Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gigitan Ular
Berbisa
1. Pengertian
Luka gigit dapat disebabkan oleh hewan liar, hewan piara, atau manusia.
Hewan liar yang biasanya menggigit
adalah hewan yang memang ganas dan pemakan daging. Hewan piaraan jinak
menggigit kalau disakiti atau diganggu. Bila hewan menggigit tanpa alasan
jelas, harus dicurigai kemungkinan hewan tersebut menderita penyakit yang
mungkin menular melalui gigitannya.
Gigitan ular berbahaya bila ularnya tergolong jenis berbisa. Bisa ular terdiri atas bermacam
polipetida, yaitu fosfolipase-A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin
esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, dan DNA-ase. Enzim ini dapat
menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf,
menyebabkan hemolisis, atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi
anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan
penyebaran racun. Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan
yang luas dan hemolisis.
Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular
berbisa. Racun binatang adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang
berbeda yang dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada
manusia. Sebagian kecil racun bersifat spesifik terhadap suatu organ, beberapa
mempunyai efek pada hampir setiap organ. Kadang-kadang pasien dapat membebaskan
beberapa zat farmakologis yang dapat meningkatkan keparahan racun yang
bersangkutan. Komposisi racun tergantung dari bagaimana binatang menggunakan
toksinnya. Racun mulut bersifat ofensif yang bertujuan melumpuhkan mangsanya,
sering kali mengandung faktor letal. Racun ekor bersifat defensive dan
bertujuan mengusir predator, racun bersifat kurang toksik dan merusak lebih sedikit
jaringan.
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi
untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan
diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh
kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi
kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di
belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal,
tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas
enzimatik.
2. Jenis-Jenis Ular Berbisa
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang
berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular
dapat diklasifikasikan ke dalam 4 famili utama:
a. Famili elapidae
misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, dan ular cabai.
b. Famili crotalidae/viperidae
misalnya ular tanah, ular hijau, dan ular bandotan puspo.
c. Famili hydrophidae
misalnya ular laut.
d. Famili colubridae
misalnya ular pohon.
Tabel. 2.1 Ciri-ciri ular berbisa dan
ular tak berbisa
No.
|
Ular tak berbisa
|
Ular berbisa
|
|
1
|
Bentuk kepala
|
Segiempat panjang
|
Segitiga
|
2
|
Gigi taring
|
Gigi kecil
|
Dua gigi taring besar di rahang
atas
|
3
|
Bekas gigitan
|
Luka halus di sepanjang lengkungan
bekas gigitan
|
Dua luka gigitan utama akibat gigi
taring yang berbisa
|
3. Etiologi
Etiologi gigitan ular adalah karena gigitan ular yang berbisa. Daya toksik
bisa ular yang telah diketahui ada 2 macam:
a.
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematotoksik)
yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah
dengan jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga
sel darah menjadi hancur dan larut dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah.
b.
Bisa ular yang bersifat saraf (neurotoksik)
yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf
sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati
dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam
(nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf
pusat, seperti saraf pernapasan dan jantung. Penyebaran bisa ular ke seluruh
tubuh ialah melalui pembuluh limfe.
4. Patofisiologi
Bisa ular
yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksin. Toksik tersebut menyebar
melalui peredaran darah yang dapat mengganggu berbagai system. Seperti, sistem
neurogist, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan. Pada gangguan sistem
neurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf yang berhubungan dengan sistem
pernapasan yang dapat mengakibatkan oedem pada saluran pernapasan, sehingga
menimbulkan kesulitan untuk bernapas. Pada sistem
kardiovaskuler, toksik mengganggu kerja pembuluh darah yang dapat mengakibatkan
hipotensi. Sedangkan pada sistem pernapasan dapat mengakibatkan syok
hipovolemik dan terjadi koagulopati hebat yang dapat mengakibatkan gagal napas.
5. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang menonjol pada orang yang terkena gigitan ular
berbisa adalah berupa nyeri hebat yang tidak sebanding dengan besar luka, udem,
eritem, petekia, ekimosis, bula, nekrosis jaringan, perdarahan di peritoneum
atau perikardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada
otot jantung.
Ular berbisa yang jenis cobra dan welang bisanya bersifat neurotoksik.
Tanda dan gejala yang timbul akibat bisa jenis ini adalah rasa kesemutan,
lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks
abnormal, dan sesak nafas sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan
otot pernapasan. Kobra dapat menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai mata
dapat menyebabkan kebutaan sementara.
Tanda umum ular berbisa adalah kepalanya berbentuk segitiga, kulitnya
bercorak. Dari bekas gigitan dapat dilihat dua lubang yang jelas akibat dua
gigi taring atas bila ularnya berbisa, dan deretan bekas gigi kecil-kecil
berbentuk U bila ularnya tidak berbisa.
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau
luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut
(Dreisbach, 1987 dalam Djoni Djuneidi, 2009):
a.
Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan,
ekimosis (dalam 30 menit – 24 jam)
b.
Gejala sistemik: hipotensi, kelemahan otot,
berkeringat, menggigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan
pandangan kabur.
c.
Gejala khusus gigitan ular berbisa:
1)
Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru,
jantung, ginjal, peritonium, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan
kulit, hemoptoe, hematuria, koagulasi intavaskular diseminata (KID).
2)
Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis
pernapsan, ptosis, oftalmoplegi, paralisis otot laring, refleks abnormal,
kejang dan koma.
3)
Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma.
4)
Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda-tanda
5P (pain, pallor, paresthesia, paralysis, pulselesness).
Tabel. 7.1 Derajat venerasi gigitan
ular
Derajat
|
Venerasi
|
Luka gigit
|
Nyeri
|
Udem/eritema
|
Tanda sistemik
|
0
|
0
|
+
|
+/-
|
< 3 cm/ 12 jam
|
0
|
I
|
+/-
|
+
|
+
|
3-12 cm/ 12 jam
|
0
|
II
|
+
|
+
|
+++
|
> 12-25 cm/ 12 jam
|
+
Neurotoksik, mual,
pusing, syok
|
III
|
+
|
+
|
+++
|
> 25 cm/ 12 jam
|
++
Syok, petekia, ekimosis
|
IV
|
+++
|
+
|
+++
|
> ekstremitas
|
++
Gangguan faal ginjal,
koma, perdarahan
|
(sumber: Harrison. (2013).
Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam)
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah: Hb,
leukosit, trombosit, kreatinin, BUN, elektrolit, waktu perdarahan, waktu
pembekuan, waktu protrombin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faal hepar,
golongan darah dan uji cocok silang.
b. Pemeriksaan urin:
hematuria, glikosuria, proteinuria
c. EKG
d. Foto dada
7. Penatalaksanaan
Tindakan yang dapat dilakukan adalah buang bisa sebanyak mungkin dengan
menoreh lubang bekas masuknya taring ular sepanjang dan sedalam ½ cm, kemudian
lakukan pengisapan mekanis. Bila tidak tersedia alatnya, darah dapat diisap
dengan mulut dengan syarat mukosa mulut penolong dalam keadaan baik, tidak
terdapat luka. Bisa yang tertelan akan dinetralkan oleh cairan pencernaan.
Dapat juga dilakukan eksisi jaringan berbentuk elips untuk membuang jaringan di
sekitar dua lubang tusukan taring ular dengan jarak 2½ cm dari lubang gigitan
sampai kedalaman fasia otot. Daerah itu mengandung timbunan bisa ular.
Tindakan menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang turniket
beberapa sentimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang
telah terlihat, dengan tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena, tetapi
lebih rendah dari tekanan arteri. Tekanan dipertahankan selama 2 jam. Penderita
diistirahatkan supaya aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada
pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam air es atau didinginkan
dengan es.
Untuk menetralisirkan bisa ular dilakukan penyuntikan serum antibisa ular
intravena atau intraarteri yang mendarahi daerah yang bersangkutan. Serum
polivalen ini dibuat dari darah kuda yang disuntik dengan sedikit racun ular
yang hidup di daerah setempat. Dalam keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji
sensitivitas lebih dahulu karena bahaya bisa lebih besar daripada bahaya syok
anafilaksis. Pengobatan suportif terdiri atas infus NaCl, plasma, atau darah,
dan pemberian vasopresor untuk menanggulangi syok.
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan, lakukan intubasi, kemudian pasang
respirator untuk ventilasi. Beri antibiotik spektrum luas dan vaksinasi
tetanus. Bila terjadi pembengkakan hebat lakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom
kompartemen. Lakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan
bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, dilanjutkan dengan cangkok
kulit. Gigitan ular tidak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali
pencegahan infeksi.
a.
Prinsip penanganan pada korban
gigitan ular:
1)
Menghalangi penyerapan dan
penyebaran bisa ular.
2)
Menetralkan bisa.
3)
Mengobati komplikasi
b.
Pertolongan pertama : Pertolongan
pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi segera cari
pertolongan medis jangan tinggalkan korban. Selanjutnya lakukan prinsip RIGT,
yaitu:
-
R: Reassure: Yakinkan kondisi
korban, tenangkan dan istirahatkan korban, kepanikan akan menaikan tekanan
darah dan nadi sehingga racun akan lebih cepat menyebar ke tubuh. Terkadang pasien
pingsan/panik karena kaget.
-
I: Immobilisation: Jangan
menggerakan korban, perintahkan korban untuk tidak berjalan atau lari. Jika
dalam waktu 30 menit pertolongan medis tidak datang, lakukan tehnik balut tekan
(pressure-immoblisation) pada daerah sekitar gigitan (tangan atau kaki) lihat
prosedur pressure immobilization (balut tekan).
-
G: Get: Bawa korban ke rumah sakit
sesegera dan seaman mungkin.
-
T: Tell the Doctor:
Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul ada korban.
c.
Prosedur Pressure Immobilization
(balut tekan):
1)
Balut tekan pada kaki:
a)
Istirahatkan (immobilisasikan)
Korban.
b)
Keringkan sekitar luka gigitan.
c)
Gunakan pembalut elastis.
d)
Jaga luka lebih rendah dari jantung.
e)
Sesegera mungkin, lakukan pembalutan
dari bawah pangkal jari kaki naik ke atas.
f)
Biarkan jari kaki jangan dibalut.
g)
Jangan melepas celana atau baju
korban.
h)
Balut dengan cara melingkar cukup
kencang namun jangan sampai menghambat aliran darah (dapat dilihat dengan warna
jari kaki yang tetap pink).
i)
Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki.
2)
Balut tekan pada tangan:
a)
Balut dari telapak tangan naik
keatas. ( jari tangan tidak dibalut).
b)
Balut siku & lengan dengan posisi
ditekuk 90 derajat.
c)
Lanjutkan balutan ke lengan sampai
pangkal lengan.
d)
Pasang papan sebagai fiksasi.
e)
Gunakan mitela untuk menggendong
tangan.
8.
Proses Keperawatan
a.
Pengkajian
1)
Primary
survey
a)
Nilai
tingkat kesadaran
b)
Lakukan
penilaian ABC :
A – airway : kaji apakah ada
muntah, perdarahan
B – breathing : kaji kemampuan
bernafas akibat kelumpuhan otot-otot pernafasan
C – circulation : nilai denyut
nadi dan perdarahan pada bekas patukan, hematuria,
hematemesis/hemoptisis
c)
Intervensi
primer
(1)
Bebaskan
jalan nafas bila ada sumbatan, suction kalau perlu.
(2)
Beri
O2, bila perlu Intubasi.
(3)
Kontrol
perdarahan, ikat dengan pita lebar untuk mencegah aliran getah bening (Pita
dilepaskan bila anti bisa telah diberikan). Bila tidak ada anti bisa,
transportasi secepatnya ke tempat diberikannya anti bisa.
(4)
Catatan
: tidak dianjurkan memasang tourniquet untuk arteriel dan insisi luka.
(5)
Pasang
infus.
2)
Secondary
survey dan penanganan lanjutan:
a)
Penting
menentukan diagnosa patukan ular berbisa.
b)
Bila
ragu, observasi 24 jam. Kalau gejala keracunan bisa nyata, perlu pemberian anti
bisa.
c)
Kolaborasi
pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri atas protein,
maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat dibuat dari serum kuda. Di
Indonesia, antibisa bersifat polivalen, yang mengandung antibodi terhadap
beberapa bisa ular. Serum antibisa ini hanya diindikasikan bila terdapat
kerusakan jaringan lokal yang luas.
d)
Bila
alergi serum kuda, berikan Adrenalin 0,5
mg/SC atau ABU
IV pelan-pelan.
e)
Bila terdapat tanda-tanda
laringospasme, bronchospasme, urtikaria hypotensi, berikan adrenalin
0,5 mg/IM, hydrokortison
100 mg/IV.
f)
Antibisa
diulang pemberiannya bila gejala-gejala tak menghilang atau berkurang. Jangan
terlambat dalam pemberian ABU, karena manfaat akan berkurang.
g)
Kaji
tingkat
kesadaran. Nilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
h)
Ukur
tanda-tanda vital
b.
Diagnosa
keperawatan
1)
Pola
napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi
endotoksin
2)
Hipertermia
berhubungan dengan efek langsung endotoksin pada hipotalamus
3)
Resiko
tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh tak adekuat
4)
Ansietas
berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah sakit/prosedur isolasi,
mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau kecacatan.
c.
Intervensi
keperawatan
Dx 1: Pola napas tidak efektif berhubungan dengan
reaksi endotoksin
Intervensi
:
1)
Auskultasi
bunyi nafas
Rasional:
Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan indikator dari
kongesti pulmonal/edema interstisial, atelektasis.
2)
Pantau
frekuensi pernapasan
Rasional:
Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres, dan sirkulasi
endotoksin.
3)
Atur
posisi klien dengan nyaman dan atur posisi kepala lebih tinggi.
4)
Motivasi
/ Bantu klien latihan nafas dalam.
5)
Observasi
warna kulit dan adanya sianosis.
6)
Kaji
adanya distensi abdomen dan spasme otot.
7)
Batasi
pengunjung klien.
8)
Pantau
seri GDA.
9)
Bantu
pengobatan pernapasan (fisioterapi dada).
10)
Beri
O2 sesuai indikasi (menggunakan ventilator).
Dx 2: Hipertermia berhubungan dengan efek langsung endotoksin pada
hipotalamus
Intervensi :
1)
Pantau
suhu klien, perhatikan menggigil atau diaforesis.
Rasional:
Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksi akut.
2)
Pantau
suhu lingkungan, batasi linen tempat tidur.
Rasional:
Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati
normal.
3)
Beri
kompres mandi hangat.
Rasional:
Dapat membantu mengurangi demam, karena alkohol dapat membuat kulit kering.
4)
Beri
antipiretik.
Rasional:
Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.
5)
Berikan
selimut pendingin.
Rasional:
Digunakan untuk mengurangi demam.
Dx 3: Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh
tak adekuat
Intervensi :
1)
Berikan
isolasi atau pantau pengunjung sesuai indikasi.
2)
Cuci
tangan sebelum dan sesudah aktivitas terhadap klien.
3)
Ubah
posisi klien sesering mungkim minimal 2 jam sekali.
4)
Batasi
penggunaan alat atau prosedur infasive jika memungkinkan.
5)
Lakukan
insfeksi terhadap luka alat infasif setiap hari.
6)
Lakukan
tehnik steril pada waktu penggantian balutan.
7)
Gunakan
sarung tangan pada waktu merawat luka yang terbuaka atau
antisipasi dari kontak langsung dengan ekskresi atau sekresi.
8)
Pantau
kecenderungan suhu mengigil dan diaforesis.
9)
Inspeksi
flak putih atau sariawan pada mulut.
10)
Berikan
obat antiinfeksi (antibiotik).
Dx 4: Ansietas
berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah sakit/prosedur isolasi,
mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau kecacatan.
Intervensi:
1)
Berikan
penjelasan dengan sering dan informasi tentang prosedur perawatan.
Rasional:
Pengetahuan apa yang diharapkan menurunkan ketakutan dan ansietas, memperjelas
kesalahan konsep dan meningkatkan kerja sama.
2)
Tunjukkan
keinginan untuk mendengar dan berbicara pada pasien bila prosedur bebas dari
nyeri.
Rasional:
Membantu pasien/orang terdekat untuk mengetahui bahwa dukungan tersedia dan
bahwa pembrian asuhan tertarik pada orang tersebut tidak hanya merawat luka.
3)
Kaji
status mental, termasuk suasana hati/afek.
Rasional:
Pada awal, pasien dapat menggunakan penyangkalan dan represi untuk menurunkan
dan menyaring informasi keseluruhan. Beberapa pasien menunjukkan tenang dan
status mental waspada, menunjukkan disosiasi kenyataan, yang juga merupakan
mekanisme perlindungan.
4)
Dorong
pasien untuk bicara tentang luka setiap hari.
Rasional:
Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus menerus untuk membuat beberapa
rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.
5)
Jelaskan
pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan berikan
jawaban terbuka/jujur.
Rasional:
Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat membantu
pasien/orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima apa yang terjadi.
d.
Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan
cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan
tercapai atau tidak. Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak
kesalahannya, dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa yang ditemukan, serta
apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.
1)
Menunjukan
GDA dan frekuensi dalam batas normal dengan bunyi nafas vesikuler.
2)
Tidak
mengalami dispnea atau sianosis.
3)
Mendemontrasikan
suhu dalam batas normal.
4)
Tidak
mengalami komplikasi yang berhubungan.
5)
Tidak
menunjukkan tanda-tanda infeksi
Daftar Pustaka
NANDA. (2005). Panduan
diagnosa NANDA: definisi dan klasifikasi. Jakarta: EGC
Smeltzer & Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah, ed. 8. Jakarta: EGC.
Sudoyo, A. W. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid 3, ed.
6. Jakarta: EGC.
Sentra Informasi Keracunan Nasional
(SIK Nas) Badan POM diakses melalui www.pom.go.id tanggal 13 Oktober 2014.
Yanuartono. (2008). Efek samping pemberian serum
anti bisa ular pada kasus gigitan ular. J. Sain Vet. Vol. 26, No. 1. diakses
melalui journal.ugm.ac.id/index.php/jsv/article/view tanggal 9 November 2014.
No comments:
Post a Comment
Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat