah dari
kharbohidrat di dalam hati). Cadangan glikogen dapat bertahan 24-48 jam. Jika
terjadi kekurangan energi, cadangan energi tersebut akan langsung diubah
menjadi energi untuk menutup kekurangan yang terjadi. Dan jika masih terdapat
kekurangan maka, cadangan lemak pun akan diubah menjadi energi (Wirakusumah,
2010, p. 200)
Banyak sekali hikmah puasa terhadap kesehatan, baik dari segi
fisik maupun psikis. Selain puasa wajib dalam bulan Ramadhan selama sebulan
penuh, Islam juga menganjurkan berpuasa sunnah cara Nabi Daud a.s, yaitu
berselang-seling, sehari berbuka dan sehari berpuasa; puasa pada hari Senin dan
Kamis (dua hari seminggu); puasa enam hari pada awal bulan Syawal; puasa pada 9
Dzulhijjah (hari Arafah); puasa Asysyura (10 Muharram); puasa tiga hari pada
setiap bulan Qamariyah; dan puasa pada bulan-nulan Sya`ban (Djayadi, 2007, p.
33)
Dengan banyaknya jenis puasa dalam Islam, ini menunjukkan bahwa
Islam adalah agama yang sangat concern (perhatian)
terhadap kesehatan, yaitu lebih bersifat mencegah timbulnya penyakit dengan
cara menjaga agar tidak berlebihan dalam mengonsumsi makanan. Dampaknya akan
menciptakan umat Islam yang sehat jasmani dan rohani (Djayadi, 2007, p. 33-34)
Menurut M. Sadik Sahil, pengurus Bulan Sabit Merah Cabang
Samarinda dalam tulisannya “Puasa dalam Perspektif Kesehatan” di Kaltim Post 19
September 2006 dalam (Djayadi, 2007, p. 34), terdapat beberapa manfaaat dari
ibadah puasa antara lain:
a. Meningkatkan daya tahan tubuh
b. Bermanfaat bagi kesehatan jiwa
c. Menguatkan motivasi dalam diri dan melatih jiwa dengan
kesabaran
d. Menjernihkan pikiran dan gejolak hawa nafsu
e. Meringankan beban kerja organ tubuh
f. Terhindar dari kegemukan (obesitas)
g. Membuat nyaman persendian dan saluran urinari
h. Mengobati berbagai macam penyakit dan mencegah
penyakit jantung koroner dan stroke
i.
Menurunkan kadar
kolesterol, kadar gula darah, dan tekanan darah
j.
Meremajakan
sel-sel tubuh
k. Menghilangkan zat racun atau detoksifikasi dalam tubuh
l.
Memperbaiki
fungsi hormonal tubuh
m. Membuat kulit lebih sehat, lembut dan berseri-seri
Menurut Wirakusumah (2010), prinsip “menahan diri” atau
“mengendalikan diri” dalam ibadah puasa memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap kesehatan, baik dari segi jasmaniah maupun ruhiah. Beberapa manfaat
ibadah puasa bagi kesehatan jasmaniah adalah sebagai berikut:
a. Memberikan kesempatan istirahat kepada organ-organ
pencernaan serta sistem emzim dan hormon. Dengan berpuasa organ-organ tersebut
diberi kesempatan untuk beristirahat serta memperbaiki kerusakan yang terjadi
akibat kerja yang terus-menerus.
b. Mengurangi
beban kerja ginjal dan hati, sehingga organ-organ tersebut bisa bekerja dengan
lebih maksimal.
c. Membebaskan tubuh dari zat-zat sisa pembentuk radikal
bebas. Radikal bebas dapat terjadi karena penumpukan racun, kotoran maupun
sampah-sampah berbahaya. Dengan demikian, berpuasa memberikan dampak menurunkan
resiko terjadinya kanker, mag, sembelit, menghindari penuaan dini dan kulit
menjadi lebih sehat.
d. Mengurangi atau menghentikan aktivitas mikroorganisme
jahat. Dengan berpuasa, pasokan makanan terhenti sehingga mikroorganisme
patogen tidak dapat hidup dan berkembang.
e. Meningkatkan daya tahan tubuh. Berdasarkan hasil
penelitian, terbukti bahwa puasa dapat meningkatkan produksi sel darah putih
yang berdampak pada meningkatnya daya tahan tubuh seseorang.
f. Meningkatnya daya serap makanan. Dengan berpuasa,
terjadi efesiensi daya serap makanan. Hal itu disebabkan karena organ
pencernaan telah diistirahatkan dan beban cerna yang menjadi lebih sedikit.
Peningkatannya cukup signifikan, yaitu dari 35% saat tidak berpuasa menjadi 85%
saat berpuasa.
g. Membuat kullit lebih sehat dan berseri. Setiap saat
tubuh mengalami metabollisme energi. Sisanya akan diubah dalam bentuk glikogen
yang akan disimpan dan ditimbun di
berbagai organ tubuh, seperti hati dan kulit. Saat berpuasa, cadangan energi
yang disimpan di dalam kulit akan dikeluarkan dan terjadi proses regenerasi dan
peremajaan sel-sel kulit.
Wirakusumah (2010) dalam bukunya Sehat Cara Al-quran dan
Hadist, juga menjelaskan manfaat ibadah puasa bagi kesehatan ruhaniah. Tinjauan
dari segi ruhaniah ini pada dasarnya berawal dari upaya “pengendalian diri” dan
kepedulian pada lingkungan. Hal itu tercermin dalam perilaku sebagai berikut:
a. Melatih kesabaran, ketenangan dan meredam kemarahan
b. Menghilangkan rasa dengki, fitnah, takabur, zu`uzhan
(berburuk sangka)
c. Melatih diri dalam menghadapi ujian dan cobaan seberat
apa pun
d. Melatih mengendalikan diri dari hawa nafsu birahi yang
negatif dan meningkatkan kedisiplinan, melatih mengekang nafsu terhadap makanan
yang berlebihan, menghamburkan uang, serta mengekang ambisi yang berlebihan dan
menggunjing orang lain.
Selain
itu dengan berpuasa maka, dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti berikut.
a.
Puasa dapat mengurangi
penyakit Diabetes Melitus
Pada
waktu berpuasa kadar gula dalam tubuh berkurang sampai ukuran yang minimal.
Artinya, hal ini akan memberi kesempatan kepada kelenjar pankreas untuk
beristirahat. Pankreas bekerja untuk memproduksi insulin. Insulin dengan segala
peredarannya akan mempengaruhi zat gula dalam darah. Apabila makanannya
bertambah, maka bertambah pula pankreas dalam memprodukasi insulin, maka
kelenjar-kelenjar ini akan terlalu kuat menanggung beban dan akhirnya tidak
mampu menjalankan tugasnya. Maka bertumpuklah kadar gula dalam darah, sehingga
sedikit-sedikt bertambah, sehingga lama kelamaan berubah menjadi penyakit gula
(diabetes). Maka jalan terbaik untuk memelihara pankreas dari beban ini adalah
dengan berpuasa secara seimbang dan teratur (Sururin, 2004)
b. Berpuasa
akan menyehatkan perut
Sekurang-kurangnya
selama 12 jam dalam sehari pada waktu berpuasa usus besar akan kosong secara sempurna. Dan hal ini
dilakukan dalam waktu sebulan penuh. Masa ini cukup untuk membersihkan makanan
yang tertimbun dalam usus besar dan memberikan kesempatan untuk usus besar
beristirahat dari proses pencernaan. Oleh karena itu dalam bulan puasa usus
besar bersih dari makanan yang tertumpuk (Sururin, 2004)
c. Berpuasa
untuk mengontrol diri
Waktu
berpuasa merupakan kesempatan yang paling baik untuk menjaga kesehatan dari
segala kebiasaan yang membahayakan kesehatan, seperti merokok, mengisap ganja,
dan minuman keras. Karena ibadah ini mengandung unsur-unsur tertentu dari jenis
yang menyebabkan saraf seseorang menjadi kecanduan. Jika seseorang telah
menjadi pecandu, maka tidak mungkin menghentikannya secara tiba-tiba, jika
dilakukan maka ia merasa sakit dan lemah sarafnya. Tetapi jika menghilangkan
kebiasaan itu dengan berpuasa selama 12 jam setiap hari dan dalam masa empat
minggu secara rutin, maka zat yang terkandung dalam ganja, alkohol, dan
nikotin, hari demi hari secara bertahap sedikit demi sedikit berkurang
kadarnya, sehingga saraf akan bebas dari pengaruh benda-benda berbahaya dengan
mudah dan nyaman. Oleh karena itu, bagi pecandu membebaskan dirinya dari
kecanduan pada bulan Ramadhan lebih mudah daripada hari-hari yang lain (Sururin, 2004)
d. Puasa
dan penyakit-penyakit kulit
Puasa
akan mengurangi kadar gula dalam darah, sehingga berpengaruh pula pada kadar
gula pada kulit, hal ini sesuai dengan kondisi darah dalam kulit. Kekeringan
kadar air dalam kulit dapat
menyebabkan hal – hal berikut:
1) Menambah
ketegaran dan daya tahan terhadap bakteri.
2) Memperkecil
kemungkinan berkembangnya penyakit, bengkak, penyakit kulit dan berkembangnya
ke seluruh tubuh.
3) Puasa
juga akan mengeringkan penyakit-penyakit indrawi (mata dan penyakit kulit yang
berlemak.
4) Dengan
membebaskan usus dari proses pencernaan, maka akan memperkecil gas-gas beracun
dan asamnya makanan yang menyebabkan bisul-bisul pada kulit.
Berpuasa merupakan proses pengembangan
dan aktualisasi diri ke arah manusia bertakwa. Dengan berpuasa seseorang akan menjadi
sadar, yakin dan sabar melatih dirinya dalam menahan lapar dan haus, serta
menahan segala keinginan hawa nafsu dalam jangka waktu tertentu. Puasa yang
dilakukan dengan kesadaran, keimanan dan ketakwaan kepada Allah merupakan
benteng yang kokoh bagi pertahanan diri terhadap segala godaan hawa nafsu.
Puasa yang demikian akan mendorong manusia untuk bersikap ikhlas, jujur, benar,
dan mengendalikan diri dalam setiap amal yang dilakukannya. Puasa yang benar
akan memberikan ketenangan jiwa. Apabila orang sering melakukan puasa berarti
ia akan jauh dari sifat jahat, semakin terkendali dan kuatlah benteng
pertahanan dirinya. Dengan demikian, orang yang berpuasa dapat terhindar dari
penyebab gangguan kejiwaan dan tercegah dari penyakit jiwa (Sururin, 2004).
2.
Shalat Tahajud
Shalat secara etimologi berarti memohon (doa) dengan baik,
yaitu memohon keselamatan, kesejahteraan, dan kedamaian hidup di dunia dan di
akhirat kepada Allah SWT. Permohonan dalam shalat tidak sama dengan permohonan
di luar shalat, sebab di dalam shalat telah diatur dengan tata cara yang baku,
tidak boleh dikurangi ataupun ditambah. Sedangkan menurut istilah, shalat
adalah perbuatan yang diawali dengan takbir dan dikhiri dengan salam
(Kurniasih, 2008, p. 52)
Shalat adalah ibadah yang di dalamnya
terjadi hubungan ruhani antara makhluk dan penciptanya.
Shalat juga dipandang sebagai munajat yaitu berdoa dengan hati yang khusyuk
kepada Allah. Orang yang mengerjakan shalat dengan khusyuk, seakan-akan
berhadapan dan melakukan dialog dengan Allah. Suasana spritual seperti ini
dapat menolong manusia untuk mengungkapkan segala perasaan dan berbagai
permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, ia mendapatkan tempat untuk
mencurahkan segala yang ada dalam pikirannya. Dengan shalat yang khusyuk orang
akan mendapatkan ketenangan jiwa, karena merasa diri dekat dengan Allah dan
memperoleh ampunan-Nya (Sururin, 2004)
Shalat bagi kesehatan merupakan sebuah sistem pertahanan yang
sempurna bagi yang mengerjakannya dan juga merupakan pakaian orang-orang yang
beriman karena shalat adalah perintah langsung dari Sang Maha Pencipta dan
dikerjakan tanpa tendensi apapun yang semata-mata hanyalah sebuah perintah
dari-Nya (Kurniasih, 2008, p. 42)
Begitu pun dengan shalat Tahajud. Shalat Tahajud merupakan
shalat yang dikerjakan saat tengah malam. Rasulullah SAW bersabda “kerjakanlah
salat malam oleh kalian, karena ia adalah tradisi orang-orang salih sebelum
kalian, sebagai sarana yang dapat mendekatkan kalian kepada Rabb kalian,
menghapus berbagai keburukan, dan mencegah dari perbuatan dosa, serta mengusir
penyakit dari tubuh” (Albani, 2007, p. 46)
Albani (2007) mengungkapkan bahwa, terdapat 4 manfaat agung
dari salat tahajud, yaitu;
a. Mendekatkan kepada Allah
b. Menghapus berbagai keburukan
c. Mencegah dari perbuatan dosa
d. Mengusir penyakit dari tubuh
Satu aspek
yang akan dibahas, yakni manfaat tahajud untuk mengusir penyakit dari tubuh.
Hal ini selaras dengan sebuah hasil penelitian ilmiah, yang membuktikan bahwa
salat tahajud mampu membebaskan seseorang dari berbagai penyakit. Hal ini
karena orang yang melakukan salat tahajud memiliki kadar hormon kortisol yang rendah
yang dapat mengindikasikan seseorang memiliki ketahanan tubuh yang kuat dan
kemampuan individu yang tangguh, sehingga mampu menanggulangi masalah-masalah
sulit dengan lebih stabil (Albani, 2007, p. 25)
Menurut
Soleh (Dosen Fakultas Tarbiah IAIN Sunan Ampel Surabaya), salat tahajud yang
dilakukan dipenghujung malam yang sunyi, bisa mendatangkan ketenangan.
Sementara ketenangan itu sendiri terbukti mampu meningkatkan ketahanan tubuh
imunologik, mengurangi resiko terkena penyakit jantung dan meningkatkan usia
harapan hidup (Albani, 2007, p. 47-48)
Sebaliknya,
bentuk-bentuk tekanan mental seperti stress maupun depresi membuat seseorang
rentan terhadap berbagai penyakit, infeksi, mempercepat perkembangan sel
kanker, dan meningkatkan metastasis (penyebaran sel kanker). Tekanan mantal itu
sendiri terjadi akibat gangguan irama sirkadian (siklus bioritmik manusia) yang
ditandai dengan peningkatan hormone kortisol. Dan hormon kortisol ini biasa
dipakai sebagai tolok ukur untuk mengetahui kondisi seseorang, apakah jiwanya
sedang terserang stress, depresi atau tidak (Albani, 2007, p. 48)
Menurut
Soleh, salat tahajud mengandung aspek meditasi dan relaksasi sehingga dapat
digunakan sebagai coping mechanism
atau pereda stress yang akan meningkatkan ketahanan tubuh seseorang secara
natural. Namun pada saat yang sama, salat tahajud pun bisa mendatangkan stress,
terutama bila tidak dilaksanakan secara ikhlas dan kontinyu (Albani, 2007, p.
48)
Dengan
begitu, keikhlasan dalam menjalankan shalat Tahajud menjadi sangat penting.
Selama ini banyak kiai dan intelektual berpendapat bahwa ikhlas adalah
persoalan mental-psikis. Artinya hanya Allah SWT yang mengetahui, dan mustahil
dapat dibuktikan secara ilmiah. Namun setelah dilakukan penelitian, terbukti secara
medis bahwa ikhlas yang dipandang sebagai sesuatu yang misteri itu bisa
dibuktikan secara kuantitatif melalui indicator sekresi hormone kortisol.
Sholeh menegaskan,”keikhlasan dalam salat tahajud dapat dimonitor lewat irama
sirkadian, terutama pada sekresi hormon kortisolnya “(Albani, 2007, p. 48-49)
Sholeh
(2007), menyatakan bahwa jika ada seseorang yang merasakan sakit setelah
menjalankan shalat tahajud, kemungkinann besar hal tersebut berkaitan dengan
niat yang tidak ikhlas, sehingga gagal beradaptasi terhadap perubahan irama
sirkandian tersebut. Gangguan adaptasi itu tercermin pada sekresi kortisol
dalam serum darah yang seharusnya menurun pada malam hari. Peningkatan sekresi
kortisol akan mengakibatkan menurunnya produksi respon imunologik sehingga
berakibat munculnya berbagai macam gangguan kesehatan pada tubuh seseorang.
Niat yang tidak ikhlas, akan menimbulkan kekecewaan, persepsi negatif, dan rasa
tertekan. Perasaan negatif dan tertekan ini menjadikan seorang individu rentan
terhadap stress (Albani, 2007, p. 49)
Dalam
kondisi stres yang berkepanjangan yang ditandai dengan tingginya sekresi
kortisol, maka hormon kortisol itu akan bertindak sebagai imunosupresif yang
menekan poliferasi limfosit yang akan mengakibatkan imunoglobulin tidak
terinduksi. Sehingga akibat tidak terinduksinya imunoglobulin ini, maka sistem
daya tahan tubuh akan menurun sehingga rentan terkena kanker dan infeksi
(Albani, 2007, p. 49)
Sebaliknya,
shalat Tahajud yang dijalankan dengan tepat, kontinyu, dan ikhlas dapat
menimbulkan persepsi dan motivasi positif sehingga menumbuhkan coping mechanism yang efektif. Respon
emosional yang positif dari pengaruh shalat tahajud berjalan mengalir dalam
tubuh dan diterima oleh batang otak. Setelah diformat dengan bahsa otak,
kemudian ditrasmisikan ke salah satu bagian otak besar, yaitu Thalamus.
Kemudian, dari Thalamus respon ini ditransimisikan ke Hipokampus (pusat memori
yang vital untuk mengkoordinasikan segala hal yang diserap oleh panca indera)
untuk mensekresi GABA yang bertugas sebagai pengontrol emosi, dan menghambat
acetylcholine, serotonis, dan neurotransmiter yang lain yang memproduksi
sekresi kortisol. Selain itu, Talamus juga meneruskan respon ini ke prefrontal
kiri-kanan dengan mensekresi dopanin dan menghambat sekresi seretonin dan
norephinerin. Setelah terjadi kontak timbal balik antara
Thalamus-Hipokampus-Amigdala-Prefrontal kiri-kanan, maka selanjutnya Thalamus
mengirimkan respon ke Hipothalamus untuk mengendalikan sekresi kortisol
(Albani, 2007, p. 50)
3.
Sedekah
Terdapat dua keniscayaan mutlak milik Allah, yang sebenarnya
tidak mampu dipungkiri oleh semua makhluk. Manusia pun begitu lemah untuk
“menggugat” keniscayaan itu (Albani, 2007, p. 82)
Keniscayaan yang pertama adalah, bahwa Allah telah menurunkan
penyakit, dan Dia bersama dengan itu juga menurunkan obatnya. Allah akan
memberikan kesembuhan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Allah juga akan
meletakkan obat sebagai sarana kesembuhan itu di mana saja yang Dia kehendaki.
Mungkin saja obat itu ada di dalam pil-pil kimiawi, atau dalam jamu-jamu
tradisional, dan lain sebagainya. Termasuk juga dan sangat mungkin sekali jika
Allah berkehendak meletakkan obat bagi penyakit itu berada dalam amalan ibadah,
seperti sedekah (Albani, 2007, p. 82)
Kedua, ketika Allah mengehendaki sesuatu, Dia hanya berfirman
“jadilah”, maka akan terjadilah sesuatu itu. Ketika Allah menghendaki
kesembuhan itu melalui perantara sedekah, maka saat orang yang sakit itu
bersedekah, Allah pun langsung berfirman, “Sembuhlah”, dan orang yang sakit itu
pun menjadi sembuh (Albani, 2007, p. 82-83)
Albani (2007) dalam bukunya “Berobat dengan Sedekah”
menjelaskan bahwa, agar sedekah yang dikeluarkan bisa dengan segera
menyembuhkan penyakit yang di derita, dengan izin Allah, maka hendaknya secara
serius memperhatikan prinsip-prinsip penting di bawah ini. Hal ini semacam
menjadi “aturan main” dan rambu-rambu yang harus diperhatikan jika ingin
melakukan pengobatan dengan sedekah, beberapa prinsip tersebut antara lain
sebagai berikut:
a. Yakin dengan keampuhan sedekah
Langkah
awal yang harus dilakukan agar penyakit yang diderita bisa sembuh dengan
sedekah ialah dengan berprasangka baik kepada Allah, bahwa sakit yang dialami
merupakan ekspresi kasih sayang Allah, sehingga diharapkan dengan sakit itu
dosa-dosa akan berguguran dan Allah akan meninggikan derajat, jika mau
bersabar. Kemudian hendaklah yakin bahwa Allah akan menyembuhkan penyakit
tersebut, melaluo sedekah yang dikeluarkan. Keyakinan yang besar di dalam hati
tentang kekuatan sedekah dalam menyembuhkan penyakit merupakan faktor sangat
penting, yang harus dipatrikan di dalam lubuk hati. Oleh karena itu,
berprasangka baiklah kepada Allah dan yakinlah dengan dahsyatnya kekuatan
sedekah dalam menghilangkan penyakit yang bersarang di dalam tubuh (Albani,
2007, p. 84)
b.
Niatkan sedekah
untuk kesembuhan
Niatkan
sedekah yang dikeluarkan untuk kesembuhan penyakit yang diderita. Banyak orang
yang telah bersedekah di kala sakit, namun kesembuhan itu tidak didapat juga.
Kemungkinan besar, ia tidak meniatkan dengan sedekah itu, semoga Allah memberikan
kesembuhan kepadanya dengan segera (Albani, 2007, p. 84-85)
Maka dengan
hati yang yakin, bersedakahlah, baik dengan memberikan makanan kepada fakir
miskin, menanggung beban hidup anak yatim, menyumbang untuk pos-pos kebajikan,
bersedekah jariyah, dan lain sebagainya. Niatkan semua itu untuk kesembuhan
penyakit yang diderita, dan semoga Allah benar-benar segera menyembuhkan
(Albani, 2007, p. 85)
c. Over dosis, lebih mempercepat kesembuhan
Dalam
pengobatan medis, over dosis dalam meminum obat-obatan kimia merupakan sesuatu
yang dilarang dan sangat berbahaya, karena bisa menimbulkan kematian. Untuk itu
ditetapkanlah aturan minum yang harus ditaati pasien (Albani, 2007, p. 85)
Namun, over
dosis dalam pengobatan ilahiyah dengan sedekah, yakni dengan sebanyak-banyaknya
mengeluarkan sedekah yang dimiliki, kalau itu dilandasi keikhlasan, maka hal
ini akan berdampak baik dan sangat berguna untuk mempercepat kesembuhan
(Albani, 2007, p. 85-86)
d.
Sedekahkanlah
yang terbaik
Agar
sedekah lebih berkah dan harapan untuk sembuh segera diijabah oleh Allah, maka
dianjurkan untuk bersedekah dengan harta atau barang yang paling baik. Sesuai
dengan firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah:267, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah
(di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan untuk sebagian
dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih
yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya. Padahal kamu sendiri tidak
mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Ada yang berpendapat yang dimaksud thayyib (yang baik-baik) dalam hal ini
adalah harta benda yang halal. Karena Allah tidak akan menerima sedekah yang
diambil dari harta yang haram. Disamping itu, dalam konteks ini, sedekah yang
diperintahkan adalah dengan harta benda yang baik dari segi kualitasnya. Baik
dari segi kualitasnya diartikan bahwa harta atau benda tersebut masih
dibutuhkan atau dicintai oleh si pemberi sedekah itu sendiri. Hal ini mungkin
agak berat untuk dilakukan. Namun, bersedekah dengan harta yang seperti inilah
yang nanti akan lebih baik dan diterima Allah, dan dengan izin Allah pula, bisa
menyembuhkan penyakit yang dialami (Albani, 2007, p. 88)
e.
Bersedekahlah yang
banyak
Dalam
kisah-kisah seputar penyembuhan penyakit dengan sedekah, dapat dilihat bahwa
anjuran bersedekah bagi orang yang sedang dirundung sakit, haruslah yang
sebanding dengan dengan kekayaan yang dimiliki (Albani, 2007, p. 89)
f. Ikhlaskan Hati
Meniatkan
sedekah untuk kesembuhan InsyaAllah tidak akan meniadakan eksistensi keikhlasan
yang murni karena Allah SWT. Sebuah amalan yang dilandasi keikhlasan yang besar
dan sempurna, tentu juga akan mendapatkan balasan yang besar dan sempurna pula.
Kita masih ingat dengan hadist yang memaparkan tentang adanya 7 golongan yang
dijamin selamat dan dilindungi oleh Allah di hari yang tidak ada perlindungan
selain perlindunganNya. Dan rasulullah SAW menyebutkan salah satunya yang
artinya :
“…Dan seseorang yang mengeluarkan sedekah
kemudian menyembunyikannya, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang
telah diinfakkan oleh tangan kanannya….”(H.R Bukhari dan Muslim).
Menurut
Albani (2007), secara lahiriah ada beberapa penyakit yang sering menjangkiti
sedekah, sehingga menyebabkan sedekah kita mati dan mandul, tak mampu
menghasilkan pahala dan kebaikan, apalagi manfaat penyembuhan terhadap berbagai
penyakit. Ada 4 hal yang harus diwaspadai agar sedekah kita menjadi barokah,
yaitu:
1) Al-mann (suka menyebut-nyebut pemberian)
2) Al-adza (menyakiti perasaan si penerima sedekah, baik
dengan ucapan maupun tindakan)
3) Ria’annas (berbuat riya alias pamer dengan sedekah
yang dikeluarkan)
4) La yu’min billah wal yaumil akhir (tidak dilandasi
keimanan kepada Allah dan hari akhir)
g.
Tepat sasaran
Pahala dan khasiat sedekah memang sangat
terkait dengan factor kemanfaatan dari sedekah yang dikeluarkan bagi
penerimanya. Tentu sangat berbeda sekali, antara kita bersedekah kepada orang
miskin yang masih bisa makan tiga kali sehari walaupun dengan kekuatan makanan
yang pas-pasan, dengan bersedekah kepada orang yang sangat miskin yang
terkadang hanya mampu makan sekali dalam sehari, karena terhimpit masalah
ekonomi ynag sangat pelik (Albani, 2007, p. 93)
Sebagaimana firman Allah yang artinya : “Atau
kepada orang miskin yang sangat fakir” (QS. Al-Balad 90:16)
Jadi menurut ayat diatas ada karakteristik
khusus orang-orang yang layak dijadikan sasaran sedekah dalam perpektif yang
ideal, agar sedekah dikeluarkan bisa menjadi lading pahala yang berlimpah dan
bisa menjadi obat mujarab bagi penyakit yang diderita, yakni mereka orang-orang
mu’minun taqiyyun yang miskinan dza matrabah (orang mukmin dan bertakwa yang
miskin dan sangat fakir) (Albani, 2007, p. 94)
h.
Jangan Sekedar
Mencoba
Prinsip lainnya agar penyakit yang
diderita dapat sembuh dengan ibadah sedekah ialah dengan meyakini sepenuh hati bahwa
Allah akan menyembuhkan penyakit yang diderita melalui sedekah yang
dikeluarkan. Allahlah penggenggam keburukan dan kebaikan, Dzat yang berkuasa
menentukan seseorang itu sehat atau sakit. Tidak ada sesuatu yang mustahil
bagiNya. Apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berfirman, “Jadilah” , maka
terjadilah sesuatu itu. Menyembuhkan penyakit dengan sedekah, separah apapun
penyakitnya, adalah sesuatu yang mudah sekali bagi Allah. Allah cukup
berfirman, “Sembuhlah” , maka kita pun benar-benar sembuh. Subhanallah. (Albani, 2007, p. 95)
Oleh karena itu, perbaikilah persangkaan kepada Allah.
Bersedekahlah dengan dilandasi keyakinan yang tinggi. Jangan hanya sekedar
coba-coba, siapa tahu nanti sembuh. Bersedekahlah dengan mantap dan optimis.
Allahlah Sang Penyembuh segala penyakit yang ada di dunia ini (Albani, 2007, p.
95)
i.
Ulangi Sedekah
Tersebut
Apabila belum melihat hasil yang memuaskan
setelah bersedekah, dan penyakityang diderita tidak juga kunjung sembuh, (ini
mungkin bisa terjadi, walaupun sangat jarang sekali), hendaklah sedekah itu diulangi
sekali lagi, mengulang dan terus mengulang untuk mengeluarkan sedekah, serta
jangan sampai putus asa. Tetaplah yakin bahwa sedekah yang telah dikeluarkan
sama sekali tidak akan menjadi sia-sia, namun ia tetap akan terpelihara di sisi
Allah yang tak pernah melupakan kebaikan hamba-Nya (Albani, 2007, p. 96)
Jika sedekah telah diulang-ulang, namun tidak
sembuh juga, ketahuilah bahwa hal itu mengisyaratkan kasih saying Ilahi dan
hikmah Rabbani belum sempurna tercurah. Terkadang Allah tidak akan menyembuhkan
penyakit hingga orang itu mau bersedekah, namun Dia tetap mengasihi hambaNya
yang gemar bersedekah walaupun Dia belum memberikan kesembuhan kepadanya hingga
ia terbebaskan dari dosa-dosa yang mengeram pada dirinya (Albani, 2007, p. 96)
j.
Bersyukurlah
jika telah sembuh
Apabila
Allah SWT telah menyembuhkan penyakit yang diderita, serta menggantikan kesusahan
dengan kebahagiaan, maka hadapkan wajah kepadaNya dan bersyukur. Memperbanyak
mengucapkan lafazh “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin’, karena orang yang
senantiasa bersyukur kepada Allah dijanjikan akan diberi tambahan nikmat yang
lain kepadanya. Allah SWT bwrfirman yang artinya:
“Dan
ingatlah juga, tatkala rabbmu memaklumkan, Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-KU,
maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim 14:7).
Itulah
prinsip-prinsip vital yang harus diperhatikan bagi orang yang ingin melakukan
pengobatan dengan sedekah. Semoga Allah SWT senantiasa menyembuhkan seluruh
orang yang sakit dengan kesembuhan yang sempurna dan tak pernah kambuh. Dan
agar Dia menjadikan musibah yang menimpanya sebagai penghapus segala
kesalahannya, pengankat derajatnya, dan menjadi tirai yang menghalanginya dari
panasnya api neraka (Albani, 2007, p. 98-99)
C. Asuhan Keperawatan pada
Keluarga Klien yang Menjelang Kematian
1.
Pengkajian
Untuk mendapatkan data dasar lengkap
yang memungkinkan analisis akurat dan identifikasi diagnosis keperawatan yang
tepat untuk klien menjelang ajal dan keluarga mereka, perawat pertama kali
perlu mengetahui status pemahaman yang ditunjukkan oleh klien dan anggota
keluarga, yaitu tidak memiliki pemahaman, keadaan saling berpura-pura dan
pemahaman terbuka (Kozier, 2010, p. 570).
Pada saling berpura-pura, klien, keluarga, dan personel kesehatan tahu
bahwa prognosis menunjukkan penyakit terminal tetapi tidak membicarakannya dan
berusaha untuk tidak memunculkan subjek tersebut. Pada pemahaman terbuka, klien dan orang di sekitarnya mengetahui tentang
kematian yang akan datang dan merasa nyaman mendiskusikannya, walaupun terasa
sulit. Sedangkan tidak
memiliki pemahaman, klien tidak menyadari kematian yang akan datang.
Keluarga mungkin tidak sepenuhnya memahami mengapa klien sakit dan mereka
percaya bahwa klien akan pulih. Dokter meyakini bahwa hal terbaik adalah tidak
mengomunikasikan diagnosis atau prognosis kepada klien. Personel keperawatan
dihadapkan dengan masalah etik dalam situasi ini. (Kozier, 2010, p. 570).
Beberapa pertanyaan yang
dapat ditanyakan pada saat wawancara pengkajian pada keluarga atau orang
terdekat klien yang menjelang ajal antara lain:
1.
Pernahkan Anda
dekat dengan seseorang yang sebelumnya menjelang ajal?
2.
Apa yang pernah
dikatakan kepada Anda mengenai seseuatu yang mungkin terjadi apabila terjadi
kematian?
3.
Apakah Anda
mempunyai pertanyaan mengenai apa yang mungkin terjadi di saat kematian?
4.
Menurut Anda
bagaimana Anda akan mengatakan selamat tinggal?
5.
Bagaimana Anda
merawat diri sendiri selama masa ini?
6.
Kepada siapa
Anda meminta bantuan dalam masa ini?
7.
Apakah ada orang
yang ingin Anda hubungi melalui saya saat ini atau saat kematian terjadi?
Saat kematian mendekat, perawat membantu
keluarga dan orang terdekat lain untuk mempersiapkan diri. Bergantung sebagian
pada pengetahuan mengenai status pemahaman seseorang, perawat memberi
pertanyaan yang membantu mengidentifikasi cara-cara untuk menyediakan dukungan
selama periode sebelum dan sesudah kematian. Terutama, perawat perlu mengetahui
apa yang keluarga harapkan akan terjadi saat seseorang meninggal sehingga
informasi akurat dapat diberikan dengan kedalaman yang tepat. Saat anggota
keluarga mengetahui apa yang diharapkan mereka mungkin mampu mendukung orang
yang menjelang ajal dan orang lain yang berduka. Selain itu, mereka mungkin
mampu membuat keputusan
tertentu mengenai kejadian disekitar kematian seperti apakah mereka ingin
melihat jenazah klien atau tidak
(Kozier, 2010).
2.
Diagnosa
Salah satu diagnosa yang dapat ditegakkan adalah “perubahan
proses keluarga yang berhubungan dengan dampak penyakit kritis anggota keluarga
pada sistem keluarga.”
3.
Intervensi
Menurut Hudak (1997), tujuan atau kriteria hasil yang
diharapkan dari intervensi yang akan diberikan kepada keluarga klien yang
menjelang ajal antara lain adalah:
a. Anggota keluarga akan mengatakan perasaan mereka
kepada perawat
b. Anggota keluarga akan berpartisipasi dalam perawatan
anggota keluarga yang sakit.
c. Anggota keluarga akan membantu mengembalikan anggota
keluarga yang yang sakit dari peran sakit ke peran sehat
d. Anggota keluarga akan mempertahankan fungsi sistem
dukungan yang menguntungkan bagi semua
e. Anggota keluarga akan mencari sumber dukungan yang
tepat bila dibutuhkan.
Selain itu, Hudak (2007) juga menjelaskan beberapa intervensi
keperawatan yang juga dirancang untuk membantu keluarga agar:
a. Mencapai tingkat adaptasi yang lebih tinggi dengan
belajar dari pengalaman krisis
b. Mendapatkan kembali keadaan seimbang
c. Mengalami perasaan terkait dalam krisis untuk
menghindari keterlambatan depresi dan memungkinkan pertumbuhan emosi yang akan
datang.
Intervensi yang dapat diberikan kepada keluarga yaitu:
a.
Kaji kemampuan
keluarga untuk memenuhi atau mencapai kriteria hasil
b.
Bantu keluarga
untuk mengungkapkan perasaannya dengan menanyakannya dan menunjukkan minat dan
perhatian, serta evaluasi diskusi sebelumnya.
c.
Berikan
kesempatan bagi anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan. Dorong
anggota keluarga untuk menyentuh dan berbicara pada pasien ketika sadar maupun
tidak sadar
d.
Bantu keluarga
dalam mengidentifikasikan perubahan dalam pelaksanaan peran
e.
Bantu anggota
keluarga dalam mengijinkan pasien untuk berfungsi dalam modifikasi peran sesuai
kebutuhan
f.
Bantu keluarga
dalam mencari hiburan dan rekreasi selama masa kritis
g.
Yakinkan
keluarga bahwa mereka boleh menghubungi unit atau perawat akan menghubungi
mereka bila sesuatu berubah menjadi buruk
h.
Minta anggota
keluarga mengindentifikasikan pola khusus mereka untuk mengatasi stress. Dorong
mereka untuk menghubungi sumber lama dan merujuknya ke sumber yang baru,
contohnya perawat psikososial, pekerja sosial dan kiai.
i.
Bantu anggota
keluarga mengidentifikasikan rasional prioritas, contohnya mendapatkan pengasuh
atau transportasi.
4.
Evaluasi
Setelah memberikan intervensi pada keluarga klien yang
menjelang ajal, dapat dilakukan evaluasi berdasarkan kriteria hasil yang
diharapkan. Hal-hal yang dapat dievaluasi antara lain adalah:
a. Anggota keluarga akan mengatakan perasaan mereka
kepada perawat
b. Anggota keluarga akan berpartisipasi dalam perawatan
anggota keluarga yang sakit.
c. Anggota keluarga akan membantu mengembalikan anggota
keluarga yang yang sakit dari peran sakit ke peran sehat
d. Anggota keluarga akan mempertahankan fungsi sistem
dukungan yang menguntungkan bagi semua
e. Anggota keluarga akan mencari sumber dukungan yang
tepat bila dibutuhkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Albani, M.
(2007). Berobat dengan sedekah. Jawa
Tengah: Insan Kamil
Djayadi, M. T. (2007). Puasa sebagai terapi. Bandung: PT. Mizania Pustaka
Hudak, C. M.
(1997). Keperawatan kritis: pendekatan
holistik. Jakarta: EGC
Kurniasih, I.
(2008). Indahnya Tahajud, keutamaan,
manfaat dan keistimewaan shalat malam. Yogyakarta: Mutiara Media
O ‘Brien, M.E (2010). Spirituality in Nursing. Toronto: Jones
and Bartlett.
Potter, A. P & Perry, A. G.
(2005). Fundamental keperawatan: konsep,
proses, dan praktik. Ed. 4. Vol. 1. (Renata Komalasari, penerjemah).
Jakarta: EGC
Sururin.
(2004). Ilmu Jiwa Agama. Ed.1.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Wirakusumah, E.
P. (2010). Sehat cara Alqur1an dan Hadis.
Jakarta: PT. Mizan Publika
No comments:
Post a Comment
Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat