google adsense

Thursday, August 3, 2017

PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL(PTIK) PADA CEDERA KEPALA BERAT

                                      Konsep Peningkatan Tekanan Intra kranial (PTIK)
1.    Definisi
Tekanan intrakranial didefinisikan sebagai tekanan dalam rongga kranial dan biasanya diukur sebagai tekanan dalam ventrikel lateral otak). Tekanan intrakranial normal adalah 0-15 mmHg. Nilai diatas 15 mmHg dipertimbangkan sebagai hipertensi intrakranial atau PTIK. PTIK  dipengaruhi tiga faktor, yaitu otak sekitar 80 % dari volume total, cairan serebrospinal 10% dan darah sekitar 10 % (Muttaqin, 2008).
Kranium dan kanalis vertebralis yang utuh, bersama sama dengan duramater membentuk suatu wadah yang berisi jaringan otak, darah dan cairan serebrospinalis. Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil, dari volum otak, keadaan ini tidak akan cepat menyebabkan tekanan tinggi intrakranial. Sebab volume yang meninggi dapat  dikompensasi  dengan memindahkan cairan serebrospinalis dari rongga tengkorak ke kanalis spinalis dan di samping itu volume darah intrakranial akan menurun oleh karena berkurangnya peregangan durameter. Hubungan antara tekanan   dan volum ini dikenal dengan komplience. Jika otak darah dan cairan serebrospinalis volumnya terus menerus meninggi, maka mekanisme penyesuaian ini akan gagal dan  terjadilah  penigkatan tekanan intrakranial. Volume intrakranial yang meninggi dapat terjadi karena tumor serebri, infark yang luas, trauma, perdarahan, abses, hematoma ekstraserebral, acute brain sweling, faktor pembuluh darah karena kegagalan jantung atau karena obstruksi mediastinal superior, dan obstruksi pada aliran dan pada absorpsi dari cairan serebospinalis, maka dapat terjadi hidrosefalus. (Price, 2005).

2.      Etiologi
a.       Kontusio serebri
b.      Hematoma
c.       Tumor intrakranial
d.      Peningkatan produksi srebral
e.       Bendungan sistem ventrikular
f.       Edema serebaral
g.      Pengaruh trauma kepala.

3.    Tanda dan Gejala PTIK
Manifestasi dari PTIK meliputi beberapa perubahan dalam kesadaran seperti kelelahan, iritabel, confusion, penurunan GCS, penurunan dalam berbicara, reaktifitas pupil, kemampuan sensorik/motorik dan ritme/denyut jantung. Sakit kepala, muntah, penglihatan kabur, papiledema. Cushing triad pada tekanan sitolik, badikardi dan melebarnya tekanan pulsasi adalah respon lanjutan dan menunjukkan PTIK yang berat dengan hilangnya autoregulasi.
Perubahan pola napas dari cheyno-stokes ke hiperventilasi neurogenik pusat ke pernapasan apnustik dan pernapasan ataksik menunjukkan kenaikan tekanan intrakranial. Pembuktian adanya kenaikan tekanan intrakranial dibuktikan dengan pemeriksaan radiografi tengkorak, CT scan MRI. (Black & Hawk, 2005).
Menurut Reggy (2016 ) gejala PTIK adalah sebagai berikut:
a.    Nyeri kepala
Nyeri kepala terjadi karena dilatasi vena, sehingga terjadi traksi dan regangan struktur sensitif nyeri, dan regangan arteri basalis otak. Nyeri kepala dirasakan berdenyut terutama pagi hari pada saat bangun tidur. Kadangkala penderita merasa ada rasa penuh dikepala. Nyeri kepala bertambah jika penderita bersin, mengejan dan batuk.
b.   Muntah
Muntah terjadi karena adanya distorsi batang otak saat tidur, sehingga biasanya muncul pada pagi hari saat bangun tidur. Biasanya tidak disertai mual dan proyektil.
c.    Kejang
Kecurigaan tumor otak disertai TTIK (tekanan tinggi intra kranial) adalah jika penderita mengalami kejang fokal menjadi kejang umum dan pertama kali muncul pada usia lebih dari 25 tahun.
d.   Perubahan status mental dan penurunan kesadaran
Penderita sulit memusatkan pikiran tampak lebih banyak mengantuk serta apatis. Adapun tanda pada tekanan tinggi intra kranial adalah tanda-tanda fisik yang dapat ditemukan adalah papil edema, bradikardi, peningkatan progresif tekanan darah, perubahan tipe pernafasan, timbulnya kelainan neurologis, gangguan endokrin dan gangguan tingkat kesadaran (Reggy, 2016).

4.    Patofisiologi
Skema 2.1 

5.      Hipotesa Monreo Kellie
Monroe kellie menjelaskan tentang kemampuan regulasi otak yang berdasarkan volume tetap. Selama volume intrakranial sama, maka tekanan intra kranial akan konstan. Peningkatan volume salah satu faktor harus diikuti kompensasi dengan penurunan faktor   lainnya
supaya volume tetap konstan. Perubahan satu volume tanpa diikuti respon kompensasi dari faktor yang lain kan menimbulkan perubahan tekanan intra kranial. Beberapa kompensasi yang mungkin antara lain cairan serebrospinal diabsorsi lebih cepat atau arteri serebral berkontriksi menurunkan aliran darah otak  (Morton et al, 2005).
a.       Rumus tekanan perfusi serebral
Salah satu hal yang paling penting dalam tekanan intrakranial adalah tekanan perfusi serebral/cerebral perfusion presur (CPP). CPP adalah jumlah aliran darah sirkulasi sistemik yang diperlukan untuk memberikan oksigen dan glukosa yang adekuat untuk metabolisme otak. CPP dihasilkan dari tekanan arteri sistemik rata-rata dikurangi tekanan intrakranial, CPP normal berada pada rentang 60-100 mmHg dengan rumus:

CPP = MAP - ICP

MAP adalah tekanan rata-rata selama siklus kardiak, tekanan sistolik + 2 kali tekanan diastolik dibagi 3. Jika diatas 100 mmHg, maka potensial terjadi PTIK. Jika kurang dari 60 mmHg, aliran darah ke otak tidak adekuat sehingga hipoksia dan kematian sel otak dapat terjadi. Jika MAP dan ICP sama berarti tidak ada CPP dan perfusi serebral berhenti, sehingga penting untuk mempertahankan kontrol ICP dan MAP ( Black & Hawk, 2005).
b.      Monitoring tekanan intrakranial
Otak normal memiliki kemampuan autoregulasi, yaitu kemampuan organ mempertahankan aliran darah meskipun terjadi perubahan sirkulasi perubahan arteri dan tekanan perfusi. Autoregulasi menjamin aliran darah yang konstan melalui pembuluh darah serebral diatas rentang tekanan perfusi dengan mengubah pembuluh darah dalam merespon perubahan tekanan arteri. Pada klien dengan autoregulasi, beberapa aktivitas yang dapat meningkatkan tekanan darah seperti batuk, suctioning, dapat meningkatkan aliran darah otak sehingga juga meningkatkan TIK (Morton et al, 2005).
Monitoring tekanan intrakranial paling sering dilakukan pada trauma kepala dengan situasi :
1)      GCS kurang dari 8
2)      Mengantuk /drowsy dengan hasil temuan CT scan
3)      Post op evakuasi hematoma
4)      Pasien risiko tinggi seperti usia di atas 40 tahun, tekana darah rendah, pasien dengan bantuan ventilasi. Tidak ada yang dapat dicapai pada pasien dengan GCS kurang dari 3.
6.      Pemeriksaan penunjang
a.       Pemeriksaan radiologi (Smeltzer, 2001)
1)   Angiografi serebral : Untuk menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri Single photo emission computed tomography (SPECT) Untuk mendeteksi luas dan daerah abnormal dari otak, yang juga mendeteksi, melokalisasi dan mengukur stroke (sebelum nampak oleh pemindaian CT)
2)   CT scan : Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia dan posisinya secara pasti
3)   MRI (Magnetic Imaging Resonance) : Menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi dan besar terjadinya pedarahan otak. Hasil yang didapatkan area yang mengalami lesi dan infark dari hemoragik
4)   EEG : Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak dari jaringan yang infark sehingga menurnnya implus listrik dalam jaringan otak
5)   Pemeriksaan foto thorax : Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke.
b.      Pemeriksaan laboratorium (Smeltzer, 2001)
1)   Lumbal fungsi: pemeriksaan likuormerah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama
2)   Pemeriksaan darah rutin (glukosa, elektrolit, ureum, kreatinin)
3)   Pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia
4)   Gula darah dapat mencapai 250 mg di dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun kembali
5)   Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
7.    Prinsip dan Manajemen PTIK
Menurut PERDOSSI (2011) Tujuan terapi PTIK ini adalah menjaga agar TIK < 20 mmHg dan menjaga agar CPP > 60 - 70 mmHg, prinsip dan manajemen PTIK sebagai berikut :
a.       Stabilitas jalan nafas dan pernapasan
1)      Pemantauan secara terus menerus terhadap status neirologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan oksigen dianjurkan alam 72 jam, pada pasien dengan defisit neurologis yang nyata
2)      Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95%
3)      Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada psien yang mengalami penuruna kesadaran atau disfungsi bulbar dengan gagguan jalan napas.
4)      Terapi oksigen diberikan pasa pasien hipoksia. Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak memerlukan terapi oksigen
5)      Intubasi EET (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia (pO2 < 60 mmHg atau PCO2 > 50 mmHg), atau syok, atau pada pasien yang beresiko untuk terjadai aspirasi.
6)      Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa terpasang lebih dari 2 minggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.
b.      Stabilisasi hemodinamik
1)      Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pemberian cairan hipotonik seperti glukosa)
2)      Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk memasukkan cairn dan nutrisi
3)      Usahakan CVC 5 – 12 mmHg
4)      Optimalisasi tekanan darah
5)      Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan tubuh sudah mencukupi, maka obat-obat vasopressor dapat diperbaiki secara titrasi seperti dopamin dosis sedang/ tinggi, norepinefrin stsu epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140 mmHg
6)      Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam pertama setelah serangan stroke iskemik
7)      Hipotensi harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan satin normal dan aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan curh jantung sekuncup harus dikoreksi.
c.       Terapi diuretik osmotik
Terapi diuretic osmotik tujuannya adalah menarik air ke ruang intravaskuler. Baik mannitol maupun salin hipertonik memiliki manfaat rheologik tambahan dalam menurunkan viskositas darah dan menurunkan volume dan rigiditas sel darah merah.
1)      Salin hipertonik : loading dose 30 ml salin 23% diberikan dalam 10-20 menit melalui CVC, dosis pemeliharaan adalah salin 3% 1 mg/kg/jam dengan kadar Na serum 150-155 mEq/jam. Na harus diperiksa tiap 6 jam. Pemasukan salin hipertonik ini berkaitan dengan edema. Salin hipertonik dihentikan setelah 72 jam untuk mencegah terjadinya edema rebound.
2)      Mannitol 20% (dosis 0,25-1 gr/kg)2,3,4 : Loading dose 1gr/kg BB, diikuti dengan dosis pemeliharaan 0,5 gr/kg BB tiap 4-6 jam dengan  kadar osmolaritas serum 300-320 mOsm. Osmolalitas serum diperiksa tiap 6 jam. Waktu paruh mannitol adalah 0,16 jam. Efikasi terlihat dalam 15-30 menit, dan durasi efek adalah 90 menit hingga 6 jam.
Tabel 2.1 Terapi osmotik
Pemberian
Efek samping
Digunakan
Hindari bila
Salin hipertonik
Dapat diberikan dengan infus berlanjut, memperbaiki CPP, meningkatkan volume, efektif dlm menurunkan TIK pada pasien yg refrakter dg mannitol
Overload volume, edem pulmonal, hipernatremia ekstrim, rebound edema serebri saat tapering, insufisiensi renal, CPM (central pontine myenolysis)
Ingin meningkatkan volume atau memperbaiki CPP
CHF dekompensata, hati-hati jika hiponatremia baseline > 24 jam.
Mannitol
Dapat digunakan melalui jalur perifer, bolus
Deplesi volume, harus penuh urine output dengan salin, khususnya pada TBI dan SAH, hipotensi, rebound edema serebral, hipernatremia, insufisiensi renal
Ingin untuk diuresis
Gagal ginjal, hipotensi

d.      Terapi kolaboratif lainnya
1)      Totilac : merupakan cairan hipertonik sodium laktat dengan konsentrasi fisiologis potasium klorida dan kalsium klorida. Cairan ini memiliki osmolaritas 1020 mOsm/L dengan pH 7.0. Cairan ini netral dan ketika laktat dimetabolisme, ia tidak menyebabkan asidosis. Dosis penggunaan 10 cc/kg BB selama 12 jam intravena. Totilac mengandung ion yang akan berdisosiasi menjadi anion (laktat dan klorida) dan kation (sodium, potasium, kalsium).
2)      Barbiturat : bolus penobarbital 5-20 mg/kg diikuti 1-4 mg/kg/jam. Barbiturat menurunkan metabolic demand dan selanjutnya CBF, CBV dan TIK jika rantai metabolisme masih intak. Resiko penggunaan meliputi hipotensi, kesulitan menilai pasien karena efek sedatifnya, supresi jantung.
3)      Induksi hipotermia hingga 32-34ºC dapat menurunkan CBF dan TIK dengan menurunkan metabolic demand. Tiap penurunan temperatur 1ºC akan menurunkan metabolisme oksigen otak (CMRO2) 7%.  Efek samping hipotermi meliputi infeksi sistemik, bakteremia, koagulopati, pneumonia, hipokalemia, dan aritmia.
4)      Steroid : seperti deksametason tidak efektif digunakan pada pasien trauma kapitis. Biasanya berguna untuk edema yang berhubungan dengan tumor dan infeksi. Dosis awal yang biasa digunakan adalah 10 mg deksametason intravena diikuti 4 mg tiap 6 jam.

DAFTAR PUSTAKA
Batticaca, F.B. (2008). Asuhan keperawatan pada Klien dengan gangguan  sistem persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Black, M.J.,&Hawk, H.J. (2005). Medical Surgical Nursing Clinic Management For Positif Outcames, Volume 2 Australia: Elevier
Carpenito, L.J. (2006) . Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC
Guyton, A.C. & Hall, J.E. (2007) . Buku ajar fisiologi kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Herdman, T.H. (2012). Diagnosis keperawatan: Definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC.
Hudak & Gallo. (2005) keperawatan kritis, edisi VI. Jakarta: EGC
Muttaqin, A. (2008). Asuhan  Keperawatan  Klien  dengan  Gangguan  Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
PERDOSSI (2011) Neurointervensi & Critical Care. Manajemen Peninggian Tekanan Intrakranial dalam ANLS for Doctors. Indonesians Neurological Associations.
Price & Wilson. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (Volume 1 ,Edisi 6). Jakarta: EGC
Smeltzer & Bare (2006). Buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & suddarth. Vol. 2. Jakarta : EGC
Sudoyo A.W. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Ed. V. Jakarta: Interna Publishing.
Wijdicks (2011). Current Concepts, The Diagnosis of Brain Death, N Engl J Med
Wilkinson, J.M. (2011). Buku saku diagnosis keperawatan: diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC, Ed. 9. Jakarta: EGC.

No comments:

Post a Comment

Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat