google adsense

Monday, August 7, 2017

Perkembangan Konsep Diri Berdasarkan Tumbuh Kembang

G.    Perkembangan Konsep Diri Berdasarkan Tumbuh Kembang
Perkembangan konsep diri adalah proses sepanjangan hidup. Setiap tahap perkembangan mempunyai aktifitas spesifik yang membantu pasien dalam mengembangkan konsep diri yang positif.
1.      Bayi
Yang dibutuhkan seorang bayi adalah pemberi perawatan primer dan hubungan dengan pemberi perawatan tersebut. Peran member perawatan ini dapat dipenuhi oleh ibu, ayah, atau seseorang yang bertanggung jawab untuk merawat bayi. Jika bayi mengalami kesenangan, interaksi penuh kasih saying dengan pemberi perawatannya, maka hal ini akan diingat dan diinternalisasikan kedalam psikis bayi. Jika interaksinya tidak memuaskan, menyakitkan atau mengakibatkan frustasi, maka ini akan terpisah dari psikis dan ditekan di bawah sadar. Perasaan yang dipisahkan dan ditekan ini akan dikeluarkan dalam bentuk lain dalam kehidupan. ( Perry & Potter, 2005, p: 506-507)
Pada awalnya, bayi baru lahir semata-mata menyatakan perbedaan antara sensasi menyenangkan dan objek yang menyebabkan sensasi tersebut didapat. Neonates tidak mempunyai rasa batasan diri yang jelas. Dunia luas adalah perluasan dari diri mereka. Hanya jika fungsiperseptif dan fungsi sensoris matur, maka bayi secara bertahap belajar tentang tubuh mereka. Bayi benar-benar bergantung pada orang dewasa untuk merawat kebutuhan dasar mereka. Jika kebutuhan seperti makan dan perawatan terpenuhi dengan cepat dan konsisten, bayi mulai membentuk rasa percaya dengan dunia. Karena bayi memandang diri mereka sebagai bagian dari pemberi perawatan primer, maka pengalaman positif membantu merekan meraih kepercayaan dalam diri mereka sendiri. ( Perry & Potter, 2005, p: 507)
Pengalaman pertama bayi dengan tubuh mereka, yang sangan ditentukan oleh kasih sayang dan sikap ibu, adalah dasar untuk perkembangan citra tubuh. Penerimaan dan pengaturan tubuh dikemudian hari dan reaksi orang lain terhadap hal tersebut adalah cara kita melanjutkan pembentukan citra tubuh kita.
2.      Toddler
Anak usia bermain (1 sapai 3 tahun) lebih aktif dan mampu untuk berinteraksi dengan orang lain. Tugas psikososial utama mereka adalah mengembangkan otonomi. Anak-anak beralih dari ketergantungan total kepada rasa kemandirian dan keterpisahan diri mereka dari orang lain. Mereka juga cenderung memandang orang lain dan diri mereka dalam istilah “semua baik” atau “semua tidak baik”. Mereka mencapai ketrampilan dengan makan sendiri dan melakukan tugas hygiene dasar. Anak usis bermain belajar untuk mengoordinasi gerakan dan meniru orang lain. Mereka belajar mengontrol tubuh mereka melalui ketrampilan locomotion, toilet training, berbicara, dan sosialisasi. ( Perry & Potter, 2005, p: 507)

3.      Usia Prasekolah
Batasan tubuh, rasa diri, dan jender dari anak usia prasekolah menjadi lebih pasti bagi mereka karena perkembangan keingintahuan seksual dan kesadaran tentang perbedaan dengan orang lain dari jender yang sama atau yang berbeda. Mempelajari tentang tubuh, dimana mulainya dan mana akhirnya, seperti apa nampaknya dan apa yang dilakukan adalah dasar untuk pembentukan konsep diri dan citra tubuh. Pertumbuhan kesadaran diri termasuk penemuan perasaan, misalnya : anak usia sekolah belajar nama dari perasaannya. ( Perry & Potter, 2005, p: 507)
Anak-anak merasa kecih dalam hubungannya dengan orang dewasa. Mereka menetapkan pandangan negative atau positif tentang diri mereka. Mereka mendenganr dan mengalami emosi dan pernyataan dari orang lain, terutama orang tua, tentang diri mereka sebagai individu. Mereka juga mendengar tentang hal dan peristiwa di sekitar mereka. Ketika pengalaman ini berulang beberapa kali, mereka mulai membentuk pola yang diharapkan. ( Perry & Potter, 2005, p: 507)
4.      Anak Usia Sekolah
Dengan anak memasuki usia sekolah, pertumbuhan menjadi cepat, dan lebih banyak didapatkan ketrampilan motorik, social dan intelektual. Tubuh anak berubah dan identitas seksual menguat, rentang perhatian meningkat, dan aktifitas membaca memungkinkan ekspansi konsep diri melalui imajinasi ke dalam peran, perilaku, dan tempat lain. Melalui permainan, anak-anak berinteraksi dengan teman sebaya, mengembangkan ketrampilan motorik dan intelektual tambahan. Anak-anak mengekspresikan perasaan melalui permainan, literature, gambar, dan music. Perawat dapat menggunakan hal ini untuk mendapat petunjuk dalam konsep diri anak-anak. Dengan meningkatnya kemampuan pemecahan masalah, kesadaran diri tentang perkembangan kekuatan dan keterbatasan diri makin besar. Konsep diri dan citra tubuh dapat berubah pada saat ini karena anak terus berubah secara fisik, emosional, mental dan social. ( Perry & Potter, 2005, p: 508)
5.      Masa Remaja
Masa remaja membawa pergolakan fisik, emosional dan social. Sepanjang maturasi seksual, perasaan, peran dan nilai baru harus diintegrasikan ke dalam diri. Pertumbuhan cepat yang diperhatikan oleh remaja dan orang lain adalah factor penting dalam penerimaan dan perbaikan citra tubuh. Anak remaja dipaksa untuk mengubah gambaran mental mereka tentang tentang diri mereka. Perubahan fisik dalam ukuran dan penampilan menyebabkan perubahan dalam persepsi diri dan penggunaan tubuh. Anak remaja menghabiskan banyak waktu di depan cermin untuk hygiene, berdandan, dan berpakaian dimana mereka mencari perbaikan dari penampilan mereka sebanyak mungkin. Distress yang besar dirasakan tentang ketidaksempurnaan tubuh yang dicerap. ( Perry & Potter, 2005, p: 508)
Anak remaja mungkin terlalu menekankan penampilan: hidung yang mancung, telinga yang besar, tubuh yang pendek, atau kerangka tubuh yang besar mengakibatkan remaja menilai buruk terhadap dirinya. Jika anak remaja tidak merasa menerima diri merka atau tubuh mereka, mereka akan mencoba untuk berkompetensi melalui olah raga, keberhasilan dari hobi atau akademik, komitmen keagamaan, penggunaan obat atau alcohol, atau kelompok teman untuk meningkatkan prestise. Kompensasi mungkin berakibat cukup negative atau positif, bergantung pada penerimaan masyarakat dari aktifitas tertentu tersebut.  ( Perry & Potter, 2005, p: 508)
6.      Masa Dewasa Muda
Meski pertumbuhan fisik telah berhenti, perubahan kognitif, social dan perilaku terus terjadi sepanjang hidup. Dewasa muda (awal 20 tahunan sampai pertengahan 40 tahunan) adalah periode untuk memilih, menetapkan tanggung jawab, mencapai kestabilan dalam pekerjaan, dan mulai melakukan hubungan erat. Konsep diri dan citra tubuh menjadi relative stabil dalam masa ini. Konsep diri dan citra adalah kreasi social, dan penghargaan dan penerimaan diberikan untuk penampilan normal dan perilaku yang sesuai berdasarkan standar social. Konsep diri secara konstan terus berkembang dan dapat diidentifikasi dalam nilai, sikap dan perasaan tentang diri. ( Perry & Potter, 2005, p: 508)
7.      Usia Dewasa Tengah
Perubahan fisik seperti penumpukan lemak, kebotakan, rabut memutih, dan varises menyerang usia dewasa tengah. Tahap perkembangan ini terjadi sebagai akibat perubahan dalam produksi hormonal dan sering penurunan dalam aktifitas mempengaruhi citra tubuh, yang selanjutnya dapat mengganggu konsep diri. Orang menyadari bahwa mereka tampak lebih tua dan mereka mungkin merasakan juga bahwa mereka menjadi lebih tua. Pekerjaan mungkin sangat menegangkan jika orang dengan usia dewasa tengah merasa bahwa stamina, daya tahan dan ketegapan mereka menurun untuk mengahadapi tugas. ( Perry & Potter, 2005, p: 508-509)
Penyakit atau kematian orang yang dicintai dapat menimbulkan perhatian tentang kematian dirin sendiri. Individu usia dewasa tengah dapat merasa minder dengan orang muda karena gambaran diri tentang tubuh yang kuat dan sehat dengan energy tidak terbatas telah digantikan dengan gambaran diri yang mencerminkan perubahan penuaan. Kesulitan dalam menerima kemudaan juga disebabkan oleh ketakutan tentang efek menopause, cerita tentang seksualitas, dan social serta tekanan dari media iklan yang menggambarkan kemudaan. ( Perry & Potter, 2005, p: 509)

8.      Lansia
Perubahan fisik pada lansia tampak sebagai penurunan bertahap struktur dan fungsi. Terjadi penurunan kekuatan otot dan tonus otot. Osteoporosis, yang adalah penurunan kepada dan massa tulang, dapat meningkatkan resiko fraktur atau menciptakan “ punuk dowage”. Penurunan ketajaman pandangan adalah factor yang mempengaruhi lansia dalam berinteraksi dengan lingkungan. Proses normal penuaan menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan. Kehilangan pendengaran dapat menyebabkan perubahan kepribadian karena lansia menyadari bahwa mereka tidak lagi menyadari semua yang terjadi atau yang diucapkan. Kecurigaan, mudah tersinggung, tidak sabar, dan menarik diri dapat terjadi karena kerusakan pendengaran. Sering lansia memandang alat bantu dengar sebagai ancaman lain terhadap citra tubuh. (Perry & Potter, 2005, p: 509)
Kehilangan tonus kulit disertai dengan keriput dan penampilan dapat mempengaruhi harga diri dan menyebabkan lansia merasa jelek dalam masyarakat yang menghargai kemudaan dan kecantikan. Aktifitas seksual mungkin menghilang sejalan dengan pertambahan usia, meskipun kemampuan untuk melakukannya tetap ada. Sering lansia tidak melakukan aktifitas seksual karena mereka tidak mempunyai pasangan. Perubahan dalam citra tubuh dapat mengganggu aktifitas seksual karena penolakan yang diantisipasi atau yang dirasakan oleh pasangan atau karena ketakutan tentang tidak kemampuan untuk melakukannya, meskipun sebagian besar riset menunjukkan bahwa tidak ada rintangan fisik. (Perry & Potter, 2005, p: 509)
Konsep diri selama masa lansia dipengaruhi oleh pengalaman sepanjang hidup. Masa lansia adalah waktu dimana orang bercermin pada hidup mereka, meninjau kembali keberhasilan dan kekecewaan dan dengan demikian menciptakan rasa kesatuan dari makna tentang diri mereka dan dunia membantu generasi yang lebih muda dalam cara yang positif sering membantu lansia mengembangkan perasaan telah meninggalkan warisan. Konsep diri juga dipengaruhi oleh status kesehatan yang dirasakan orang tersebut saat ini. (Perry & Potter, 2005, p: 509-510)

Konsep-Diri: Tugas Perkembangan
0 sampai 1 tahun
v  Mulai untuk mempercayai
v  Membedakan diri dari lingkungan
1 sampai 3 tahun
v  Mempunyai control terhadap beberapa bahasa
v  Mulai menjadi otonom dalam pikiran dan tindakan
v  Menyukai tubuhnya
v  Menyukai dirinya
3 sampai 6 tahun
v  Mengambil inisiatif
v  Mengidentifikasi jender
v  Meningkatkan kewaspadaan diri
v  Ketrampilan berbahasa meningkat
6 sampai 12 tahun
v  Dapat mengatur diri sendiri (industry)
v  Berinteraksi dengan teman sebaya
v  Harga diri meningkat dengan penguasaan keterampilan baru
v  Menyadari kekuatan dan keterbatasan
12 sampai 20 tahun
v  Menerima perubahan tubuh
v  Menggali tujuan untuk masa depan
v  Merasakan positif tentang diri
v  Berinteraksi dengan orang yang mereka anggap menarik secara seksual
Pertengahan 20 tahunan-pertengahan 40 tahunan
v  Mempunyai hubungan intim dengan keluarga dan teman dekat
v  Mempunyai perasaan stabil, positif tentang diri
Pertengahan 40 tahunan-pertenghan 60 tahunan
v  Dapat menerima perubahan dalam penampilan dan ketahanan
v  Mengkaji kembali tujuan hidup
v  Menunjukkan perhatian dengan penuaan
Akhir usia 60 tahunan
v  Merasa positif tentang kehidupan dan maknanya
v  Tertarik dalam memberikan legalitas bagi generasi berikutnya
H.    Perkembangan Psikososial sesuai Tumbuh Kembang Menurut Erikson
Dalam bukunya yang berjudul “Childhood and Society” tahun 1963, Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan manusia”. Erikson berdalil bahwa setiap tahap menghasilkan epigenetic. Epigenetic berasal dari dua suku kata yaitu epi yang artinya “upon” atau sesuatu yang sedang berlangsung, dan genetic yang berarti “emergence” atau kemunculan. Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tiap tahap psikososial juga disertai oleh krisis. Perbedaan dalam setiap komponen kepribadian yang ada didalam tiap-tiap krisis adalah sebuah masalah yang harus dipecahkan/diselesaikan. Konflik adalah sesuatu yang sangat vital dan bagian yang utuh dari teori Erikson, karena pertumbuhan dan perkembangan antar personal dalam sebuah lingkungan tentang suatu peningkatan dalam sebuah sikap yang mudah sekali terkena serangan berdasarkan fungsi dari ego pada setiap tahap.
Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut :

1.      Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan) pada usia 0-1 tahun
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminasi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya.
Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang lain.
Hal ini jangan dipahami bahwa peran sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan menggunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti ini. Dengan kata lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi.
Pada dasarnya setiap manusia pada tahap ini tidak dapat menghindari rasa kepuasan namun juga rasa ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan ketidakpercayaan. Akan tetapi, hal inilah yang akan menjadi dasar kemampuan seseorang pada akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Di mana setiap individu perlu mengetahui dan membedakan kapan harus percaya dan kapan harus tidak percaya dalam menghadapi berbagai tantangan maupun rintangan yang menghadang pada perputaran roda kehidupan manusia tiap saat.
Adanya perbandingan yang tepat atau apabila keseimbangan antara kepercayaan dan ketidakpercayaan terjadi pada tahap ini dapat mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Nilai lebih yang akan berkembang di dalam diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa kalau segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka masih dapat mengolahnya menjadi baik.
Pada aspek lain dalam setiap tahap perkembangan manusia senantiasa berinteraksi atau saling berhubungan dengan pola-pola tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap ini bayi pun mengalami ritualisasi di mana hubungan yang terjalin dengan ibunya dianggap sebagai sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan tersebut terjalin dengan baik, maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan tersendiri. Sebaliknya, apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi suatu pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal atau sendiri dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan). Pemujaan ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya sendiri, atau sebaliknya anak akan memuja orang lain.             
2.    Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu pada usia 1-3 tahun
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages). Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan. Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman  baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan  yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain.
Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian.
Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu.
Jikalau dapat mengatasi krisis antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi atau jika diantara keduanya terdapat keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa “kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban”.
Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan tanpa rasa belas kasih.
3.    Inisiatif vs Kesalahan pada usia 4-5 tahun
Tahap ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan.
Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu kesalahan.
Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani. Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan oleh seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu, rangakain kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.  
4.    Kerajinan vs Inferioritas pada usia 6-11 tahun
Tahap keempat adalah tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 11 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka.        Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang mengidap sifat ini oleh Alfred Adler disebut dengan “masalah-masalah inferioritas”. Maksud dari pengertian tersebut yaitu jika seseorang tidak berhasil pada usaha pertama, maka jangan mencoba lagi. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.
Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat. Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.
5.    Identitas vs Kekacauan Identitas pada usia 12-20 tahun
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 20 tahun. Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu, salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion atau kekacauan identitas.
Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.
Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan ketidakkonsistennya.
6.    Keintiman vs Isolasi pada usia 20-40 tahun
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-40 tahun. Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.
Ritualisasi yang terjadi pada tahan ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.
7.    Generativitas vs Stagnasi pada usia 41-65 tahun
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 41 sampai 65 tahun. Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap siapapun.
Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan.
8.    Integritas vs Keputusasaan pada usia 65 tahun ke atas
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak terdapat integritas yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat. Kecenderungan terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan maladaptif  yang biasa disebut Erikson berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan dan kenyataan di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah dan menyesali kehidupan sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
AIPNI (2010). Kurikulum pendidikan ners. Fakultas keperawatan universitas indonesia. Jakarta
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien. Jakarta: Salemba Medika
Atkinson,L., Lita, Atkinson, C., Richard, dkk. (1992). Pengantar Psikologi Jilid I (edisi Ke-11). Batam: Interaksara
Carpenito, L. J. (1997). Buku saku: Diagnosa keperawatan. Edisi 6. Jakarta:EGC
Deglin, Judith Hopfer.( 2004). Pedoman Obat untuk Perawat Ed.4. Jakarta: EGC
Hawari, D.(2008) Manajemen Stres Cemas dan Depresi, Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Hudak, Carolyn M. (1997). Keperawatan Kritis; Pendekatan Holistik. Jakarta EGC
 Isaacs, Ann.( 2004). Panduan belajar : keperawatan kesehatan jiwa dan psikiatrik. Edisi 3. Jakarta :EGC
Kaplan Harold I. (1998). Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta : Widya Medika Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2010). Asepsis. Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses dan praktek.Ed. 7. Vol 2. Jakarta: EGC
Kee, Joyce L. (1996). Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC
Keliat, B.A., Panjaitan, R.U., & Daulima, N.H.C., (2005). Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta : EGC
Mycek, Mary J. (2001). Farmakologi: Ulasan Bergambar Ed. 2. Jakarta: Widya Medika
Potter & Perry (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik. Edisi 4 Volume 1. Jakarta: EGC
Pustaka familia. 2006. Konsep Diri Positif, Menentukan Prestasi Anak. Yogyakarta: Kanisius
Riyanti,B.P.,Prabowo, Hendro, dan Puspitawati, Ira. (1996). Psikologi Umum I (Seri Diktat Kuliah). Jakarta: Universitas Gunadarma
Stuart, G.W., & Sundeen, S.J., (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa (terjemahan). Edisi 3. Jakarta: EGC
Suliswati dkk. 2005. Konsep dasar keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta : EGC
Sunaryo (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
S. Hall, Calvin, dan Gardner Lindzey. (1993). Theories of Personality (terjemahan A. Supratika). Yogyakarta: Kanisius
Tarwoto & Wartonah. (2004). Kebutuhan dasar manusia dan proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Videbeck, Sheila. L. (2008), Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta. EGC

Wong, D. L, (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC

No comments:

Post a Comment

Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat