google adsense

Thursday, August 3, 2017

GIGITAN ULAR BERBISA (SNAKE BIT)

Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gigitan Ular Berbisa
1.      Pengertian
Luka gigit dapat disebabkan oleh hewan liar, hewan piara, atau manusia. Hewan liar yang biasanya menggigit  adalah hewan yang memang ganas dan pemakan daging. Hewan piaraan jinak menggigit kalau disakiti atau diganggu. Bila hewan menggigit tanpa alasan jelas, harus dicurigai kemungkinan hewan tersebut menderita penyakit yang mungkin menular melalui gigitannya.
Gigitan ular berbahaya bila ularnya tergolong jenis berbisa. Bisa ular terdiri atas bermacam polipetida, yaitu fosfolipase-A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, dan DNA-ase. Enzim ini dapat menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis, atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun. Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan hemolisis.
Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Racun binatang adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada manusia. Sebagian kecil racun bersifat spesifik terhadap suatu organ, beberapa mempunyai efek pada hampir setiap organ. Kadang-kadang pasien dapat membebaskan beberapa zat farmakologis yang dapat meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan. Komposisi racun tergantung dari bagaimana binatang menggunakan toksinnya. Racun mulut bersifat ofensif yang bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering kali mengandung faktor letal. Racun ekor bersifat defensive dan bertujuan mengusir predator, racun bersifat kurang toksik dan merusak lebih sedikit jaringan.
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.

2.      Jenis-Jenis Ular Berbisa
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 famili utama:
a.       Famili elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, dan ular cabai.
b.      Famili crotalidae/viperidae misalnya ular tanah, ular hijau, dan ular bandotan puspo.
c.       Famili hydrophidae misalnya ular laut.
d.      Famili colubridae misalnya ular pohon.
Tabel. 2.1 Ciri-ciri ular berbisa dan ular tak berbisa
No.

Ular tak berbisa
Ular berbisa
1
Bentuk kepala
Segiempat panjang
Segitiga
2
Gigi taring
Gigi kecil
Dua gigi taring besar di rahang atas
3
Bekas gigitan
Luka halus di sepanjang lengkungan bekas gigitan
Dua luka gigitan utama akibat gigi taring yang berbisa

3.      Etiologi
Etiologi gigitan ular adalah karena gigitan ular yang berbisa. Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada 2 macam:
a.       Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematotoksik) yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan larut dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah.
b.      Bisa ular yang bersifat saraf (neurotoksik) yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat, seperti saraf pernapasan dan jantung. Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh ialah melalui pembuluh limfe.

4.      Patofisiologi
Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksin. Toksik tersebut menyebar melalui peredaran darah yang dapat mengganggu berbagai system. Seperti, sistem neurogist, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan. Pada gangguan sistem neurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf yang berhubungan dengan sistem pernapasan yang dapat mengakibatkan oedem pada saluran pernapasan, sehingga menimbulkan kesulitan untuk bernapas. Pada sistem kardiovaskuler, toksik mengganggu kerja pembuluh darah yang dapat mengakibatkan hipotensi. Sedangkan pada sistem pernapasan dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan terjadi koagulopati hebat yang dapat mengakibatkan gagal napas.

5.      Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang menonjol pada orang yang terkena gigitan ular berbisa adalah berupa nyeri hebat yang tidak sebanding dengan besar luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula, nekrosis jaringan, perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung.
Ular berbisa yang jenis cobra dan welang bisanya bersifat neurotoksik. Tanda dan gejala yang timbul akibat bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak nafas sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot pernapasan. Kobra dapat menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara.
Tanda umum ular berbisa adalah kepalanya berbentuk segitiga, kulitnya bercorak. Dari bekas gigitan dapat dilihat dua lubang yang jelas akibat dua gigi taring atas bila ularnya berbisa, dan deretan bekas gigi kecil-kecil berbentuk U bila ularnya tidak berbisa.
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987 dalam Djoni Djuneidi, 2009):
a.       Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit – 24 jam)
b.      Gejala sistemik: hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, menggigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur.
c.       Gejala khusus gigitan ular berbisa:
1)      Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritonium, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit, hemoptoe, hematuria, koagulasi intavaskular diseminata (KID).
2)      Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapsan, ptosis, oftalmoplegi, paralisis otot laring, refleks abnormal, kejang dan koma.
3)      Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma.
4)      Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda-tanda 5P (pain, pallor, paresthesia, paralysis, pulselesness).
Tabel. 7.1 Derajat venerasi gigitan ular
Derajat
Venerasi
Luka gigit
Nyeri
Udem/eritema
Tanda sistemik
0
0
+
+/-
< 3 cm/ 12 jam
0
I
+/-
+
+
3-12 cm/ 12 jam
0
II
+
+
+++
> 12-25 cm/ 12 jam
+
Neurotoksik, mual, pusing, syok
III
+
+
+++
> 25 cm/ 12 jam
++
Syok, petekia, ekimosis
IV
+++
+
+++
> ekstremitas
++
Gangguan faal ginjal, koma, perdarahan
 (sumber: Harrison. (2013). Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam)
6.      Pemeriksaan Penunjang
a.       Pemeriksaan darah: Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, BUN, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protrombin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang.
b.      Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria
c.       EKG
d.      Foto dada

7.      Penatalaksanaan
Tindakan yang dapat dilakukan adalah buang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas masuknya taring ular sepanjang dan sedalam ½ cm, kemudian lakukan pengisapan mekanis. Bila tidak tersedia alatnya, darah dapat diisap dengan mulut dengan syarat mukosa mulut penolong dalam keadaan baik, tidak terdapat luka. Bisa yang tertelan akan dinetralkan oleh cairan pencernaan. Dapat juga dilakukan eksisi jaringan berbentuk elips untuk membuang jaringan di sekitar dua lubang tusukan taring ular dengan jarak 2½ cm dari lubang gigitan sampai kedalaman fasia otot. Daerah itu mengandung timbunan bisa ular.
Tindakan menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang turniket beberapa sentimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang telah terlihat, dengan tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena, tetapi lebih rendah dari tekanan arteri. Tekanan dipertahankan selama 2 jam. Penderita diistirahatkan supaya aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan es.
Untuk menetralisirkan bisa ular dilakukan penyuntikan serum antibisa ular intravena atau intraarteri yang mendarahi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen ini dibuat dari darah kuda yang disuntik dengan sedikit racun ular yang hidup di daerah setempat. Dalam keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu karena bahaya bisa lebih besar daripada bahaya syok anafilaksis. Pengobatan suportif terdiri atas infus NaCl, plasma, atau darah, dan pemberian vasopresor untuk menanggulangi syok.
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan, lakukan intubasi, kemudian pasang respirator untuk ventilasi. Beri antibiotik spektrum luas dan vaksinasi tetanus. Bila terjadi pembengkakan hebat lakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom kompartemen. Lakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, dilanjutkan dengan cangkok kulit. Gigitan ular tidak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencegahan infeksi.
a.       Prinsip penanganan pada korban gigitan ular:
1)      Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa ular.
2)      Menetralkan bisa.
3)      Mengobati komplikasi
b.      Pertolongan pertama : Pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi segera cari pertolongan medis jangan tinggalkan korban. Selanjutnya lakukan prinsip RIGT, yaitu:
-          R: Reassure: Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan korban, kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga racun akan lebih cepat menyebar ke tubuh. Terkadang pasien pingsan/panik karena kaget.
-          I:  Immobilisation: Jangan menggerakan korban, perintahkan korban untuk tidak berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan medis tidak datang, lakukan tehnik balut tekan (pressure-immoblisation) pada daerah sekitar gigitan (tangan atau kaki) lihat prosedur pressure immobilization (balut tekan).
-          G: Get: Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
-          T:  Tell the Doctor: Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul  ada korban.
c.       Prosedur Pressure Immobilization (balut tekan):
1)      Balut tekan pada kaki:
a)      Istirahatkan (immobilisasikan) Korban.
b)      Keringkan sekitar luka gigitan.
c)      Gunakan pembalut elastis.
d)     Jaga luka lebih rendah dari jantung.
e)      Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari kaki naik ke atas.
f)       Biarkan jari kaki jangan dibalut.
g)      Jangan melepas celana atau baju korban.
h)      Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan sampai menghambat aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kaki yang tetap pink).
i)        Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki.
2)      Balut tekan pada tangan:
a)      Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak dibalut).
b)      Balut siku & lengan dengan posisi ditekuk 90 derajat.
c)      Lanjutkan balutan ke lengan sampai pangkal lengan.
d)     Pasang papan sebagai fiksasi.
e)      Gunakan mitela untuk menggendong tangan.

8.      Proses Keperawatan
a.       Pengkajian
1)      Primary survey
a)      Nilai tingkat kesadaran
b)      Lakukan penilaian ABC :
A – airway         : kaji apakah ada muntah, perdarahan
B – breathing     : kaji kemampuan bernafas akibat kelumpuhan otot-otot pernafasan
C – circulation    : nilai denyut nadi dan perdarahan pada bekas patukan, hematuria, hematemesis/hemoptisis
c)      Intervensi primer
(1)   Bebaskan jalan nafas bila ada sumbatan, suction kalau perlu.
(2)   Beri O2, bila perlu Intubasi.
(3)   Kontrol perdarahan, ikat dengan pita lebar untuk mencegah aliran getah bening (Pita dilepaskan bila anti bisa telah diberikan). Bila tidak ada anti bisa, transportasi secepatnya ke tempat diberikannya anti bisa.
(4)   Catatan : tidak dianjurkan memasang tourniquet untuk arteriel dan insisi luka.
(5)   Pasang infus.
2)      Secondary survey dan penanganan lanjutan:
a)      Penting menentukan diagnosa patukan ular berbisa.
b)      Bila ragu, observasi 24 jam. Kalau gejala keracunan bisa nyata, perlu pemberian anti bisa.
c)      Kolaborasi pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri atas protein, maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat dibuat dari serum kuda. Di Indonesia, antibisa bersifat polivalen, yang mengandung antibodi terhadap beberapa bisa ular. Serum antibisa ini hanya diindikasikan bila terdapat kerusakan jaringan lokal yang luas.
d)     Bila alergi serum kuda, berikan Adrenalin 0,5 mg/SC atau ABU IV pelan-pelan.
e)      Bila terdapat tanda-tanda laringospasme, bronchospasme, urtikaria hypotensi, berikan adrenalin 0,5 mg/IM, hydrokortison 100 mg/IV.
f)       Antibisa diulang pemberiannya bila gejala-gejala tak menghilang atau berkurang. Jangan terlambat dalam pemberian ABU, karena manfaat akan berkurang.
g)      Kaji tingkat kesadaran. Nilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
h)      Ukur tanda-tanda vital

b.      Diagnosa keperawatan
1)      Pola napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi  endotoksin
2)      Hipertermia berhubungan dengan efek langsung endotoksin pada      hipotalamus
3)      Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh tak adekuat
4)      Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau kecacatan.
c.       Intervensi keperawatan
Dx 1: Pola  napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi  endotoksin
Intervensi :
1)      Auskultasi bunyi nafas
Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial, atelektasis.
2)      Pantau frekuensi pernapasan
Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres, dan sirkulasi endotoksin.
3)      Atur posisi klien dengan nyaman dan atur posisi kepala lebih tinggi.
4)      Motivasi / Bantu klien latihan nafas dalam.
5)      Observasi warna kulit dan adanya sianosis.
6)      Kaji adanya distensi abdomen dan spasme otot.
7)      Batasi pengunjung klien.
8)      Pantau seri GDA.
9)      Bantu pengobatan pernapasan (fisioterapi dada).
10)  Beri O2 sesuai indikasi (menggunakan ventilator).

Dx 2: Hipertermia berhubungan dengan efek langsung endotoksin pada hipotalamus
Intervensi :
1)      Pantau suhu klien, perhatikan menggigil atau diaforesis.
Rasional: Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksi akut.
2)      Pantau suhu lingkungan, batasi linen tempat tidur.
Rasional: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.
3)      Beri kompres mandi hangat.
Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, karena alkohol dapat membuat kulit kering.
4)      Beri antipiretik.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.
5)      Berikan selimut pendingin.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam.
Dx 3: Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh tak  adekuat
Intervensi :
1)      Berikan isolasi atau pantau pengunjung sesuai indikasi.
2)      Cuci tangan sebelum dan sesudah aktivitas terhadap klien.
3)      Ubah posisi klien sesering mungkim minimal 2 jam sekali.
4)      Batasi penggunaan alat atau prosedur infasive jika memungkinkan.
5)      Lakukan insfeksi terhadap luka alat infasif setiap hari.
6)      Lakukan tehnik steril pada waktu penggantian balutan.
7)      Gunakan sarung tangan pada waktu merawat luka yang terbuaka  atau   antisipasi dari kontak langsung dengan ekskresi atau sekresi.
8)      Pantau kecenderungan suhu mengigil dan diaforesis.
9)      Inspeksi flak putih atau sariawan pada mulut.
10)  Berikan obat antiinfeksi (antibiotik).

Dx 4: Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau kecacatan.


Intervensi:
1)      Berikan penjelasan dengan sering dan informasi tentang prosedur perawatan.
Rasional: Pengetahuan apa yang diharapkan menurunkan ketakutan dan ansietas, memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan kerja sama.
2)      Tunjukkan keinginan untuk mendengar dan berbicara pada pasien bila prosedur bebas dari nyeri.
Rasional: Membantu pasien/orang terdekat untuk mengetahui bahwa dukungan tersedia dan bahwa pembrian asuhan tertarik pada orang tersebut tidak hanya merawat luka.
3)      Kaji status mental, termasuk suasana hati/afek.
Rasional: Pada awal, pasien dapat menggunakan penyangkalan dan represi untuk menurunkan dan menyaring informasi keseluruhan. Beberapa pasien menunjukkan tenang dan status mental waspada, menunjukkan disosiasi kenyataan, yang juga merupakan mekanisme perlindungan.
4)      Dorong pasien untuk bicara tentang luka setiap hari.
Rasional: Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus menerus untuk membuat beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.
5)      Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan berikan jawaban terbuka/jujur.
Rasional: Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat membantu pasien/orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima apa yang terjadi.
d.      Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak kesalahannya, dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa yang ditemukan, serta apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.
1)      Menunjukan GDA dan frekuensi dalam batas normal dengan bunyi nafas vesikuler.
2)      Tidak mengalami dispnea atau sianosis.
3)      Mendemontrasikan suhu dalam batas normal.
4)      Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan.

5)      Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi


Daftar Pustaka
NANDA. (2005). Panduan diagnosa NANDA: definisi dan klasifikasi. Jakarta: EGC
Smeltzer & Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah, ed. 8. Jakarta: EGC.
      Sudoyo, A. W. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid 3, ed. 6. Jakarta: EGC.
Sentra Informasi Keracunan Nasional (SIK Nas) Badan POM diakses melalui www.pom.go.id tanggal 13 Oktober 2014.

Yanuartono. (2008). Efek samping pemberian serum anti bisa ular pada kasus gigitan ular. J. Sain Vet. Vol. 26, No. 1. diakses melalui journal.ugm.ac.id/index.php/jsv/article/view tanggal 9 November 2014.

No comments:

Post a Comment

Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat