A. Masalah
Spiritual
1. Pengertian
Ketika
penyakit, kehilangan atau nyeri menyerang seseorang, kekuatan spiritual dapat
membantu seseorang ke arah penyembuhan atau pada perkembangan kebutuhan dan
perhatian spiritual. Selama penyakit atau kehilangan, misalnya saja, individu
sering menjadi kurang mampu untuk merawat diri sendiri dan lebih bergantung
pada orang lain untuk perawatan dan dukungan (Potter ,2005).
Distres
spiritual dapat berkembang sejalan dengan seseorang mencari makna tentang apa
yang sedang terjadi, yang mungkin dapat mengakibatkan sesorang merasa sendiri
dan terisolasi dari orang lain. individu mungkin mempertanyakan nilai spiritual
mereka, mengajukan pertanyaan tentang jalan hidup seluruhnya, tujuan hidup, dan
sumber dari makna hidup (Potter ,2005).
a. Penyakit
Akut
Penyakit yang mendadak,
tidak diperkirakan, yang menghadapkan baik ancaman langsung atau jangka panjang
terhadap kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraan klien, dapat menimbulkan
distres spiritual yang bermakna. Misalnya pria yang berumur 40 tahun yang
terkena serangan jantung, individu yang berusia 20 tahun yang menjadi korban
kecelakaan kendaraan bermotor, semua menghadapi krisis yang mungkin mengancam
kesehatan spiritual mereka (Potter ,2005).
Penyakit atau cedera
yang dialami dapat dipandang sebagai hukuman, sehingga klien menyalahkan diri
mereka sendiri karena mempunyai kebiasaan kesehatan yang buruk, gagal untuk
mematuhi tindak kewaspadaan keselamatan, atau menghindari pemeriksaan kesehatan
secara rutin. Konflik dapat berkembang sekitar keyakinan individu dan makna
hidup. Individu mungkin mempunyai kesulitan memandang masa depan dan dapat
terpuruk tidak berdaya oleh kedukaan (Potter ,2005).
Kemarahan bukan hal
yang tidak wajar, dan klien mungkin mengekspresikannya terhadap Tuhan, keluarga
mereka atau terhadap diri sendiri. Kekuatan spiritualitas klien mempengaruhi
bagaimana mereka menghadapi penyakit mendadak dan bagaimana mereka dengan cepat
beralih ke arah penyembuhan (Potter & Perry ,2005).
Yim (1994, dalam potter
dan perry, 2005) telah mengembangkan jalur kritis penyembuhan spiritual untuk klien
yang menjalani bypass arteri koroner.
Jalur ini di dasarkan pada dinamika spiritual yang dapat memaksimalkan
penyembuhan pasien. Harapan dapat timbul dari keintiman dengan suatu
persekutuan atau pasangan, kemampuan untuk menyuarakan tentang nilai kehidupan
dan mengambil makna dari penyakit, dan menemukan tujuan dan nilai untuk
mengarah pada masa mendatang dan sembuh adalah komponen yang mempengaruhi
pergerakan pada jalur (Potter ,2005).
b. Penyakit
kronis
Seseorang dengan
penyakit kronis sering menderita gejala yang melumpuhkan dan mengganggu kemampuan untuk melanjutkan
gaya hidup normal mereka. Kemandirian dapat sangat terancam, yang menyebabkan
ketakutan, ansietas, kesedihan yang menyeluruh. Ketergantungan pada orang lain
untuk mendapat perawatan diri rutin dapat menimbulkan perasaan tidak berdaya
dan persepsi tentang penurunan kekuatan batiniah (Potter ,2005).
Seseorang mungkin
merasa kehilangan tujuan dalam hidup yang mempengaruhi kekuatan dari dalam yang
diperlukan untuk menghadapi perubahan fungsi yang dialami. Kekuatan tentang
spiritualitas seseorang dapat menjadi faktor penting dalam cara seseorang
menghadapi perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kronis. Keberhasilan dalam
mengatasi perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kronis dapat menguatkan
seseorang secara spiritual. Reevaluasi tentang hidup mungkin terjadi. Mereka
yang kuat secara spiritual akan membentuk kembali identitas diri dan hidup
dalam potensi mereka (Potter ,2005).
Pada stadium lanjut,
pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai maslah fisik
seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi
juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas
hidup pasien dan keluarganya.
Maka kebutuhan pasien
pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan atau pengobatan gejala
fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial,
dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal
sebagai perawatan paliatif. Masyarakat menganggap perawatan paliatif hanya
untuk pasien dalam kondisi terminal yang akan segera meninggal.
Namun konsep baru
perawatan paliatif menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif lebih
dini agar masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan baik.
Perawtan paliatif adalah pelayanan kesehatan yang bersifat holistik dan
terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi dengan dasar falsafah bahwa
setiap pasien berhak mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir hayatnya.
Canadian
Nurses Association (CNA) mengusulkan standar praktik
pada perawatan paliatif-hospis atau Hospice
Palliative Care Nursing Standars (HPCNS). Kerangka konsep dari standar
praktik ini adalah berdasarkan 6 dimensi, yaitu: Valuing (menilai), connecting
(menghubungkan), empowering
(memberdayakan), doing for (melakukan
untuk), finding meaning (menemukan
makna), dan preserving integrity (menjaga
integritas) dari Support Care Model.
Setiap dimensi merupakan mewakili setiap
standar sebagai berikut:
1. Perawat
paliatif percaya pada nilai interinsik dari orang lain, makna hidup dan bahwa
kematian itu adalah proses alami.
2. Perawat
paliatif melakukan hubungan terapeutik dengan pasien dan keluarga dengan cara
menciptakan, mempertahankan, dan menutup suatu hubungan.
3. Perawat
paliatif memberikan perawatan dengan cara memberdayakan pasien dan keluarga.
4. Perawat
paliatif memberikan perawatan berdasarkan praktek terbaik dan/atau berdasarkan
evidence-based dalam bidang: nyeri dan menejemen gejala, koordinasi perawatan,
dan advokasi.
5. Perawtan
paliatif membantu pasien dan keluarga untuk menemukan makna hidup mereka dan
makna dari penyakit yang diderita.
6. Perawat
paliatif menjaga integritas diri, pasien dan keluarga.
c. Penyakit
terminal
Penyakit terminal
umumnya menyebabkan ketakutan terhadap nyeri fisik, ketidaktahuan, kematian,
dan ancaman terhadap integritas. Klien
mungkin mempunyai ketidakpastian tentang makna kematian dan dengan demikian mereka menjadi sangat
rentan terhadap distres spiritual. Terdapat juga klien yang mempunyai rasa
spiritual tentang ketenangan yang memampukan mereka untuk menghadapi kematian
tanpa rasa takut (Potter ,2005).
Individu yang mengalami
penyakit terminal sering menemukan diri mereka menelaah kembali kehidupan mereka
dan mempertanyakan maknanya. Pertanyaan-pertanyaan yang umum diajukan dapat
mencakup, “Mengapa hal ini terjadi pada saya” atau “Apa yang telah saya lakukan
sehingga hal ini terjadi pada saya ?” keluarga dan teman-teman dapat
terpengaruhi sama halnya yang klien alami. Penyakit terminal menyebabkan
anggota keluarga mengajukan pertanyaan penting tentang maknanya dan bagaimana
penyakit tersebut akan mempengaruhi hubungan mereka dengan klien (Potter ,2005).
Fryback(1992) melakukan
penelitian untuk mengetahui bagaimana individu dengan penyakit terminal
menggambarkan tentang kematian. Klien yang termasuk dalam penelitian
mengidentifikasi tiga domain kesehatan sebagai berikut: mental-emosi,
spiritual, dan fisik. Domain spiritual di pandang sebagai hal yang penting
dalam kesehatan dan mencakup mempunyai hubungan dengan kekuatan yang lebih
tinggi, menghargai mortalitas seseorang, dan menumbuhkan aktualisasi-diri.
Mereka menghubungkan
kesehatan dengan keyakinan dalam kekuatan yang lebih tinggi yang telah memberi mereka
kepercayaan dan kemampuan untuk menyintai. Penelitian tersebut telah
menunjukkan bahwa ketika klien yang mempunyai penyakit terminal mempunyai
persepsi dalam keadaan tidak sehat, persepsi tersebut bukan karena penyakitnya
tetapi karena sedang tidak mampu menjalani hidup mereka dengan sempurna dan
tidak mampu melakukan hal-hal yang mereka inginkan (Potter ,2005).
Keyakinan beragama
dapat membantu menyokong pasien dalam menghadapi krisis kehidupan termasuk
kematian melalui berbagai hal berikut:
1. Membantu
mengendalikan rasa takut dan ansietas tidak saja dengan mengungkapkan kedukaan,
tetapi juga melalui rasa syukur terhadap karunia dan pengalaman yang diberikan
2. Menekankan
kepada peristiwa kehidupan dan pengalaman kemanusiaan yang membuat hidup tampak
lebih mudah dipahami
3. Membantu
pasien mengalihkan pikiran dan perasaan pada tindakan yang konstruktif
4. Memungkinkan
pasien untuk mengalihkan peristiwa kehidupan yang tragis ke arah kekuatan yang
memberi harapan dan cinta
5. Mengarahkan
pada kepekaan spiritual dan aspirasi yang tinggi sehingga mudah menemukan
hikmah yang terkandung dalam penderitaan
6. Mengurangi
rasa bersalah dan berduka dalam menghadapi saat akhir kehidupan
7. Mengalihkan
perhatian dari kematian, tidak untuk mengingkari, tetapi dengan menempatkannya
dalam perseptif yang lebih luas
A. Tahap-tahap
kematian
Kematian adalah
kematian otak, korteks serebral, mengalami kerusakan permanen. Aktivitas
jantung kehilangan fungsi. Dimanifestasikan secara klinis dengan tidak ada
respon terarah terhadap stimulus eksternal, tidak ada reflek sefalik, apneu dan
elektrogram isoelektrik minimal 30 menit tanpa hipotermia dan keracunan oleh
depresan system saraf, (Kozier, 2010).
Kubler-Ross (1969,
Hegner,2003), lima tahap yang dialami pasien ketika menghadapi kematian, yaitu
mengingkari (denial), marah (anger), tawar menawar (bargaining), depresi
(depression) dan menerima (acceptance). Jika terdapat cukup waktu dan dukungan
mental, beberapa pasien dapat menggerakan emosinya melalui tiap tahap sampai
titik penerimaan penyakitnya dan kematiannya.
1. Menyangkal
(denial)
Pada
tahap pertama ini pasien akan merasa syok dan mati rasa, selanjutkan memasuki
proses denial. Menurut Kubler-Ros (1969) tahap ini bersifat adaptif berperan
sebagai penahan terhadap hal yang tidak diharapkan dan merupakan proteksi yang
diperlukan. Contoh : tidak mungkin, ini tidak mungkin terjadi.
2. Marah
(anger)
Kemarahn
terjadi karena pasien merasa rencana kegiatannya terganggu. Pesien merasa iri
dengan orang lain yang masih dapat menikmati kehidupan. Kemarahan biasanya
ditumpahkan memalui reaksi yang alamiah dan sering dilakukan terhadap siapapun
yang berada disekitarnya. Contoh : kenapa saya, ini tidak adil, siapa yang
harus disalahkan?
3. Tawar-menawar
(bargaining)
Pada tahap ini, pasien
merasa bahwa kematiannya masih dapat ditunda dengan berdoa. Melalui tawar-menawar ini, pasien
akan mencoba menunda atau memesan saat-saat
kematian. Dia masih ada waktu untuk berdoa, melengkapi tujuan hidupnya
yang penting. Pada tahap ini ia berjanji akan memperbaiki cara hidupnya, dan
akan lebih sering berdoa. Contoh : saya akan lakukan apapun agar bisa bertahan
beberapa tahun lagi.
4. Depresi
(depression)
Pada
tahap depresi, pasien dengan gejala penyakit yang makin memburuk, menyadari
bahwa kematian sudah semakin dekat. Depresi merupakan jalur utama bahwa ia akan
dipisahkan dari kehidupan dan dengan demikian tidak ada pilihan lain. Contoh :
apa gunanya lagi? saya akan meninggal. Saya tidak peduli dengan apapun lagi.
5. Penerimaan
(acceptance)
Pada
tahap ini, pasien telah menerima nasibnya. “apabila pasien telah mendapatkan
cukup waktu dan telah dibantu dalam menjalani tahap-tahap sebelumnya, ia akan
tiba pada suatu keadaan ketika ia merasa depresi maupun arah pada nasibnya”.
Contoh : semuanya akan baik-baik saja. Saya tidak dapat melawan ini. Lebih baik
saya bersiap diri untuk mengahapinya.
Kubler-Ros menyatakan
langkah-langkah ini tidak selalu urut, atau dilalui semuanya oleh seorang
individu, tapi paling tidak ada 2 langkah yang pasti akan dilalui. Seringkali,
individu akan mengalami beberapa langkah berulang-ulang. Intinya, seorang
individu tidak seharusnya memaksakan proses yang dilalui, Proses duka adalah
hal yang sangat personal dan sebaiknya tidak dipercepat (atau diperpanjang).
Kebanyakan orang tidak siap
menghadapi duka, karena seringkali, tragedi terjadi begitu cepat, dan tanpa
peringatan. Dia harus bekerja keras melalui proses tersebut hingga akhirnya
sampai pada tahap Penerimaan.
B. Bimbingan
sakaratul maut
Pentingnya
bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO yang menyatakan
bahwa aspek agama ( spiritual ) merupakan salah satu unsur dari pengertian
kesehataan seutuhnya (WHO, 1984). Menurut Dadang Hawari (1977) “orang yang
mengalami penyakit terminal dan menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami
penyakit kejiwaan, krisis spiritual, dan krisis kerohanian sehingga
pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian
khusus”.
Pasien terminal biasanya mengalami rasa depresi yang berat,
perasaan marah akibat ketidakberdayaan dan keputusasaan. Dalam fase akhir
kehidupannya ini, pasien tersebut selalu berada di samping perawat. Oleh
karena itu, pemenuhan kebutuhan spiritual dapat meningkatkan semangat hidup
klien yang didiagnosa harapan sembuhnya tipis dan dapat mempersiapkan diri
pasien untuk menghadapi alam yang kekal. Menurut konsep Islam, fase akhir
tersebut sangat menentukan baik atau tidaknya kematian seseorang dalam menuju
kehidupan alam kekal dan perawat sendiri kelak akan diminta pertanggungjawaban
oleh Allah SWT karena upaya pemenuhan kebutuhan pasien di rumah sakit mutlak
diperlukan. Perawat hendaknya meyakini bahwa sesuai dengan ajaran islam dalam
menjalani fase akhir dari kehidupan manusia di dunia terdapat fase sakaratul
maut.
Fase sakaratul maut seringkali di sebutkan oleh Rasulullah sebagai
fase yang sangat berat dan menyakitkan sehingga kita diajarkan do’a untuk
diringankan dalam fase sakaratul maut.
Hal tersebut digambarkan
Allah dalam firman-Nya :
“Dan datanglah Sakratulmaut dengan
sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya”. (Q.S. Qaf
(50): 19 )
“Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus
pedang” (HR Tirmidzi)
“Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri
yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat
diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek ?” (HR Bukhari)
“Sakaratul maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan
kedalam perut seseorang. Lalu, seorang lelaki menariknya dengan sekuat-kuatnya
sehingga ranting itupun membawa semua bagian tubuh yang menyangkut padanya dan
meninggalkan yang tersisa”. (Ka’b
al-Ahbar, sahabat Rasulullah saw)
“Demi Allah, seandainya jenazah yang sedang kalian tangisi
bisa berbicara sekejab, lalu menceritakan (pengalaman sakaratul mautnya) pada
kalian, niscaya kalian akan melupakan jenazah tersebut, dan mulai menangisi
diri kalian sendiri”. (Imam
Ghozali mengutip atsar Al-Hasan).
“Rasa sakit yang dirasakan selama sakaratul maut menghujam
jiwa dan menyebar ke seluruh anggota tubuh sehingga bagian orang yang sedang
sekarat merasakan dirinya ditarik-tarik dan dicerabut dari setiap urat nadi,
urat syaraf, persendian, dari setiap akar rambut dan kulit kepala hingga kaki”. ( Imam Ghozali)
Proses
sakaratul maut bisa memakan waktu yang berbeda untuk setiap orang, dan tidak
dapat dihitung dalam ukuran detik seperti hitungan waktu dunia ketika kita
menyaksikan detik-detik terakhir kematian seseorang. Rasa sakit sakaratul
maut dialami setiap manusia, dengan berbagai macam tingkat rasa sakit, ini
tidak terkait dengan tingkat keimanan atau kezhaliman seseorang selama ia
hidup.
Sakaratul
maut itu pedih seperti firman Allah SWT kepada Ibrahim AS adalah “Seperti
panasnya besi dibakar pada kain sutera yang basah, lalu nyawapun ditarik”,
Selanjutnya Allah berfirman kepada Nabi Musa “rasanya seperti burung hidup
yang digoreng dalam wajan. Rasanya seperti domba yang hidup kemudian diikuti
oleh penjagal. Rasanya lebih perih pedih dibanding sayatan pedang, geretan
gergaji, dan tusukan benda tajam. Seringan-ringannya kematian seperti duri
dalam kain. Bisakah duri keluar dari sutera tersebut tanpa robekan. Seperti
berada dalam selimut api panas dan seolah-olah bernafas dalam lubang jarum
seakan-akan berada dalam satu pohon yang berduri lalu ditarik dari ujung kaki
sampai keubun-ubun”.
a.
Tanda-tanda
pasien sakaratul maut
Menurut Kozier
(2010), tanda-tanda klinis pasien sakaratul maut adalah :
1)
Kehilangan
tonus otot
2)
Perlambatan
sirkulasi
3)
Perubahan
respirasi
4)
Kerusakan
sonsori
Menurut Wotf &Weitzel
(dalam Hawari,1998) Ciri-ciri pokok pasien yang akan melepaskan nafasnya yang
terakhir, yaitu :
1)
Penginderaan
dan gerakan menghilang secara berangsur-angsur yang dimulai pada anggota gerak
paling ujung khususnya pada ujung kaki, tangan, ujung hidung yang terasa dingin
dan lembab
2)
Kulit tampak
kebiru-biruan kelabu atau pucat
3)
Nadi mulai
tak teratur, lemah dan pucat
4)
Terdengar
suara mendengkur disertai gejala nafas cyene stokes
5)
Menurunnya
tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti dan rasa nyeri bila ada
biasanya menjadi hilang. Kesadaran dan tingkat kekuatan ingatan bervariasi tiap
individu. Otot rahang menjadi mengendur, wajah pasien yang tadinya kelihatan
cemas nampak lebih pasrah menerima.
b.
Bimbingan
perawat dalam menghadapi pasien sakaratul maut
1)
Membimbing
pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT.
Pada sakaratul
maut perawat harus membimbing agar berbaik sangka kepada Allah sebagaimana
Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslem :
“Jangan sampai seorang dari kamu mati
kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah”.
Selanjutnya Allah berfirman
dalam hadist qudsi :
”Aku ada pada sangka-sangka hambaku,
oleh karena itu bersangkalah kepadaKu dengan sangkaaan yang baik”,
Selanjutnya Ibnu Abas
berkata :
”Apabila kamu melihat
seseorang menghadapi maut, hiburlah dia supaya bersangka baik pada Tuhannya dan
akan berjumpa dengan Tuhannya itu”.
Selanjutnya Ibnu Mas´ud
berkata :
”Demi Allah yang tak ada Tuhan selain Dia, seseorang yang
berbaik sangka kepada Allah maka Allah berikan sesuai dengan persangkaannya
itu”.
Hal ini menunjukkan bahwa
kebaikan apapun jua berada ditangannya.
2)
Mentalkinkan dengan Kalimat Laailahaillallah
Perawat muslim dalam mentalkinkan kalimah laaillallah dapat
dilakukan pada pasien terminal menjelang ajalnya terutama saat pasien akan
melepaskan nafasnya yang terakhir. Perawat membimbing pasien dengan mentalkinkan
(membimbing dengan melafalkan secara berulang-ulang), sebagaimana Rasulullah
mengajarkan dalam Hadist Riwayat Muslim.
“Talkinkanlah olehmu orang yang mati
diantara kami dengan kalimat Laailahaillallah karena sesungguhnya seseorang
yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya maka itulah bekalnya
sesungguhnya seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya maka
itulah bekalnya menuju surga”. Selanjutnya Umar Bin Ktahab berkata :
“Hindarilah orang yang mati diantara kami dan dzikirkanlah
mereka dengan ucapan Laailahaillahllah, maka sesungguhnya mereka (orang yang
meninggal) melihat apa yang tidak bisa, kamu lihat”. Para ulama berpendapat,”
Apabila telah membimbing orang yang akan meninggal dengan satu bacaan talqin,
maka jangan diulangi lagi. Kecuali apabila ia berbicara dengan bacaan-bacaan
atau materi pembicaraan lain. Setelah itu barulah diulang kembali, agar bacaan
La Ilaha Illallha menjadi ucapan terakhir ketika menghadapi kematian. Para
ulama mengarahkan pada pentingnya menjenguk orang sakaratul maut, untuk
mengingatkan, mengasihi, menutup kedua matanya dan memberikan hak-haknya.” (Syarhu An-nawawi Ala Shahih Muslim : 6/458).
3)
Berbicara
yang Baik dan Do´a untuk jenazah ketika menutupkan matanya
Di samping
berusaha memberikan sentuhan perawat muslim perlu berkomunikasi terapeutik,
antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim Rasulullah SAW bersabda :
”Bila kamu datang mengunjungi orang sakit
atau orang mati, hendaklah kami berbicara yang baik karena sesungguhnya
malaikat mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan”.
Selanjutnya diriwayatkan
oleh Ibnu Majah Rasulullah bersabda : “Apabila kamu menghadiri orang yang
meninggal dunia di antara kamu, maka tutuplah matanya karena sesungguhnya mata
itu mengikuti ruh yang keluar dan berkatalah dengan kata-kata yang baik karena
malaikat mengaminkan terhadap apa yang kamu ucapkan”.
Berdasarkan
hal diatas perawat harus berupaya memberikan suport mental agar pasien merasa
yakin bahwa Allah Pengasih dan selalu memberikan yang terbaik buat hambanya,
mendo’akan dan menutupkan kedua matanya yang terbuka saat roh terlepas, dari
jasadnya.
4)
Membasahi
kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut
“Disunnahkan bagi orang-orang yang hadir untuk membasahi kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut tersebut dengan air atau minuman. Kemudian disunnahkan juga untuk membasahi bibirnya dengan kapas yg telah diberi air. Karena bisa saja kerongkongannya kering karena rasa sakit yang menderanya, sehingga sulit untuk berbicara dan berkata-kata. Dengan air dan kapas tersebut setidaknya dapat meredam rasa sakit yang dialami orang yang mengalami sakaratul maut, sehingga hal itu dapat mempermudah dirinya dalam mengucapkan dua kalimat syahadat.” (Al-Mughni : 2/450 milik Ibnu Qudamah)
“Disunnahkan bagi orang-orang yang hadir untuk membasahi kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut tersebut dengan air atau minuman. Kemudian disunnahkan juga untuk membasahi bibirnya dengan kapas yg telah diberi air. Karena bisa saja kerongkongannya kering karena rasa sakit yang menderanya, sehingga sulit untuk berbicara dan berkata-kata. Dengan air dan kapas tersebut setidaknya dapat meredam rasa sakit yang dialami orang yang mengalami sakaratul maut, sehingga hal itu dapat mempermudah dirinya dalam mengucapkan dua kalimat syahadat.” (Al-Mughni : 2/450 milik Ibnu Qudamah)
5)
Menghadapkan
orang yang sakaratul maut ke arah kiblat
Kemudian
disunnahkan untuk menghadapkan orang yang tengah sakaratul maut kearah kiblat.
Sebenarnya ketentuan ini tidak mendapatkan penegasan dari hadits Rasulullah
Saw., hanya saja dalam beberapa atsar yang shahih disebutkan bahwa para salafus
shalih melakukan hal tersebut. Para Ulama sendiri telah menyebutkan dua cara
bagaimana menghadap kiblat :
a)
Berbaring
terlentang diatas punggungnya, sedangkan kedua telapak kakinya dihadapkan
kearah kiblat. Setelah itu, kepala orang tersebut diangkat sedikit agar ia
menghadap kearah kiblat.
b)
Mengarahkan
bagian kanan tubuh orang yang tengah sakaratul maut menghadap ke kiblat. Dan
Imam Syaukai menganggap bentuk seperti ini sebagai tata cara yang paling benar.
Seandainya posisi ini menimbulkan sakit atau sesak, maka biarkanlah orang
tersebut berbaring kearah manapun yang membuatnya selesai.
C.
Teori Peace End Of Life
Menurut
Ruland & Moore (1998), teori menghadapi kematian dengan damai merupakan
tindakan keperawatan yang dilakukan tehadap pasien dengan kondisi yang tidak
memungkinkan untuk hidup lebih lama. Teori ini dirancang untuk memberikan hasil
yang positif dengan kriteria:
1.
Bebas dari rasa sakit
Terbebas dari
penderitaan atau gejala distres merupakan bagian pokok/penting dari pengalaman
banyak pasien yang menghadapi kematian. Rasa sakit dianggap sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. (Lenz, Suppe, Gift, Pugh & Milligan, 1995; Pain
terms, 1979)
2. Merasakan
kenyamanan
Kenyamanan didefinisi secara inklusif
yang digunakan oleh Kolcaba dan Kolcaba’s (1991) antara lain:
a. Bantuan
terhadap ketidaknyamanan.
b. Berada
dalam keadaan yang senang dan kepuasan yang damai.
c. dan
apa pun yang membuat hidup menjadi mudah atau menyenangkan (Ruand & Moore,
1998, p. 172).
3. Merasakan
dihargai/dihormati
Setiap
pasien yang berada pada fase
penyakit terminal perlu
dihormati
dan dihargai sebagai manusia (Ruland
& Moore, 1998, p. 172). Konsep ini menggabungkan ide yang bernilai
pribadi, seperti yang diungkapkan
oleh prinsip etis otonomi dan menghormati orang, yang menyatakan bahwa
individu harus diperlakukan sebagai individu yang otonom dan jika seseorang dengan otonomi yang berkurang berhak atas perlindungan
(United States, 1978).
4. Merasakan
kedamaian
Kedamaian yaitu
merasakan ketenangan, kesesuaian/keselarasan dan kepuasaan serta bebas dari
ansietas, kegelisahan, kekhawatiran, dan ketakutan (Ruland & Moore, 1998,
p. 172). Kondisi damai meliputi fisik, psikologis dan spiritual
5. Kedekatan
dengan orang yang berarti dalam hidup dan yang telah merawat pasien
Kualitas hidup didefinisikan
dan dievaluasi sebagai wujud kepuasan melalui hasil penilaian empiris seperti penanganan
tehadap gejala dan kepuasan dengan hubungan interpersonal. Memasukkan pilihan-pilihan pasien ke dalam keputusan perawatan merupakan
pertimbangan yang tepat.
Teori ini menjelaskan hidup yang
berkualitas sebagai keadaan di mana seseorang mendapatkan apa yang diinginkan,
sebuah pendekatan yang dirasa tepat untuk memberikan perawatan pada seseorang
yang ingin menghadapi kematian dengan damai.
Karena teori peace end of life
berasal dari standar pelayanan yang ditulis oleh tim perawat ahli yang menangani
masalah praktek, konsep metaparadigma yang melekat dalam mengatasi fenomena keperawatan, perawatan kompleks dan holistik diperlukan untuk mendukung peace end of life.
Ada dua asumsi yang diidentifikasi oleh Ruland and
Moore’s (1998) dalam teori peace end of life yaitu:
a. Kejadian
dan perasaan pada end of life bersifat personal dan individual.
b. Pelayanan
keperawatan memiliki peran penting dalam menciptakan pengalaman end of life
ini. Perawat mengkaji dan menginterprestasikan petunjuk yang merefleksikan
pengalaman end of life pasien dan memberikan intervensi seperlunya untuk mendapatkan
atau mempertahankan pengalaman penuh kedamaian bahkan terhadap pasien sekarat
yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal sekalipun.
Peace End Of Life
Bebas
dari rasa sakit
|
Merasakan
dihargai
|
Merasakan
kenyamanan
|
Kedekatan
dengan orang yang bermakna/yang telah merawat
|
Merasakan
kedamaian
|
Mengkaji
dan Memantau skala nyeri dan respon pasien secara berkala
|
Menerapkan
intervensi farmakologi dan non-farmakologi
|
Mencegah,
memantau, dan menghilangkan ketidaknyamanan fisik
|
Memberikan/memfasilitasi
istirahat, relaksasi dan kepuasan
|
Mencegah
komplikasi-komplikasi yang timbul
|
Mengikutsertakan
pasien dan keluarga/orang terdekat dalam pengambilan keputusan perawatan
dan pengobatan pasien
|
merawat
pasien dengan tulus, empati dan hormat
|
Menghargai
dan memperhatikan kebutuhan
pasien, harapan dan hal-hal yang disukainya
|
Memberikan
dukungan emosional
|
Memantau dan menjumpai pasien yang
membutuhkan obat anti-ansietas
|
Membangkitkan rasa kepercayaan
|
Memberikan pasien atau orang
terdekat (keluarga) berupa bimbingan tentang masalah-masalah praktis
|
Memberikan bantuan fisik dari orang
lain jika diinginkan
|
Mengikutsertakan partisipasi orang
terdekat/keluarga dalam perawatan pasien.
|
Memperhatikan keluarga/orang
terdekat yang mengalami kesedihan, kekhawatiran dan keraguan
|
Memfasilitasi/memberikan kesempatan
untuk pendekatan keluarga
|
D.
Asuhan Keperawatan
Spiritual
1. Pengkajian
Joint Commission on
acreditation Healthcare Organizations (2000) saat ini memandatkan
bahwa setiap klien yang masuk ke intitusi keperawatan harus dilakukan
pengkajian keyakinan dan praktik spiritual.
Taylor (2000) merekomendasikan suatu pendekatan dua tingkat untuk pengkajian
spiritual. (Kozier, 2010., p.503)
Meskipun
perawat melakukan pengkajian secara kontinu, pengkajian spiritual awal paling
baik dilakukan pada akhir proses pengkajian, atau setelah pengkajian
psikososial, setelah perawat membina hubungan saling percaya dengan pasien atau
orang pendukung. Perawat yang menunjukkan kepekaan dan kehangatan personal,
serta berhasil membina hubungan terapeutik lebih mampu melakukan pengkajian
spiritual. (Kozier, 2010., p.504)
Secara
sistematis, menurut (Hamid 2008., p.20) pada dasarnya informasi awal yang perlu
digali secara umum adalah sebagai berikut.
a. Afiliasi
agama
1) Partisipasi
klien dalam kegiatan agama, apa dilakukan secara aktif atau tidak
2) Jenis
partisipasi dalam kegiatan agama
b. Keyakinan
agama atau spiritual, mempengaruhi:
1) Praktik kesehatan:
diet, mencari dan menerima terapi, ritual atau upacara agama
2) Persepsi
penyakit: hukuman,cobaan terhadap keyakinan
3) Stress
koping
c. Nilai
agama atau spiritual, Mempengaruhi:
1) Tujuan
dan arti hidup
2) Tujuan
dan ari kematian, kesehatan dan pemeliharaannya
3) Hubungan
dengan tuhan, diri sendiri dan orang lain
d. Pengkajian
data subjektif
Pedoman pengkajian spiritual yang disusun oleh
Stoll dalam Craven dan Hirnle (1996) dalam (Hamid 2008., p.20) mencakup empat
area, yaitu:
1) Konsep
ketuhanan
2) Sumber
harapan atau kekuatan
3) Praktik
agama dan ritual
4) Hubungan
antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan
Pertanyaan
yang dapat di ajukan perawat untuk memperoleh informasi tentang pola fungsi
spiritual klien, antara lain:
a) Apakah
agama atau tuhan merupakan hal penting dalam kehidupan anda?
b) Kepada
siapa biasanya anda meminta bantuan?
c) Apakah
anda merasa percaya bahwa agama membantu anda?jika ya, bagaimana dapat membantu
anda?
d) Apakah
sakit (atau kejadian penting lainnya yang pernah anda alami) telah mengubah
perasaan anda terhadap tuhan atau praktik agama anda?
Fish dan Shelly dalam Craven dan Hirnle (1996)
dalam (Hamid, 2008, p.21) juga menambah beberapa pertanyaan yang bermanfaat
untuk mengkaji data subjektif, yaitu:
a) Mengapa
anda berada dirumah sakit?
b) Apakah
kondisi sakit yang anda alami telah mempengaruhi cara anda memandang kehidupan?
c) Apakah
penyakit anda telah mempengaruhi hubungan anda dengan orang yang paling berarti
dalam kehidupan anda?
d) Apakah
kondisi sakit yang anda alami telah mempengaruhi cara anda melihat diri sendiri?
e) Apa yang
paling anda butuhkan saat ini?
e. Pengkajian
data objektif
Pengkajian data objektif dilakukan melalui
pengkajian klinis yang meliputi pengkajian afek dan sikap, prilaku,
verbalisasi, hubungan interpersonal dan lingkungan. Pengkajian data objektif
terutama dilakukan melalui observasi. Shelley & fish, 1998; Summer, 1998
dalam Kozier, 2010 p. 504 dan Hamid, 2008., p.22
1)
Afek dan sikap
Apakah pasien tampak kesepian, depresi, marah,
cemas, agitasi, apatis atau preokupasi?
2)
Prilaku
a) Apakah
pasien tampak berdoa sebelum makan, membaca kitab suci atau buku agama?
b) Apakah
pasien sering kali mengeluh, tidak dapat tidur, mimpi buruk, dan berbagai
bentuk gangguan tidur lainnyya serta bercanda yang tidak sesuai atau
mengekspresikan kemarahannya terhadap agama?
3) Verbalisasi
a) Apakah
pasien menyebut tentang makna dan arti hidup
b) Kebutuhan,
doa atau topik keagamaan lainnya (walau hanya sepintas)
c) Apakah
pasien pernah meminta dikunjungi oleh pemuka agama?
d) Apakah
pasien mengekspresikan rasa takutnya terhadap kematian, kepedulian terhadap
arti kehidupan, konflik batin tentang keyakinan agama, kepedulian tentang
hubungan dengan yang maha penguasa, arti keberadaannya di dunia, arti
penderitaan atau implikasi terapi terhadap nilai moral/etik?
4) Hubungan
interpersonal
a) Siapa pengunjung
pasien?
b) Bagaimana
pasien berespon terhadap pengunjung?
c) Apakah
pemuka agama mengunjungi pasien?
d) Bagaimana
pasien berhubungan dengan pasien lain dan dengan tenaga keperawatan
5) Lingkungan
a) Apakah
pasien membawa kitab suci atau perlengkapan sembahyang lain?
b) Apakah
pasien menerima kiriman tanda simpati dari unsur keagamaan?
c) Apakah
klien memakai pakaian yang memiliki makna religius?
Menurut Hamid (2008)., p.23 pada umumnya
karakteristik klien yang berpotensi mengalami distress spiritual adalah sebagai
berikut.
a. Klien
yang tampak kesepian dan sedikit pengunjung
b. Klien
yang mengekspresikan rasa takut dan cemas
c. Klien
yang mengekspresikan keraguan terhadap sistem agama
d. Klien
yang mengekspresikan rasa takut terhadap kematian
e. Klien
yang akan di operasi
f. Penyakit
yang berhubungan dengan emosi atau implikasi sosial dan agama
g. Mengubah
gaya hidup
h. Preokupasi
tentang hubungan agama dan kesehatan
i. Tidak
dapat dikunjungi oleh pemuka agama
j. Tidak
mampu atau menolak melakukan ritual spiritual
k. Menverbalisasikan
bahwa penyakit yang di deritanya merupakan hukuman dari tuhan
l. Mengekspresikan
kemarahannya kepada tuhan
m. Sedang
menghadapi sakaratul maut (dying)
Tabel. Panduan Pengkajian Terfokus. Menurut
Hamid, 2008., p.24
No
|
Aspek spritual
|
Pertanyaan dan pendekatan
|
1
|
Keyakinan spiritual
|
Apakah ada keyakinan spiritual atau agama
yang penting bagi anda?
Apakah keyakinan agama anda mengatur tindakan
yang berkonflik dengan terapi yang direkomendasikan oleh dokter?
|
2
|
Praktik spiritual
|
Uraikan praktik spiritual yang biasa anda lakukan
atau yang mengganggu kemampuan anda uuntuk melakukannya?
Apakah saya dapat membantu anda untuktatap
melakukannya?
|
3
|
Hubungan antara keyakinan spiritual dengan
kehidupan sehari-hari
|
Uraikan bagaimana keyakinan spiritual anda
mempengaruhi kehidupan anda sehari-hari?
Apakah pengaruh tersebut membuat hidup anda
lebih sehat atau justru destruktif?
|
4
|
Defisit atau distress spiritual
|
Apakah keyakinan spiritual anda akhir-akhir
inimenyebabkan distress?
|
5
|
Kebutuhan spiritual
|
Dengan cara apa saya dan perawat lain
membantu anda memenuhi kebutuhan spiritual anda?
Apakah anda ingin berhubungan dengan pemuka
agama?
|
6
|
Kebutuhan menemukan arti dan tujuan
|
Dengan cara apa keyakinan agama anda
membantua atau menghalangi anda
mengahadapi situasi yang di alamiakhir ini serta menghadapinya dengan
keberanian dan perasaaan damai?
|
7
|
Kebutuhan mencintai dan keterikatan-kedekatan
|
Dengan cara apa keyakinan keagamaan anda
membantu atau menghalangi anda untuk memenuhi kebutuhan untuk dicintai dan
mencintai?
|
8
|
Kebutuhan untuk mendapatkan pengampunan
|
Dengan cara apa keyakinan agama anda membantu
atau menghalangi anda untuk merasa damai?
|
9
|
Observasi prilaku penting
|
Waspadai kemungkinan perubahan mendadak dalam
praktik spiritual, perubahan alam perasaan, minat yang tiba-tiba terhadap
hal-hal spiritual dan gangguan pola tidur. Semuanya ini mungkin menunjukkan
adanya kebutuhan spiritual yang belum terpenuhi?
|
f.
Pengkajian menurut Potter
& perry (2005)
1. Keyakinan
dan makna
Penting untuk mempelajari
tentang filosofi hidup seseorang, perspektif spiritualitasnya, dan apakah
pandangan spiritualnya sebagai bagian darikehidupannya secara keseluruhan.
Tanyakan kepada klien,”dapatkah anda katakan kepadasaya tentang filosofi hidup
anda?, jelaskan kepada saya apa yang paling penting dalam hidup anda ? katakan
kepada saya apa yang telah memberi makna hidup anda ?”. informasi ini dapat
membantu perawat untuk mengenali fokus spiritual klien dan dampak penyakit pada
kehidupan seseorang. Suatu pemahaman tentang keyakinan dan makna yang
mencerminkan sumber spiritual seseorang memudahkan dalam mengatasi kejadian
troumatik atau yang menyulitkan. (Potter & perry, 2005., p.571)
2. Autoritas
dan pembimbing
Autoritas dapat berupa yang
maha kuasa, pembuka agama, keluarga atau teman, diri sendiri. Suatu autoritas
memandu seseorang dalam mengujai keyakinan dan mengalami pertumbuhan. Perawat
dapat mengkaji sumber autoritas dan pedomn seseorang dengan menanyakan klien
“apa yang memberi anda kekuatan dari dalam?, kepada siapa anda mencari bantuan
untuk pedoman dalam hidup anda?”. Juga penting untuk mengetahui apakah ada
sumber keagamaan yang berkonflik dengan pengobatan medis. Hal ini sangat
mempengaruhi pilihan yang diberikan perawat dan pemberi perawatan kesehatan
lainnya kepada klien. Misalnya jika klien penganut saksi yehove sebagai sumber
autoritasnya maka tranfisi darah tidak akan diterima sebagai suatu bentuk
pengobatan. (Potter & perry, 2005., p.571)
3. Pengalaman
dan emosi
Pengkajian spiritual yang
mencakup tinjauan tentang riwayat seseorang dengan dan kapasitas pengalaman
keagamaan dan apakah pengalaman tersebut terjadi mendadak atau bertahap.
Perawat dapat menanyakan “pernahkah anda mempunyai pengalaman keagamaan atau
spirirual yang membuat berbeda dalam anda menjalani hidup?”. Perawat menggali
emosi atau suasana hati seperti kebahagian damai, marah, rasa bersalah, harapan
atau rasa malu yang berkaitan dengan pengalaman keagamaan. Informasi tersebut
dapat menunjukkan makna spiritualitas yang dianut dan apakan perasaan tersebut
menyatu kedalam atau ditolak oleh keyakina
klien. (Potter & perry, 2005.,
p.572)
4. Persahabatan
dan komunitas
Pengkajian
holistik perawat menggali keluasan jaringan dukunan seseorang dan hubungan
mereka dengan klien. Apakah klien mempunyai satu hubungan persahabatan
atau lebih ? tingkat dukungan apa yang
diterima dari komunitas ini ? bagaimana komunitas mengekspresikan perasaan
tentang perhatian dan persahabatan? perawat ingin mempelajari apakah terdapat
keterbukaan diantara klien dan individu tersebut dengan siapa klien membentuk
persahabatan. (Potter & perry, 2005., p.572).
5. Ritual
dan ibadat
Klien
yang beragama islam mungkin berkeinginan untuk memadukan ritual sembahyang
mereka ke dalam rutinitas perawatan kesehatan. Ketika kematian klien sudah
dekat, sangat penting artinya untuk mengetahui apakah praktik keagamaan harus
di lakukan untuk memastikan ketenangan jiwa bagi klien dan keluarganya. (Potter
& perry, 2005., p.573)
6. Dorongan
dan pertumbuhan
Pengkajian mencakup tinjauan
apakah klien membiarkan keyakinan lama terpendam dengan harapan bahwa keyakinan
baru akan muncul. Hal ini penting karena kehilangan harapan dapat menyebabkan
keputusasaan. Jika penyakit membuat seseorang lebih bergantung, dapatkah sumber
baru muncul? (Potter & perry, 2005., p.574)
7. Panggilan
dan konsekuensi
Individu
mengekspresikan spiritulitas mereka pada rutinitas sehari-hari, pekerjaan,
hubungan, dan bidang lainnya. Hal tersebut dapat menjadi panggilan dalam hidup
dan menjadi bagian dari identitas mereka. Perawat mengkaji apakah dalam
menghadapi penyakit, klien kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan rasa
keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar darinya.. (Potter & perry,
2005., p.574)
2. Diagnosa
Keperawatan
Menurut
NANDA 2003,mengakui tiga diagnosis yg berhubbungan dengan spiritual :
a.
Distress spiritual adlah hambatan
kemampuan untuk mengalami dan menintegritas makna dan tujuan hidup melalui
keterkaitan dengan sesuatu.
b. Kesiapan
untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual
c. Resiko
distress spiritual
Sedangkan
menurut kozier menyebutkan distres spiritual dapat memengaruhi area fungsi lain
dan mengidentifikasi diagnosis lain.Dalam
kondisi tsb distress spiritual menjadi etiologi,contohnya mliputi :
1)
Ketakutan ya b/d kecemasan
mengenai roh dimasa mendatang setelah kematian dan ketidak siapan menghadapi
kematian
2) HDR kronik atau situasional yg b/d kegagalan
untuk hidup sesuai dengan ajaran keyakinan individu
3) Gangguan
pola tidur yg b/d distres spiritual
4) Ketidakefektifan
koping yg b/d perasaan diabaikan Tuhan dan kehilangan keyakinan keagamaan.
5) Konflik
pengambilan keputusan yg b/d konflik antara rencana penanganan dan keyakinan
keagamaan
Sedangkan
menurut Hamid 2008,menyatakan distress spirirual sbgai etiologinya,sehingga
muncul diagnosa :
a)
Gangguan penyesuaian terhadap
penyakit yg b/d ketidak mampuan ntuk
merekonsilasi penyakit dgn keyakinan spiritual.
b) Ketidakefektifan
kping individu yg b/d kehilangan agama sebagai dukungan utama.
c) Takut yg b/d belum siap menghadapi kematian dan
pengalaman kehdupan setelah kematian
d) Berduka
yang disfungsional,keputus asaan yg b/d keyakinan bhwa agama tidak mempunyai
anti.
e) Keputusasaan
yg b/d keyakinan bahwa tidak ada yang peduli termasuk Tuhan
f) Ketidak
berdayaan yg b/d perasaan menjadi korban
g) Gangguan
HDR yg b/d kegagalan u hidup sesuai dg ajaran agama
h) disfungsional
seksual yg b/d konflik nilai
i) Gangguan
pola tidur yg b/d distress spiritual
j) Resiko
perilaku kekerasan terhadap diri sendiri yg b/d perasaan bahwa hidup ini tidak
beart
3. Intervensi
a. Membantu
pasien memenuhi kewajiban agamanya,
b. Membantu
pasien menggunakan sumber dari dalam dirinya dengan cara yang lebih efektif
untuk mengatasi situasi yang sedang dialami,
c. Membantu
pasien mempertahankan atau membina hubungan personal yang dinamik dengan maha
pencipta ketika sedang menghadapi peristiwa yang kurang menyenangkan,
d. Membantu
pasien mencari arti keberadaannya dan situasi yang sedang dihadapinya,
e. Meningkatkan
perasaan penuh harapan,
f. Memberikan
sumber spiritual atau cara lain yang relevan.(kozier,
2005)
Craven & Hirnle (1996) mengklasifikasi intervensi
berdasarkan kelompok usia
1) Bayi
2) Todler dan anak pra-sekolah
3) Anak dan remaja
4) Dewasa dan lanjut usia (Hamid,
2009)
4. Implementasi
a. Menunjukkan
Kehadiran
Osterman dan
Schwartz-Barcott (1996) mengidentifikasi empat cara hadir untuk klien:
1) Hadir
2) Hadir persial
3) Hadir penuh
4)
Hadir transendens (kozier,
2005)
b. Mendukung praktik keagamaan
c. Membantu klien berdoa
d. Merujuk klien untuk konseling spiritual (Kozier, 2005)
Pada tahap implementasi,
perawat menerapkan rencana intervensi dengan melakukan prinsip-prinsip kegiatan
asuhan keperawatan sebagai berikut :
1) Periksa
keyakinan spiritual pribadi perawat,
2) Fokuskan
perhatian pada persepsi pasien terhadap kebutuhan spiritualnya,
3) Jangan
beranggapan pasien tidak mempunyai kebutuhan spiritual,
4) Mengetahui
pesan non verbal tentang kebutuhan spiritual pasien,
5) Berespon
secara singkat, spesifik, dan aktual,
6) Mendengarkan
secara aktif dan menunjukkan empati yang berarti menghayati masalah pasien,
7) Membantu
memfasilitasi pasien agar dapat memenuhi kewajiban agama,
8) Memberitahu
pelayanan spiritual yang tersedia di rumah sakit. (hamid, 2009).
5. Evaluasi
Tujuan
asuhan keperawatan tercapai apabila secara umum pasien :
a. Mampu
beristirahat dengan tenang,
b. Mengekspresikan
rasa damai berhubungan dengan tuhan,
c. Menunjukkan
hubungan yang hangat dan terbuka dengan pemuka agama,
d. Mengekspresikan
arti positif terhadap situasi dan keberadaannya,
e. Menunjukkan
afek positif, tanpa rasa bersalah dan kecemasan.
E. Asuhan keperawatan
distress spiritual
1. Pegertian
Distress spiritual
adalah hambatan kemampuan untuk mengalami dan mengintegrasikan makna dan tujuan hidup melalui keterkaitan
seseorang dengan diri sendiri, orang lain, seni, musik, literature, alam, atau
kekuatan yang lebih besar dari diri sendiri.
Distress spiritual
mengacu pada gangguan atau tantangan terhadap keyakinan atau system nilai
individu yang memberi kekuatan, harapan, dan makna hidup. Kemungkinan factor
pada distress spiritual mencakup masalah fisiologis, kekhawatiran terhadap
penanganan, dan kekhawatiran situasional. Distress spiritual dapat
direfleksikan dalam berbagai perilaku termasuk depresi, ansietas, pernyataan
tidak berharga, dan takut akan kematian (kozier, 2010, p. 505).
2. Tujuan
Menurut hamid (2008),
tujuan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami distress spiritual harus
difokuskan pada menciptakan lingkungan yang mendukung praktik keagamaan dan
keyakinan yang biasanya dilakukan, seperti:
a. Klien
akan mengidentifikasi keyakinan spiritual untuk
memenuhi kebutuhan dan memperoleh arti dan tujuan, mencintai,
keterikatan dan pengampunan.
b. Klien
akan menggunakan kekuatan keyakinan, harapan, dan rasa nyaman ketika menghadapi
tantangan berupa penyakit, cedera atau krisis kehidupan lain.
3. Tanda
dan gejala distress spiritual
Menurut
hamid (2008) pada umumnya karakteristik klien yang berpotensi mengalami
distress spiritual adalah sebagai berikut:
a. Klien
yang tampak kesepian dan sedikit pengunjung.
b. Klien
yang mengekspresikan rasa takut dan cemas.
c. Klien
yang mengekpresikan keraguan terhadap sistem agama.
d. Klien
yang mengekspresikan rasa takut terhadap kematian.
e. Klien
akan dioperasi.
f. Penyakit
yang berhubungan dengan emosi atau implikasi social dan agama.
g. Mengubah
gaya hidup.
h. Preokupasi
tentang hubungan agama dan kesehatan.
i. Tidak
dapat dikunjungi oleh pemuka agama.
j. Tidak
mampu atau menolak melakukan ritual spiritual.
k. Memverbalisasikan
bahwa penyakit yang dideritanya merupakan hukuman dari tuhan.
l. Mengekspresikan
kemarahannya kepada tuhan
m. Sedang
menghadapi sakaratul maut (dying).
4.
Askep
a. Pengkajian
Data mengenai keyakinan spiritual klien
diperoleh dari riwayat umum klien (pilihan agama atau orientasi agama),
pengkajian riwayat keperawatan yang menyeluruh, dan observasi klinis perilaku
klien, verbalisasi, alam perasaan, dan sebagainya (kozier, 2008, p. 503).
1) Riwayat
keperawatan
2) Pengkajian
klinis (lingkungan, perilaku, verbalisasi, afek dan sikap, dan hubungan
interpersonal)
b. Diagnosa
keperawatan
1) Distress
spiritual berhubungan dengan ketidakmampuan mempraktikkan ritual spiritual
2) Distress
spiritual berhubungan dengan krisis penyakit dan ancaman kematian.
3) Keputusasaan
yang berhubungan dengan keyakinan bahwa tidak ada yang perduli, termasuk
tuhan..
4) Ketidakefektifan
koping berhubungan dengan perasaan diabaikan oleh tuhan dan kehilangan
keyakinan agama.
c. Intervensi
Perencanaan
terkait kebutuhan spiritual harus dirancang untuk melakukan satu atau lebih
dari hal-hal berikut (kozier, 2010, p. 507)
1) Membantu
klien memenuhi kewajiban keagamaan.
2) Membantu
klien memperoleh dan menggunakan sumber yang ada dalam dirinya secara lebih
efektif untuk mengatasi situasi yang sedang dihadapi.
3) Membantu
klien mempertahankan atau menciptakan hubungan personal yang dinamis dengan
Yang Maha Tinggi pada saat berhadapan dengan situasi yang tidak menyenangkan.
4) Membantu
klien menemukan makna keberadaan dan situasi yag sedang dihadapi.
5) Meningkatkan
rasa harapan.
6) Menyediakan
sumber spiritual jika tersedia.
d. Implementasi
1) Menunjukan
kehadiran
a) Hadir
secara fisik,
b) Hadir
dengan sepenuh hati
c) Mendengarkan,
dengan kesadaran penuh atas hak khusus untuk melakukannya
d) Hadir
dalam cara yang bermakna bagi orang lain.
2) Mendukung
praktik keagamaan
3) Membantu
klien berdoa,
4) Merujuk
klien utuk konseling spiritual.
F.
Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Menjelang Ajal
1. Pengkajian
Untuk
mendapatkan data dasar lengkap yang memungkinkan analisis akurat dan
identifikasi diagnosis keperawatan yang tepat untuk klien menjelang ajal dan
keluarga mereka, perawat pertama kali perlu mengetahui status pemahaman yang
ditunjukkan oleh klien dan anggota keluarga, yaitu tidak memiliki pemahaman,
keadaan saling berpura-pura dan pemahaman terbuka.
Pada
saling berpura-pura, klien, keluarga, dan personel kesehatan tahu bahwa
prognosis menunjukkan penyakit terminal tetapi tidak membicarakannya dan
berusaha untuk tidak memunculkan subjek tersebut. Pada pemahaman terbuka, klien
dan orang di sekitarnya mengetahui tentang kematian yang akan datang dan merasa
nyaman mendiskusikannya, walaupun terasa sulit. Dalam tidak memiliki pemahaman, klien tidak menyadari kematian yang
akan datang. Keluarga mungkin tidak sepenuhnya memahami mengapa klien sakit dan
mereka percaya bahwa klien akan pulih. Dokter meyakini bahwa hal terbaik adalah
tidak mengomunikasikan diagnosis atau prognosis kepada klien. Personel
keperawatan dihadapkan dengan masalah etik dalam situasi ini. (Kozier, 2010, p. 570).
Wawancara pengkajian pada keluarga atau orang terdekat:
a.
Pernahkan Anda
dekat dengan seseorang yang sebelumnya menjelang ajal?
b.
Apa yang pernah
dikatakan kepada Anda mengenai seseuatu yang mungkin terjadi apabila terjadi
kematian?
c.
Apakah Anda
mempunyai pertanyaan mengenai apa yang mungkin terjadi di saat kematian?
d.
Menurut Anda
bagaimana Anda akan mengatakan selamat tinggal?
e.
Bagaimana Anda
merawat diri sendiri selama masa ini?
f.
Kepada siapa
Anda meminta bantuan dalam masa ini?
g.
Apakah ada orang
yang ingin Anda hubungi melalui saya saat ini atau saat kematian terjadi?
Asuhan
keperawatan dan dukungan untuk klien yang menjelang ajal dan keluarga terdiri
atas membuat pengkajian akurat mengenai tanda-tanda fisiologi menjelang ajal.
Selain tanda-tanda yang berhubungan dengan penyakit spesifik klien, tanda-tanda
fisik tertentu lainnya dapat mengindikasikan keadaan menjelang ajal. Empat
karakteristik utama perubahan adalah kehilangan tonus otot, perlambatan
sirkulasi, perubahan respirasi, kerusakan sensori. (Kozier, 2010)
Potter
& Perry (2005) menjelaskan tanda kematian berdasarkan respon fisiologis
pada masa saat kematian dan setelah kematian, serta respon psikologis yang
mungkin muncul pada klien menjelang ajal.
Saat
kematian mendekat, perawat membantu keluarga dan orang terdekat lain untuk
mempersiapkan diri. Bergantung sebagian pada pengetahuan mengenai status
pemahaman seseorang, perawat memberi pertanyaan yang membantu mengidentifikasi
cara-cara untuk menyediakan dukungan selama periode sebelum dan sesudah
kematian. Terutama, perawat perlu mengetahui apa yang keluarga harapkan akan
terjadi saat seseorang meninggal sehingga informasi akurat dapat diberikan
dengan kedalaman yang tepat. Saat anggota keluarga mengetahui apa yang
diharapkan mereka mungkin mampu mendukung orang yang menjelang ajal dan orang
lain yang berduka. Selain itu, mereka mungkin mampy membuat keputusan tertentu
mengenai kejadian disekitar kematian seperti apakah mereka ingin melihat
jenazah klien atau tidak.
Menurut Hegner (2003, p. 461), saat kematian mendekat
terdapat beberapa perubahan fisik yang dapat dikaji, antara lain:
1)
Pasien kurang
responsif
2)
Fungsi tubuh
melambat
3)
Pasien
kehilangan kontrol otot volunter dan involunter
4)
Pasien berkemih
dan defekasi dengan tidak sengaja
5)
Rahang cenderung
jatuh
6)
Pernapasan tidak
teratur dan dangkal
7)
Sirkulasi melambat
dan ekstremitas dingin. Nadi cepat dan melemah dengan progresif
8)
Kulit memucat
9)
Mata membelalak
dan tidak berespon terhadap cahaya
10) Pendengaran adalah indera yang terakhir hilang, jadi
pada pasien muslim perawat harus membimbing pasien dengan mentalqinkannya.
2. Diagnosa
Berbagai
diagnosis keperawatan, untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikologis,
dapat disusun untuk klien menjelang ajal, bergantung pada data pengkajian.
Diagnosa yang khususnya tepat untuk klien menjelang ajal adalah:
a. Ketakutan
berhubungan dengan ancaman kematian (proses sekarat)
b. Keputusasaan
berhubungan dengan penyakit terminal
c. Ketidakberdayaan
d. Resiko
ketegangan peran pemberi asuhan
e. Gangguan
proses keluarga
f. Berduka
berhubungan dengan kematian
3. Intervensi Keperawatan
Tujuan
utama untuk klien menjelang ajal adalah:
a. Mempertahankan
kenyamanan fisiologis dan psikologis
b. Mencapai
kematian yang damai dan bermartabat
atau terhormat
c. Membantu
mengurangi depresi dan ketakutan pasien
d. Mempertahankan
harapan dan membantu pasien menerima kenyataan
Marelli
(2007, p. 345-346), juga merumuskan beberapa tujuan dan kriteria hasil yang
diharapkan dari asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien yang menjelang
ajal, antara lain sebagai berikut:
1)
Mobilitas fungsi
dan ambulasi dipertahankan (jika memungkinkan)
2)
Dukungan
diberikan kepada pasien dan keluarga dalam melewati kematian
3)
Pasien menjalani
kematian secara terhormat, dengan kehadiran seseorang yang dicintainya, jika
memungkinkan
4)
Pasien meninggal
dengan tenang
5)
Pasien
mengungkap kontrol terhadap atau pengurangan ansietas
6)
Pasien secara
aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang perawatan dan
aktivitas sehari-hari
7)
Martabat dan
privasi pasien dihargai, serta perawatan diri dan ADL diberikan.
Intervensinya:
a) Beri
dukungan dan kembalikan kontrol diri pasien dengan cara mengatur tempat
perawatan, mengatur kunjungan, jadwal aktivitas dan penggunaan sumber pelayanan
kesehatan.
b) Bantu
pasien mengatasi kesepian, depresi dan rasa takut
c) Bantu
pasien mempertahankan rasa nyaman,percaya diri dan harga diri
d) Bantu
pasien mempertahankan harapan yang dimiliki
e) Bantu
pasien menerima kenyataan
f) Penuhi
kebutuhan fisiologis
g) Beri
dukungan spiritual dengan memfasilitasi kegiatan spiritual pasien
h) Tingkatkan
suatu hubungan saling percaya
Wilkinson
(2006, p. 29), menyatakan terdapat beberapa tindakan yang dapat diberikan
kepada pasien yang menjelang ajal yaitu:
1)
Dukung kebutuhan
spiritual pasien tanpa menekankan kepercayaan diri perawat pada pasien
2)
Atur akses ke
pendeta atau penasehat spiritual sesuai dengan yang diinginkan pasien
3)
Gunakan
keterampilan komunikasi terapeutik untuk membangun hubungan saling percaya dan
memfasilitasi ekspresi dari kebutuhan pasien
4)
Dengarkan pasien
dengan penuh perhatian
5)
Berikan
kenyamanan fisik dan keamanan.
4. Evaluasi
Untuk
menevaluasi pencapaian tujuan klien, perawat mengumpulkan data yang
sesuaidengan hasil yang telah dibuat dalam fase perencanaan. Aktivitas evaluasi
dapat terdiri atas:
a.
Mendengarkan
laporan klien mengenai perasaan dapat mengontrol lingkungan di sekitar
kematian, seperti mengontrol pereda nyeri, didatangi keluarga dan orang
pendukung, atau rencana penanganan.
b. Mengobservasi hubungan klien dengan orang terdekat
Mendengarkan pikiran
dan perasaan klien berkenaan dengan keputusasaan atau ketidakberdayaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamid, A .Y.S. (2008).Bunga rampai Asuhan Keperawatan Jiwa.Jakarta
: EGC
Hawari, D. (2007). Doa dan zikir sebagai Pelengkap Terapi Medis.
Jakarta : Penerbit
FKUI
Herger,
B.R. 2003. Asisten Keperawatan: Suatu
Pendekatan Proses Keperawatan. Ed. 6. Jakarta: EGC
Kozier, B. et al. 2010. Buku ajar fundamental keperawatan: konsep,
proses, dan praktik. Vol.2. (Pamilih Eko K., et. al., Penerjemah). Jakarta:
EGC
Potter & Perry (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik.
Edisi 4 Volume 1. Jakarta: EGC
No comments:
Post a Comment
Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat