google adsense

Monday, August 7, 2017

Konsep Dasar Keluarga

Konsep Dasar Keluarga
A.    Pengertian Keluarga
Menurut Sayekti (1994) dalam Suprajitno (2004; 1), keluarga adalah suatu ikatan/persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi, dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.
Menurut Whall (1986) dalam Friedman (2010; 9), defenisi keluarga adalah sebuah kelompok yang mengidentifikasi diri dan terdiri atas dua individu atau lebih yang memiliki hubungan khusus, yang dapat terkait dengan hubungan darah atau hukum atau dapat juga tidak namun berfungsi sedemikian rupa sehingga mereka menganggap dirinya sebagai keluarga.
Menurut Allen, Fine, dan Demo (2000) dalam Friedman (2010; 9) bahwa keluarga ditandai dengan kelahiran, pernikahan, adopsi atau pilihan.
Menurut Fitzpatrick (2004) dalam Lestari (2008; 6), keluarga adalah rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekpresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan.
Menurut Duval dan Logan (1986) dalam Efendi dan Makhfudli (2009; 179) bahwa keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta social dari tiap anggota keluarga.
Keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh kebersamaan dan kedekatan emosional serta yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari keluarga (Friedman, Bowden, dan Jones,2010; 9).
Karena defenisi ini bersifat luas, defenisi ini mencakup berbagai hubungan di luar perspektif legal, termasuk di dalamnya adalah keluarga yang tidak ada hubungan darah, pernikahan, atau adopsi dan tidak hanya terbatas pada keanggotaan dalam suatu rumah tangga (Friedman, Bowden, dan Jones,2010; 9).
B.     Tipe keluarga
Dari pengertian tentang keluarga dapat disimpulkan bahwa karakteristik keluarga yaitu terdiri dari duat atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi; anggota keluarga biasanya hidup bersama, atau jika terpisah mereka tetap memperhatikan satu sama lain; anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai peran soail : suami, istri, anak, kakak, dan adik, mempunyai tujuan,
1.      Tipe keluarga tradisional :
a.       The Nuclear Family ( keluarga inti) yaitu keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak (kandung atau angkat)
b.      The Dyad Family, suatu rumah tangga yang terdiri dari suami, istri tanpa anak
c.       Reconstituted nuclear, pembentukan baru dari keluarga inti melalui perkawinan kembali suami istri, tinggal dalam pembentukan suatu rumah dengan anak-anaknya, baik itu anak dari perkawinan lama maupun hasil dari perkawinan baru.
d.      Keluarga Usila, keluarga terdiri  dari suami, istri yang sudah usia lanjut, sedangkan anak sudah memisahkan diri.
e.       The Childless, keluarga tanpa anak karena terlambat menikah, biasa disebabkan karena mengejar karir atau pendidikan.
f.       The Extende Family, keluarga yang terdiri dari keluarga inti ditambah keluarga lain, seperti paman, bibi, kakek, nenek.
g.      Single Parent yaitu keluarga yang terdiri dari satu orang tua dengan anak (kandung atau angkat). Kondisi ini dapat disebabkna ole perceraian atan meninggal
h.      Commuter Family, yaitu kedua orang tua bekerja diluar kota, adan bias berkumpul pada hari minggu atau hari libur saja.
i.        Multinegeration family, beberapa keluarga yang ditinggal bersama atau saling berdekatan dan menggunakan barang-barang pelayanan seperti dapur, sumur yang sama.
j.        Kin-network family,  bebeerapa keluarga inftri yang tinggal dalam satu rumah atau saling berdekatan dan saling menggunakan barang-barang dan pelayanan yang sama (dapur, kamar mandi, televise)
k.      Blended Family yaitu keluarga yang dibentuk dari janda atau duda dan membesarkan anak dari perkawinan sebelumnya.
l.        Single adult living alone yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari satu orang dewasa.

2.      Tipe keluarga nontradisional :
a.       The unmarried teenage mother, yaitu keluarga yang terdiri dari satu orang dewawa terutama ibu dengan anak dari hubungan tanpa nikah.
b.      The Step Parent Family,  yaitu keluarga dengan orang tua tiri.
c.       Commune Family,  yaitu lebih satu keluarga tanpa pertalian darah yang hidup semuarah.
d.      The non marital heterosexual cohabiting family,  yaitu keluarga yang hidup bersama, berganti-ganti pasangan tanpa menikah  .
e.       Gay and Lesbian Family, yaitu seseoarng yang mempunyai persamaan sex tinggal dalam satu rumah sebagaimana pasang suami istri.
f.       Cohabiating couple, yaitu orang dewasa yang hidup bersama diluar ikatan per-kawinan karena alas an tertentu.
g.      Group Marriage Family, yaitu beberepa orang dewasa yang telah merasa saling menikah, berbagi sesuatu termasuk sex dan membesarkan anka.
h.      Group Network Family, yaitu beberapa keluarga inti yang dibatasi oleh norma dan aturan, hidup berdekatan dan saling menggunakan barang yang sama dan bertanggung jawab membesaarkan anak.
i.        Foster Family, yaitu keluarga yang menerima anak yang tidak ada hubungan saudara untuk waktu sementara.
j.        Homeless Family,  yaitu keluarga yang terbentuk tanpa perlindungan yang permanen karena keadaan ekonomi atau problem kesehatan mental.
k.      Gang, yaitu keluarga yang destruktif dari orang-orang muda yang mencari ikat emosional, berkembang dalam kekerasan dan criminal.

C.     Fungsi Keluarga
1.       Fungsi afektif
Fungsi afektif berhubungan berhubungan dengan funsi internal keluarga perlindungan psikososial dan dukungan terhadap anggotanya. Sejumlah penelitian penting dilakukan untuk memastikan pengaruh positif kepribadian yang sehat dan ikatan keluarga pada kesehatan serta kesejahteraan individu (singer & Ryff,2001). Hubungan sosial yang positif berhubungan dengan hasil kesehatan yang lebih baik, umur panjang, dan penurunan tingkat stress. Sebaliknya, kehidupan keluarga juga dapat menimbulkan stress dan koping disfungsional dengan akibat yang dapat mengganggu kesehatan fisik (mis., sulit tidur, tekanan darah tinggi, penurunan respons imun ) (Singer & Ryff,2001).
Keluarga menyelesaikan tugas-tugas yang mendukung kesehatan perkembangan dan pertumbuhan anggotanya dengan memenuhi kebutuhan sosioemosional anggotanya, dimulai pada tahun-tahun awal kehidupan individu dan berlanjut selama masa hidupnya. Pemenuhan fungsi efektif adalah basis sentral baik bagi pembentukan maupun kesinambungan unit keluarga ( Satir, 1972). Citra diri individu dan rasa memilikinya berasal dari interaksi kelompok primer (keluarga). Oleh karena itu, keluarga berfungsi sebagai sumber cinta, pengakuan, penghargaan, dan dukungan primer.
Lovenland-Cherry (1996) menunjukkan bahwa afektif diantara anggota keluarga menghasilkan     suasana emosional pengasuhan, yang secara positif memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan serta rasa kompetensi pribadi. Pengasuh keluarga adalah penting bagi prilaku peningkatan kesehatan dan akibatnya sehat.

a.       Komponen fungsi afektif
Fungsi afektif melibatkan persepsi keluarga terhadap penghargaan akan dan asuhan kebutuhan psikososial anggotanya. Melalui pemenuhan fungsi afektif, keluarga meningkatkan kualitas kemanusiaan, stabilisasi kepribadian dan prilaku, relatabilitas (kemampuan berhubungan sangat baik), dan harga diri anggota keluarga.
1)      Memelihara saling asuh
Yang pertama dan terutama, pemenuhan fungsi efektif terkait dengan menciptakan  dan memelihara sistem keluarga yang saling asuh. Salah satu nilai keluarga yang paling penting adalah bahwa keluarga harus berfungsi sebagai tempat singgahan hangatan, dukungan, cinta, dan penerimaan. Prasyarat untuk mencapai saling asuh adalah komitmen dasar dari pasangan dewasa baik terhadap satu sama lain maupun terhadap hubungan pernikahan yang secara emosional saling memuaskan dan memerhatikan. Hal ini menjadi landasan emosional bagi orang tua membangun struktur suportif mereka. Sikap dan prilaku memerhatikan yang mengalir dari orang tua dan saudara kandung ke anak yang lebih kecil akan menghasilkan suatu aliran balik dari anak ke orang tua.Brown(1978)
Mutualitas dan timbal balik adalah konsep utama. Orang tua memberikan secara emosional kepada anak ; pada gilirannya, emosi ini diterima oleh anak dan dib alas baik kepada orang tua maupun sodara kandung. Hal yang sebaliknya juga terjadi: penolakan dan kemarahan orang tua melahirkan respon marah dan penolakan pada anak mereka. Dengan memelihara jenis lingkungan  emosional keluarga, tempat anggota keluarga saling berespons secara adekuat, keluarga memberikan kesempatan bagi individu untuk membentuk dan memelihara hubungan yang bermakna tidak hanya dengan anggota keluarga, tetapi juga dengan individu lain.
Dalam sebuah pernikahan atau hubungan rumah tangga, kebutuhan salimg memelihara saling asuh dapat di capai dengan menentukan kebutuhan emosional terpenting dari pasangan / mitra dalam rumah tangga dan seberapa efektif mereka saling memenuhi kebutuhan tersebut. Harley(1994), seorang psikolong dan penasehat pernikahan, menggunakan Emotional Needs Questionnaire untuk membantu ratusab keluarga yang ia bantu guna menentukan kebutuhan mereka dalam pernikahan mereka. Dari keluarga yang permah mendapat konseling darinya, lima kebutuhan dasar pria dan lima kebutuhan dasar wanita secara konsisten muncul sebagai sumber masalah pernikahan saat kebutuhan ini tidak terpenuhi.
2)      Membina keakraban
Dengan memenuhi fungsi afektif keluarga, anggota keluarga mengembangkan kemampuan untuk berhubungan secara akrab atau dekat dengan orang lain. Keakraban penting dalam hubungan manusia, karena keakraban memenuhi kebutuhan psikologis terhadap kedekatan emosional dengan manusia lain dan memungkinkan individu dalam hubungan untuk mengetahui kisaran penuh dari keunikan satu sama lain.
Seorang bayi biasanya pertama kali mengalami hubungan keakraban dengan orang tuanya, yang di mulai dengan ikatan ibu bayi. Hubingan tersebut terus bertumbuh dan berkembang selama bertahun-tahun berikutnya dalan keluarga asal. Ketika tercapai, rasa’ kedekatan dan kepercayaan ini memberikan seseorang kepercayaan diri untuk mencapai batasan luar keluarga dan membina hubungan dekat serta mememuaskan secara emosional dengan orang lain. Ketika dewasa muda kemudian membentuk keluarga mereka sendiri, rasa keakraban dan kedekatan ini berlanjut dan dapat di teruskan kegenerasi berikutnya. Sebaliknya, jika ikatan awal dan rasa percaya serta keakraban tidak terjadi dalam keluarga asal, individu tersebut tidak akan memiliki kepercayaan diri dan kemampuan untuk berhubungan secara akrab dengan orang lain. Sayangnya, ketidakmampuan untuk mempercayai orang lain ini biasanya deteruskan kegenerasi berikutnya kecuali beberapa faktor mengintervensi seperti pengalaman pribadi dan pertumbuhan pada tahapan akhir kehidupan terjadi (Bowen, 1978 ; Bying-Hall, 1995).
3)      Keseimbangan saling menghormati
Literatur mengenai pedoman orang tua anak menampilkan pendekatan yang dikenal baik untuk menjadi orang tua, yang di sebut sebagai keseimbangan saling menghormati (Colley, 1978). Ketika diterapkan, keseimbangan ini membantu anggota keluarga memenuhi fungsi afektif mereka. Pendorong utama dari pendekatan ini adalah keluarga harus memelihara suasana yang sangat menghargai kehormatan diri yang positif dan hak baik orang tua maupun anak. Pendorong ini di terima oleh semua anggota keluarga sehingga masing-masing orang dalam keluarga memiliki hak pribadinya sebagai individu, serta kebutuhan perkembangan khusus pada kelompok usianya. Keseimbangan saling menghormati dapat di capai saat masing-masing anggota keluarga menghargai hak, kebutuhan, dan tanggung jawab anggota lainnya (Colley,1978).
4)      Ikatan dan identifikasi
Kekuatan yang terus menerus di balik persepsi dan kepuasan terhadap kebutuhan individu dalam keluarga disebut ikatan atau pelekatan, istilah yang sering digunakan saling bertukar oleh ahli teori. Pelekatan menurut Wright dan Leahey (2000, hlm.100) adalah suatu ikatan emosional unik yang secara relative tahan lama antara dua orang yang khusus.” Ikatan pertama kali diprakarsai dalam sebuah keluarga baru dalam hubungan pasangan rumah tangga/ pernikahan. Ini adalah saat pasangan menemukan ikatan dan identifikasi terjadi saat pasangan menemukan kepentingan, tujuan, dan nilai umum serta menemukan bahwa hubungan tersebut memvalidasi semuanya itu, membawa manfaat nyata tertentu( prestise, hubungan temen sebaya, hak istimewa komunitas.dll.) memungkinkan pemenuhan tujuan tertentu yang tidak dapat di penuhi sendiri (mis., memiliki anak), dan memberikan kesenangam dan kenyamanan bersama karena kontak mereka yang terus menerus satu sama lain (Perry, 1983; Turner, 1970). Bowlby (1977) menyebut pembentukan ikatan emosional ini “ jatuh cinta”. Ikatan dan pelekatan yang sejenis ini terbentuk kemudian antara oarng tua dan anak serta antara sibling saat mereka secara kesinambung dan positif saling terkait.
5)      Keterpisahan dan keterkaitan
Satu isu utama psikologis yang mendominasi dan melibatkan kehidupan keluarga adalah cara keluarga memenuhi kebutuhan psikologis anggotanya, dan bagaimana ini memengaruhi identitas dan harga diri individu. Selama tahun-tahun awal sosialisasi, keluarga membentuk dan memprogram perilaku seorang anak, sehingga membentuk rasa identitasnya. Minuchin (1974) lebih lamjut menjelaskan :” pemgalaman identitas manusia memiliki dua unsure unsure rasa memiliki dan rasa terpisah. Laboratorium tempat bahan-bahan ini di campur dan didistribusikan adalah keluarga, matriks identitas”
Rasa memiliki anak berasal dari menjadi bagian , atau ikatan dengan sebuah keluarga, memainkan peran sebagai anak dan sibling. Perkembangan rasa keterpisahan  dan individualism terjadi saat anak berpartisipasi dalam peran di keluarga dan dalam peristiwa serta situasi keluarga yang berbeda, dan melalui keterlibatan dalam aktivitas di luar keluarga. Ketika anak bertumbuh, orang tua secara progesif memberikan mereka lebih banyak otonomi untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan unik diri mereka.(Minuchin,1974).
6)      Pola kebutuhan atau respons
Komponen afektif dari hubungan keluarga perlu di evaluasi dalam hal sejauh mana anggota keluarga tampak saling peduli (Hartman & Laird, 1983). Parad dan Caplan (1995) membahas pertimbangan ini dalam diskusi mereka mengenai pengkajian pola kebutuhan-respons dalam keluarga. Konsep ini pada dasarnya sinonim dengan fungsi afektif keluarga. Aspek saling asuh, menghargai, ikatan , dan keterpisahan keterkaitan muncul sebagai prasyarat penting atau syarat utama bagi pola kebutuhan – respons yang memuaskan dalam keluarga.
Tiga fase terpisah dan saling tekait diturunkan  dalam respons afektif keluarga terhadap kebutuhan ini. Yang pertama, anggota keluarga harus memahami kebutuhan anggota lain dalam batasan kebudayaan keluarga. Selanjutnya, kebutuhan ini harus di pandang dengan pertimbangan dan dilihat sebagai makna dari perhatian( seperti yang dibahas di keseimbangan saling menghargai).
7)      Peran terapeutik
Peran ini sangat mirip dengan peran pasangan rumah tangga orang dewasa dalam memenuhi kebutuhan peran afektif pasangan mereka. Sementara fungsi afektif menguraikan fungsi kesehatan jiwa  keluarga yang luas sebagai kelompok yang di rancang untuk memenuhi kebutuhan psikologis anggotanya,peran terapeutik menguraikan sebuah peran sosidemosional yang penting dalam pernikahan /subsistem pasangan dewasa. Khususnya , peran terapeutik yang di perankan  pasangan hidup/ pasangan dalam rumah tangga adalah berorientasi pada masalah.
2.      Fungsi sosialisasi keluarga
Sosialisasi dimulai pada saat lahir dan berakhir hanya pada saat kematian. Sosialisasi adalah proses sepanjang hidup ketika individu secara kontinu memodifikasi prilaku mereka sebagai respons terhadap keadaan yang berpola secara sosial yang mereka alami.
Sosialisasi dimulai pada saat lahir dan akan di akhiri dengan kematian. Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung seumur hidup, dimana individu secara kontinu mengubah prilaku mereka sebagai respons terhadap situasi yang terpola secara sosial yang mereka alami. Ini termasuk internalisasi satu set norma-norma dan nilai-nilai yang cocok bagi remaja usia 14 tahun, pergantian berusia 20 tahun, orang tua yang berusia 24 tahun, kakek atau nenek yang berusia 50 tahun, juga orang yang telah pensiun dalam usia 65 tahun.
Sosiologi mencakup semua proses dalam sebuah komunitas tertentu atau kelompok dimana manusia, berdasarkan sifat kelenturannya, melalui pengalaman-pengalaman yang di peroleh selama hidup .


3.      Fungsi perawatan kesehatan
Fungsi perawatan kesehatan bukan hanya fungsi esensial dan dasar keluarga namun fungsi yang mengembangkan fokus sentral dalam keluarga yang berfungsi dengan baik dan sehat. Akan tetapi, memenuhi fungsi perawatan kesehatan bagi semua anggota keluarga  dapat sulit akibat tantangan eksternal dan internal. Pratt (1976, 1982) menunjukan bahwa alasan keluarga mengalami kesulitan memberikan perawatan kesehatan bagi anggota mereka terletak pada struktur keluarga dan system pelayanan rumah sakit.
4.      Fungsi reproduksi
Keluarga berfungsi untuk meneruskan kelangsungan  keturunan dan menambah sumber daya manusia. Dengan adanya program berencana , maka fungsi ini sedikit terkontrol. Di sisi lain banyak kelahiran yang tidak di harapkan atau di luar ikatan perkawinan, sehingga lahirlah keluarga baru dengan satu orang tua.
5.      Fungsi ekonomi
Untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti : makanan, pakaian, dan perumahan, maka keluarga memerlukan sumber keuangan. Fungsi ini sulit dipenuhi oleh keluarga yang berada d bawah garis kemiskinan. Perawat bertanggung jawab untuk mencari sumber-sumber di masyarakat yang dapat di gunakan oleh keluarga dalam meningkatkan status kesehatan.
D.    Pola dan proses komunikasi keluarga
Komunikasi keluarga dinyatakan dalam bentuk konsep sebagai salah satu dari empat dimensi struktur sistem keluarga, kekuasaan, pengambilan keputusan, dan struktur peran serta norma dan nilai keluarga. Dimensi tersebut saling berhubungan dan saling bergantung secara erat. Karena keluarga merupakan suatu sistem sosial, terdapat interaksi dan umpan balik bersinambungan antara lingkungan internal dan eksternal.
Struktur keluarga terkait memfasilitasi pencapaian fungsi keluarga. Selain itu, pola komunikasi dalam sistem keluarga mencerminkan peran dan hubungan anggota keluarga. Komunikasi dalam suatu keluarga dapat dipandang sebagai isi pola dan diuraikan sebagai suatu komponen struktural. Secara bersamaan, komunikasi dalam keluarga dapat dianggap interaksi yang beruntun sepanjang waktu dan dikaji sebagai proses.
1.      Pengertian Komunikasi
Dalam Friedman, Bowden, dan Jones (2010), menurut McCubbin dan Dahl (1985), komunikasi adalah proses pertukaran perasaan, keinginan, kebutuhan, informasi, dan pendapat. Sedangkan Galvin dan Brommel (1986) mendefinisikan komunikasi keluarga sebagai suatu simbolis, proses transaksional menciptakan dan membagi arti dalam keluarga. Seperti halnya setiap orang mempunyai gaya komunikasi yang berbeda, begitu pula setiap keluarga mempunyai gaya dan pola komunikasi yang unik. Komunikasi yang jelas dan fungsional antara anggota keluarga merupakan alat penting untuk mempertahankan lingkungan yang kondusif untuk mengembangkan perasaan bergharga dan harga diri serta menginternalisasikannya.
2.      Fungsi Komunikasi dalam Keluarga
Ada beberapa fungsi dari komunikasi meliputi menyampaikan pesan/gagasan, membangun konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, memperoleh kebahagiaan, dan terhindar dari tekanan dan ketegangan.
3.      Prinsip Komunikasi
Menurut Watzlawick dan rekan (dalam Friedman, Bowden, & Jones, 2010) ada enam prinsip komunikasi yang menjadi dasar untuk memahami proses komunikasi keluarga yaitu:
1)      Tidak mungkin untuk tidak berkomunikasi, karena semua perilaku adalah komunikasi
Pada setiap situasi ketika terdapat dua orang atau lebih, individu mungkin atau tidak mungkin berkomunikasi secara verbal, tetapi mereka tidak menghindarkan komunikasi non verbal. Dalam konteks ini referensi komunikasi nonverbal merupakan ekspresi tanpa bahasa seperti membalikkan badan atau mengerutkan kening, tetapi bukan merupakan bahasa isyarat.
2)      Komunikasi mempunyai dua tingkat yaitu informasi (isi) dan perintah (instruksi)
Isi yaitu apa yang sebenarnya sedang dikatakan (bahasa verbal) sedangkan instruksi menyampaikan menyampaikan maksud dari pesan (goldenberg & goldenberg, 2000). Isi suatu pesan dapat berupa pernyataan sederhana, tetapi mempunyai pesan atau instruksi bergantung pada variabel seperti emosi, maksud, dan konteks serta dapat diekspresikan secara nonverbal dengan kecepatan dan alur bicara, gerakan dan posisi tubuh serta nada suara.
3)      Berhubungan dengan “pemberian tanda baca (pungtuasi)” atau rangkaian komunikasi
Komunikasi melibatkan proses transaksi, dan dalam pertukaran tiap respons berisi komunikasi berikutnya. Anggota keluarga  masing-masing akan menjelaskan peristiwa dan urutan interaksi secara berbeda. Akibatnya tidak ada awal (penyebab) atau akhir (akibat) dalam transaksi komunikasi, karena terjadi respon sirkular. Perilaku interpersonal (komunikasi) anggota keluarga karena itu paling baik dipahami dengan pandangan kausalitas sirkular daripada linear.
Diskusi lingkaran umpan balik selanjutnya akan mengklarifikasi ide penjelasan dalam komunikasi. Komunikasi melayani sebagai suatu organisasi yang mempunyai tujuan dan proses penataan diri dalam keluarga. Proses penataan diri dalam suatu sistem bergantung pada komunikasi dua arah yang disebut lingkaran umpan balik.
Lingkaran umpan balik diperlukan dalam transaksi ini dapat berupa negatif atau positif. Secara paradoksikal, umpan balik negatif dipandang  ‘positif’ karena bersifat korektif; umpan balik ini mengatur atau memodulasi komunikasi atau alur informasi sehingga sistem dapat menyesuaikan secara homeostatis untuk mempertahankan stabilitas. Negatif bukan berarti menghakimi, tetapi hanya sebagai acuan arah alur informasi. Umpan balik negatif yang mengatur diri jika pengirim mulai berinteraksi dengan mengirimkan suatu pesan dan kemudian karena input yang baru saja diterima dari pengirim, memodifikasi pesannya sebelum balasan mungkin atau diharapkan terjadi. Proses penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan bergantung pada umpan balik negatif. Proses ini mulai saat masalah muncul dan teridentifikasi. Dalam situasi penyelesaian masalah keluarga, pengirim atau orang yang memulai interaksi biasanya mengidentifikasi masalah, anggota keluarga kemudian menggali masalah, berbagai solusi dibahas, dan akhirnya dibuat keputusan.
Umpan balik positif meningkatkan ketidakstabilan atau penyimpangan dari keadaan homeostatis. Secara teoritis, apabila umpan balik positif terus mengguanakan potensi kekuatan penyimpangan dari homeostatis atau stabilitas, ke suatu keadaan ketika sistem akan merusak sendiri atau tidak lagi berfungsi (Steinglass, 1978, dikutip daro goldenberg &goldenberg,2000). Argumentasi antara orang tua dan anak yang etrus membesar  adalah salah satu contoh jenis interaksi umpan balik positif keluarga yang biasa terjadi. Umpan balik positif tidak selalu menimbulakan konsekuensi yang berlawanan. Pada kenyataannya umpan balik positif diperlukan keluarga agar terjadi perubahan dan pertumbuhan. Mungkin terdapat keadaan yang tidak stabil dan ketegangan sesaat dalam keluarga, namun selanjutnya pengguanaan umpan balik positif secara selektif diperlukan untuk terjadinya suatu peribahab dan pertumbuhan.
4)      Terdapat dua tipe komunikasi yaitu digital dan analogik
Komunikasi digital adalah komunikasi verbal (isyarat) yang pada dasarnya menggunakan kata dalam pemahaman arti yangg sama. Sedangkan analogik adalah ide atau sesuatu hal yang dikomunikasikan, dikirim sevara nonverbal dan sikap yang representatif (Hartman & Laird, 1983). Komunikasi analogik dikenal sebagai bahasa tubuh, mengirim pesan melalui sikap tubuh, ekspresi wajah, irama dan nada kata yang di ucapkan. Komunikasi analogik yang menyampaikan metakomunikasi, walaupun sering kali ambigu dan tidak ringkas tetapi cenderung sebagai cara mengomunikasikan hubungan yang lebih kuat.
5)      Prinsip redundansi (kemubaziran)
Telah diamati secara konsisten bahwa interaksi keluarga didalam kisaran terbatas dalam urutan perilaku berulang. Oleh karena itu, apabila pengamat keluarga kehilangan dari satu urutan atau pola perilaku, menurut prinsip pengulangan, urutan ini akan segera dimanifestasikan sendiri lagi. Prinsip ini merupakan dasar pengembangan penelitian keluarga yang menggunakan keterbatasan pengamatan interaksi keluarga sehingga dapat memberikan penghayatan yang valid ke dalam pola umum komunikasi keluarga.
Pola interaksi berulang dalam keluarga merupakan bukti bahwa peraturan komunikasi berjalan dalam keluarga. Pola ini secara alami muncul sebagai konsekuensi dari interaksi multipel antara anggota keluarga, begitu mereka mengetahui apa yang diharapkan dari masing-masing anggota keluarga. Knapp (1984) menegaskan bahwa terdapat peraturan yang tertutup dan terbuka untuk menginformasikan kepada anggota keluarga kapan dan apa komunikasi yang dibutuhkan, dipilih, atau dilarang.

6)      Semua interaksi komunikasi yang simetris atau komplementer
Pada komunikasi simetris, perilaku pelaku interaksi bercermin pada perilaku pelaku interaksi lainnya. Dalam komunikasi komplementer, perilaku seorang pelaku interaksi melengkapi perilaku pelaku interaksi lainnya. Jika satu dari dua tipe komunikasi tersebut digunakan secara konsisten dalam hubungan keluarga, tipe komunikasi ini mencerminkan nilai dan peran serta pengaturan kekuasaan keluarga.
4.      Proses Komunikasi
Menurut Friedman, Bowden, & Jones (2010), proses komunikasi ada dua jenis yaitu:
1)      Proses komunikasi fungsional
Menurut Sells (dalam Friedman, Bowden, & Jones, 2010) komunikasi fungsional didefenisikan sebagai pengiriman dan penerimaan pesan baik isi maupun tingkat intruksi pesan yang langsung dan jelas. Dengan kata lain, komunikasi yang sehat dan fungsional dalam suatu kelurga memerlukan pengirim untuk mengirimkan maksud pesan melalui saluran yang relative jelas dan penerima pesan mempunyai pemahaman arti yang sama dengan apa yang dimaksudkan oleh pengirim.
a)      Pengirim fungsional
Menurut Satir (1967) ( dalam Friedman, Bowden, & Jones, 2010) komunikasi secara fungsional dapat:
(1)   Menyatakan maksud dengan jelas
Salah satu landasan untuk secara tegas menyatakan maksud seseorang adalah penggunaan komunikasi yang selaras pada tingkat intruksi. Sebagai contoh, pada kasus seseorang yang sedang marah, pesan literal kosisten dengan nada suara, posisi dan sikap tubuhnya.
(2)   Intensitas dan keterbukaan
Ketika seseorang berkomunikasi, pengirim meminta sesuatu dari penerima. Permintaan tersebut meliputi berbagai tingkat intensitas dan keterbukaan, keduanya melibatkan seberapa tegas pegirim menyatakan pesannya. Intensitas berkenaan dengan kemampuan pengirim mengomunikasikan persepsi internal dari perasaan, keinginan, dan kebutuhan secara efektif dengan intensitas yang sama dengan persepsi internal yang dialaminya. Agar terbuka, pengirim fungsional menginformasikan kepada penerima tentang keseriusan pesan dengan menyatakan bagaimana penerima seharusnya merespon pesan tersebut. Sebagai contoh tingkat keterbukaan yang tinggi adalah: “saya ingin pulang kerumah sekarang. Saya sangat lelah”.
(3)   Mengklarifikasi dan mengualifikasi pesan
Penggunaan pernyataan klarifikasi dan kualifikasi. Pernyataan tersebut memungkinkan pengirim untuk lebih spesifik dalam memastikan persepsinya terhadap kenyataan dengan persepsi orang lain. Contoh jenis pernyataan klarifikasi dan kualifikasi tipe spesifik meliputi peryataan “saya ingin” seperti “jangan ganggu saya ketika saya sedang mendisiplinkan anak-anak” atau peryataan “saya merasa”, misalnya “saya kadang merasa frustasi ketika tangan saya tidak mampu melakukan pekerjaan rumah”.
(4)   Meminta umpan balik
Meminta umpan balik, yang memunkinkan ia untuk memverifikasi apakah pesan diterima secara akurat, dan memungkinkan pengirim untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk mengklarifikasi maksud. Pada contoh berikut ini, pengirim meminta umpan balik untuk memperoleh persepsi penerima atau reaksi terhadap pesan yang sudah dikomunikasikan oleh pengirim: “saya terus bertanya kedapa diri sendiri, apakah kita harus memberitahu kepada anak-anak bahwa saya menderita kanker? Bagaimana manurutmu? Atau”karena kegiatanmu masih dibatasi akibat kondisi jantungmu, menurut saya orang tuamu seharusnya dating berkunjung pada lain waktu. Apa reaksimu?”
(5)   Terbuka terhadap umpan balik
Pengirim yang terbuka terhadap umpan balik akan menunjukkan kesediaan untuk mendengarkan, bereaksi tanpa defensive, dan mencoba untuk memahami. Agar mengerti, pengirim harus mengetahui validitas pandangan penerima. Jadi dengam meminta kritik yang lebih spesifik atau pernyataan “memastikan”, pengirim menunjukkan penerimaannya dan minatnya terhadap umpan balik.
b)      Penerima fungsional
Penerima fungsional mencoba untuk membuat pengkajian maksud suatu pesan secara akurat. Dengan melakukan hal ini, mereka akan lebih baik mempertimbangkan arti pesan dengan benar dan dapat lebih tepat mengkaji sikap dan maksud pengirim, serta perasaan yang diekspresikan dalam komunikasi (Friedman, Bowden, & Jones, 2010; 251).
(1)   Mendengarkan secara efektif
Mendengarkan secara efektif berarti memfokuskan perhatian penuh pada seseorang terhadap apa yang dikomunikasikannya dan mentup semua hal yang akan merusak pesan. Pendengar aktif dengan sikap mengkomunikasikan secara aktif bahwa ia mendengarkan. Mengajukan pertanyaan merupakan bagia terpenting dari mendegarkan aktif
(2)   Memberikan umpan balik
Memberikan umpan balik terhadap pengirim yang memberitahu pengirim begaimana penerima mennafsirkan pesan. Pernytaan ini mendorong pengirim untuk menggali lebih lengkap. Sebagai conntoh, “apa yang anda maksud ketika anda mengatakan saya mudah frustasi terhadap saudara wanita saya?”. Umpan balik juga dapat melalui suatu proses keterkaitan. Yaitu, penerima membuat suatu  hubungan antara pengalaman pribadi terdahulu atau kejadian yang terkait dengan komunikasi pengirim.
Melakukan paraphrase dan memeriksa persepsi adalah bentuk lain dari umpan balik dan dapat dicapai dengan bertanya atau membuat pernyataan rangkuman pesan pengirim. Penerima melakukan hal ini dengan mengulangi pernyataan pengirim pesan menggunakan bahasanya sendiri. Tujuan sentral dari paraphrase adalah untuk mengklarifikasi pesan pengirim. Misalnya, “jadi anda mengatakan …” atau “apa yang saya mengerti adalah …”.
(3)   Membarikan validasi
Dalam penggunaan validasi, penerima menyampaikan pemahamannya terhadap pemikiran dan perasaan pengirim. Validasi tidak berarti penerima setuju dengan pesan yang dikomunikasikan pengirim, tetapi menunjukkan penerimaan atau pesan tersebut berharga.

2)      Proses komunikasi disfungsional
a)      Pengirim disfungsional
Komunikasi pengirim disfungsional sering kali tidak efektif pada satu atau lebih karakteristik dasar dari pengirim fungsional. Dalam menyatakan kasus, mengklarifikasi dan mngualifikasi,dalam menguraikan, dan keterbukaan terhadap umpan balik. Penerima sering kali ditinggalkan dalam kebingungan dan harus menebak apa yangmenjadi pemikiran atau perasaan pengirim pesan.
(1)   Membuat asumsi
Ketika asumsi dibuat, pengirim mengandalkan, pengirim mengandalkan apa yang penerima rasakan atau fikirkan tentang suatu peristiwa atau seseorang tanpa memvalidasi persepsinnya. Pengirim disfungsional biasanya tidak menyadari asumsi yang ia buat. Ia jarang mengklarifikasi isi atau maksud pesan sehingga dapat terjadi distorasi pesan. Apabila hal ini terjadi, ini dapat menimbulkan kemarahan pada penerima, yang diberi pesan, yang pendapat serta perasaan tidak dianggap.
(2)   Mengekspresikan perasaan secara tidak jelas
Karena takut ditolak, ekspresi perasaan pengirim dilakukan dengan sikap terselung dan sama sekali tertutup. Ucapan yang kasar, seringkali tidak jelas, dan memungkinkan pengirim untuk menghindari tanggung jawab atas perasaan bermusuhannya. Apabila dikonfirmasi, pengirim akan selalu dapat membalas bahwa ia hanya bercanda.
(3)   Membuat respon yang menghakimi
Komunikasi disfungsional yang ditandai dengan kecendrungan untuk secara konstan mengevaluasi pesan menggunakan system nilai pengirim. Pernyataan yang menghakimi selal mengandung pesan moral tambahan. Pesan pernyataan tersebut jelas bagi penerima bahwa pengirim pesan mengevaluasi nilai dari pesan orang lain sebagai “benar” atau “salah”, “baik” atau”buruk”, “normal” atau “tidak normal”. Tidak hanya pesan yang sedang di evaluasi atau dinilai, namun juga pengirim pesan yang secara tidak langsung dievaluasi atau dinilai. Kata-kata “seharusnya” dan “harus” menyiratkan bahwa pengirim adalah tokoh otoriter yang dapat menghakimi orang lain karena ia mengetahui apa yang “baik” atau “buruk”.
(4)   Ketidakmampuan untuk mendefenisikan kebutuhan sendiri
Sering kali, pengirim disfungsional secara tidak sadar merasa tidak berharga, tidak berhak untuk mengungkapkan kebutuhannya atau berharap kebutuhan pribadinya akan dipenuhi. Kebutuhan yang tersembunyi untuk dilimpahi kasih sayang didefinisikan sebagai keutuhan yang tidak terungkap untuk mendapatkan bantuan, empati, atau aspek “diperhatikan”. Kebutuhan ini juga mencakup harapan agar orang lain seharusnya mampu untuk mengantisipasi kebutuhan pengirim dan bahwa ia meminta perhatian atau bantuan atas permintaan yang tidak memuaskan. Keluhan dapat merupakan pesan tidak langsung tentang kebutuhan atau keinginan pengirim, diungkapkan dalam bentuk ketidakpuasan.
(5)   Komunikasi yang tidak sesuai
Penampilan komunikasi yang tidak sesuai merupakan jenis komunikasi yang disfungsional dan terjadi apabila dua pesan yang bertentangan atau lebih secara serentak dikirimkan. Penerima ditinggalkan dengan teka-teki tentang bagaimana harus merespon. Pada ketidak sesuaian verbal-nonverbal, pengirim mengkomunikasikan suatu pesan secara verbal, namun melakukan metakomunikasi nonverbal yang bertentangan dengan pesan verbal. Ini biasanya diketahui sebagai “pesan campuran”. Misalnya “saya tidak marah pada anda!” diucapkan dengan keras, nada suara tinggi dan tangan mengepal.
b)      Penerima disfungsional
(1)   Gagal untuk mendengarkan
Suatu pesan dikirimkan, namun penerima tidak memperhatikan atau mendengarkan pesan tersebut. Terdapat beberapa alasan terjadinya kegagalan untuk mendengarkan, berkisar dari tidak ingin memerhatikan hingga tidak memiliki kemampuan untuk medengarkan. Hal ini biasanya terjadi karena distraksi, seperti bising, waktu yang tidak tepat, atau kecemasan tinggi, atau hanya karena gangguan pendengaran.
(2)   Menggunakan diskualifikasi
Diskualifikasi adalah respon tidak langsung yang memungkinkan penerima untuk tidak menyetujui pesan tanpa benar-benar tidak menyetujuinya.
(3)   Menghina
Sikap ofensif komunikasi menunjukkan bahwa penerima pesan bereaksi secara negative, seperti sedang terancam. Penerima tampak bereaksi secara defensive terhadap pesan dengan mengasumsikan sikap oposisi dan mengambil posisi menyerang. Permintaan dibuat dengan kosisten dalam sikap negative atau dengan harapan yang negative.
(4)   Gagal menggali pesan pengirim
Untuk mengklarifikasi maksud atau arti suatu pesan, penerima fungsional mencari penjelasan lebih lanjut. Sebaliknya, penerima disfungsional menggunakan respon tanpa menggali, seperti membuat asumsi, memberikan sasaran yang premature, atau memutus komunikasi. Ketika penerima disfungsional tidak ingin melanjutkan pembicaraan tentang isu hangat tersebut, ia membuat pernyataan atau menggunakan tindakan yang membatasi diskusi selanjutnya tentang isu tersebut. Teknik nini sering digunakan untuk mennghindari perasaan tidak nyaman atau negative.
(5)   Gagal memvalidasi pesan
Validasi berkenaan dengan penerimaan penerima. Oleh karena itu, kurangnya validasi menyiratkan bahwa penerima dapat merespon secara netral (menunjukkan bukan penerimaan maupun penolakan) atau mendistorsi da menyalah tafsirkan pesan. Mengasumsikan bukan mengklarifikasi pemikiran pengirim adalah suatu contoh kurangnya validasi.
c)      Pengirim dan penerima disfungsional
Dua jenis interaksi yang tidak sehat, melibatkan baik pengirim maupun penerima, juga secara luas di diskusikan dalam literature komunikasi. Komunikasi yang tidak sehat merupakan komunikasi yang mencerminkan pembicaraan “paralel” yang menunjukkan ketidakmampuan untuk memfokuskan pada satu isu.
Dalam pembicaraan parallel, setiap individu dalam interaksi secara konstan menyatakan kembali isunya tanpa betul-betul mendengarkan pandangan orang lain atau mengenali kebutuhan orang lain. Orang yag berinteraksi disfungsional mungkin tidak mampu untuk memfokuskan pada satu isu. Tiap individu melantur dari satu isu ke isu yang lain bukan menyelesaikan suatu masalah atau meminta suatu pengungkapan.
5.      Pola komunikasi
Menurut Friedman, Bowden, dan Jones (2010), pola komunikasi ada dua jenis, yaitu :
1)      Pola komunikasi fungsional dalam keluarga
Pola komunikasi keluarga merupakan karakteristik, pola interaksi sirkular yang berkesinambung yang menghasilkan arti dari transaksi antara anggota keluarga (Paters, 1974). Kemampuan anggota keluarga untuk mengenal dan merespon pesan nonverbal merupakan aspek penting pada keluarga yang sehat.
Curran (1983) yang meneliti tentang kelurga sehat, menulis bahwa sifat pertama dari keluarga yang sehat adalah komunikasi yang jelas dan kemampuan untuk saling mendengarkan. Komunikasi yang baik diperlukan untuk menumbuhkan dan memperthankan hubungan saling percaya.
a)      Berkomuniksi secara jelas dan selaras
Keselarasan adalah suatu keadaan dan cara bekomunikasi dengan diri sendiri dan orang lain (Satir et al, 1991, hal. 65). Ketika anggota keluarga berkomunikasi dengan selaras terdapat konsistensi antara tingkat isi (pesan literal) dan instruksi (metapesan) komunikasi. Apa yang sedang diucapkan , sama dengan isi pesan. Kata-kata yang kita ucapkan, perasaan yang kita ekspresikan, dan perilaku yang kita tampilakn semunya konsisten. Dengan keselarasan, penerima mampu dengan lebih jelas memahami pesan pengirim, membuat komunikasi dalam suatu keaurga menjadi lebih sehat.
Pola komunikasi dalam keluarga funsional menujukkan penerimaan terhadap perbedaan, begitu pula sikap menghakimi yang minimum dan kritik yang tidak realistic antara satu dengan yang lain.
Komunikasi pada keluarga yang sehat merupakan suatu proses yang sangat dinamis dan saling timbal balik. Pesan tidak hanya dikirim dan diterima. Sebagai contoh, setelah pengirim memulai suatu pesan, penerima pesan mungmin menampakkan ekspersi wajah melalui umpan balik “negative”, mengubah pesan pengirim sebelum ia selesai berbicara. Akibatnya, pengirim dapat mengubah kata-kata dalam pesan tersebut pada saat sedang mengirim nya, sehingga penerima akan mempunyai kerangka acuan yang sama. Akan tetapi, sifat dinamis dan komunikasi fungsional membuat interaksi menjadi kompleks dan tidak dapat diramalkan. Komunikasi, bahkan pada keluarga sehat sering kali masih mengalami permasalahan.

b)      Komunikasi emosional
Komunikasi emosional berkenaan dengan ekspresi emosi atau perasaan dari ekspresi marah, terluka , sedih, dan cemburu hingga bahagia, kasih saying dan kemesraan (Wright & Leahey, 2000)
Satir (1983) meyakini bahwa pengenalan terhadapa perasaan merupakan hal penting bagi funsi sehat suatu kelurga. Suatu kasus : Lewis dan rekan (1976) meneliti perbedaan antar kelurga berkulit putih yang fungsional dan disfungsional, kelurga non-hispanik dan menemukan bahwa kelurga yang sehat menujukkan spectrum perasaan yang penuh, sedangkan kelurga yang lebih disfungsional secara emosional kaku dalam mengekspresikan perasaannya. Pada kelurga ynag lebih disfungsional, orang tua boleh marah pada anaknya, tetapi anak tidak boleh marah pada orang tua. Baik ekspresi kemesraan maupaun kasih sayang diperkenankan dalama keluarga yang lebih disfungsional. Ekspresi emosional(oleh orang tua dan anak) pada satu studi terkini menegaskan dampak positif bahwa keterbukaan emosional terletak pada kompetensi social anak-anak (Boyum & parke, 1995).
c)      Area komunikasi yang terbuka dan keterbukaan diri
Keluarga dengan pola komunikasi funsional menhargai keterbukaan saling menghormati pesaan, pikiran dan kepedulian, spontanitas, autentik, dan kebutuhan diri. Selanjutnya keluarga ini akan juga mampu mendiskusikan bidang kehidupan isu personal, soal dan kepedulian serta tidak tacit pada konflik. Area ini disebut “area komunkiasi terbuka”.
Satir (1972) menegaskan bahwa anggota keluarga yang saling terus terang dan jujur antar satu dengan orang lain adalah orang-orang yang merasa yakin untuk mempertaruhkan interaksi yang berarti, dan cenderung untuk menghargai keterbukaan diri (mengungkapkan pemikiran dan perasaan akrab).
d)     Hierarki kekuasaan dan peraturan keluarga
System keluarga yan berlandaskan pada hierarki kekuasaan dan komunikasi mengandung “komando atau perintah” secara umum mengalir kebawah dalam jaringan komunikasi keluarga. Interaksi fungsional dalam hierarki kekauasaan terjadi apabila kekuasaan distribusikan menurut kebutuha perkembangan anggota keluarga (Minuchin, 1974), atau apabila kekuasaan ayng diterapkan menurut kemampuan dan sumber anggota keluarga serta sesuai dengan ketentuan kebudayaan keluarga dari suatu hubungan kekuasaan keluarga. 

e)      Konflik dan resolusi konflik keluarga
Konfik verbal merupakan bagian rutin dalam interaksi keluarga normal. Literature tentang konflik keluarga menunjukkan bahwa keluarga yang sehat tampak mampu “mengatasi konflik dan memetik manfaat yang positif, tetai tidak terlalu banyak konflik yang dapat menggangu hubungan keluarga” (Vuchinich, 1987).
Resolusi konflik merupakan tugas interaksi yang vital dalam suatu kelurga (sabatelli & Chawick, 2000). Orang dewasa dalam kelurga perlu belajar untuk mengalami konflik konstruktif. Walaupun, orang dewasa menyelesaikan konflik dengan berbagai cara, resolusi konflik yang fungsionl terjadi apabila konflik tersebut dibahas secara terbuka dan strategis diterapkan untuk menyelesaikan konflik atau (dalam keluarga yang memiliki anak) ketika orang tua secara tepat menggunakan kewenangan mereka untuk mengakhiri konflik. Orang tua dan orang dewasa lain didalam suatu keluarga perlu untuk bertindak sebagai model peran bagi anak-anak mereka dalam hal pengungkapan konflik/perbedaan dan penyelesaiaan konflik.
f)       Penelitian tentang interaksi pernikahan
Hasil dari penelitian Reusch dan rekan (1974) menunjukkan bahwa dalam perkawinan tersebut ketika konflik dihindari dan perasaan negative dikubur, perasaan negative meracuni hubungan. Mereka mengamati bahwa menghindari konflik dapat menyebabkan devitalisasi perkawinan pasangan merasa terlepas secara emosional dan saling tidak peduli. Keberadaan konflik yang berat antara pasangan ditemukan mempunyi pengaruh yang negative terhadap peran orang tua dan anak.


2)      Pola komunikasi disfungsional dalam keluarga
Komunikasi disfungsional didefenisikan sebagai transmisi tidak jelas dan/atau tidak lagsung serta penerimaan dari salah satu atau keduanya, isi dan instruksi (maksud) dari pesan dan/tidak kesesuaian anatar tinkat isi dan instruksi dari pesan. Tranmisi tidak langsung dari suatu pesan berkenaan dengan pesan yang dibelokkan dari sasarana yang seharusnya kepada orang lain dalam keluarga. Transmisi langsung dari suatu pesan berarti pesan “mengenai” sasaran yang sesuai.
Dalam interaksi keluarga yang disfungsional, dua anggota keluarga atau lebih membangun jarigan dan strategis berulangkali dari komunikasi disfungsional yang mencoba untuk mepertahan kesimbangan unik keluarga. Proses disfungsional tersebut sering samar, dan maksud komunikasi menjadi tertutup atau tersembunyi. Jadi, pengkajian akurat terhadapa pola komunikais sirkular menjdi lebih sulit. Salah satu factor utama yang menimbulkan pola komunikasi disfungsional adalah terdapatnya rasa harga diri yang rendah pada keluarga dan anggotanya.
a)      Egosentris
Individu mefokuskan pada kebutuhan diri sendiri dan mengabaikan kebutuhan orang lain. Perasaan atau persepektif yang mencirikan komunikasi egosentris. Dengan kata lain, anggota keluarga yang egosentris mencari sesuatu dari oaring lain untuk memenuhi kebutuhan mereka. Apabila individu tersebut harus memberian sesuatu, maka mereka akan melakukan keengganan, dan rasa permusuhan, defensive, atau sikap pengobanan diri. Jadi, tawar-menawar atau negosiasi secara efektif sulit dilakukan, karena seseorang yang egosentris meyakini bahwa mereka tidak b oleh kalah untuk sekecil apapun yang mereka berikan (satir, 1983).
b)      Kebutuhan mendapkatkan persetujuan total
Nilai keluarga tentang mempertahankan persetjuan total dan menghindari konflik berawal dari ketika seorang dewasa atau pasangan yang menikah menemukan bahwa mereka berbeda satu sama lain, walaupun perbedaan yang pasti mungkin sulit untuk dijelaskan seperti yang diekspresikan dalam pendapat, kebiasaan, kesukaan, dan harapan, mungkin terlihat sebagai ancaman karena ini dapat mengarah pada ketidaksetujuan dan kesadaran bahwa mereka merupakan dua individu yang terpisah.
Jika suami istri mempunyai harga diri rendah dan dan merasa bahwa merupakan kebutuhan mutlak untuk dicintai dan disetuji setiap saat, mereka berupaya secara konstan menyenangkan pasanganya. Kenutuhan untuk secara terus-menerus untuk menyenangkan pasangan, menhambat mereka untuk berkomunikasi denganterbuka jika terjadi suatu situasi yang tidak menyenangkan atau ketidaksetujuan.

c)      Kurang empati
Dibalik ketidakpedulian, individu ini dapat menderita akibat perasaan tidak berdaya. Tidak saja mereka tidak menghargai diri mereka sendri, mereka juga tidak menghargai orang lain. Hal ini menimbulkan suasana tegang, ketakutan, dan/atau meyalahkan. Kondisi ini terlihat pada gaya komunikasi yang lebih membingungkan, samar, dan tidak langsung, terselubung, dan defensive bukan memperlihatkan keterbukaan, kejelasan dan kejujuran.
d)     Area komunikasi yang tetutup
Sementara keluarga yang lebih fungsional memiliki area komunikasi yang terbuka, keluarga yang sedikit fungsional sering kali menujukkan area komunikasi yang tertutup. Keluarga mempunya peraturan tidak tertulis tentang subjek apa yang disetujui untuk dibahas. Peraturan secara tidak tertulis ini secara nyata terlihat ketika anggota keluarga melanggar dengan membahas subjek yang tidak disetujui atau mengungkapkan perasaan yang terlarang.

6.      factor yang mempengaruhi pola komunikasi keluarga
Menurut Friedman, Bowden, dan Jones (2010), factor yang mempengaruhi pola komunikasi  keluarga adalah sebagai berikut :
1)      pola komunikasi dalam keluarga dengan perbedaan latar belakang etnik/kebudayaan
Komunikasi ditanamkan dalam suatu matriks keyakinan dan pola perilaku, yang kebanyakan bertolak dari kebudayaan. Akan tetapi dalam, dalam penelitian literature, komunikasi dalam  sering kali di diskusikan tanpa mempertimbangakan konteks kebudayaan sekitar. Sebagai contoh, sillarts (1995) menyatakan bahwa kebanyakan penelitian yang pernah dilakukan untuk meneliti komunikasi dan kepuasan pernikahan, hanya sedikit yang mempertimbangkan orientasi kebudayaan pasangan.
Sementara keluarga etnik yang berorientasi tradisional, etnisitas mewakilkan cara kehidupan yang secara penuh terintegrasi dalam identitas individu dan keluarga, dan bentuk etnisitas ini masih terus ada, pola kebudayaan mempunyai kekuasaan yang perlu dipertimbangkan. Oleh karena itu apada keluarga yang etnik tradisional, pola komunikasi keluarga beragam dari kleas menengah Amerika. Umunya keluarga kulit putih.diuraikan dalam bagian komunikasi pada awal bagian ini. Komunikasi didalam keluarga beragam dalam pencakapan (gaya dan penekanan), ruang personal, kontak mata, sentuhan, dan orientasi waktu (Lipson, 1996).

2)      Perbedaan komunikasi selama siklus kehidupan keluarga
Komunikasi keluarga beraga disepanjang riwayat tahap perkembangan keluarga dan dengan perubahan yang sejalan dengan usia dan isu perkembanga individu anggota keluarga. Salah satu perubahan yang nyata adalah dalam keterbukaan dan keluasan pembicaraan disepanjang siklus kehidupan keluarga.
Literature komunikasi keluarga menujukkan perubahan pola pada semua tahap siklus kehidupan keluarga, seperti hubungan anak yang sudah dewasa dengan oaring tua yang sudah lansia. Konsep penting pada setiap tahap siklus kehidupan keluarga adalah apakah terdapat kesesuaian antara isu perkembangan individu anggota keluarga, yang diibaratkan roda gigi oleh Erickson, atau apakah terdapat ketidaksesuaian sehubungan dengan isu perkembangan anggota keluarga sebagai keseluruhan yang berkonflik. Sebagai contoh, mungkin terdapat kesesuaian yang baik antara tugas perkembangan orang dewasa dalam mengasuh generasi selanjutnya dan melahirkan anak. Mungkin terdapat ketidaksesuaiana yang sangat besar antara tugas perkembangan ibu berusia remaja untuk meperoleh kemandirian, kebutuhan bayi akan pengasuhan, dan tugas nenek untuk menyiapkan diri untuk menghadapi pensiunan dan kariernya.  
3)      Perbedaan gender dalam komunikasi
Seiring dengan gerakan wanita yang berkembang pesat, begitu pula minta terhadap perbedaan gender dalam komunikasi. Saat ini sudah diakui secara luas bahwa terdapat perbedaan utama dalam interaksi antargender.
Penelitian menunjukkan perbedaan sikap pria dan wanita serta pola percakapan, pendekatan, pengambilan keputusan yang berbeda, cara yang berbeda dalam merespons masalah orang lain, dan perbedaan dalam mengenal konflik serta solusinya. Sebagai contoh, wanita melihat percakapan sebagai suatu cara membangun hubungan dan menciptakan keakraban, sedangkan pria memandang percakapan sebagai cara untuk menunjukkan status dan pengetahuan mereka (kesempatan kompetitif untuk menghubungkan informasi dan mendiskusikan kegiatan). Wanita mencari kesepakatan, sedangkan pria mencari keputusan yang tepat. Ketika wanita mendiskusikan suatu masalah mereka ingin memahami, sementara pria ingin mendapatkan solusi. Ketika bekerja dalam menyelesaikan konflik, wanita cenderung bersikap afiliatif dan kooperatif serta ingin membicarakan tentang ketidaksetujuan, sedangkan pria cenderung untuk mengasumsikan sikap yang lebih memaksa, dan kompetitif, serta ingin menjauhkan diri mereka dari konflik.

4)      Perbedaan komunikasi dalam bentuk keluarga
Bentuk keluarga merupakan berbagai susunan struktur keluarga, dari keluarga inti tradisional dengan dua orang tua hingga orang tua tunggal dan homoseksual. Komunikais keluarga dipengaruhi oleh tipe dari bentuk keluarga. Sudah banyak penelitian yang dilakukan terhadap pasangan heteroseksual dan keluarga inti dengan dua orang tua, biasanya tidak termasuk keluarga orang tua tunggal, dual caeer, orang tua tiri, homoseksual, dan extended family.
Pada konflik dalam dengan orang tua tiri, gambaran komunikasi paling banyak dibahas. Karena dua keluarga disatuka bersama, tipa keluarga mempunyai kebudayaan dan riwayat masing-masing, dengan sedikit panduan untuk mengandalakan bagaimana seharusnya peran orang tua tiri dengan anak tiri, sehingga tidak heran konflik merupakan kepedulian utama.

5)      Perbedaan komunikasi berhubungan dengan manibudaya keluarga
Fitzpartick dan Ritchie (1993) menyebutkan keluarga sebagai “manibudaya pribadi”. Pola komunikasi keluarga tertentu merupakan konfigurasi koheren dari sifat keluarga, yang terdiri dari suatu keluarga dan identitas keluarga. Pada kebudayaan tardisonal, etnisitas mewakili pandangan kehidupan dan penilaian, dengan demimian manibudaya keluarga dan kebudayaan yang lebih besar sangat mirip satu sama lain. Akan tetapi, didalam masyarakat heterogen modern, individu anggota keluarga dapat berasal dari etnik atau latar belakang yang berbeda yang sesuai dengan sejauh mana mereka terakumulasi. Pada situasi ini, manibudaya keluarga dapat mencerminkan pengaruh kebudayaan atau bahkan hampir tidak terpengaruh. Dalam keluarga nontradisonal yang sekuler, terdapat lebih banyak keterbukaan untuk menjadi unik menciptakan pola komunikasi tertentu.

7.      komunikasi dalam keluarga dengan gangguan kesehatan
Istilah gangguan kesehatan berkenaan dengan setiap perubahan yang memengaruhi proses kehidupan klien (fisiologis, psikologis, social-budaya, perkembangan, dan spiritual) (carpenito, 2000). Gangguan dalam status kesehatan sering kali mencakup penyakit kronik dan penyakit yang mengancam kehidupan serta ketidakmampuan fisik dan mental yang akurat atau kronik, namun dapat juga meliputi perubahan dalam area kesehatan lainnya.
Temuan kesehatan tentang adaptasi keluarga terhadap penyakit kronik dan mengancam kehidupan secara konsisten menunjukkan bahwa factor sentral dalam funsi keluarga yang sehat adalah terdapatnya ketrbukaan, kejujuran, dan komunikasi yang jelas dalam mengatasi penagalamn kesehatan yang menimbulkan stress serta isu terkait lainnya.
1)      Area pengkajian
a)      Dalam mengobservasi keluarga secara utuh dan/atau serangkaian hubungan keluarga, sejauhmana pola komunikasi fungsional dan disfungsional yang digunakan. Perilaku spesifik berikut ini dapat dikaji:
(1)   Seberapa tegas dan jelas anggota menyatakan kebutuhan dan perasaan mereka?
(2)   Sejauh mana anggota menngunakan klarifikasi dan kualifikasi dalam interaksi ?
(3)   Apakan anggota mendapatkan dan merespon umpan balik secara baik, atau mereka secara umum tidak medorong adanya umpan balik dan pengalian tentang suatu isu?
(4)   Seberapa baik anggota mendengarkan dan memperhatikan ketika berkomunikasi?
(5)   Apakah anggota mencari validasi satu sama lain?
b)      Bagaimana pesan emosional disampaikan dalam keluarga dan substensi keluarga ?
(1)   Seberapa sering pesan emosional disampaikan ?
(2)   Jenis emosi apa yang dikirimkan ke dalam subtensi kelurga? Apakah emosi negative, positif atau kedua emosi dikirimkan?
c)      Bagaimana frekuensi dan kualitas komunikasi di dalam jaringan komunikasi dan rangkaian hubungan kekeluargaan?
(1)   Bagaimana cara atua siakap anggota keluarga (suami-istri, ayah-anak, anak-anak,) saling berkomunikasi?
(2)   Bagaiaman pola engiriman pesan penting yang baiasanya? Apakah terdapat perantara ?
(3)   Apakah pesan sesuai dengan perkembangan usia anggota?
d)     Bagaimana factor-faktor berikut mempengaruhi pola komunikasi keluarga?
(1)   Konteks/situasi
(2)   Tahapan siklus kehidupan keluarga
(3)   Latar belakang etnik keluagra
(4)   Perbedaan gender dalam keluarga
(5)   Bentuk keluarga
(6)   Stuatus sosioekonomi keluarga
(7)   Mandibudaya unik kleuarga
2)      Diagnosis keperawatan keluarga
Diagnosis komunikasi keperawatan keluaraga secara luas dapat terjadi, seperti komunikasi keluarga disfungsional atau komunikasi orang tua-anak, saudara kandung, pasangan dewasa atau suami istri disfungsional. Diagnosis keperawatan keluarga umum lainnya dalam area ini adalah hambatan komunikasi keluarga atau masalah komunikasi keluarga.
3)      Intervensi keperawatan keluarga
Intervensi pendidikan kesehatan dam konseling dirancang untuk mengubah keluarga meliputi :
a)      Mengidentifikasi keinginan dan menyusun rencana kolaboratif untuk suatu perubahan
b)      Mengakui, mendukung, dan membimbing anggota keluarga ketika mereka mulai mencoba untuk berkomunikasi secara jelas dan selaras
c)      Membantu perubahan perilaku yang telah menjadi sasaran sejak pertemuan terdahulu. Tanyakan perilaku komunikasi yang baru, dan apakah ada masalah yang terjadi, serta jika mereka mempunyai pertanyaan atau hal penting tentang perubahan tersebut.

E.     Struktur Peran Keluarga
1.      Teori Pesan: Definisi dan Konsep Penting
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu system. Ada dua perspektif dasar menyangkut peran orientasi strukturalis yang menekankanpengaruh normatif (kultural) yaitu pengaruh yang berkaitan dengan status-status tertentu dan peran-peran terkait (Mubarak, 2009, p.71).
Sebuah peran didefinisikan sebagai kumpulan dari perilaku yang secara relative homogen dibatasi secara normatif dan diharapkan dari seseorang yang menempati posisi social yang diberikan. Peran berdasarkan pada pengharapan atau penetapan peran yang membatasi apa saja yang harus dilakukan oleh individu dalam situasi tertentu agar memenuhi pengharapan diri atau orang lain terhadap meraka. Posisi atau status didefinisikan sebagai letak seseorang dalam suatu system social. Peran digolongkan di bawah konsep posisi. Sementara peran adalah perilaku yang dikaitkan dengan seseorang yang memegang sebuah posisi tertentu, posisi mengidentifikasikan status atau tempat seseorang dalam suatu system social (Friedman, 2010, p.298).
a.       Perilaku, Performa, dan Pengukuhan Peran
Perilaku, performa, pengukuhan peran semuanya adalah istilah yang dapat saling tertukar, yang menunjukkan apa yang benar-benar dilakukan seseorang dalan sebuah posisi sebagai respon terhadap pengharapan peran. Pengharapan atau penetapan rangkaian perilaku yang tepat untuk posisi social dasar dan peran yang terkait dengan mereka (peran keluarga, peran keluarga) berkembang dan terbentuk dalan sebuah konteks sosial (Friedman, 2010, p.298).
Banyak peran yang terkait dengan posisi social dasar kita dipelajari dalam konteks keluarga. Pengharapan peran social dimodifikasi atau diperluas sebagai hasil dari pemaparan individu terhadap modal peran dan kepribadian individu tersebut- yaitu, kapasitas, temperamen, sikap, dan kepentingannya. Dengan kata lain, seorang individu mengukuhkan peran tertentu berdasarkan pada pengharapan masyarakan tetapi dimodifikasi oleh identifikasinya dengan model peran dan karakteristik peran individu. Hasil akhir modifikasi peran individu adalah perilaku atau performa peran seseorang sebenarnya. Gambar menggambarkan proses perilaku peran sebenarnya terbentuk (Friedman, 2010, p.298).

 












b.      Pembagian Peran, Pengambilan Peran, dan Peran Timbal-balik/ Komplementer
Pembagian peran adalah pertisipasi dau orang atau lebih dalam peran yang sama meskipun mereka memegang posisi yang berbeda. Terdapat pembagian peran yang luas pada sebagian besar keluarga saat ini. Pemisahan struktur peran yang sangat jelas jarang terjadi. Contoh pembagian peran normatif  dalam keluarga adalah pada kasus peran sosialiasi anak saat ibu da ayah biasanya berpartisipasi bersama, selain guru sekolah, pemimpin pemuda, rohaniawan dan sebagainya(Friedman, 2010, p.299).
Konsep penting lainnya dalam teori peran yaitu pengambilan peran. Agar anggota keluarga mengukuhkan peran, meraka harus mampu membayangkan diri mereka dalam peran seorang pendamping, atau mitra peran, dengan cara ini mereka mampu memberi tugas sebuah peran kepada orang lain dan juga dapat memahami lebih baik bagaimana mereka berperilaku dalam peran mereka sendiri (Friedman, 2010, p.299).
Prinsip komplementer (pelengkap) yang berkenaan dengan keadekuatan fungsional peran dalam situasi social yang berdasarkan kecocokan antara performa dan harapan pasangan dalam sebuah hubungan. Prinsip komplemen sangat besar maknanya kerena terutama bertangguang jawab terhadap derajat keselarasan dan stabilitas yang terjadi dalam hubungan interpersonal. Kapan pun terdapat perbedaan dalam harapan dan performa peran keluarga, kemungkinan kurangnya komplementer peran dan kemungkinan konflik dan ketegangan terjadi. Sebagai contoh, seseorang harus melihat peran guru bersamaan dengan peran murid, karena keduanya diperlukan agar dapat berfungsi. Masyarakan menentukan perilaku masing-masing orang dalam pengaturan timbal-balik ini sehingga masing-masing akan mengetahui apa yang diharapkan dari mitra peran. Mitra peran secara konstan saling memengaruhi perilaku peran melalui banyak interaksi mereka dengan satu sama lain (Friedman, 2010, p299).


c.       Stress/ Ketegangan Peran dan Konflik Peran
Stress peran terjadi saat suatu struktur social, seperti keluarga, menciptakan tuntutan yang sangat sulit, menimbulkan konflik atau tidak mungkin dilakukan oleh penerima posisi dalam struktr social tersebut. Stress peran menimbulkan ketegangan peran – perasaan frustasi dan ketegangan subjektif (Friedman.2010.p;299).
Menurut Mubarak (2010) mengatakan konflik peran terjadi saat seseorang yang menempati posisi mereka bahwa ia dihadapkan pada harapan yang tidak sesuai. Sumber ketidaksesuaian tersebut dapat diakibatkan oleh perubahan harapan pada pelaku, yang lainnya atau lingkungan. Ada terdapat tiga tipe konflik peran yang dibahas dalam lituratur:
1)      Konflik Antarperan
Konflik antarperan adalah konfilk yang terjadi jika pola-pola perilaku atau norma-norma dari suatu peran tidak kongruen dengan peran lain yang dimainkan secara bersamaan oleh individu. Konfilk antraperan terjadi ketika peran yang konflik dari seseorang individu (yaitu sekelompok peran yang dimainkan) termasuk sejumlah peran yang tidak seimbang. Tipe konflik ini disebabkan oleh ketidakseimbangan perilaku yang berkaitan dengan berbagai peran atau besarnya tenaga yang dibutuhkan oleh peran-peran ini, misalnya dalam sebuah kasus di keluarga peran sebagai siswa, penjaga rumah, memasak, perkawinan, dan perawatan anak dilakukan sekaligus.
2)      Konflik Peran Antarpengirim
Konflik peran antarpengirim adalah suatu konfilk dimana dua orang atau lebih memegang harapan-harapan yang berkonflik, menyangkut pemeranan suatu peran. Ilustrasi tentang tipe konflik ini adalah adanya harapan-harapan yang berkonflik menyangkut bagaimana peran seseorang, seperti seorang perawat yang menunjukkan peran yang professional. Seorang kepala perawat akan mengharpkan efisiensi dari suatu tindakan kepada klien, sedangkan klien mungkin mengharapkan segalanya terpusat pada dirinya, berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang dirasakannya, sedangkan perawat mengharapkan agar dapat memberi perawatan individu sesuai dengan standar profesinya.
3)      Person-Role Conflict
Person-role conflict meliputi suatu konflik antara nilai-nilai internak individu, nilai-nilai eksternal (yang dikomunikasikan kepada pelaku oleh orang lain), dan berperilaku pada situasi yang sarat dengan stress peran. Tipe konflik peran ini sama dengan tipe konflik peran yang kedua, kecuali dalam hal tidak adanya perbedaan dalam harapan-harapan peran diantara orang-orang diluar lingkungan. Orang dapat berfikir person-role conflict yang timbul dalam keluarga dengan anak remaja adalah apabila anak remaja tersebut memiliki pemikiran internal menyangkut perannya sebagai seorang remaja dan sebayanya menentukan suatu peran yang sangat berbeda.

2.      Peran Keluarga
Peran keluarga dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori:
a.       Peran Formal Keluarga
Peran formal atau terbuka adalah peran eksplisit yang terkandung dalan struktur peran keluarga (ayah-suami dll). Terdapat keterbatasan jumlah posisi yang ditimbulkan sebagai posisi normative dalam keluarga inti klasik dengan dua orang tua. Posisi ini disebut sebagai posisi formal dan berpasangan serta terdiri atas ayah-suami, istri-ibu, anak laki-laki-saudara laki-laki, anak perempuan-saudara perempuan. Dalam extanded family (tiga generasi) ada posisi yang lebih berpasangan, dan dalam keluarga orang tua tunggal terdapat lebih sedikit posisi yang berpasangan (Friedman.2010.p;301).
Masing-masing posisi normatif sekelompok keluarga dihubungkan peran yang terkait. Suami-ayah diharapkan sebagai pencari nafkah dan istri-ibu sering kali diharapkan untuk mengambil peran kepemimpinan dalam mengelolaan rumah. Pada keluarga orang tua tunggal ibu sering kali mengemban tanggung jawab peran normative baik sebagai ibu maupun ayah. Pada keluarga dengan orang tua tiri, suami akan sering memainkan peran suami-ayah, tetapi karena anak-anak tersebut bukan anak biologisnya, peran ayah menjadi peran pura-pura ayah (peran tersebut kurang terkristalisasi).
Menurut Nasrul (1998) dalam buku Efendi (2009, p.184) mengatakan peran formal dam keluarga dibagi menjadi tiga bagian:
1)      Peran sebagai ayah
Ayah sebagai suami dari istri dan ayah dari anak-anak berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan member rasa aman. Juga sebagai kepala keluarga, anggota keluarga social, serta anggota masyarakat dan lingkungan
2)      Peran sebagai ibu
Ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anak berperan untuk mengurus rumah tangga sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan salah satu anggota kelompok social, serta sebagai anggota masyarakat dan lingkungan disamping dapat berperan pula sebagai pencari nafkah tambahan keluarga.
3)      Peran sebagai anak
Anak melaksanakan peran psikososial sesuai dengan tingkat perkembangannya, baik fisik, mental, sosial, dan spiritual



b.      Peran Informal Keluarga
Anggota keluarga individu akan memainkan banyak peran dalam sebuah keluarga, baik formal maupun informal, dengan saling berbagi beberapa peran ini. Keberadaan peran informal diperlukan untuk memenuhi kebutuhan integrasi dan adaptasi dari kelompok keluarga. Kievit (1968, dalam Friedman, 2010, p.305) menjelaskan bahwa:

“Peran informal memiliki kebutuhan yang berbeda, sedikit cenderung berdasarkan usia atau jenis kelamin dan lebih banyak cenderung berdasarkan atribut kepribadian dari anggota keluarga. Oleh karena itu, satu orang anggota dapat menjadi mediator, yang mencari kemungkinan kompromi saat anggota keluarga lain terlibat dalam konflik. Anggota lain dapat menjadi pelawak, yang memberikan keriangan dan kegembiraan pada peristiwa bahagia, dan rasa humor yang sangat dibutuhkan dalam masa kritis dan distress. Peran informal lain mungkin ada dan muncul, seiring kebutuhan unit keluarga bergeser dan berubah. Dalam bekerja dengan keluarga, kesadaran akan peran informal dapat memfasilitasi pemahaman mengenai sifat khusus masalah yang dihadapi dan agar mendapatkan kemungkinan solusi. Perfoma efektif peran informal dapat memfasilitasi perfoma peran formal yang adekuat.”

Berikut ini adalah beberapa contoh dari peran informal atau tertutup lainnya yang dijelaskan dalam literature (Benne & Sheats, 1948; Hartman & Laird, 1983; Kantor & Lehr, 1975; Satir, 1972; Vogel & Bell, 1960; dalam Friedman, 2010, p. 306-307). Peran informal ini dapat atau tidak dapat berperan pada stabilitas keluarga – beberapa diantaranya bersifat adaptif dan lainnya mengganggu kesejahteraan pokok keluarga.
1)      Pendorong.
Pendorong memiliki arti bahwa dalam keluarga terjadi kegiatan mendorong, memuji, setuju dengan, dan memerima kontribusi dari orang lain. Akibatnya ia dapat merangkul orang lain dan membuat mereka merasa bahwa pemikiran mereka penting dan bernilai untuk didengarkan
2)      Penyelaras/ Pengharmonis
Penyelaras menengahi perbedaan yang terdapat diantara anggota keluarga dengan menghibur atau melunakkan ketidaksepakatan dan menyatukan kembali perbedaan pendapat.
3)      Inisiator-Kontributor
Inisiator-kontributor menyarankan atau mengusulkan idea tau perubahan cara berkenaan dengan masalah atau tujuan kelompok pada kelompok. Kantor dan Lehr (1975, dalam Friedman, 2010, p.306) menyebut tipe peran ini sebagai peran “penggerak” yang dicirikan dengan memrakarsai tindakan.
4)      Negosiator
Negosiator adalah salah satu dari pihak yang berkonflik atau tidak setuju. Negosiator menyerahkan posisinya, mengakui kesalahan, atau menawarkan melalui “jalan tengah”.
5)      Penghalang
Penghalang cenderung negatif terhadap semua ide, menolak tanpa dan diluar alasan. Kantor dan Lehr (1975, dalam Friedman, 2010, p.306) menyebut peran ini sebagai oposisi.
6)      Dominator
Dominator mencoba untuk memperkuat kewenangan atau superioritas dengan memanipulasi kelompok atau anggota tertentu, menunjukkan kekuasaannya dan bertindak seakan-akan ia mengetahui segalanya dan paling sempurna.
7)      Penyalah
Peran ini serupa dengan penghambat dan dominator. Penyalah adalah pencari kesalahan, diktator, penyuruh “yang mengetahui segalanya”.
8)      Pengikut
Pengikut sejalan dengan pergerakan kelompok, kurang lebih menerima ide orang lain secara pasif, berfungsi sebagai pendengar dalam diskusi dan keputusan kelompok.
9)      Pencari pengakuan
Pencari pengakuan mencoba dengan cara apapun yang mungkin untuk mencari perhatian terhadap diri dan keinginan, pencapaian, dan/atau masalahnya.
10)  Martir
Martir tidak menginginkan apapun untuk dirinya tetapi mengorbankan apapun untuk kebaikan anggota keluarga yang lain.
11)  Wajah Tanpa Ekspresi (“Great Stone Face”)
Orang yang memainkan peran ini menggurui secara terus-menerus dan dengan tanpa menunjukkan emosi mengenai semua hal yang “benar” untuk dilakukan, persis seperti sebuah komputer. Satir (1975, dalam Friedman, 2010, p.306) menyebut peran informal ini sebagai superreasonable (sangat rasional).
12)  Sahabat
Sahabat adalah teman bermain keluarga yang memperturutkan diri sendiri dan memperbolehkan perilaku anggota keluarga atau dirinya tanpa mempertimbangkan akibatnya. Ia biasanya tampak tidak berhubungan saat masalah keluarga didiskusikan.
13)  Kambing Hitam Keluarga
Kambing hitam keluarga adalah anggota yang dikenal bermasalah dalam keluarga. Sebagai korban atau wadah ketegangan dan kemarahan terbuka dan tertutup keluarga, kambing hitam berfungsi sebagai katup pengamanan.
14)  Pendamai
Pendamai adalah pengambil hati, selalu mencoba menyenangkan, tidak pernah tidak setuju, berbicara atas nama kedua belah pihak – singkatnya, “seorang yang selalu berkata iya.”
15)  Pengasuh Keluarga
Pengasuh keluarga adalah anggota yang diperlukan untuk mengasuh dan merawat anggota lainnya yang membutuhkan.
16)  Pionir Keluarga
Perintis keluarga menggerakkan keluarga menuju teritori yang tidak diketahui, menuju ke pengalaman baru.
17)  Anggota yang Tidak Relevan atau Distraktor
Distraktor adalah tidak relevan; dengan menunjukkan perilaku mencari perhatian ia membantu keluarga menghindari atau mengabaikan masalah yang menimbulkan penderitaan atau kesulitan.
18)  Koordinator Keluarga
Koordinator keluarga mengatur dan merencanakan aktivitas keluarga, dengan demikian meningkatkan kohesivitas dan melawan perpecahan keluarga.
19)  Perantara Keluarga
Perantara keluarga adalah “papan penghubung” – ia (sering kali ibu) mengirim dan memantau komunikasi di seluruh keluarga.

20)  Penonton/ Saksi
Peran penonton serupa dengan “pengikut” kecuali dalam beberapa kasus lebih pasif. Penonton mengamati tetapi tidak melibatkan dirinya; ia bertindak sebagai orang luar.

(Friedman, 2010, p. 305-307; Mubarak, 2009, p.73-74; Mubarak, 2006, p.261-262)

3.      Kekuasan dan Pengambilan Keputusan dalam Keluarga
Kekuasaan keluarga diteliti terutama dengan memfokuskan pembuat keputusan (Scanzoni & szinovacz; szinovacs, dalam friedman, Bowden, & jones, 2010). Pembuat keputusan berkenaan dengan suatu proses yang di arahkan dengan pencapaian persetujuan dan komitmen dari anggota keluarga untuk melaksanakan serangkaian tindakan atau mempertahankan status quo. Focus sentral adalah bagaimana membuat keputusan (friedman, Bowden, & jones, 2010)
Pemegang kekuasaan dalam keluarga (Effendi, 1998, p.34)
a.       Patriakal, yang dominan dan memegang kekuasaan dalam keluarga adalah di pihak ayah
b.      Matriakal, yang dominan dan memegang kekuasaan dalam keluarga adalah di pihak ibu
c.       Equalitarian, yang memegang kekuasaan dalam keluarga adalah ayah dan ibu

4.      Faktor yang Mempengaruhi Struktur Peran
Menurut Friedman (2010, p.308-314), struktur peran keluarga baik formal maupun informal dipengaruhi oleh:
a.       Perbedaan Kelas Sosial
Peran keluarga sangat dipengaruhi oleh tuntutan dan kepentingan yang diletakkan pada struktur sosial yang lebih besar. Jadi, sebagai respon “penelantaran halus” masyarakat kita terhadap keluarga miskin, berbagai adaptasi peran keluarga telah berkembang sebagai cara memecahkan masalah dan isu yang berulang karena menjadi miskin. Keluarga orang tua tunggal menyusun bagian bermakna dari keluarga yang tinggal dalam kemiskinan, dan proporsi keluarga pekerja yang miskin selama 30 tahun (Leeds, 1996, dalam Friedman, 2010, p.308)
1)      Keluarga Berpenghasilan Rendah
Stabilitas pernikahan lebih tidak stabil pada keluarga berpenghasilan rendah dibandingkan kelas sosial lain, dengan perceraian dua atau tiga kali lebih banyak pada keluarga yang dikepalai oleh pekerja yang tidak memiliki keterampilan dibandingkan keluarga yang dikepalai oleh orang dewasa yang merupakan bagian dari professional kelas menengah. Tingginya angka pengangguran pada kelompok yang sangat miskin adalah stresor utama dalam hubungan pernikahan dan penyebab bermakna dari terputusnya pernikahan.
Keluarga berpenghasilan rendah sering kali memiliki struktur ikatan yang relatif longgar, meskipun peran pasangan pernikahan dan pembagian tanggung jawab mereka biasanya formal. Dalam banyak keluarga miskin terdapat demarkasi kejelasan peran keluarga yang berdasarkan pada apakah pekerjaan terletak di dalam atau di luar rumah. Garis otoritas kuat ini berfungsi untuk memperkuat jarak emosional pasangan. Suami umumnya memainkan peran minimal dalam keluarga berpenghasilan rendah, seringa kali membentuk perannya semata-mata sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan material.
Peran menjadi orang tua telah menjadi titik utama bagi wanita dari keluarga berpenghasilan rendah, dan ibu sering kali lebih tradisional dalam hal pandangannya mengenai pengasuhan anak (mis., penekanan yang lebih besar pada kemampuan menghormati, kepatuhan, kebersihan, dan disiplin anak). Dengan kata lain, fokus menjadi orang tua dalam keluarga miskin adalah pemenuhan fungsi pemeliharaan –penyediaan makanan bagi anak-anak;  memastikan mereka makan, mendapatkan istirahat yang adekuat, mandi, berangkat ke sekolah tepat waktu – dan pada pengaturan perintah dan disiplin di rumah. Sebagai perbandingan, keluarga berpenghasilan menengah atau tinggi cenderung menempatkan penekanan yang lebih besar pada pembentukan keandalan diri dan kemandirian anak serta lebih mengetahui prinsip perkembangan dan psikologis dalam hubungan orang tua – anak (Kohn, 1977, dalam Friedman, 2010, p.308).
Saudara kandung yang lebih tua dalam keluarga berpenghasilan rendah sering kali terlibat dalam menyosialisasikan saudara kandung yang lebih muda – lebih banyak dibandingkan umumnya pada keluarga kelas menengah atau atas. Kelompok sebaya anak dalam keluarga miskin juga sangat penting, khususnya bagi anak laki-laki yang mencari model maskulin, memberikan peran sentral ibu dan peran ayah yang lebih pasif atau “hilang” dalam mengasuh anak.

2)      Keluarga Kelas Pekerja dan Menengah
Rubin (1976, dalam Friedman, 2010, p.308) meneliti pekerja kasar dan keluarga mereka serta menemukan bahwa semakin berpendidikan si suami maka semakin besar derajat persahabatan dalam pernikahan. Hal ini dipastikan oleh studi selanjutnya. Berlawanan dengan pernikahan kelas pekerja yang memiliki tingkat “pemisahan jenis kelamin” yang tinggi dalam keluarga, persahabatan adalah alasan kuat bagi permulaan dan keberlanjutan pernikahan dalam keluarga kelas menengah.
Keluarga kelas pekerja umumnya cenderung memiliki peran keluarga yang lebih berbasis tradisional dibandingkan keluarga kelas menengah – suami menjadi lebih otoriter dalam perannya sebagai kepala rumah tangga (Dickinson & Leming, 1995, dalam Friedman, 2010, p.308). Dunia suami berputar di sekitar peran provider, sementara istri memiliki tanggung jawab primer terhadap rumah dan anak-anak selain bekerja di luar rumah.
Membesarkan anak sekarang ini umumnya merupakan peran bersama pada orang tua kelas menengah, dan perilaku peran mereka terhadap anak berbeda secara kualitatif dari keluarga kelas bawah. Telah ditunjukkan bahwa satu alasan utama untuk hal ini mungkin pembentukan yang tidak disadari pada anak agar bertahan di dunia yang dialami oleh orang tua. Sebagai contoh, jika keluarga miskin, orang tua mengharapkan anak laki-laki mereka mungkin akan bekerja di posisi yang menekankan kepatuhan, penghormatan terhadap kekuasaan, dan kecocokan. Oleh karena itu, pelatihan yang meningkatkan kreativitas, pertanyaan, dan kemandirian akan menghambat apa yang diperlukan anak dalam peran kerja orang dewasa di masa yang akan datang. Sebaliknya, orang tua kelas menengah lebih memperhatikan pertumbuhan psikologis, perbedaan individu, kemandirian, keandalan diri pada anak mereka. Sifat ini yang didorong oleh orang tua kelas menengah yang merupakan kunci keberhasilan dalam kehidupan kerja kelas menengah (Kohn, 1969, 1977, dalam Friedman, 2010, p.309).

b.      Bentuk Keluarga
           Mayoritas keluarga di Amerika sekarang ini bukan keluarga inti tradisional dengan dua orang tua “ideal” yang khas. Struktur peran keluarga akan beragam sejalan dengan varian dalam bentuk keluarga. Karena keluarga orang tua tunggal dan orang tua tiri kemungkinan adalah dua bentuk keluarga inti yang paling umum, kedua tipe bentuk keluarga ini akan diuraikan dalam hal pengaturan peran unik dan penekanan peran mereka.
1)      Peran Dalam Keluarga Orang Tua Tunggal
Jumlah keluarga orang tua tunggal telah membengkak dengan cepat dalam 15 sampai 20 tahun terakhir. Sebagian besar keluarga orang tua tunggal dikepalai oleh ibu, meskipun makin banyak ayah yang mengepalai keluarga orang tua tunggal. Sekitar 17% keluarga orang tua tunggal dikepalai oleh pria (U.S. Bureau of the Cencus, 1998, dalam Friedman, 2010, p.309). Pria yang menjadi ayah tunggal khasnya memiliki keadaan ekonomi yang lebih baik dibandingkan wanita yang menjadi ibu tunggal, sebagian karena, perbedaan terus-menerus dalam pendidikan dan penghasilan antara pria dan wanita (Nortan & Glick, 1986; Teachman, Tedrow, & Crowder, 2001, dalam Friedman, 2010, p.309).
Dua gambaran peran menonjol dari keluarga ini adalah (1) kelebihan beban peran dan konflik peran, dan (2) perubahan peran orang tua tunggal. Orang tua harus memenuhi peran ibu dan ayah sekaligus, tanpa dukungan suatu hubungan pernikahan. Orang tua tunggal cenderung kelebihan peran baik peran maupun konflik dengan berbagai komitmen peran mereka, karena mereka memiliki tugas ganda untuk diemban. Dengan pasangan untuk bergantung, terdapar beberapa fleksibilitas peran (jika peran mengasuh anak dan mengurus rumah tangga dibagi) dan meskipun orang tua tunggal terbebas dari tanggung jawab peran pernikahan, hubungan orang dewasa lainnya sering kali memasuki dan menimbulkan tuntutan pada waktu orang tua tunggal yang terbatas. Karena sebagian besar orang tua juga bekerja, ketagangan tinggi terhadap peran keluarga/ pekerjaan dan penurunan tingkat kesejahteraan ditemukan dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Burden (1986).
Penelitian yang bermankna telah dihasilkan oleh ilmuwan perilaku yang telah meneliti keluarga orang tua tunggal berhubungan dengan dampak jangka panjang pada anak. Kumpulan bukti dari banyak studi secara konsisten menunjukkan bahwa anak dalam keluarga orang tua tunggal memiliki masalah yang lebih besar (secara emosional dan perilaku) dibandingkan anak dari keluarga inti dengan dua orang tua (tingkat penghasilan dikendalikan dalam studi ini). Mereka juga cenderung dua kali keluar dari sekolah menengah atas dan menjadi ibu remaja (Popenoe, 1995, dalam Friedman, 2010, p.309).

2)      Peran Dalam Keluarga Orang Tua Tiri
Dengan semakin bertambahnya jumlah perceraian dan menikah lagi (80% orang yang menikah lagi, setengahnya bercerai dalam 3 tahun), terdapat pertambahan keluarga orang tua tunggal yang sangat banyak (Glick, 1994, dalam Friedman, 2010, p.309). Pada 75% kasus ini, tipe bentuk keluarga ini menunjukkan masuknya suami baru dan ayah pengganti (ayah tiri), dibandingkan ibu tiri, ke dalam keluarga orang tua yang dikepalai wanita yang telah terbentuk. Keluarga orang tua tiri beresiko lebih tinggi mengalami masalah serius dibandingkan keluarga “pernikahan pertama” atau “pernikahan kedua” tanpa satu pun anak; 60% dari semua pernikahan kedua terakhir dengan perceraian. Satu dari alasan primer untuk hal ini adalah kompleksitas keterlibatan yang makin besar dengan masuknya ayah tiri kedalam keluarga yang telah terbentuk, disertai dengan percampuran kewajiban setia istri – pengalaman ibu – terhadap suami barunya di satu pihak dan kepada anaknya di pihak lain.
Kebingungan peran atau ambiguitas peran adalah sumber tekanan utama bagi orang tua tiri  dan anak tiri. Mungkin penyebab dasar yang menimbulkan kebingungan peran bagi ayah tiri dan yang mengakibatkan ketidakseimbangan keluarga adalah isu pengasuhan dan pendisiplinan anak. Keragaman praktik dan nilai membesarkan anak sangat besar. Masing-masing orang tua mengambil latar belakang keluarganya saat mendefinisikan keyakinan, praktik, dan disiplin dalam membesarkan anak serta sangat sulit untuk mencampuri nilai dan keyakinan ini karena banyak darinya yang tidak berdasarkan objektivitas. Ketika orang tua memasuki hubungan, yaitu saat ayah tiri mengepalai rumah tangga tetapi bukan orang tua sesungguhnya, sintesis nilai dan aturan ini akan menimbulkan masalah.
Oleh karena itu, anak-anak melalui pemaparan terhadap praktik pengasuhan anak oleh orang tua kandung mereka, telah membentuk perilaku apa yang diterima dan tidak diterima, baik untuk dirinya sendiri maupun orang tua mereka. Dalam keluarga orang tua tiri, ayah tiri tidak memiliki hak biologis terhadap anak-anak – istrinya harus menekankan ini kepadanya. Hal ini menempatkan ayah tiri pada posisi yang tidak dapat dipertahankan.
Ketika konflik berkembang tentang mendisiplinkan anak, ibu merasa memiliki hak alami untuk memutuskan isu tersebut. Jika ayah tiri mendisiplikan anak, ibu akan sering kali merasa marah, atau lebih sering, secara tindak langsung menyerang balik dengan tidak mendukung suami. Kejadian terakhir ini khususnya sangat menghancurkan bagi seluruh keluarga dan sering kali memperburuk konflik, dengan ibu terpecah antara kesetiaan pada anaknya dan pada suaminya. Selain itu, menyatukan orang tua biologis yang tidak memiliki hak perwalian, sistem kekerabatan orang tua tiri, dan anak orang tua tiri dari pernikahan sebelumnya dapat membutuhkan perubahan peran keluarga yang lebih lanjut. Anak dalam keluarga orang tua tiri juga memiliki kesulitan dalam menyesuaikan rumah tangga baru mereka. Mereka tidak yakin mengenai bagaimana berhubungan dengan orang tua tiri dan orang tua biologis dengan jenis kelamin yang sama dan mengalami konflik kesetiaan (Crosbie-Burnett, 1994, dalam Friedman, 2010, p.310).

c.       Latar Belakang Budaya/ Etnik
Norma dan nilai yang berasal dari budaya atau etnik yang sangat berpengaruh mengenai bagaimana peran dijalankan dalam suaru sistem keluarga yang baku. Pengetahuan akan nilai dasar, kebiasaan, dan tradisi kelompok etnik tertentu penting guna menginterpretasi apakah peran keluarga berfungsi. Pada beberapa budaya, peran formal keluarga dilakukan oleh anggota keluarga luas yang memegang posisi keluarga lainnya. Contoh yang umum dari situasi ini adalah saat seorang paman bertindak sebagai ayah pengganti dalam keluarga orang tua tunggal. Anggota keluarga besar (seperti kakek, paman, atau kakak laki-laki) dapat, pada beberapa budaya, bertindak sebagai ayah pengganti bahkan saat ayah ada, tanpa menyebabkan konflik atau ketegangan hubungan apapun. Nenek dari ibu juga dapat melakukan peran keluarga formal, khususnya keluarga orang tua tunggal Afrika-Amerika (Burron & deVries, 1995, dalam Friedman, 2010, p.310).

d.      Tahap Perkembangan Keluarga
Amatlah jelas bahwa cara bagaimana peran keluarga dikukuhkan secara substansi berbeda dari satu tahap kehidupan keluarga dengan tahap lain. Sebagai contoh, peran orang tua berubah sering mitra peran mereka (anak mereka), bertumbuh dan berubah. Perilaku dan keterampilan menjadi orang tua yang dibutuhkan untuk mengasuh bayi yang bergantung agak berbeda dibandingkan perilaku peran yang dituntut orang tua dengan remaja yang mencari kemandirian maksimum dan perbedaan dari keluarga. Perubahan pola peran keluarga terjadi dalam banyak situasi keluarga yang beragam. Sebagai contoh, Haveman, vanBerkum, Reijinders, dan Heller (1997, dalam Friedman, 2010, p.310) meneliti keluarga yang memiliki seorang anggota keluarga yang mengalami retardasi mental belajar bagaimana kebutuhan mereka akan layanan, tuntutan waktu, dan beban pengasuhan berubah sejalan dengan siklus kehidupan keluarga.
Analisis data dari 2573 orang tua yang memiliki anak yang mengalami retardasi mental menunjukkan bahwa “…meskipun tuntutan pengasuhan menurun dari masa kanak-kanak, keluarga menerima tugas mereka kurang normatif pada masa dewasa, saat sebagian besar keluarga tanpa anak yang mengalami disabilitas tidak lagi mengasuh anak mereka di rumah”. Para peneliti mencatat bahwa masing-masing tahap kehidupan memiliki tantangan yang unik bagi orang tua dari anggota keluarga yang mengalami retardasi mental, beberapa serupa dengan keluarga anggota yang tidak mengalami disabilitasi dan beberapa tantangan situasi khusus.
Selain itu, tahap perkembangan orang tua di titik yang berbeda dalam kehidupan anaka akan mempengaruhi kesesuaian mereka dalam hal urutan kebutuhan dan tugas perkembangan. Sebagai contoh, tugas perkembangan ibu remaja akan kemandirian lebih besar dapat tidak sinkron dengan kebutuhan ketergantungan bayi.

e.       Model Peran
Perilaku peran kita sebagai orang tua atau suami-istri sering kali meniru peran yang kita amati dari yang diperankan orang tua kita. Sebagai contoh, sangat umum untuk menemukan seseorang cenderung memperlakukan anak mereka di masa lalu. Dengan memikirkan pengamatan ini, ahli terapi keluarga menitik beratkan dalam memandang aspek antar generasi peran pernikahan dan orang tua.
Ketika anggota keluarga menunjukkan masalah peran yang dialami (transisi atau konflik peran), mengkaji model peran dari anggota keluarga yang bermasalah dapat membantu. Analisis ini bertujuan menemukan tentang kehidupan awal keluarga, saat individu belajar perannya dan peran pasangannya (seperti belajar peran anak perempuan, serta ibu), dan bagaimana pengalaman awal tersebut dapat mempengaruhi perilaku dan kesulitan perannya saat ini.

f.       Peristiwa Situasional Terutama Masalah Sehat/ Sakit (Peran Keluarga Selama Gangguan Kesehatan)
Peristiwa hidup situasional utama yang dihadapi keluarga dengan tidak dapat dihindari mempengaruhi fungsi peran mereka. Situasi ini biasanya peristiwa yang menimbulkan tekanan seperti bencana alam, penggangguran, atau gangguan kesehatan anggora keluarga. Pada struktur peran keluarga selama gangguan kesehatan anggota keluarga, seperti saat seseorang mengalami penyakit kronik atau disabilitas fisik atau mental. Pada sebagian besar kasus, ketika seseorang menderita gangguan kesehatan, satu atau lebih anggota keluarga mengamban peran pemberi asuhan.
1)      Peran Ibu dalam Sehat dan Sakit
     Peran penting wanita di sebagian besar keluarga yaitu sebagai pemimpin kesehatan dan pemberi asuhan. Kriteria seperti apaun telah digunakan dalam studi untuk mengukur pengambilan keputusan dan peran kesehatan – termasuk tindakan saat penyakit tidak dapat disembuhkan dan diobati, layanan medis dan kesehatan yang dimanfaatkan, serta sumber bantuan keluarga primer – peran pervasive dan inti dari ibu sebagai pengambil keputusan kesehatan utama, pendidik, konselor, dan pemberi asuhan dalam matriks keluarga telah menjadi temuan konstan (Finley, 19889; Litman, 1974; dalam Friedman, 2010, p.311). Dalam peran ini, ibu mendefinisikan gejala dan memutuskan alternatif sumber yang tepat. Ia juga memegang kendali yang kuat terhadap apakah anak akan mendapat layanan pencegahan atau pengobatan, dan bertindak sebagai sumber utama kenyamanan serta bantuan selama masa sakit.
Salah satu cara yang dapat memperkirakan pentingnya peran ibu menjadi pemimpin kesehatan adalah dengan mengamati apa yang akan terjadi padanya dan keluarga saat ia sakit dan tidak mampu melakukan perannya. Ibu biasanya menerima peran sakit hanya jika benar-benar wajib dan kemudian hanya jika tidak dapat ditolak. Karena performa perannya dianggap penting terhadap fungsi keluarga, penyakitnya cenderung sangat mengganggu dan merusak pengaturan. Keluarga perlu memahami perjalanan masalah kesehatan untuk memfasilitasi fleksibilitas peran yang melibatkan keluarga dalam tanggung jawab memberikan asuhan dan mengurus anak saat orang tua sakit (Rolland, 1994, dalam Friedman, 2010, p.311).



2)      Peran Pemberian Asuhan Keluarga
     Anggota keluarga, dan khususnya wanita, memainkan peran penting sebagai pemberi asuhan primer tidak hanya untuk lansia yang lemah, tetapi untuk banyak anggota keluarga dari semua usia yang masih bergantung, sering kali akibat disabilitas fisik atau mental kronik. Kemampuan dan kemauan mereka untuk memberikan asuhan sering menjadi sebuah faktor penting dalam menentukan apakah bisa atau tidak anggota yang mengalami disabilitas atau sakit dapat menghindari anggota masuk rumah sakit.
     Peran pemberi asuhan bervariasi sesuai dengan posisi atau hubungannya dengan penerima asuhan yaitu peran berubah secara bermakna saat pemberi asuhan adalah pasangan hidup, orang tua, anak, saudara kandung, atau teman. Ibu adalah pemberi asuhan primer bagi anak yang sakit kronik. Pasangan atau anak usia dewasa adalah pemberi asuhan lansia yang paling sering. Orang tua mengasuh anak usia dewasa mereka yang mengalami disabilitas sampai mereka tidak mampu lagi melakukannya. Selanjutnya, saudara kandung menjadi pemberi asuhan primer (Roberto, 1993, dalam Friedman, 2010, p.313).
     Faktor lain yang meningkatkan beban situasi pemberian asuhan adalah pelanggaran norma sosial mengenai peran. Hal ini sering kali terjadi dalam empat situasi berikut: saat anak merawat orang tua, saat pria atau wanita melakukan tugas rumah tangga yang biasanya dilakukan oleh jenis kelamin yang lain, saat orang tua merawat anak usia dewasa yang mengalami disabilitas, dan saat kakak merawat adik atau sebaliknya (Avioli, 1989; Horwitz, 1993; dalam Friedman, 2010, p.313)

3)      Perubahan Peran Selama Sakit dan Hospitalisasi
     Dalam sebuah periode krisis, misalnya yang disebabkan oleh penyakit serius anggota keluarga, struktur keluarga dimodifikasi, luasnya modifikasi bergantung pada seberapa besar derajat anggota yang sakit yang mampu menjalankan peran biasanya dalam keluarga dan pemusatan peran atau tugas-tugas yang kosong dari keluarga. Peran yang diambil oleh ibu adalah, seperti yang dibahas sebelumnya, contoh yang baik dari pemusatan peran anggota. Ketika penyakit menyebabkan kekosongan peran-peran penting, keluarga sering kali memasuki sebuah keadaan tidak seimbang yaitu hubungan peran dan kekuasaan berubah sampai homeostasis baru tercapai (Fife, 1985; Hill, 1958).
     Fungsi peran yang seimbang dan dibagi sering kali menjadi tidak dapat dipertahankan oleh pasangan saat salah seorang dari pasangan menjadi tidak mampu. Negosiasi perbaikan peran sering kali dibutuhkan untuk mencegah ketegangan dan kebingungan peran (Rolland, 1994, dalam Friedman, 2010, p.313). Dalam sebuah studi mengenai pengaruh asuhan penyakit kritis terhadap anggota keluarga melaporkan perubahan dalam peran keluarga dan peningkatan tanggung jawab sebagai akibat dari hospitalisasi perawatan kritis.
     Ada dua tipe dasar perubahan peran yang terjadi akibat hilangnya atau ketidakmampuan anggota keluarga.
a)      Anggota keluarga yang lain memiliki cukup sumber dari dalam dan luar sehingga mereka mampu melakukan kewajiban dan tugas-tugas peran dasar dan penting yang tidak mampu diemban oleh anggota keluarga yang sakit – ini merupakan cara situasi ditangani dengan fungsional.
b)      Anggota keluarga kekurangan sumber dari dalam dan luar yang diperlukan,dan sebagai akibatnya, peran dasar dan penting tertentu dalam keluarga tidak dilakukan atau dilakukan tetapi tidak memuaskan.
     Dengan kata lain, keluarga yang berfungsi secara adekuat dapat secara fleksibel memodifikasi peran keluarga untuk memenuhi tuntuan situasi atau dapat mendatangkan sumber dan bantuan dari luar untuk mengisi kekosongan. Akan tetapi, dalam keluarga yang disfungsional. Hal ini tidak terjadi.
     Karena perubahan peran diperlukan akibat hilangnya atau ketidakmampuan satu anggota keluarga, konflik peran dan ketegangan peran sering kali ada, khususnya selama tahap ketidakseimbangan keluarga segera setelah kehilangan atau ketidakmampuan, saat struktur keluarga dalam masa transisional. Baik konflik antarperan atau intraperan dapat terjadi, saat anggota keluarga “dipaksa” menerima peran baru dan memiliki kesempatan kecil untuk belajar peran ini atau untuk mengatur ulang semua tanggung jawab peran lain mereka. Ketegangan atau stress peran sering kali menjadi hasil akhir. Anggota keluarga yang dibebani dengan penerimaan peran baru dapat seringkali merasa khawatir, cemas, dan bersalah karena mereka merasa tidak dapat melakukan pekerjaan secara kompeten dalam peran baru mereka atau dengan tambahan tanggung jawab ini, kompleks peran mereka sangat menuntut dan tidak dapat diatur (Friedman, 2010, p.314).

F.      Nilai-Nilai  Keluarga
1.      Definisi
a.       Nilai
Nilai adalah keyakinan abadi bahwa sikap perilaku tertentu atau keadaan akhir eksistensi. Nilai adalah gambaran utama sistem keyakinan individu karena kualitas yang berlangsung lama; bukan merupakan perilaku sementara . nilai berfungsi sebagai panduan untuk bertindak (Friedmen, Bownden, & Jones, 2010; 326). Sedangkan menurut Potter & Perry, 2005; 326) Nilai adalah keyakinan personal mengenai harga atas suatu ide, tingkah laku, kebiasaan, atau objek yang menyusun suatu standar yang mempengaruhi tingkah laku .
Nilai berfungsi sebagai panduan umum berperilaku. Dalam keluarga, nilai membimbing atau mengarahkan perkembangan keyakinan norma atau aturan yang dianut keluarga. Misalnya, jika seseorang menilai kesehatan dan merasakan kesehatan adalah sesuatu yang didambakan, ia lebih cenderung untuk melakukan pencegahan kesehatan dan menjalani perilaku hidup sehat. Selain itu, ia memiliki batasan moral (aturan atau norma keluarga) menentang kebiasaan hidup tidak sehat (Friedmen, Bownden, & Jones, 2010; 326).
b.      Nilai keluarga
Nilai keluarga didefinisikan sebagai suatu sistem ide, perilaku, dan keyakinan tentang nilai suatu hal atau konsep yang secara sadar maupun tidak sadar mengikat anggota keluarga dalam kebudayaan sehari-hari atau kebudayaan umu (parad &Caplan, 1965dalam Friedmen, Bownden, & Jones, 2010; 326).
Nilai keluarga bukan hanya merupakan suatu cerminan dari masyarakat tempat individu atau keluarga berada, tetapi juga cerminan dari sub- budaya ketika individu atau keluarga diidentifikasi. Sebagian orang termasuk dalam sub-budaya berdasarkan kelas sosial, latar belakang etnik, pekerjaan, jenis kelamin, kelompok teman sebaya, agama yang dianut dan lain-lain (Friedmen, Bownden, & Jones, 2010; 327).
Keluarga sering memiliki nilai yang tidak mereka sadari. Kebutuhan praktis belaka sering kali mengganggu nilai keluarga dalam kehidupan sehari-hari sehingga nilai tersebut tidak dapat dikenali lagi (Greadon, 1985).Dalam membantu keluarga, baik perilaku aktual dan nilai yang dianut, keduanya perlu dipahami apa yang dikatakan penting oleh keluarga mungkin berbeda dengan perilaku aktual(Friedmen, Bownden, & Jones, 2010; 327).
c.       Keyakinan
Wrigth, Watson, dan Bell (1996)dalam Friedmen,2010; 327) menyatakan bahwa keyakinan adalah lensa atau mata bagaimana kita melihat atau mempersepsikan kehidupan. Keyakinan merupakan pijakan kuat dari perilaku kita dan merupakan esensi dari kepedulian kita. Keyakinanan merupakan cetak biru atau dasar bagi kita untuk membangun kehidupan dan berinteraksi dengan kehidupan lainnya. Istilah keyakinan di setarakan dengan perilaku, penjelasan, perjanjiaan, asumsi yangdibangun, kecenderungan, dan nilai, keyakinan membimbing dan mengarahkan keluarga serta individu dalam bertindak (Wright &leahey, 2000).
Jadi keyakinan dan perilaku satu sama lain  saling berkaitan dan berhubungan. Pilihan keluarga membuat perubahan dari keyakinan merek, yang pada gilirannya di kembangkan dari sistem nilai yang dianut mereka. Sistem keyakinan keluarga dapat dipelajari, dikomunikasikan, dan dipertahankan sepanjang waktu. Keyakinan memiliki akar kebudayaan  dan sosial yang mendalam (Friedmen, Bownden, & Jones, 2010; 327).
d.      Norma
Norma adalah pola perilaku yang dianggap benar oleh masyarakat, sebagai sesuatu yang berdasarkan pada sistem nilai keluarga. Norma juga merupakan perilaku modalitas. Dengan kata lain, norma menentukan perilaku peran yang tetap bagi setiap posisi di dalam keluarga dan masyarakat serta menentapkan bagaimana mempertahankan atau menjaga hubungan timbal balik, dan bagaimana perilaku peran dapat berubah dengan perubahan usia pemilik  posisi ini (Friedmen, Bownden, & Jones, 2010; 327).
e.       Aturan keluarga
Aturan keluarga merupakan refleksi atau ungkapan yang lebih khusus dari nilai keluarga dibandingkan dengan norma keluarga. Peraturan adalah pengaturan khusus bagaimana keluarga menegakkan atau menetapkan perilaku yang dapat diterima atau tidak diterima. Aturan keluarga, lebih banyak dituntun oleh nilai abstrak, memberikan stabilitas, kesamaan dan mengarahkan kebutuhan anggota keluarga. Holman (1979) menyatakan bahwa aturan keluarga membentuk mini-budaya (mini kultul)keluarga, pengertian umum yang medefinisikan karakter individu dari setiap keluarga karena berbeda dari semua keluarga lain (Friedmen, Bownden, & Jones, 2010; 327).
2.      Kesenjangan di dalam sistem nilai
a.       Keragaman nilai sosial
Konflik yang tidak terelakan di antara keluarga dan masyarakat, terjadi karena terdapat begitu banyak faktor dan pengalaman yang membuat perubahan nilai dan norma individu atau keluarga. Isu dan konflik yang tidak diselesaikan sering tampak karena tradisi dan kumpulan norma yang baru muncul secara bersamaan, yang kedua nya berada di dalam atau di luar keluarga (Friedmen, Bownden, & Jones, 2010; 328).
Di dalam komunitas, kelompok atau individu tertentu menolak norma-norma baru dan lebih berpegang teguh pada pola tradisional, sedangkan individu dan kelompok lain menemukan pola tradisional yang tidak dapat diterima dan terikat pada serangkaian norma dan nilai yang baru. Perubahan sosial menyebabkan timbulnya wilayah konflik yang besar. Meskipun nilai masyarakat kita pluralisme, yaitu sistem serta pola yang tradisional dengan yang baru dapat berjalan secara berdampingang, perbedaan sosial ini berperan dalam menimbulkan konflik dan kebingungan dalam keluarga. Isu nilai keluarga yang sangat umum berhubungan dengan arti pernikahan itu sendiri bagi individu yang terlibat. Secara tradisional, pernikahan telah dipandang sebagai suatu yang sakral dan mengikat; saat ini, diantara orang yang mendukung nilai sosial yang baru, pernikahan mungkin dipandang sebagai suatu kontrak semata yang dengan mudah dapat dibatalkan apabila salah satu atau kedua belah pihak mempunyai ketidakpuasan yang logis (Friedmen, Bownden, & Jones, 2010; 328).
b.      Pertentangan nilai antara budaya dan sub-budaya yang dominan
Sumber umum lainnya dari konflik nilai adalah pertentangan antara nilai kebudayaan dominan dan kelompok rujukan kebudayaan keluarga. Ketika kita mengangap keluarga sebagai alat media di antara kebudayaan (masyarakat luas) dan individu, ini berarti bahwa dasar ketidaksesuaian dalam nilai antara kelompok rujukan kebudayaan keluarga dan masyarakat yang lebih luas mengakibatkan konflik nilai tertentu, yang meningkatkan ketegangan dalam keluarga sebagai suatu sistem dan juga berpengaruh negatif terhadap anggota keluarga (Friedmen, Bownden, & Jones, 2010; 328).
c.       Pertentangan nilai antara generasi
Suatu keluarga dapat terdiri dari beberapa generasi individu, masing-masing membawa nilai dasar generasinya ke dalam kelompok keluarga. Nilai konflik tidak dapat dihindarkan ketika kakek memegang nilai tradisi, orang tua dipengaruhi oleh kombinasi nilai tradisi dan progresif, serta anak-anak dipengaruhi oleh nilai baru.konflik diantara generasi ini bisa terjadi terutama bila rumah tangga merupakan extended family atau keluarga yang memiliki anak usia remaja. Pertentangan nilai antara generasi ini juga membesar pada generasi  pertama keluarga imigran dari negara-negara Timur (Hong & Ham,1992 dalam Friedmen, Bownden, & Jones, 2010; 328-329).
d.      Perbedaan antara anggota keluarga dan profesional pelayanan kesehatan
Salah satu stresor utama dalam hubungan antara tenaga profesional pelayanan kesehatan dan klien keluarga adalah perbedaan sosial yang ada karena perbedaan kelas sosial atau nilai kebudayaan. Apabila profesional kesehatan dan keluarga tidak memiliki dasar keyakinan dan nilai yang sama, hasilnya sering berbeda. tujuan, komunikasi yang tidak jelas, dan masalah interaksi. Sebagai tenaga yang profesional yang bekerja dalam sistem pelayanan kesehatan. Nilai kebudayaan dominan ini umumnya terdapat pada orang yang berkulit putih, Anglo Saxon, Protestan (WASP), Brink (1976) dalam Friedmen, Bownden, & Jones, 2010; 329) menjelaskan sistem nilai  perawat Amerika sebagai berikut:
Perawat Amerika dididik di Amerika Serikat, masuk dalam klarifikasi sistem nilai, “old Yankee”.Perawat Amerika berciri futuristik, berorientasi menjalankan tugas profesi, individualis dalam membuat keputusan, namun berorientasi langsung di institusi kesehatan, meyakini bahwa penyakit dapat ditanggulangi, dan tidak memandang manusia itu baik atau jahat, tapi sebagai orang sakit.
Selain itu, usia rata-rata perawat tradisional sekitar 44 tahun. Konflik nilai dapat timbul ketika perawat baru dari generasi muda (generasi x) berinteraksi dengan kelompok sebaya mereka (baby boomer) dan dengan bertambahnya jumlah pasien lansia.

3.      Variabel Utama yang Mempengaruhi Nilai Keluarga
Ada beberapa variabel atau faktor penting yang sangat memengaruhi apakah keluarga meengasimilasi “orientasi nilai utama” dari masyarakat, atau apakah perbedaan prioritas dan nilai atau norma yang berbeda dapat berjalan. Tiga variabel penting adalah kelas sosial, etnisitas keluarga, serta keluarga dalam susunan atau struktur (Creed,2000; Lebey, 2001). Variabel penting lainnya meliputi tingkat akulturasi keluarga terhadap kebudayaan dominan, perbedaan generasi, lokasi geografis, dan idiosinkretik personal dan keluarga.
a.       Status SosioEkonomi Keluarga
Status ekonomi keluarga membentuk gaya hidup keluarga, status ini juga merupakan faktor yang sangat kuat di dalam nilai keluarga. Sebagai contoh, nilai inti dominan dari rakyat Amerika merupakan nilai yang mewakili sebagian besar nilai keluarga kelas menengah Amerika. Keluarga miskin berbagi dengan nilai dominan seperti produktivitas dan kerja. Terkait dengan dimensi waktu, keluarga miskin lebih berorientasi pada masa kini daripada kelas menengah.
Diantara beberapa keluarga miskin, misalnya waktu dan perjanjian dipersepsikan sebagai sesuatu yang “fleksibel”. Artinya, kegiatan dimulai jika semua orang yang terlibat sudah sampai. Sebaliknya, keluarga kelas menengah, menganut nilai waktu yang dominan dan mengharapkan ketepatan waktu serta ketrampilan manajemen waktu yang baik. Keluarga ini khas berorientasi masa depan dan oleh karena itu mereka merencanakan serta mempersiapkan untuk masa depan (Giger &Davidhizar, 1999).
b.      Etnisitas dan Akulturasi Keluarga
Latar belakang etnik memberikan perbedaan yang besar dalam memandang pentingnya suatu nilai inti bangsa bagi keluarga. Contohnya; keluarga Irlandia-Amerika menempatkan nilai yang tinggi pada kemandirian. Hingga muncul ungkapan “Anda sudah merapikan tempat tidur, sekarang berbaringlah diatasnya”, yang mengungkapkan arti bahwa anggota keluarga yang sudah menikah tidak boleh membawa masalah rumah tangga mereka kepada orang tua.
Dalam kebudayaan Cina, kekohesifan kelompok, penghormatan sosial, kepatuhan, ketertiban/keteraturan sosial sangat bernilai. Orang tua keluarga Cina-Amerika secara tradisional sangat peduli terhadap perilaku anak mereka agar sesuai dengan adat istiadat yang diinginkan atau dibenarkan. Anak mereka dididik untuk mendengar dan menaati petunjuk orang tua dan orang yang lebih tua dari mereka tanpa keberatan (Xiao,1999)
Nilai Inti Perbedaan Kebudayaan tertentu, Keluarga yang Berorientasi Tradisional
EtnisKeluarga
Nilai/akulturasi
1.      Irlandia-Amerika


2.      Indian-Amerika




3.      Italia-Amerika

4.      Yahudi-Amerik


5.      Afrika-Amerika


6.      Asia-Amerika




7.      Asia-Indian

8.      Latin
Mandiri, berorientasikeagamaanyangkuat, bicaradengan nada tinggi, humoris, senangbergaul.
Hidupharmonisdenganalam, inspirasi spiritual, pengobatantradisional, hormatkepada yang lebihtua, otoritas, dananak-anak, kolektivisme (keluargadansuku), kebanggaanetnik.
Kekeluargaan, perantradisionalpria-wanita, loyal menjalanihubungan personal.
Menghargaipendidikan, sukses, keluarga, danbersangkutandengankomunitas, komitmenterhadapprinsipdemokrasi.
Pertalian yang kuatdandukungandarikerabatdanteman, fleksibilitasdalamperankeluarga, komitmendanpartisipasikeagaman yang kuat.
Hormatkepada yang lebihtua, kekeluargaan, rukun, dansalingtergantungdalamhubungan, saleh, hemat, penghormatankepadaleluhur, hormatpadapenguasa, berorientasipendidikandanprestasi.
Kemurnian, pengorbanan, ketidakpedulian, spiritualitas.
Kekeluargaan, hormatterhadapotoritasdan orang yang lebihtua, berorientasikeagamaan yang kuat, orang dinilaidarikarakterbukansuksesmereka, orientasimasakinilebihbesar.
Tabel gambaran nilai inti dari beberapa kelompok etnik

Tingkat akulturasi keluarga terhadap nilai kebudayaan dominan juga sangat berbeda. Semakin terakulturasi keluarga, semakin keluarga menganut nilai inti bangsa.



c.       Letak Geografi (Urban, Suburban atau Rural)
Sebuah keluarga yang tinggal (atau telah menetap untuk waktu lama) di komunitas rural (desa), urban (kota) atau suburban (pinggiran kota) juga memainkan peranan penting dalam membentuk nilai mereka. Dalam hal tempat tinggal penduduk desa versus kota, penduduk desa cenderung lebih tradisional dan konservatif daripada penduduk urban dan suburban. Masyarakat suburban sebaian besar terdiri dari kelas menegah, dan biasanya lebih mendukung nilai kebudayaan kelas menengah penduduk urban. Sebaliknya, masyarakat urban, terdiri dari beragam populasi, pada umumnya terdiri dari keluarga yang berasal dari beragam kelas social, dan bermacam etnik serta kelompok rasial, jadi keluarga urban biasanya menunjukkan perbedaan nilai yang besar, meskipun secara umum cenderung memilih pandangan social dan politik yang lebih liberal.
d.      Perbedaan Generasi
Variabel lain yang memengaruhi nilai dan norma keluarga adalah pada generasi manakah anggota tersebut hidup. Kebanyakan nilai inti ditanamkan pada masa usia dini oleh orang tua. (Lustig, 1998). Akan tetapi, nilai inti juga dapat berubah karena pergeseran nilai yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya, nilai tertentu merupakan nilai utama ketika orang mengalami masa remaja pada tahun 1950-an. Individu tersebut saat ini berada pada masa pensiun/tua atau pada fase keluarga yang membuat perjanjian, dan mereka masih menganut nilai yang berorientasi pada kepercayaan/agama (nilai-nilai yang mempunyai potensi yang lebih dalam hidup mereka dibanding remaja masa kini).  McLeod dan Cooper (1996) dan Slater (1970) menggambarkan perbedaan kekuatan nilai ketika mereka membandingkan nilai “generasi muda (youth generation)” adalah “generasi saya (me generation)” dan “generasi X” dengan nilai lama dari kebudayaan yang dominan (orang dewasa).
G.    Stres, Koping dan Adaptasi Keluarga
1.      Konsep stres dan koping dasar
Stres adalah respon atau keadaan ketegangan yang disebabkan oleh stresor atau oleh tuntuan aktual/yang dirasakan yang tetap tidak teratasi. Stres adalah ketegangan dalam seseorang atau sistem sosial (mis.,keluarga) dan merupakan reaksi terhadap situasi yang menimbulkan tekanan (Burgess, 1987).
Stresor adalah agen pemrakarsa atau presipitasi yang mengaktifkan proses stres. Agen presipitasi yang mengaktifkan stres dalam keluarga adalah peristiwa hidup atau kejadian yang cukup kuat untuk menyebabkan perubahan dalam sistem keluarga. Stresor keluarga dapat berupa peristiwa atau pengalaman interpersonal, lingkungan, ekonomi atau sosial-budaya. Jumlah peristiwa perkembangan (yang diharapkan) dan situasional (yang tidak diharapkan) serta ketegangan intrakeluarga (tekanan dalam hubungan di antara anggota keluarga).
Koping terdiri atas upaya pemecahan masalah yang dihadapi oleh individu dengan tuntuan yang sangat relevan dengan kesejahteraannya tetapi membebani sumber seseorang. Pearlin dan Schooler (1978) menambahkan pernyataan mengenai dugaan keefektifan respon koping saat mereka menderfinisikan koping sebagai respon (kognitif perilaku atau persepsi) terhadap ketegangan hidup eksternal yang berfungsi untuk mencegah, menghindari, atau mengendalikan distres emosional.
Koping keluarga didefinisikan sebagai proses aktif saat keluarga memanfaatkan sumber keluarga yang ada dan mengembangkan perilaku serta sumber baru yang akan memperkuat unit keluarga dan mengurangi dampak peristiwa hidup yang penuh dengan stres. Koping keluarga adalah tindakan atau kognisi khusus yang dilakukan keluarga saat beradaptasi terhadap stres. Strategi koping keluarga dan individu terbentuk serta berubah sepanjang waktu sebagai respon terhadap tuntutan atau stresor yang dialami (Menaghan, 1983).
Krisis keluarga merupakan keadaan atau masa kacau dalam kehidupan keluarga saat peristiwa yang sangat menimbulkan stres atau rangkaian kejadian yang secara signifikan membebani sumber dan kemampuan koping keluarga disertai tidak dapat melihat pemecahan masalah. Keterampilan pemecahan masalah keluarga yang biasanya efektif menjadi tidak berguna atau berkurang selama kegawatan psikososial (Kus, 1992).
Ada dua jenis situasi yang dapat menempatkan keluarga ke dalam krisis, yaitu :
a.       peristiwa perkembangan
Peristiwa perkembangan atau maturasi adalah peristiwa yang berakar dari pengalaman keluarga dalam proses pertumbuhan psikososial anggota (mis., menjadi orang tua). Peristiwa ini terdapat dalam tahap siklus kehidupan normal baik bagi keluarga maupun anggotanya.
b.      Situasional
Peristiwa situasional tidak umum aau secara normal diharapkan, seperti kematian anak atau penyakit. Bergantung pada sumber, kemampuan koping, dan persepsi keluarga terhadap suatu peristiwa.

2.      Adaptasi keluarga
Adaptasi adalah proses mengelola tuntutan stresor melalui pemanfaatan sumber, koping, dan strategi pemecahan masalah. Hasilnya akhirnya adalah perubahan keadaan fungsi yang dapat positif atau negatif yang menyebabkan peningkatan atau penurunan keadaan sejahtera keluarga (Burgess, 1978). Misalnya mencari bantuan dari lembaga masyarakat dapat merupakan gerakan yang sangat positif saat bantuan dari luar dibutuhkan untuk membantu anak belajar mengatasi masalah tetapi strategi adaptif yang sama dapat negatif jika menjadi cara dominan keluarga memecahkan masalahya. Hal ini karena keluarga tidak belajar memanfaatkan sumber dari dalam keluarga sendiri.
Adaptasi keluarga didefinisikan sebagai proses sistem keluarga yang berkelanjutan yang digunakan untuk mencapai tugas-tugas adaptif dalam situasi penyakit kronik yang berlangsung sepanjang waktu saat anggota keluarga beradaptasi terhadap situasi kehidupan penuh stres seperti merawat anak yang mengalami penyakit kronik.
Proses adaptasi dalam sistem keluarga disebut resilience keluarga. Pendekatan resilience keluarga guna bekerja dengan keluarga dibentuk di atas kompetensi dan kekuatan anggota keluarga dan keluarganya yang memungkinkan penyediaan layanan kesehatan bergeser dari model patogenik ke model berbasis kekuatan.

3.      Fase waktu stres dan strategi koping
Perawat perlu menyadari fase waktu stres serta strategi koping anggota keluarga dan unit keluarga yang dapt digunakan selama setiap tiga periode waktu.


a.       Periode antrestres
Dalam periode sebelum benar-benar menghadapi stresor, antisipasi mungkin terjadi. Terdapat kesadaran terhadap bahaya yang mengancam atau ancaman situasi yang dirasakan. Jika keluarga atau orang yang membantu dapat mengidentifikasi stresor yang akan datang, bimbingan antisipasi serta strategi koping pencegahan dapat dicari atau diberikan untuk memperlemah atau mengurangi dampak stresor.
b.      Periode stres aktual
Dengan energi yang besar yang dikeluarkan dalam menangani stresor dan stres, banyak fungsi keluarga sering kali diabaikan atau dilakukan secara tidak adekuat sampai keluarga kembali memiliki sumber untuk mengatasi stres dan stresor. Contohnya adalah saat keluarga secara total mengatur kehidupan keluarganya seputar perawatan anggota yang mengalami sakit kronik. Dalam situasi ini, keluarga dapat sangat disfungsional sepanjang waktu ketika kebutuhan anggota yang sehat tidak terpenuhi dan perkembangan perjalanan kehidupan keluarga terganggu.
c.       Periode pasca stres
Strategi koping yang diterapkan setelah periode stres akut terdiri dari strategi untuk mengembalikan keluarga ke keadaan homeostatis yang seimbang. Untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga selama fase ini, keluarga perlu sering bekerjasama, saling mengungkapkan perasaan dan memecahkan masalahnya atau mencari dan memanfaatkan dukungan keluarga guna memperbaiki situasi penuh stres. Empat kemungkinan pasca trauma adalah :
1)      Keluarga berfungsi pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya
2)      Keluarga berfungsi pada tingkat yang sama dengan pra stress
3)      Keluarga berfungsi pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan sebelumnya
4)      Perpecahan keluarga (mis., perpisahan, perceraian, pengabaian)

4.      Stresor dan dampaknya
Keluarga setiap harinya dihujani dengan stimulus yang menyebabkan ketegangan, beberapa di antaranya hanya menimbulkan iritasi ringan dan sulit sulit dilihat seperti kebisingan lalu lintas dan perumahan yang tidak layak yang beberapa diantarnya membahayakan keluarga seperti masalah pernikahan atau kehilangan anak. Keluarga jarang berhadapan dengan stresor tunggal pada satu waktu tetapi sering kali tepajan oleh stresor baik normatif maupun situasional secara simultan.
Para peneliti mengembangkan alat berbasis keluarga yang mengkaji perubahan hidup dalam keluarga. Alat pengkajian yang paling sering digunakan adalah Family Inventory of Life Events adn Changes (FILE). FILE adalah instrumen yang dapa digunakan untuk mengkaji dan mengakumulasi stresor keluarga. Tujuh peristiwa hidup yang paling menimbulkan stres dalam skala FILE total adalah :
a.       Kematian seorang anak
b.      Kematian salah satu orang tua atau pasangan
c.       Pasangan atau orang tua berpisah atau bercerai
d.      Adanya penganiayaan fisik atau seksual atau kekerasan dalam rumah keluarga
e.       Anggota keluarga mengalami cacat fisik atau sakit kronik
f.       Pasangan atau orang tua berselingkuh
g.      Anggota keluarga dipenjara atau ditahan sementara

5.      Strategi koping keluarga
a.       Strategi koping keluarga internal
Dalam strategi koping keluarga internal, ada tiga jenis strategi koping intra-keluarga yang umum, yaitu :
1)      Strategi hubungan
a)      Mengendalikan kelompok keluarga
Burges (1978) menekankan bahwa strategi koping ini termasuk disiplin diri di antara anggota keluarga sangat dibutuhkan dalam awal situasi penuh stres seperti saat orang tua menghadapi kecelakaan serius di rumah. Mereka harus memelihara ketenangan dan kemampuan memecahkan masalah karena mereka bertanggung jawab terhadap kehidupan mereka sendiri dan kehidupan anak mereka.
b)      Kebersamaan yang lebih besar
            Salah satu cara membuat keluarga makin erat dan memelihara serta mengelola tingkat sttres dan moral yang dibutuhkan keluarga adalah dengan berbagi perasaan dan pemikiran serta terlibat dalam pengalaman atau aktivitas keluarga. Aktivitas keluarga di waktu luang merupakan sumber koping yang sangat penting. Kebersamaan yang lebih besar menghasilkan kohesi keluarga yang lebih tinggi, atribut keluarga yang mendapatkan perhatian luas sebagai atribut keluarga inti.

2)      Strategi kognitif
a)      Normalisasi
            Strategi koping fungsional keluarga lainnya adalah kecenderungan bagi keluarga untuk menormalisasi sesuatu sebanyak mungkin saat mereka mengatasi stresor jangka panjang yang cenderung mengganggu kehidupan keluarga dan aktivitas rumah tangga. Normalisasi adalah menegaskan kehidupan keluarga sebagai kehidupan yang normal. Keluarga “menormalkan” dengan memelihara ritual dan rutinitas terhadap anggota keluarga yang mengalami penyakit kronik. Hal ini membantu keluarga mengatasi stres dan meningkatkan rasa keutuhan.
b)      Pengendalian makna masalah dengan membingkai ulang dan penilaian pasif
            Interpretasi yang diberikan terhadap peristiwa dapat membuat perbedaan antara berespon berlebihan terhadap situasi, bereaksi dengan cara yang realistik, dan bereaksi secara adekuat. Keluarga yang menggunakan strategi koping ini dengan membingkai ulang cenderung melihat aspek positif dari peristiwa hidup penuh stres dengan membuat perbandingan positif dan membuat peristiwa atau pengalaman penuh stres tidak terlalu penting dalam hierarki keluarga. Pembingkaian ulang adalah cara persepsi koping individu yang dipengaruhi oleh keyakinan keluarga. Peran agama dan spiritualitas berperan penting dalam membentuk keyakinan. Cara kedua adalah penilaian pasif, keluarga menggunakan strategi koping kognitif kolektif dalam memandang stresor atau kebutuhan yang menimbulkan stres sebagai sesuatu yang akan selesai dengan sendirinya dan tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut.
c)      Pemecahan masalah bersama
            Pemecahan masalah bersama dapat dijelaskan sebagai sebuah situasi saat keluarga secara bersama-sama mampu mendiskusikan masalah dengan segera, mencari pemecahan yang didasarkan pada logika dan mencapai kesepakatan mengenai apa yang akan dilakukan berdasarkan sekumpulan isyarat, persepsi dan saran dari berbagai anggota keluarga.
d)     Medapatkan informasi dan pengetahuan
            Keluarga yang lebih berbasis kognitif berespon terhadap stres dengan mencari pengetahuan dan informasi berkenaan dengan stresor atau kemungkinan stresor. Dengan mendapatkan informasi yang bermanfaat dapat meningkatkan pengendalian terhadap situasi tertentu dan dapat mengurangi rasa takut keluarga terhadap sesuatu yang tidak diketahui, dan juga membantu keluarga menilai stresor lebih akurat dan mengambil tindakan yang tepat.
3)      Strategi komunikasi
a)      Terbuka dan jujur
Satir (1998) mengamati bahwa komunikasi dalam keluarga yang fungsional adalah langsung, terbuka, jujur dan jelas. Keterbukaan adalah komunikatif dalam berbagai ide dan perasaan. Pemecahan masalah kolaboratif yang dibahas sebagai strategi koping kognitif juga merupakan strategi koping komunikasi yang memfasilitasi koping dan adaptasi keluarga.

b.      Strategi koping keluarga eksternal
1)      Memelihara jalinan aktif dengan komunitas
Kategori ini merujuk pada upaya koping keluarga yang terus-menerus, jangka panjang dan umum, bukan upaya seseorang menyesuaikan untuk mengurangi stresor khusus siapa pun. Keluarga berperan dan mendapat manfaat dari jaringan dukungan dan layanan komunitas yang aktif.
2)      Memanfaatkan sistem dukungan sosial
Dukungan sosial keluarga merujuk pada dukungan sosial yang dirasakan oleh anggota keluarga dapat diakses. Dukungan sosial ini dapat datang dari dalam dukungan sosial keluarga, seperti dukungan pasangan atau dukungan sibling. Dukungan sosial informal dapat berasal dari keluarga besar, teman, dan orang-orang di lingkungan sekitar. Sedangkan dukungan sosial formal dapat berupa bimbingan konseling dengan ahli dan mencari informasi dari penyedia layanan kesehatan dan profesional lain.
3)      Dukungan spiritual

Berbagai studi menunjukkan hubungan jelas antara kesejahteraan spiritual dan peningkatan kemampuan individu atau keluarga untuk mengatasi stres dan penyakit. Agama adalah dorongan yang kuat dan pervasif dalam membentuk keluarga. Dukungan spiritual penting dalam mendukung kepercayaan keluarga sehingga mereka dapat mengatasi penderitaan. Keyakinan dan kepercayaan pada Tuhan dan doa diidentifikasi sebagai cara keluarga yang sangat penting dalam mengatasi stresor yang mengancam hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Christensen, Paula J. 2009. Proses keperawatan: aplikasi model konseptual. Ed. 4. Jakarta: EGC
Efendy. (1998). Dasar-dasar keperawatan kesehatan masyarakat. Jakarta: EGC
Effendi, Ferry. (2009). Keperawatan kesehatan komunitas: teori, dan praktik dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Friedman, M.M. (1998). Keperawatan keluarga: teori dam praktek. Ed.3. Jakarta: EGC
Friedman., Marilyn M. (2010). Buku ajar keperawatan keluarga: riset, teori dan praktik. Ed.5. Jakarta: EGC
Mubarak, Wahit Iqbal. (2009). Ilmu keperawatan komunitas buku 2: konsep dan aplikasi. Jakarta: Salemba Medika
Mubarak, W.I. & Santoso, B.A. (2006). Buku ajar ilmu keperawatan komunitas: teori & aplikasi dalam praktik dengan pendekatan asuhan keperawatan komunitas, gerontik, dan keluarga. Jakarta: Sagung Seto
Setiadi. (2007). Konsep dan penulisan riset keperawatan. (Ed.1). Jogjakarta: Graha Ilmu
Suprajitno. (2004). Asuhan keperawatan keluarga: aplikasi dalam praktik. Jakarta: EGC


No comments:

Post a Comment

Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat