A.
Aspek Etik dan Legal Dalam
Keperawatan Bencana
The American Medical
Association telah menciptakan aturan baru yang kuat menangani tugas dokter
untuk merawat pasien sejak peristiwa 11 September 2001, namun profesi lainnya
belum mengikuti. Sampai saat ini, penyedia layanan kesehatan akan
terus dihadapkan pada pembuatan keputusan etis menantang
dengan sedikit arah (Grimaldi, 2007).
Berikut ini adalah dari
kebijakan yang diadopsi oleh American
Medical Association pada tahun 2004: Bencana nasional,
regional, dan tanggapan lokal untuk epidemi, serangan teroris dan bencana
lainnya memerlukan keterlibatan yang luas dari dokter. Karena komitmen mereka
untuk merawat orang sakit dan terluka, dokter individu memiliki kewajiban untuk
memberikan perawatan medis darurat selama bencana. kewajiban etis ini berlaku
bahkan dalam menghadapi risiko lebih besar dari biasanya untuk mengutamakan
keselamatan, kesehatan, atau kehidupan mereka. Tenaga kerja dokter, bagaimanapun bukan merupakan sumber daya terbatas, karena
itu, ketika berpartisipasi dalam respon bencana, dokter harus menyeimbangkan
manfaat langsung kepada pasien individu dengan kemampuan untuk merawat pasien
di masa depan.
Pernyataan terkait
pemberian pelayanan keperawatan: Perawat mempromosikan, menganjurkan dan berusaha
untuk melindungi kesehatan, keselamatan, dan hak-hak pasien". Dipihak lain
perawat berkewajiban menjaga dirinya sendiri. "Perawat berutang tugas yang
sama untuk dirinya sebelum merawat orang lain, termasuk tanggung jawab untuk
menjaga integritas dan keselamatan,
untuk mempertahankan kompetensi dan untuk melanjutkan pertumbuhan pribadi dan
profesional. Perlu penyamaan persepsi lebih lanjut terkait pernyataan yang
sedikit berlawanan di atas yang menyatakan bahwa perawat memiliki kewajiban
untuk memberikan perawatan bagi pasien dan pernyataan bahwa perawat diwajibkan
untuk menjaga keselamatan diri.
Wynia mendaftar
tantangan utama etika yang dihadapi penyedia layanan kesehatan dalam keadaan
darurat kesehatan masyarakat yaitu penjatahan, pembatasan, dan tanggung jawab.
Penjatahan merupakan penawaran khusus
dengan alokasi sumber daya. Triage dapat menimbulkan dilema etika karena
mungkin ada sumber daya yang terbatas dalam kaitannya dengan sejumlah besar
orang yang membutuhkan pengobatan. Beberapa mungkin mempertanyakan apakah
triase itu etis.
Pembatasan dapat
membatasi kebebasan dan kemerdekaan di kedua pasien dan pekerja kesehatan.
Tantangan ketiga adalah tanggung jawab etis. Ini mungkin
merupakan tantangan terbesar karena sulit untuk memprediksi apa yang akan
dilakukan selama masa crisis. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, kode etik
untuk sebagian besar profesi kesehatan hanya menyarankan bahwa penyedia layanan
melaksanakan kewajiban kepada pasien mereka, sementara pada saat yang sama
mereka ambigu dengan menyatakan bahwa ada juga ada kewajiban untuk mengurus
diri sendiri (Grimaldi, 2007).
Menurut ANA,
Etik dalam Keperawatan Bencana adalah:
- Perawat,
dalam semua hubungan profesional, praktek dengan kasih sayang dan rasa
hormat terhadap martabat yang melekat, nilai, dan keunikan setiap individu,
dibatasi oleh pertimbangan status sosial atau ekonomi, atribut pribadi,
atau sifat masalah kesehatan
2. perawat komitmen
utama adalah untuk pasien, baik individu, keluarga, kelompok , atau masyarakat
3. perawat
mempromosikan, menganjurkan, dan berusaha untuk melindungi kesehatan,
keselamatan, dan hak pasien
4. perawat
bertanggung jawab dan akuntabel untuk praktek keperawatan individu dan
menentukan delegasi yang sesuai tugas sesuai dengan kewajiban perawat untuk
memberikan perawatan pasien yang optimal.
5. perawat
bertanggung jawab untuk dirinya dan untuk lainnya, termasuk tanggung jawab
untuk menjaga integritas dan keamanan, untuk menjaga kompetensi, dan
melanjutkan pertumbuhan pribadi dan profesional.
6. perawat
berpartisipasi dalam membangun, memelihara, dan meningkatkan lingkungan
perawatan kesehatan dan kondisi kerja yang kondusif bagi penyediaan pelayanan
kesehatan yang berkualitas dan konsisten dengan nilai-nilai profesi melalui
aksi individu dan kolektif
7. perawat
berpartisipasi dalam kemajuan profesi melalui kontribusi untuk berlatih,
pendidikan, administrasi, dan pengembangan pengetahuan
8. perawat
bekerja sama dengan profesional kesehatan lainnya dan masyarakat dalam mempromosikan
masyarakat, nasional, dan upaya internasional hanya untuk memenuhi kebutuhan
kesehatan
9. profesi
keperawatan, yang diwakili oleh asosiasi dan anggotanya, bertanggung jawab
untuk mengartikulasikan nilai keperawatan, untuk menjaga integritas profesi dan
praktek, dan untuk membentuk kebijakan social
B. Analisis
Risiko Bencana dan Disaster Plan (Rumah Sakit/Regional)
1. Analisis
Resiko
Resiko adalah segala kemungkinan yang diperkirakan
dapat terjadi pada seseorang atau masyarakat di suatu tempat. Semua orang atau
masyarakat dimanapun berada, selalu mempunyai resiko terjadi bencana (besar
ataupun kecil). Resiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat
bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian,
luka, sakit jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau
kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (UU No. 24 tahun 2007).
Analisis risiko merupakan suatu metodologi untuk
menentukan proses dan keadaan risiko melalui analisis potensi bahaya (hazards)
dan evaluasi kondisi kini dari kerentanan yang dapat berpotensi membahayakan
orang, harta, kehidupan, dan lingkungan tempat tinggal. (ISDR – Living with
Risk, 2004 dalam Muntohar 2012)
Hazard (ancaman) adalah suatu kondisi, secara
alamiah maupun karena ulah manusia, yang berpotensi menimbulkan kerusakan atau
kerugian dan kehilangan jiwa manusia. Bahaya berpotensi menimbulkan bencana,
tetapi tidak semua bahaya selalu menjadi bencana. Kerentanan (vulnerability) adalah sekumpulan kondisi
dan atau suatu akibat keadaan (faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan)
yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan
bencana. Kemampuan (capability)
adalah kekuatan dan potensi yang dimiliki oleh perorangan, keluarga dan
masyarakat yang membuat mereka mampu mencegah, mengurangi, siap-siaga,
menanggapi dengan cepat atau segera pulih dari suatu kedaruratan dan bencana.
Kajian
risiko bencana dapat dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan sebagai
berikut:
Risiko
Bencana =
Penting untuk dicatat bahwa pendekatan ini tidak
dapat disamakan dengan rumus matematika. Pendekatan ini digunakan untuk
memperlihatkan hubungan antara ancaman, kerentanan dan kapasitas yang membangun
perspektif tingkat risiko bencana suatu kawasan. Berdasarkan pendekatan
tersebut, terlihat bahwa tingkat risiko bencana amat bergantung pada:
a. Tingkat
ancaman kawasan
b. Tngkat
kerentanan kawasan yang terancam
c. Tingkat
kapasitas kawasan yang terancam
Upaya
pengkajian risiko bencana pada dasarnya adalah menentukan besaran 3 komponen
risiko tersebut dan menyajikannya dalam bentuk spasial maupun non spasial agar
mudah dimengerti. Pengkajian risiko bencana digunakan sebagai landasan
penyelenggaraan penanggulangan bencana disuatu kawasan. Penyelenggaraan ini
dimaksudkan untuk mengurangi risiko bencana.
Upaya pengurangan risiko bencana berupa :
a. Memperkecil
ancaman kawasan;
b. Mengurangi
kerentanan kawasan yang terancam;
c.
Meningkatkan kapasitas kawasan yang terancam.
Pengkajian risiko bencana memiliki ciri khas yang
menjadi prinsip pengkajian. Oleh karenanya pengkajian dilaksanakan berdasarkan:
a. Data
dan segala bentuk rekaman kejadian yang ada;
b. Integrasi
analisis probabilitas kejadian ancaman dari para ahli dengan kearifan lokal
masyarakat
c. Kemampuan
untuk menghitung potensi jumlah jiwa terpapar, kerugian harta benda dan
kerusakan lingkungan
d. Kemampuan
untuk diterjemahkan menjadi kebijakan pengurangan risiko bencana4
Fungsi pengkajian risiko bencana antara lain, paada
tatanan pemerintah, hasil dari pengkajian risiko bencana digunakan sebagai
dasar untuk menyusun kebijakan penanggulangan bencana. Kebijakan ini nantinya
merupakan dasar bagi penyusunan
Rencana Penanggulangan Bencana yang merupakan mekanisme untuk mengarusutamakan penanggulangan
bencana dalam rencana pembangunan.
Pada tatanan
mitra pemerintah, hasil dari pengkajian risiko bencana digunakan sebagai dasar untuk melakukan aksi pendampingan
maupun intervensi teknis langsung ke komunitas terpapar untuk mengurangi risiko bencana. Pendampingan dan
intervensi para mitra harus dilaksanakan
dengan berkoordinasi dan tersinkronasi terlebih dahulu dengan program pemerintah dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
Pada tatanan
masyarakat umum, hasil dari pengkajian risiko bencana digunakan sebagai salah satu dasar untuk menyusun aksi
praktis dalam rangka kesiapsiagaan, seperti menyusun rencana dan jalur
evakuasi, pengambilan keputusan daerah tempat tinggal dan sebagainya.
Muntohar juga menjelaskan kerangka dalam
analisis resiko seperti pada skema di bawah ini:
|
||||||||||||
|
||||||||||||
|
|
|||||||||||
2.
Disaster Plan
Dua tipe utama dari disaster planning yaitu disaster plan yang menggunakan pendekatan agent-spesific approach dan all-hazards approach. Komunitas yang menggunakan pendekatan agent-spesific memusatkan aktivitas
kesiapsiagaan mereka pada ancaman yang hampir bisa dipastikan terjadi berdasar
lokasi geografis mereka. Disaster plan dengan menggunakan pendekatan all-hazard merupakan suatu model
konseptual untuk kesiapsiagaan bencana yang menyertakan komponen manajemen
bencana yang konsisten pada semua jenis peristiwa bencana untuk memaksimalkan
sumber daya, pembelanjaan, dan usaha perencanaan. Hal tersebut telah diamat,
bahwa di samping perbedaan mereka, banyak bencana yang memilki persamaan
dikarenakan tantangan tertentu dan tugas serupa yang terjadi berulang-kali dan
dapat diprediksi (Venema, 2007).
a.
Hospital
Disaster Plan (HDP)
Banyaknya korban yang membanjiri rumah
sakit saat terjadi bencana harus dapat diantisipasi oleh pihak Rumah Sakit,
sehingga Rumah Sakit sebagai tempat rujukan bagi korban bencana harus mampu
menjadi tempat yang aman dan layak untuk para pasien. Untuk meminimalkan resiko
bencana dan mensiasati hal tersebut, institusi kesehatan khususnya Rumah Sakit
harus mempunyai perencanaan dan prosedur untuk penanganan bencana, sehingga
dapat menangani korban dalam jumlah yang sangat banyak dalam situasi bencana
bahkan dapat mengidentifikasi potensial terjadinya bencana di lingkungan Rumah
Sakit. Rumah sakit (RS) dalam hal ini memegang peranan utama dalam kesiapan
menangani korban bencana. Sayangnya hampir seluruh RS di Indonesia belum
sepenuhnya dapat menangani korban bencana dengan cepat dan tepat. Hal itu
terjadi karena fungsi, struktur, medical support, dan management
support kolaps. Di samping itu, masing-masing rumah sakit memiliki cara
penanganan korban yang beragam sehingga belum memiliki keseragaman dalam
penanganan maupun kesiapannya. Rencana tersebut umumnya disebut sebagai Rencana
Penanggulangan Bencana di Rumah Sakit, atau Hospital Disaster Plan (HDP).
Dalam setiap bencana akan selalu terjadi
kekacauan (chaos). Dengan adanya HDP yang baik maka kekacauan yang
memang selalu terjadi akan dapat diusahakan waktunya sesingkat mungkin,
sehingga mortalitas dan morbiditas dapat ditekan seminimal mungkin. Hal yang
sering muncul di Rumah Sakit pada waktu terjadi bencana adalah:
1)
Penderita yang begitu banyak diperlukan
persiapan yang lebih intensif dan menyeluruh. Tetapi biasanya karena terlalu
banyak maka persiapan yang dilakukan adalah sangat sederhana karena tidak
mencukupi (Organization for a Mass admission of Patients – OMP).
2)
Kebutuhan yang melampaui kapasitas RS,
dimana hal ini akan diperparah bila terjadi kekurangan logistikdan SDM, atau
terjadi kerusakan infra struktur dalam RS itu sendiri. Kedua hal tersebut
diatas wajib diperhitungkan baik untuk bencana yang terjadi diluar maupun
didalam RS sendiri.
Penyusunan HDP diawali dengan mengenal
keadaan dari daerah nya sendiri. Berdasarkan dari ancaman yang ada di daerah
tersebut dan membuat gambaran dari ancaman tersebut. Selain itu, pengalaman
yang sudah ada saat terjadi bencana atau pun berdasarkan bencana yang terjadi pada
daerah lainnya, ketersediaan sumber daya yang ada seperti SDM serta mengingat
kebijakan lokal maupun nasional.
Untuk memberikan hasil yang maksimal
serta adanya komitmen dan konsistensi dari manajemen RS maka perlu dibentuk tim
penyusun HDP ini penting karena mengingat penanggulangan bencana termasuk
penyusunan HDP merupakan proses yang terus menerus, sehingga perlu
dipertahankan kinerja tim. Tim penyusun HDP adalah merupakan gabungan dari unsur
pimpinan, minimal kepala bidang/ instalasi,unsur pelayanan gawat darurat
(kepala UGD), unsur rumah tangga, unsur paramedis,dan unsur lainnya yang dipandang
perlu.
Sebelum
tim penyusun terbentuk, akan lebih baik jika dibentuk komite gawat darurat
dan bencana. Disebut gawat darurat dan bencana, karena keduanya adalah
satu kesatuan yang memiliki keterkaitan yang tinggi dan memerlukan manajemen
bersama.
b.
Regional
Disaster Plan (RDP)
Manajemen
bencana dari sudut pandang kesehatan dapat dilihat sebagai sebuah sistem yang kompleks
yang harus dipelajari untuk memberikan input sebagai dasar ilmiah untuk membuat
keputusan. Tujuan riset operasional ini adalah untuk mempelajari bencana yang
terjadi di Aceh, Nias, dan Yogyakarta-Jawa Tengah dalam perspektif manajemen
bencana di sektor kesehatan. Pembelajaran ini akan dipergunakan sebagai dasar
ilmiah untuk membuat keputusan. Penanggulangan Bencana (PB) sebaiknya bertumpu
pada kemampuan lokal (local resiliencies), oleh karena pada saat awal
terjadinya bencana hanya kemampuan lokal inilah yang selalu ada. Pertolongan
dari luar umumya baru bisa tiba setelah 1 – 2 hari, bahkan dalam keadaan
ekstrem, bisa sampai satu minggu. Sesuai dengan sistim pemerintahan di
Indonesia saat ini, maka yang dimaksud dengan lokal adalah wilayah kabupaten yang
merupakan unit terdepan dalam sistim otonomi daerah. Pada penanggulangan
bencana, sektor kesehatan hanya merupakan satu diantara sektor-sektor lain yang
harus ditangani. Namun demikian sektor ini merupakan sektor yang vital karena
menyangkut langsung hidup dan kehidupan manusia.
Prosedur
Penanggulangan Bencana (disaster plan) adalah serangkaian prosedur yang
sudah disiapkan sebelumnya, untuk dilakukan bila terjadi bencana. Suatu disaster
plan akan dapat dijalankan hanya bila sesuai dengan kapasitas dan
kompetensi, dilatihkan, di evaluasi, dan diperbaiki secara periodik. Disaster
plan regional merupakan gabungan dari disaster plan dari berbagai
sektor/pembentukan tim-tim di suatu wilayah melalui suatu pelatihan agar mampu
menyusun disaster plan yang kemudian dapat diterapkan. Oleh karena itu, disaster
plan di sektor kesehatan harus merupakan bagian integral dari suatu disaster
plan regional.
Metode
yang digunakan adalah model Workshop dan In House Training. Dalam
workshop dilakukan table top exercise sebagai suatu cara
pembelajaran. Dalam table top exercise yang disiapkan secara sistematik
dan berdasar peristiwa serta kondisi nyata suatu bencana. Para peserta diminta
menghadirkan pengalaman atau pengetahuannya untuk dibahas dimeja workshop.
Pembahasan diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan melalui proses yang
kemudian dihayati oleh peserta dan dapat diterapkan di wilayah masing-masing. In
house training dilakukan langsung ke daerahnya masing-masing, agar peserta
dapat langsung melihat kondisi daerahnya. Selain itu peserta juga memahami
dalam mengenal bahaya dan ancaman apa yang ada di daerahnya masing-masing.
Sehingga disaster plan yang akan disusun sesuai dengan keadaan
daerahnya.
Proses
penyusunan RDP ini bisa dilakukan ketika workshop, peserta pelatihan pada workshop
adalah tim yang terdiri dari 4-6 personil yang sudah atau akan menjadi
bagian dari pelaksana penanggulangan bencana di wilayahnya. Diharapkan
masing-masing peserta akan mempelajari satu materi yang akan membantu tim di
daerahnya nanti. Dalam disaster plan yang disusun, materi difokuskan
untuk tahap preparedness, response, dan recovery. Materi
dibagi 4 kelompok utama, yaitu: kontrol dan koordinasi (sistem komando),
operasional, logistik serta perencanaan dan keuangan.
Pelaksanaan
pelatihan diawali dengan pengenalan mengenai regional disaster plan dan
selanjutnya diikuti bergantian penjelasan mengenai sistem komando, operasional
serta perencanaan dan keuangan. Selanjutnya peserta akan dibagi 4 kelompok
untuk mengikuti table top exercise masing-masing kelompok. Kemudian
anggota kelompok menyusun disaster plan untuk kelompoknya berdasarkan
hasil diskusi sebelumnya dan masing-masing tim merangkum disaster plan dari
4 kelompok materi. Kemudian hasil yang ada di presentasikan karena itu akan menjadi
draft bagi peserta saat peserta kembali ke daerahnya masing-masing untuk
menyiapkan secara keseluruhan dokumen regional disaster plan.
Para
tim yang sudah ada akan membentuk tim penyusun rencana penanggulangan daerah
(RDP) dengan didahului oleh SK dari kepala dinas. Tujuannya pembentukan tim
adalah penyusunan dokumen ini akan secara berkala dilakukan dan selalu akan di
uji coba dengan simulasi dan direvisi, sehingga penting sekali pembentukan tim
dilakukan. Pembentukan tim dilakukan dengan pembuatan struktur organisasi serta
membuat tugas tiap masing-masing pelaksana.
Setelah
pembuatan dokumen, maka akan diuji coba dengan table top dan kemudian
simulasi. Hasil yang tidak tercapai akan kelihatan pada saat table top dan
simulasi. Setelahnya akan dilakukan revisi kegagalan dari hasil simulasi.
BNPB. 2012. Peraturan
Kepala BNPB No. 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana,
diunduh dari www.bnpb.go.id/upload/pubs/1.pdf
Effendi
& Makhfudli. (2009). Keperawatan
Kesehatan Komunitas: Teori Dan Praktik Dalam Keperawatan. Jakarta: Selemba
Medika.
Hospital
Disaster Plan & Regional Disaster Plan, diunduh dari http://www.pusdiklat-aparaturkes.net/index
dan www.bencana-kesehatan.net
Japanese
Red Cross Society & PMI. (2009). Keperawatan
Bencana. Banda Aceh: Forum Keperawatan Bencana
Pan
America Health Organization. (2006). Bencana
alam: perlindungan kesehatan masyarakat. Jakarta: EGC
Pan
America Health Organization (2001).
Establishing a mass casualty management system. Washington: PAHO
Seni,
W. (2011). Siklus manajemen bencana. Diakses
pada tanggal 18 November 2013 pukul 22.35 WIB dari
Sukandarrumidi.
(2010). Bencana Alam dan Bencana
Anthropogene. Yogyakarta: Kanisius
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007-PNPB. Diakses dari http://www.bnpb.go.id/page/read/5/definisi-dan-jenis-bencana
Veenema,
T.G. (2007 ). Disaster nursing and emergency preparedness for chemical,
biological, and radiological terorisme and other hazard ( 2 nd ed ). New York :
Springer Publishing Company.
Zailani.
2009. Keperawatan Bencana. Banda
Aceh: Forum Keperawatan Bencana
Everything is very open with a really clear clarification of the issues. It was truly informative. Your website is very helpful. Thanks for sharing!
ReplyDelete