google adsense

Monday, August 7, 2017

Konsep dan Penanganan Resiko Gangguan Konsep Diri pada Berduka dan Kehilangan

F.   Konsep dan Penanganan Resiko Gangguan Konsep Diri pada Berduka dan Kehilangan
1.      Berduka dan Kehilangan
a.       Pengertian
     Kehilangan adalah sesuatu yang signifikan yang membutuhkan adaptasi melalui proses berduka yang terjadi ketika sesuatu atau seseorang tidak dapat lagi ditemui, diraba, didengar, diketahui dan dialami. (Potter & perry, 2005)
     Kehilangan merupakan situasi actual atau potensial yang di dalammnya sesuatu yang dinilai berharga berubah, tidak lagi ada atau menghilang yang dapat mengalami kehilangan citra tubuh, orang terdekat, rasa kesejahteraan, pekerjaan, barang pribadi, keyakinan,atau sensi terhadap diri sendiri.(Kozier, 2010)
     Sedangkan Tarwoto & Wartonah (2003), mendefenisikan kehilangan sebagai suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
     Berduka adalah proses yang mengalami reaksi psikologis, social dan fisik terhadap kehilangannyang dipersepsikan.(potter & perry, 2005)
     Berduka merupakan respon total terhadap pengalaman emosional akibat kehilangan yang dimanifestasikan dalam pikiran, perasaan, dan perilaku yang berhubungan dengan distress atau kesedihan yang mendalam. (Kozier, 2010)
     Berduka merupakan respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, susah tidur, dll.(Tarwoto & Wartonah, 2003)

b.    Tipe dan Sumber Kehilangan
Menurut Kozier (2010), terdapat dua tipe umum kehilangan, yaitu:
1)      Kehilangan actual; merupakan kehilangan yang dapat diketahui oleh orang lain
2)      Kehilangan persepsi; yaitu kehilangan yang dialami oleh seseorang tetapi tidak dapat dipastikan oleh orang lain.

     Kehilangan psikologis sering berupa persepsi kehilangan karena kehilangan psikolog tidak dapat dipastikan secara langsung. Misalnya, seorang wanita yang berhenti bekerja untuk merawat anaknya di rumah dapat merasakan persepsi kehilangan kemandirian dan kebebasan.
     Kehilangan yang diantisipasi dialami sebelum kehilangan benar-benar terjadi. Misalnya, seorang wanita yang suaminya sedang menjelang ajal dapat mengalami kehilangan actual sebagai antisipasi terhadap kematian suaminya.

      Menurut potter & perry 2005, tipe kehilangan dapat bersifat actual atau dirasakan; kehilangan yang bersifat actual dapat dengan mudah diidentifikasi. Misalnya, seorang anak yang teman mainnya pindah rumah atau seorang dewasa yang kehilangan pasangan akibat bercerai. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat disalahartikan, seperti kehilangan kepercayaan diri.
Menurut kozier 2010, terdapat beberapa sumber kehilangan, antara lain:
1)      Kehilangan aspek diri: bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau atribut psikologis. Kehilangan aspek diri mengubah citra tubuh seseorang, walaupun kehilangan mungkin tidak terlihat nyata. Misalnya: jaringan parut di wajah akibat luka bakar secara umum dapat jelas dilihat oleh orang, kehilangan bagian tubuh yang berada di dalam perut. Pada lanjut usia, perubahan terjadi dalam kemampuan fisik dan mental dimana dalam kehidupan mungkin mengalami banyak kehilangan: pekerjaan, aktivitas biasa, kemandirian, kesehatan, teman dan keluarga.

2)      Kehilangan objek eksternal diri
Yang terdiri atas:
a)      Kehilangan objek benda mati yang bermakna penting bagi individu. Seperti: kehilangan uang atau terbakarnya rumah
b)      Kehilangan objek benda hidup. Seperti: binatang peliharaan yang memberikan kasih sayang dan persahabatan.
3)   Perpisahan dari lingkungan biasa
Perpisahan dari lingkungan dan orang yang memberikan keamanan dapat menyebabkan sensasi kehilangan. Anak yang usia 6 tahun cenderung merasakan kehilangan saat pertama kali meninggalkan lingkungan yang sudah dikenalnya untuk pergi sekolah.
4)      Kehilangan orang yang dicintai
Kehilangan orang yang dicintai atau orang yang disayangi karena penyakit, perceraian, perpisahan atau kematian. Pada beberapa penyakit, seseorang dapat mengalami perubahan kepribadian yang membuat teman dan keluarganya merasa bahwa mereka telah kehilangan orang tersebut.
5)      Kehilangan hidup
Seseorang yang menghadapi kematian menjalani hidup, merasakan, berpikir, dan merespon terhadap kejadian dan orang sekitarnya sampai terjadi kematian.
Sebagian orang menganggap kematian sebagai jalan masuk ke dalam kehidupan setelah kematian yang akan mempersatukan dengan orang yang kita cintai di surge. Sedangkan orang lain takut perpisahan, dilalaikan, kesepian dan cedera. Ketakutan terhadap kematian sering menyebabkan individu menjadi lebih bergantung. (Potter & perry, 2005)
c.       Proses kehilangan
         Menurut Yosep (2010), proses kehilangan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)        Stressor internal/eksternal – gangguan dan kehilangan – individu memberi makna positif – melakukan kompensasi dengan kegiatan positif – perbaikan (beradaptasi dan merasa nyaman)
2)        Stressor internal/eksternal – gangguan dan kehilangan – individu memberi makna – merasa tidak berdaya – marah dan berlaku agresi – diekspresikan ke dalam diri – muncul gejala sakit fisik
3)        Stressor internal/eksternal – gangguan dan kehilangan – individu memberi makna – merasa tidak berdaya – marah dan berlaku agresi – diekspresikan ke luar diri individu – konpensasi dengan perilaku konstruktif – perbaikan (beradaptasi dan merasa nyaman)
4)        Stressor internal/eksternal – gangguan dan kehilangan – individu memberi makna – merasa tidak berdaya – marah dan berlaku agresi – diekspresikan ke luar diri individu – konpensasi dengan perilaku dekstruktif – merasa bersalah – ketidakberdayaan.


d.      Tahap berduka
Tabel 2. Tahap berduka Kubler-Ross (Kozier,2010)
Tahap
Respon perilaku
Implikasi keperawatan
Penyangkalan
Tidak percaya telah terjadi kehilangan
Tidak siap mengatasi masalah praktis, seperti setelah kehilangan kaki dan menunjukkan keceriaan palsu sehingga memperlama penyangkalan

Dukung klien secara verbal tetapi tidak mengaitkan penyangkalan.
Kaji perilaku diri sendiri untuk memastikan bahwa perawat tidak ikut terlarut dalam penyangkalan klien
Marah
Klien atau keluarga dapat mengarahkan rasa marah kepada perawat atau staf berkenaan dengan hal-hal yang normalnya tidak menggu mereka
Bantu klien memahami bahwa rasa marah adalah respon normal terhadap perasaan kehilangan & ketidakberdayaan. Hindari menarik diri atau balas marah, jangan menanggapi rasa marah secara pribadi. Atasi kebutuhan yang melandasi setiap rasa marah. Berikan kekuatan kontinuitas untuk meningkatkanperasaan aman. Biarkan klien untuk mengontrol kehidupan merekan sebanyak mungkin
Penawaran
Berupaya melakukan tawar-menawar untuk menghidari kehilangan.
Dapt mengekspresikan perasaan bersalah atau takut mendapatkan hukuman akibat dosa di masa lalu, baik nyata ataupun khayalan
Dengarkan dengan penuh perhatian dan dorong klien untuk bicara guna meredakan rasa bersalah dan rasa takut yang tidak rasional.
Apabila tepat, tawarkan dukungan spiritual
Depresi
Berduka karena sesuatu yang terjadi dan kerena sesuatu yang tidak terjadi.
Dapat bicara dengan bebas (mis: mengingat kembali kehilangan di masa lalu seperti kehilangan uang atau pekerjaan), atau dapat menarik diri
Biarkan klien mengekspresikan kesedihan.
Lakukan komunikasi nonverbal dengan duduk tenang tanpa mengharapkan pembicaraan. Sampaikan perhatian dengan sentuhan
Penerimaan
Menerima kehilangan
Bantu keluarga dan teman memahami penurunan kebutuhan klien untuk bersosialisasi.
Dorong klien untuk berpartisipasi sebanyak mungkin dalam program terapi

Tabel 2. Tahap berduka menurut Engel (Kozier, 2010)
Tahap
Respon perilaku
Syok dan tidak percaya
Tidak mau menerima kehilangan
Merasa terkejut
Menerima situasi secara intelektual, tetapi menyangkalnya secara emosional
Menyadari
Realita kehilangan mulai menembus kesadaran
Rasa marah dapat ditujukan pada lembaga, perawat, atau orang lain
Reslifusi
Melakukan ritual berkabung (mis: pemakaman)
Menyelesaikan kehilangan
Berupaya mengatasi pelepasan yang menyakitkan
Tetap tidak mampu menerima objek kasih saying baru untuk menggantikan seseorang atau objek yang telah hilang
Dapat menerima hubungan yang lebih bergantung dengan orang pendukung dan memikirkan dan membicarakan tentang memori onjek yang telah hilang
Idealisasi
Menghasilkan gambaran objek yang telah hilang yang hamper bebas dari gambaran yang tidak diharapkan
Menekan semua perasaan negative dan permusuhan pada objek yang telah hilang
Dapat merasa bersalah dan menyesal tentang tindakan yang menyakiti atau tidak menyenangkan di masa lalu yang dilakukan terhadap orang yang meninggal tersebut. Secara tidak sadar merasakan kekaguman yang sangat terhadap objek yang hilang.
Ingatan akan objek yang telah hilang menimbulkan perasaan sedih dan menumbuhkan kembali perasaan kepada orang lain
Hasil akhir
Perilaku dipengaruhi oleh beberapa factor: makna penting objek yang telah hilang sebagai sumber dukunan, derajat ketergantungan pada hubungan, derajat ambialensi pada onjek yang telah hilang, jumlah dan sifat hubungan lain, dan jumlah serta sifat pengalaman berduka sebelumnya.

e.       Manifestasi berduka
       Perawat mengkaji klien atau anggota keluarga yang berduka setelah kehilangan untuk menentukan fase atau tahap berduka. Secara fisiologis, tubuh berespon terhadap kehilangan atau kemungkinan kehilangan dengan reaksi stress, dan perawat mengkaji tanda-tanda klinis dari respon klien.
       Manifestasi berduka yang dianggap normal bisa berupa mengungkankan rasa kehilangan, menangis, mengalami gangguan tidur, kehilangan selera makan dan sulit berkonsentrasi. Perawat harus mengobservasi dan mendengar apa yang dikatakan dan dilakukan klien yang berduka sebagai petunjuk apa yang klien rasa dan piker. Isi berduka adalah apa yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dilakukan dan secara fisiologi dialami individu selama prosess berduka. Isi berduka juga dapat dikatakan sebagai respon manusia dan berkolerasi dengan apa yang diajukan sebagai model holistic berduka yang memiliki lime dimensi proses berduka yaitu:
Table 2. Dimensi Respon dan Gejala klien yang Berduka
No
Dimensi respon
Gejala
1
Respon kognitif
a)      Gangguan asumsi dan keyakinan
b)      Mempertanyakan dan berupaya menemukan makna kehilangan
c)      Berupaya mempertahankan keberadaan orang yang meninggal
d)     Percaya pada kehidupan akhirat dan seolah-olah orang yang menimggal adalah pembimbing
2
Respon emosional
a)      Mrah, sedih, cemas
b)      Kebencian
c)      Merasa bersalah
d)     Perasaan mati rasa
e)      Emosi yang berubah-ubah
f)       Penderitaan dan kesepian yang berat
g)      Keinginan untuk mengembalikan ikatan dengan individu atau benda yang hilang
h)      Depresi, apatis, putus asa selama pase disorganisasi dan keputusasaan
i)        Saat fase reorganisasi, muncul rasa mandiri dan percaya diri
3
Respon spiritual
a)      Kecewa dan marah kepada Tuhan
b)      Penderitaan karena ditinggalkan atau merasa ditinggalkan
c)      Tidak memiliki harapan: kehilangan makna
4
Respon perilaku
a)      Melakukan fungsi secara “otomatis”
b)      Menangis terisak, menangis tidak terkontrol
c)      Sangat gelisah: perilaku mencari
d)     Iritabilitas dan sikap bermusuhan
e)      Mencari dan menghindari tempat dan aktivitas yang dilakukan bersama orang yang meninggal
f)       Menyimpan barang berharga orang yang meninggal padahal ingin membuangnya
g)      Kemungkianan menyalahgunakan obat atau alcohol
h)      Kemungkianan melakukan upaya bunuh diri atau pembunuhan
i)        Mencari aktivitas dan refleksi personal selama fase reorganisasi
5
Respon fisiologi
a)      Sakit kepala
b)      Gangguan nafsu makan, berat badan turun
c)      Tidak bertenaga
d)     Palpitasi, gangguan pencernaan
e)      Perubahan system imun dan endokrin

f.       Faktor yang mempempengaruhi kehilangan dan respon berduka
            Menurut Kozier (2010), terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi cara individu merespon kehilangan, antara lain:
1)      Usia
Usia memengaruhi pemahaman dan reaksi seseorang terhadap kehilangan. Individu biasanya tidak mengalami orang yang dicintai pada interval teratur. Akibatnya, persiapan untuk pengalaman ini sulit dilakukan koping dengan kehilangan lain dalam hidup. Seperti: kehilangan binatang peliharaan, kehilangan seorang teman dll
a)      Masa kanak-kanak.
            Anak-anak berbeda dari orang dewasa tidak hanya dalam pemahaman mereka mengenai kehilangan dan kematian tetapi juga bagaimana mereka dipengaruhi oleh kehilangan orang lain. Dalam situasi krisis dan kehilangan, anak-anak kadang kala dikesampingkan atau dilindungi dari rasa sakit.
b)      Masa dewasa awal dan pertengahan.
            Seiring dengan pertumbuhan seseorang, mereka mengalami kehilangan sebagai bagian dari perkembangan normal. Misalnya, pada usia paruh baya, kehilangan seorang orang tua akibat kematian tampak lebih normal terjadi dibandingkan kematian orang yang lebih muda. Dewasa paruh baya dapat mengalami kehilangan selain kematian. Misalnya, kehilangan akibat gangguan kesehatan atau gangguan fungsi tubuh dan kehilangan berbagai fungsi peran dapat dirasakan sulit bagi dewasa paruh baya.
c)      Masa dewasa akhir.
            Kehilangan yang dialami lansia terdiri dari kehilangan kesehatan, mobilitas, kemandirian dan peran kerja. Bagi lansia, kehilangan akibat kematian pasangan yang telah bersamanya dalam waktu lama amat menyakitkan.

2)      Makna kehilangan
      Makna kehilangan bergantung pada persepsi orang yang mengalami kehilangan. Seseorang dapat mengalami kehilangan yang besar karena perceraiaan, sementara orang lain mugkin hanya menganggapnya gangguan ringan.
Sejumlah factor yang mempengaruhi makna kehilangan antara lain:
1)      Makna orang, objek, atau fungsi yang hilang
2)      Derajat perubahan yang harus dilakukan karena kehilangan
3)      Keyakinan dan nilai seseorang
            Bagi lansia yang telah mengalami banyak kehilangan seperti kematian diri mereka sendiri mungkin tidak dianggap sebagai sesuatu yang negative dan mereka mungkin hanya bersifat apatis dan bukan reaktif terhadapnya.
Dari pada takut menghadi akan kematian, beberapa orang mungkin lebih takut kehilangan control atau menjadi beban.
4)      Budaya.
Budaya mempengaruhi reaksi individu terhadap kehilangan. Cara mengungkapkan duka cita ditentukan oleh kebiasaan budaya. Dalam budaya yang beberapa generasi dan anggota keluarga besar tinggal di rumah yang sama atau dekat secara fisik, dampak kematian anggota dapat diredam karena peran yang meninggal diisi dengan cepat oleh kerabat yang lain.
            Beberapa kelompok budaya menghargai dukungan social dan ekspresi kehilangan. Di beberapa kelompok, ekspresi duka dengan meratap, menangis, dengan kepasrahan fisik dan demonstrasi ekspresi lainnya dapat diterima dan didorong. Kelompok lain mungkin menganggap demonstrasi ini sebagai kehilangan control, lebih menyukai ekspresi berduka yang lebih tenang dan tabah.
5)      Keyakinan spiritual
            Keyakinan dan praktik spiritual sangat mempengaruhi reaksi seseorang terhadap kehilangan dan perilaku yang ditimbulkan. Sebagian besar kelompok agama memiliki kebiasaan yang berhubungan dengan menjelang ajal dan sering kali sangat penting bagi klien dan orang pendukung.
6)      Jenis kelamin
            Sosialisasi peran jenis kelamin oleh banyak orang di AS dan Kanada. Pria sering kali diharapkan untuk bersikap kuat dan tidak menunjukkan emosi selama berduka. Sedangkan wanita, diperbolehkan menunjukkan rasa berduka dengan menangis. Dan juga anggapan bahwa seorang pria mungkin menganggap jaringan parut di wajahnya sebagai macho tetapi seorang wanita menganggap hal tersebut sesuatu yang buruk.
7)      Status sosioekonomi
            Status sosioekonomi sering kali mempengaruhi system pendukung yang tersedia pada saat kehilangan. Jaminan pension atau asuransi, misalnya dapat menawarkan berbagai pilihan cara untuk mengatasi kehilangan pada janda, duda atau individu yang cacat, seorang yang diharapkan dengan kehilangan yang berat dan kesulitan ekonomi mungkin tidak mampu mengatasi keduanya.
8)      System pendukung
            Orang terdekat individu yang sedang berduka sering kali menjadi orang pertama yang mengetahui dan memberikan bantuan emosional, fisik, dan fungsional yang dibutuhkan. Dukungan mungkin tersedia saat kehilangan pertama-tama diketahui, tetapi saat orang pendukung kembali ke aktivitas sehari-harinya, kebutuhan akan dukungan yang berkelanjutan mungkin tidak terpenuhi. Kadang kala, individu yang berduka tidak mampu atau tidak siap menerima dukungan saat dukungan tersebut ditawarkan.
9)      Penyebab kehilangan atau kematian
            Pandangan individu dan masyarakat mengenai penyebab kehilangan atau kematian dapat secara bermakna mempengaruhi respon berduka. Kehilangan atau kematian di luar kendali orang yang terlibat mungkin lebih diterima dibandingkan kehilangan atau kematian yang dapat dicegah, seperti kecelakaan kendaraan bermotor karena pengemudi yang mabuk. Cedera atau kematian yang terjadi selama kegiatan yang terhormat, seperti saat menjalankan tugas dianggap terhormat, sementara yang terjadi selama kegiatan terlarang mungkin dianggap sebagai kejadian yang patut diterima oleh individu tersebut.

3)      Proses keperawatan
a)      Pengkajian
Pengkajian keperawatan pada klien yang mengalami kehilangan terdiri atas tiga komponen utama:
(1)   Riwayat keperawatan
(2)   Pengkajian sumber koping pribadi
(3)   Pengkajian fisik
            Apabila klien melaporkan kehilangan yang bermakna, sangat penting mengkaji bagaimana klien bisa mengatasi kehilangan dan apa sumber-sumber yang tersedia untuk membantu kopingnya. Dan mengkaji data mengenai status kesehatan umum, stressor pribadi lain, tradisi, ritual, dan keyakinan budaya dan spiritual yang berhubungan dengan kehilangan dan berduka serta jaringan pendukung  orang tersebut akan dibutuhkan untuk menentukan perencenaan asuhan.
            Apabila pengkajian menunjukkan tanda dan gejala fisik atau psikologis yang berat, klien harus dirujuk ke pemberi perawatan yang tepat.
G.    Konsep dan Penanganan Risiko Gangguan Konsep Diri pada Masalah Ansietas
1.    Pengertian
Ansietas merupakan satu keadaan yang ditandai oleh rasa khawatir disertai dengan gejala somatic yang menandakan suatu kegiatan berlebihan dari susunan saraf autonomic (SSA). Ansietas merupakan gejala yang umum tetapi non-spesifik yang sering merupakan satu fungsi emosi. Ansietas yang patologik biasanya merupakan kondisi yang melampaui batas normal terhadap satu ancaman yang sungguh-sungguh dan maladaptive (Kaplan, 1998).
Ansietas merupakan respon normal terhadap situasi yang mengancam dan dapat menjadi factor motivasi yang positif sepanjang daur kehidupan manusia (Varcolis, 2006). Ansietas dapat dipandang sebagai suatu keadaan ketidakseimbangan atau tegangan yang cepat mengusahakan koping. Koping kemudian dapat dipandang sebagai suatu transaksi antara orang dengan lingkungan.
Keberhasilan transaksi menurunkan tegangan dan meningkatkan rasa sejahtera. Adanya stress atau ancaman terhadap keutuhan seseorang, penahan, keamanan, dan pengendalian akan menyebabkan ansietas. Penyakit merupakan salah satu stress (Hudak, 1997).
Berikut tertadap berbagai gangguan ansietas utama :
a.         Fobia adalah ketakutan terhadap objek atau situasi yang tidak     mengandung bahaya yang sesungguhnya (Davison, 2006). Pasien yang fobia biasanya bereaksi dengan cemas terhadap situasi social (fobia social), atau benda tertentu yang spesifik seperti ular (fobia yang sederhana), atau situasi seperti terkunci dalam ruangan sempit (Klautrofobia) (Kaplan, Harold I 1998).
b.        Gangguan panic adalah serangan panic berulang yang mencakup timbulnya simtom-simtom fisiologis secara mendadak, seperti  pusing, denyut jantung yang cepat, dan gemetar, disertai dengan teror dan perasaan berada dalam bencana; kadangkala disertai dengan agoraphobia, ketakutan berada ditempat umum (Davison, 2006).
c.         Gangguan ansietas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder), pasien dengan GAD akan terus menerus merasa cemas, sering kali tentang hal-hal kecil. Sebagian besar diantera kita dari waktu ke waktu memiliki kekhawatiran. Namun, pasien yang menderita GAD memiliki kekhawatiran yang kronis. Mereka menghabiskan banyak waktu untuk mengkhawatirkan banyak hal dan menganggap kekhawatiran mereka sebagai sesuatu yang tidak dapat dikontrol (Ruscio, Borkovek & Ruscio, 2001).
d.        Gangguan obsesif-kompulsif, pada pasien yang gangguan obsesif-kompulsif mempunyai obsesi (gagasan, buah pikiran, atau impuls yang secara berulang dan menetap menggangu secara ego-distonik) atau kompulsi (suatu perilaku, perbuatan atau upacara[ritual]) yang diulang seolah untuk menetralisasi rasa cemas atau demi mencegah rasa tak nyaman atau mencegah terjadinya peristiwa yang menakutkan (Kaplan, Harold I 1998).
e.         Gangguan stress pascatrauma, masa setelah pengamalan trauma di mana seseorang mengalami peningkatan kemunculan, penolakan stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian traumatis yang dialami, dan kecemasan yang disebabkan oleh ingatan terhadap peristiwa tersebut (Davison, 2006).
f.         Gangguan stress akut, simtom-simtonnya sama dengan gangguan stress pascatrauma, namun hanya berlangsung selama empat minggu atau kurang (Davison, 2006).

2.    Etiologi Ansietas
a.    Teori psikoanalisis
Freud adalah orang pertama yang mencoba menjelaskan secara sistematis perkembangan perilaku fobik. Menurut freud, fobia merupakan pertahana terhadap kecemasan yang disebabkan oleh impuls-impuls id yang ditekan. Kecemasan ini dialihkan dari impuls id yang ditakuti dan dipindahkan ke suatu objek atau situasi yang memiliki koneksi simbolik dengannya. Fobia muncul ke permukaan ketika pada masa dewasa, seseorang mengalami beberapa bentuk stres.
b.   Teori behavioral
Teori behavioral berfokus pada pembelajaran sebagai cara berkembangnya fobia. Beberapa tipe pembelajaran mungkin berperan:
1)   Avoidance conditioning
Melalui  classical conditioing seseorang dapat belajar untuk takut pada suatu stimulus netral (CS) jika stimulus tersebut dipasangkan dengan kejadian yang secara intrinsik menakutkan atau menyakitkan.
2)   Modeling
Selain belajar untuk takut terhadap sesuatu sebagai akibat pengalaman yang tidak menyenangkan dengannya, ketakutan dapat dipelajari dengan meniru reaksi orang lain. Dengan demikian, beberapa fobia dapat terjadi melalui modeling, bukan melalui pengalaman yang tidak menyenangkan terhadap objek atau situasi yang ditakuti. Berbagai perilaku, termasuk respons-respons emosional, dapat dipelajari dengan menyaksikan suatu model. Pembelajaran terhadap rasa takut dengan mengamati orang lain secara umum disebut sebgai vicarious learning. Vicarious learning juga dapat terjadi melalui instruksi verbal, yaitu reaksi fobik dapat dipelajari melalui deskripsi yang diberikan orang lain tentang apa yang mungkin terjadi selain melalui observasi terhadap ketakutan orang lain.

3)   Teori kognitif
Sudut pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan fobia secara khusus berfokus pada bagaimana proses berfikir manusia dapat berperan sebaga diathesis dan pada bagaimana pikiran dapat membuat fobia menetap. Kecemasan dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih besar untuk menanggapi stimuli negatif, menginterpretasi informasi yang tidak jelas sebagai informasi yang mengancam, dan mempercayai bahwa kejadian negatif memiliki kemungkinan lebih besar untuk terjadi di masa mendatang. Teori kognitif mengenai fobia juga relevan untuk berbagai fitur lain dalam gangguan rasa takut yang menetap dan fakta bahwa ketakutan tersebut sesungguhnya tampak irasional bagi mereka yang mengalaminya. Fenomena ini dapat terjadi karena rasa takut terjadi melalui proses-proses otomatis yang terjadi pada awal kehidupan dan tidak disadari. Setelah proses awal tersebut, stimulus dihindari sehingga tidak diproses cukup lengkap dan yang dapat menghilangkan rasa takut tersebut.
4)   Faktor biologis
a)      Faktor sistem saraf otonom
Orang yang mengalami fobia sosial seringg kai merasa takut bahwa wajah mereka akan memerah atau berkeringat secara berlebihan didepan umum. Karena berkeringat dan memerahnya wajah dikendalikan oleh sistem saraf otonom, aktivitas sistem saraf otonom yang berlebihan kemungkinan merupakan suatu diathesis. Dengan demikian, bila aktivitas otonom yang berlebihan (tercemin dalam memerahnya wajah) memiliki relevansi dengan fobia sosial, rasa takut terhadap konsekuensi aktivitas otonom mungkin merupakan hal yang lebih penting.
b)      Faktor genetic
c)      Teori psikologis
Teori psikologis utama mengenai agorafobia yang sering menyertai gangguan panik adalah hipotesis ketakutan-terhadap-ketakutan, yang berpendapat bahwa agorafobia bukanlah ketakutan terhadap tempat-tempat umum itu sendiri, melainkan ketakutan mengalami serangan panik di tempat umum.

3.    Tingkatan Ansietas
       Menurut beberapa ahli, ada 4  tingkat ansietas yaitu ansietas ringan, ansietas sedang, ansietas berat dan panik. Pada masing-masing tahap individu memperlihatkan perubahan perilaku, kemampuan kognitif dan respon emosional ketika berupaya menghadapi ansietas:
a.    Ansietas ringan
Ansietas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Ansietas memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas (Stuart,1998; p, 175-176). Pada ansietas ringan individu dapat memproses informasi, belajar, dan menyelesaikan masalah. Keterampilan kognitif mendominasi tingkat ansietas ini. (Videbeck, 2008; p,309)
b.    Ansietas sedang
Ansietas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. (Stuart,1998; p,175-176)
c.       Ansietas Berat
Ansietas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cendrung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain. (Stuart ,1998; p, 175-176) . Individu yang mengalami ansietas berat sulit berpikir dan melakukan pertimbangan, otot-ototnya menjadi tegang, tanda-tanda vital meningkat, dan ia mondar-mandir, memperlihatkan kegelisahan, irritabilitas, dan kemarahan, atau menggunakan cara psikomotor-emosional yang sama lainnya untuk melepaskan ketegangan (Videbeck, 2008; p, 309-310)
d.   Tingkat Panik
Tingkat panik dari ansietas berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Rincian terpecah dari proporsinya, tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi menyimpang, kehilangan pemikiran rasional. (Stuart,1998; p, 175-176). Dalam keadaan panic, alam psikomotor emosional individu tersebut mendominasi, disertai respons fight, flight, atau freeze. Lonjakan adrenalin menyebabkan tanda-tanda vital sangat meningkat, pupil membesar untuk memungkinkan lebih banyak cahaya yang masuk, dan satu-satunya proses kognitif berfokus pada pertahanan individu tersebut (Videbeck, 2008; p, 309).



Tabel Perbedaan Respon Tingkat Ansietas
No
Tingkat ansietas
Respon fisik
Respon kognitif
Respon emosional
1
Ringan
Ketegangan otot ringan, sadar akan lingkungan, rileks atau sedikit gelisah, penuh perhatian, rajin, sesekali napas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat sedikit, gejala ringan pada lambung, muka berkerut, serta bibir bergetar
Lapang persepsi luas, mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif dan terangsang untuk melakukan tindakan
Tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, dan suara kadang-kadang meninggi
2
Sedang
Ketegangan otot sedang, tanda-tanda vital meningkat, pupil dilatasi, mulai keringat, sering mondar-mandir, kewaspadaan dan ketegangan meningkat, suara berubah bergetar dan nada suara tinggi, sering berkemih, sakit kepala, mulut kering, anoreksia, diare/konstipasi.
Lapang persepsi menurun, tidak perhatian secara selektif, focus terhadap stimulasi meningkat, rentang perhatian menurun, penyelesaian masalah menurun, pembelajaran terjadi dengan memfokuskan pemikiran.
Gerakan tersentak-sentak, terlihat lebih tegang, bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur, dan perasaan tidak aman.
3
Berat 
Ketegangan otot berat, pengeluaran keringat meningkat, sakit kepala, penglihatan berkabut, serta tampak tegang
Lapang persepsi terbatas, proses berfikir terpecah-pecah, sulit berfikir, penyelesaian masalah buruk, tidak mampu mempertimbangkan informasi, hanya memperlihatkan ancaman,
Perasaan terancam meningkat dan komunikasi menjadi terganggu (verbalisasi cepat)
4
Panik
Flight, fight (keinginan untk pergi selamanya), ketegangan otot sangat berat, napas pendek, rasa tercekik dan palpitasi, sakit dada, pucat, hipotensi, serta rendahnya koordinasi motorik
Persepsi sangat sempit, fikiran tidak logis, terganggu, kepribadian kacau, tidak dapat menyelesaikan masalah, focus pada fikiran sendiri jadi tidak rasional, sulit memahami stimulus eksternal, halusinasi, ilusi mungkin terjadi.
merasa
terbebani, merasa tidak mampu, tidak berdaya, lepas kendali, mengamuk, putus asa, marah, sangat takut, mengharapkan hasil yang buruk, berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan/atau orang lain

4.    Proses Terjadinya Ansietas
(Lampiran)
5.      Penatalaksanaan Ansietas
a.    Psikoterapi
Beberapa teknik sering digunakan oleh ahli psikoterapi perilaku (Videbeck, 2008):
1)   Positive reframing, yaitu mengubah pesan negatif menjadi pesan positif. Ahli terapi mengajarkan individu menciptakan pesan positif yang digunakan selama episode panik. Misalnya, klien diajarkan untuk berfikir, “ saya dapat memperlambat denyut jantung saya. Ini pasti cuma rasa cemas.” Jantung saya berdegup kencang. Saya rasa saya akan meninggal.” Pesan tersebut dapat disimpan sehingga mudah dibaca, misalnya ditulis di buku alamat atau pada kartu di dompet.
2)   Assertive Training, yaitu latihan asertif yang membantu individu lebih mengendalikan situasi hidup. Teknik latihan asertif membantu individu menegosiasikan situasi interpersonal dan membangun keyakinan diri.
Menurut Hawari (2008) penatalaksanaan asietas pada tahap pencegahaan dan terapi memerlukan suatu metode pendekatan yang bersifat holistik, yaitu psikoterapi.
1)      Psikoterapi
Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan individu, antara lain :
a)    Psikoterapi suportif, untuk memberikan motivasi, semangat dan dorongan agar pasien yang bersangkutan tidak merasa putus asa dan diberi keyakinan serta percaya diri.
b)   Psikoterapi re-edukatif, memberikan pendidikan ulang dan koreksi bila dinilai bahwa ketidakmampuan mengatsi kecemasan.
c)    Psikoterapi re-konstruktif, untuk dimaksudkan memperbaiki kembali (re-konstruksi) kepribadian yang telah mengalami goncangan akibat stressor.
d)   Psikoterapi kognitif, untuk memulihkan fungsi kognitif pasien, yaitu kemampuan untuk berpikir secara rasional, konsentrasi dan daya ingat.
e)    Psikoterapi psiko-dinamik, untuk menganalisa dan menguraikan proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang tidak mampu menghadapi stressor psikososial sehingga mengalami kecemasan.
f)         Psikoterapi keluarga, untuk memperbaiki hubungan kekeluargaan, agar faktor keluarga tidak lagi menjadi faktor penyebab dan faktor keluarga dapat dijadikan sebagai faktor pendukung


b.    Terapi Farmakologi pada Pasien Ansietas
1)   Antidepresan
Munurut Judith Hopfer (2004), biasanya obat-obat antidepresan digunakan dalam pengobatan berbagai bentuk depresi endogen, sering digabung dengan psikoterapi. Penggunaan lainnya meliputi:
a)    Pengobatan kecemasan (doksepin)
b)   Enuresis (imipramin)
c)    Sindrom nyeri kronis (amitriptilin, doksepin, imipramin, dan   nortriptilin.
Sedangkan menurut Mary J. Mycek (2001) agen antiansietas menyebabkan depresi SSP menyeluruh. Agens ini dapat mengakibatkan toleransi pada penggunaan kronik dan memiliki potensi ketergantungan fisik atau psikologis. Secara umum obat ini digunakan untuk mengobati gangguan ansietas dan pemulihan gejala ansietas sementara.
1)      Kerja Obat
Aktivitas antidepresan cenderung disebabkan oleh ambilan ulang dopamin, norepinefrin, dan serotonin oleh neuron presinaps yang mengakibatkan terakumulasinya neurotransmiter tersebut. Kebanyakan memiliki sifat antikolinergik dan sedatif yang bermakna, yang menjelaskan kebanyakan efek sampingnya (Judith Hopfer, 2004).
2)      Kontraindikasi Secara Umum
Hipersensitivitas. Jangan digunakan pada glaukoma sudut sempit. Jangan digunakan pada kehamilan atau laktasi atau sesaat setelah Infark Miokard (Judith Hopfer, 2004). Tidak boleh digunakan dalam kombinasi dengan depresan SSP lain, pada pasien koma, atau pada pasien dengan nyeri tidak terkendali (Mary J. Mycek, 2001)
3)      Kewaspadaan Secara Umum
Gunakan secara hati-hati pada pasien lansia dan mereka yang menderita penyakit KV sebelumnya. Pria lansia dengan pembesaran prostat dapat lebih rentan menderita retensi urin. Dosis yang akan diberikan memerlukan titrasi lambat: awitan respons terapeutik mencapai 2-4 minggu (Judith Hopfer, 2004).
Obat ini digunakan secara hati-hati pada pasien lansia atau pasien lemah, pasien dengan disfungsi hati atau ginjal,  pasien dengan riwayat penyalahgunaan/ketergantungan obat atau pasien depresi dengan keinginan bunuh diri. Jangan menghentikan  penggunaan obat secara tiba-tiba setelah penggunaan yang cukup lama (Mary J. Mycek, 2001).



4)      Kategori-Kategori Obat Antidepresan/Antiansietas
a)      Antidepresan Trisiklik (ATS)
(1)   Amitriptilin
(2)   Amoksapin
(3)   Doksepin
(4)   Imipramin
(5)   Nortriptilin
b)      Monoamin Oksidase Inhibitor (MAOI)
Monoamin oksidase inhibitor  (MAOI) adalah suatu enzim mitokondria yang ditemukan dalam jaringan saraf dan jaringan lain, seperti usus dan hati. Dalam neuron, MAO berfungsi sebagai “ katup penyelamat”, memberikan deaminasi okidatif dan mneg-nonaktifkan setiap molekul neurotransmiter (norepinefrin, dopamin, dan serotinin) yang berlebih dan bocor keluar vesikel sinaptik ketika neuron istirahat. Inhibitor MAO dapat mng-nonaktifkan  enzim secara ireversibel atau reversibel, sehingga molekul neurotransmiter tidak mengalami degradasi dan karenanya keduanya menumpuk dalam dalam neuron presinaptik danmasuk ke ruang sinaptik. Hal ini menyebabkan aktivasi reseptor  dan norepinefrin dan serotonin, dan menyebabkan aktivasi antidepresi obat (Myeek, Mary, 2001).
Tiga inhibitor MAO yang ada untuk pengobatan depresi sekarang Isokarboksazid(Marplan), Fenelzin (Nardil) dan Transilpromin (Parnate)
1)   Indikasi
Digunakan untuk pengobatan depresi neurotik atau atipikal,  biasanya sebagau adjuvan psikoterapi pada pasien yang tidak mentoleransi bentuk terapi lain yang lebih konvesional (antidepresan trisiklik atau terapi elektrokonvulsif).
2)   Kerja Obat
a)    Menghambat enzim monoamin oksidase
b)   Mengakibatkan akumulasi berbagai neutransmiter (dopamin, epinefrin, norepinefrin, dan serotonin) di dalam tubuh.
c)    Efek terapeutik: memperbaiki alam perasaan pasien depresi.
3)   Kontraindikasi dan Perhatian
Dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitivitas, pasien dengan panyakit hati dan ginjal yang parah, pasien dengan penyakit serebrovaskular, pasien dengan freokomositoma, pasien dengan gagal jantung kongestif, pasien yang memiliki riwayat sakit kepala, pasien berumur <16 tahun, dan tidak diperbolehkan diberikan bersamaan dengan meperidin, fluoksetin, paroksetin, atau sentralin. Gunakan secara hati-hati pada pasien dengan kecendrugan bunuh diri atau adanya riwayat ketergantungan obat, pasien dengan penyakt KV simtomatik, pasien dengan hipertiroidisme, pasien dengan gangguan kejang, pasien hamil atau laktasi, pasien anak-anak, dan pasien yang dibedah (yang baru dilakukan pembedahan)
4)   Efek Samping
a)    SSP: gelisah, insomnia, pusing, sakit kepala, konfusi, kejang, kelemahan, mengantuk.
b)   Mata dan THT: glaukoma, nistagmus, penglihatan kabur .
c)    KV: krisis hipertensif, hipotensi ortostatik, aritmia, edema.
d)   GI: konstipasi, anoreksia, mual, muntah, diare, nyeri, abdomen, mulut kering.
e)    GU: disuria, inkontinensia urin, retensi urin.
f)    Derm: ruam.
g)   Endo: hipoglikemia.
h)   MS: artralgia.
c)        SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor )
Inhibitor ambil kembali serotonin selektif (selective serotonin reuptake inhibitor) merupakan grup kimia antidepresan baru yang khas, hanya menghambat ambilan serotonin secara spesifik. Berbeda dengan antidepresan trisiklik yang menhambat tanpa seleksi ambilan-ambilan norepinefrin, serotonin, reseptor muskarinik, H1-histaminikdan α1-adrenergik. Namun demikian, inhibitro ambilan kembali serotonin yang baru harus digunakan secara seksama sampai nanti setelah efek jangka panjang diketahui (Mycek Mary, 2001)
d)       Ansiolitik

Ansiolitik merupakan kelompok obat anti-ansietas, yang disebut juga sebagai agen sedatif-hipnotik. Kelompok utama dari ansiolitik adalah benzodiazepin (kelompok minor tranquilizer). Ansietas dalam batasan-batasan tertentu dapat dianggap normal, tetapi jika ansietas berlebihan dan dapat mengganggu, maka mungkin perlu diberikan antiansietas. Kerja dari antiansietas menyerupai sedatif –hipnotik, tetapi tidak seperti antipsikotik (Kee Joyce, 1996).

DAFTAR PUSTAKA
AIPNI (2010). Kurikulum pendidikan ners. Fakultas keperawatan universitas indonesia. Jakarta
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien. Jakarta: Salemba Medika
Atkinson,L., Lita, Atkinson, C., Richard, dkk. (1992). Pengantar Psikologi Jilid I (edisi Ke-11). Batam: Interaksara
Carpenito, L. J. (1997). Buku saku: Diagnosa keperawatan. Edisi 6. Jakarta:EGC
Deglin, Judith Hopfer.( 2004). Pedoman Obat untuk Perawat Ed.4. Jakarta: EGC
Hawari, D.(2008) Manajemen Stres Cemas dan Depresi, Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Hudak, Carolyn M. (1997). Keperawatan Kritis; Pendekatan Holistik. Jakarta EGC
 Isaacs, Ann.( 2004). Panduan belajar : keperawatan kesehatan jiwa dan psikiatrik. Edisi 3. Jakarta :EGC
Kaplan Harold I. (1998). Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta : Widya Medika Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2010). Asepsis. Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses dan praktek.Ed. 7. Vol 2. Jakarta: EGC
Kee, Joyce L. (1996). Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC
Keliat, B.A., Panjaitan, R.U., & Daulima, N.H.C., (2005). Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta : EGC
Mycek, Mary J. (2001). Farmakologi: Ulasan Bergambar Ed. 2. Jakarta: Widya Medika
Potter & Perry (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik. Edisi 4 Volume 1. Jakarta: EGC
Pustaka familia. 2006. Konsep Diri Positif, Menentukan Prestasi Anak. Yogyakarta: Kanisius
Riyanti,B.P.,Prabowo, Hendro, dan Puspitawati, Ira. (1996). Psikologi Umum I (Seri Diktat Kuliah). Jakarta: Universitas Gunadarma
Stuart, G.W., & Sundeen, S.J., (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa (terjemahan). Edisi 3. Jakarta: EGC
Suliswati dkk. 2005. Konsep dasar keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta : EGC
Sunaryo (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
S. Hall, Calvin, dan Gardner Lindzey. (1993). Theories of Personality (terjemahan A. Supratika). Yogyakarta: Kanisius
Tarwoto & Wartonah. (2004). Kebutuhan dasar manusia dan proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Videbeck, Sheila. L. (2008), Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta. EGC
Wong, D. L, (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC

No comments:

Post a Comment

Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat