google adsense

Monday, August 7, 2017

Konsep Manajemen Obat

A.    Konsep Manajemen Obat
1.      Standar Obat
      Pada tahun 1960 pemerintah Amerika serikat menetapkan standar kualitas dan kemurnian obat berdasarkan pure food and Drug Act (undang-undang makanan dan obat murni). Publikasi resmi, seperti USP dan National Formulary, menetapkan standar kekuatan, kualitas, kemurnian, pengepakan, keamanan, pelabelan, dan bentuk dosis obat. Di kanada, British Pharmacopoeia (BP) menetapkan standar yang sama. Dokter, perawat, dan ahli farmasi menggunakan standar ini untuk memastikan klien menerima obat yang alami dalam dosis yang aman dan efektif (Potter & Perry,2005; page, 285)
      Obat dapat bersumber dari alam( misalnya; tanaman,mineral,dan binatang) atau disintesi pada laboratorium. Sebagai contoh, digitalis dan opium berasal dari berbagi tanaman, zat besi dan natrium klorida berasal dari mineral, insulin dan vaksian berasal dari manusia atau binatang, sulfonamid serta propoksifen hidroklorida (analgesik darfon) merupakan produk sintesis laboraturium. Pada zaman dahulu, obat hanya dibuat dari tiga sumber alami saja. Namun, semakin banyak obat diproduksi secara sintesis (Kozier,2010; page, 215)
      Standar yang diterima masyarakat harus memenuhi kriteria berikut:
a.       Kemurnian. Pabrik harus memenuhi standar kemurnian untuk tipe dan konsentrasi zat lain yang diperolehkan dalam peroduk obat
b.      Potensi. Kosentrasi obat aktif dalam preparat obat memengaruhi kekuatan atau potensi obat.
c.       Bioavailability, kemampuan obat untuk lepas dari bentuk dosisnya dan melarut, diabsorpsi, dan diangkut tubuh ke tempat kerjanya disebut bioavailability
d.      Kemanjuran, pemeriksaan laboratorium yang terinci dapat membantu menentukan efektivitas obat
e.       Keamanan. Semua obat harus terus dievaluasi untuk menentukan efek samping obat tersebut.(Potter & Perry,2005)

2.      Macam- macam Jenis Obat
Kaplet
Bentuk dosis padat untuk memberi obat; bentuk seperti kapsul dan bersalut, sehingga mudah ditelan
Kapsul
Bentuk dosis padat untuk memberi oral; obat dalam bentuk bubuk, cairan atau minyak dan dibungkus oleh selonsong gelatin; kapsul diwarnai untuk membantu indentifikasi produk
Eliksir
Cairan jernih bersih air dan/atau alkohol; dirancang untuk menggunakan oral;biasanya ditambah pemanis
Tablet enterik bersalut
Tablet untuk pemberian orai, yang dilapisi bahan yang tidak larut dalam lambung; lapisan larut didalam usus, tempat obat diabsorpsi
Ekstrak
Bentuk obat pekat yang dibuat dengan memindahkan bagian aktif obat dari komponen lain obat tersebut (misalnya, ekstrak cairan adalah obat yang dibuat menjadi larutan dan sumber sayur-sayuran)
Gliserit
Larutan obat yang dikombinasi dengan gliserin untuk menggunakan luar, berisi sekurang-kurangnya 50% gliserin
Cakram intraokular (intraocular disk)
Bentuk oval, fleksibel berukuran kecil terdiri dari dua lapisan luar yang lunak dan sebuah lapisan tengah berisi obat. Saat dilembabkan oleh cairan okuler (mata), cakram melepas obat sampai satu minggu
Obat gosok(liniment)
Preparat biasanya mengandung alkohol,minyak, atau pelembut sabun yang dioles pada kulit
Losion
Obat dalam cairan, suspensi yang dioles pada kulit untuk melindunginya
Salep
Semisolid (agak padat), preparat yang dioles pada kulit, biasanya mengandung satu atau lebih obat
Pasta
Preparat semisolid, lebih kental dan lebih kaku daripada salep; diabsopsi melalui kulit lebih lambat daripada salep
Pil
Bentuk dosis padat berisi satu atau lebih obat, dibentuk kedalam bentuk tetesan, lonjong, atau bujur; pil yang sesungguhnya jarang digunakan karena lebih digantikan oleh tablet
Larutan
Preparat cairan yang dapat digunakan per oral, prenteral, atau secara eksternal; dapat juga dimasukan kedalam organ atau rungga tubuh (mis. Irigasi kandung kemih ): berisi air dan mengandung satu atau lebih senyawa terlalut; harus steril untuk menggunakan perenteral
Supositoria
Bentuk dosis padat yang dicampur dengan gelatin dan dibentuk dalam bentuk peluru untuk dimasukan
Suspensi
Partikel obat yang dibelah sampai nalus dan larut dalam media cair; saat dibiarkan, partikel berkumpul di bagian bawah wadah; umumnya merupakan obat oral dan tidak diberikan perintervena
Sirup
Obat yang larut dalam larutan gula pekat; mengandung perasa yang membuat obat terasa lebih enak
Tablet
Bentuk dosis bubuk yang dikomperesi ke dalam cerkam atau silinder yang keras; selain obat utama, mengandung zat pengikat (perekat untuk membuat bubuk menyatu), zat pemisah (untuk meningkatkan pelarutan tablet), lubrikan ( supaya mudah dibuat di pabrik), dan zat pengisi (supaya ukuran tablet cocok)
Cakram atau lempeng transdermal
Obat berada dalam cakram (disks) atau paich memberan semipermeabel yang membuat obat dapat diabsoprpsi perlahan-lahan melalui kulit dalam peiode waktu yang lama
Tingtura
Alkohol atau larutan obat air alkohol
Table isap (troche,lozenge)
Bentuk dosis datar, bundar mengandung obat, citra rasa, gula, dan bahan perikat cair; larutan dalam mulut untuk melepas obat
Spray/busa aerosol
Cairan, bubuk atau busa yang disimpan kedalam lapisan ke dalam lapisan tipis kulit dengan tekanan udara
Gell/jeli
Bentuk semisilid yang jernih atau transparan yang mencair ketika digunakan di kulit
Bubuk
Bentuk halus suatu obat atau obat-obatan,beberapa diantaranya digunakan secaara internal, yang lain secara eksternal
Koyo transdermal
Memberan semipermeabel dalam bentuk lempeng atau koyo yang mengandung obat yang diabsorpsi melalui kulit dalam periode waktu yang lama
Table 2.3 Macam- macam jenis obat

3.      Aspek Legal Pemberian Obat
      Dalam tahun 1970, kongres mengeluarkan Undang-undang komprehesif pencegahan dan pengedalian dan penyalahgunaan obat (CSA atau controlled substances Act). Undang-undang ini dibuat untuk mengatasi masalah yang terus bermasalah mengenai penyalahgunaan obat (Poter & Perry, 2005, page 287).
      Substansi yang dikontrol dimasukan kedalam lima kelompok atau kategori:
a.       Kategori I
      Obat-obat dengan kemungkinan penyalahgunaan yang tinggi. Tidak  pemakaiannya dalam pengobatan. Diberi label C-I. Contoh senyawa: heroin, halusinogeik
b.      Kategori II
      Kemungkinan penyalahgunaan yang ini. Diterima pemakaiannya dalam pengobatan. Dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologis yang kuat. Diberi label C-II. Contoh senyawa; meferidin, morpin, hidrokodon, hidromorfon, metadon, oksikodon, kodein, amfetamin, sekobarbital, pentobarbital.
c.       Kategori III
      Obat-obatan yang diterima dalam pengobatan, kemungkinan dalam penyalahgunaan lebih kecil daripada kategori II dan II. Dapat menyebabkan ketergantungan. Diberi label C-III. Contoh: senyawa: prefarat kodein, paregoric, obat-obatan non narkotik.


d.      Kategori IV
      Obat yang diterima dalam pegobatan. Dapat menyebabkan ketergantungan yang ringan. Diberi label C-IV Cotoh senyawa: fenobarbital, benzodiazepine, kloralhidrat, meprobamat.   
e.       Kategori V
      Obat-obatan yang diterima dalam pengobatan. Kemungkinan terjadinya ketergantungan sangat terbatas. Diberi label C-V. Contoh senyawa: substansi pengendali opioid unutk batuk dan diare, seperti kodein dalam obat batuk.
      Kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dan beratnya akibat ketergantungan terhadap fisik dan psikologis paling berat pada obat kategori I. ketergantungan akan semakin berkurang pada kategori berikutnya, dimana kategori V hanya mempunyai kemungkinan terbatas pada penyalahgunaan. Beberapa obat mungkin berada dalam lebih 1 kategori. Kodein berada pada kategori obat II, tetapi jika ditambah asetaminofen maka ia akan berada didalam kategori III, dan jika berada didalam obat batuk akan menjadi kategori V (Potter& Perry, 2005;page, 290).
Substansi yang dikontrol oleh perawat:
1)      Bertanggung jawab terhadap semua obat-obat yang dikontrol
2)      Membuat catatan khusus dari substansi yang dikontrol untuk keterangan yang dibutuhkan
3)      Menandatangani ulang semua obat-obatan yang dibuang atau tidak dipakai
4)      Memastikan semua catatan sesuai dengan jumlah obat.
5)      Menjaga semua obat yang dikontrol dikunci, narkotik harus disimpan dengan kunci ganda.
6)      Memastikan hanya orang yang berwenang yang dapat memakai kunci tersebut.

4.      Undang- Undang Praktek Keperawatan
      Setiap negara mempunyai hukum tersendiri dalam hal pemberian obat oleh perawat. Dalam pengadilan sipil, perawat dapat dituntut karena memberikan obat atau dosis yang salah, tidak memberikan obat atau memberikan obat dengan rute yang salah. Istilah hukum bagi pelanggaran ini (Potter&Perry, 2005;page, 292) :
a.       Misfeasance : kelalaian, memberikan obat yang salah atau dosis obat yang salah, sehingga mengakibatkan kematian klien.
b.      Nonfeasance : tidak melakukan, tidak memberikan sebuah dosis obat, sehingga mengakibatkan kematian klien
c.       Malfeasance : memberikan obat yang benar tapi melalui rute yang salah, sehingga mengakibatkan kematian klien.
      Perawat bertanggung jawab dalam pemberian obat-obatan yang aman. Perawat harus mengetahui semua komponen dari perintah pemberian obat dan mempertanyakan perintah tersebut jika tidak lengkap atau jelas atau dosis yang diberikan diluar batas yang direkomendasikan. Secara hukum perawat bertanggung jawab jika mereka memberikan obat yang diresepkan dan dosisnya tidak benar atau dosis obat tersebut merupakan kontraindikasi bagi status kesehatan klien. Dalam beberapa fasilitas kesehatan, dokter yang baru lulus atau mahasiswa kedokteran menuliskan perintah pemberian obat, perintah-perintah ini harus ditandatangani lagi oleh staf dokter jaga sebelum perintah ini menjadi resmi. Sekali obat telah diberikan, perawat bertanggung jawab untuk efek obat yang diduga bakal terjadi (Potter&Perry,2005;page,293).

5.      Hak- hak klien dalam Pemberian Obat
      Klien memiliki hak untuk mengetahui alasan pemberian obat. Hak ini adalah prinsip dari memberikan persetujuan setelah mendapatkan informasi (informed consent), yang berdasarkan pengetahuan individu yang diperlukan untuk membuat suatu keputusan. Dan klien juga berhak untuk menolak pengobatan. Dan hal tersebut menjadi tanggung jawab perawat untuk menentukan serta ikut menjelaskan mengenai pengobatan yang diberikan kepada klien (Potter&Perry, 2005;page, 294).

6.      Efek Obat
a.       Efek terapeutik obat
      Efek yang diharapkan adalah efek utama yang diinginkan, yang merupakan mengapa obat diresepkan. Sebagai contoh, efek terapeutik morfin sulfat adalah analgesia, dan efek terapeutik diazepam adalah meredakan kecemasan (Kozier, 2010;page, 218).
b.      Efek samping
      Efek samping biasanya dianggap sebagai gejala-gejala yang muncul akibat pemberian obat dan tidak berhubungan dengan kerja obat yang dimaksud atau diinginkan. Meskipun tidak diharapkan dan mengganggu, efek samping cukup sering terjadi pada dosis biasa sehingga pasien harus waspada mengenai kemungkinan terjadinya dan bagaimana menghadapinya. Efek samping tertentu sangat minimal sehingga pemberian obat boleh dilanjutkan. Contoh keadaan tersebut adalah sakit kepala yang biasanya menyertai pemberian nitrogliserin (Kozier,2010;page, 218).
      Dengan pemberian kronis, efek samping ini akan menghilang dan dapat diatasi dengan pemberian asetaminofen pada awalnya. Efek samping lainnya memerlukan perubahan dosis, penambahan agens lain, atau penghentian obat, tergantung pasien atau keparahan reaksi. Berbagai obat anti hipertensi, dapat menyebabkan impotensi pada pria. Bila pasien tidak dapat menerima keadaan ini, harus diusahakan alternative obat lain (Kozier,2010;page, 218).
      Analgesic opioid biasanya menyebabkan konstipasi; namun, penambahan laksatif pada program pengobatan atau perubahan diet sederhana dapat mengurangi atau mencegah efek samping ini. Adanya sindrom neuroleptik malignan, suatu reaksi yang berpotensi mengancam kehidupan dapat terjadi pada terapi fenotiazin, sehingga penggunaan obat lebih lanjut harus dihindarkan. Dokumentasi efek samping harus menunjuk agens yang dicurigai dan waktu terjadinya, dapat membantu menghindari pemilihan obat ini lagi bila efek samping serius atau berat atau berfungsi sebagai alat bantu penyuluhan pasien bila obat tersebut digunakan kembali (Kozier,2010;page, 219).
      Efek samping adalah efek fisiologis yang tidak berkaitan dengan efek obat yang diinginkan. Semua obat memiliki efek samping, baik yang diinginkan maupun tidak bahkan dengan dosis obat yang tepat pun efek samping dapat terjadi dan dapat diketahui bakal terjadi sebelumnya. Efek samping terutama diakibatkan oleh kurangnya spesifitas obat tersebut, seperti Betanekol (Urecholine). Dalam beberapa masalah kesehatan, efek samping mungkin menjadi diinginkan, seperti Benadryl diberikan sebelum tidur: efek sampingnya berupa rasa kantuk menjadi menguntungkan. Istilah efek samping dan reaksi yang merugikan kadang-kadang dipakai bergantian (Kozier,2010;page, 219).
c.       Toksisitas obat
      Merupakan efek obat yang merusak organisme atau jaringan, terjadi akibat overdosis, memakan obat yang seharusnya untuk penggunaan eksternal, dan masuknya obat ke dalam darah karena penggunaan metabolisme atau ekskresi (efek kumulatif). Contoh efek toksik adalah depresi pernapasan akibat efek kumulatif morfin sulfat terhadap tubuh (Kozier, 2010;page, 219).
      Reaksi ini dapat memiliki banyak arti, namun pada dasarnya dosis yang diresepkan bagi pasien berjumlah berlebihan. Beberapa alasan terjadinya reaksi jenis ini mencakup kegagalan memperhitungkan ukuran pasien (pasien kakeksia, lansia, atau pasien lemah); kegagalan memperhitungkan karakteristik distribusi obat (beberapa obat tidak dapat memasuki jaringan lemak dengan baik, mendasarkan penghitungan dosis pada berat badan actual bukan berat badan ideal dapat mengakibatkan toksisitas); kegagalan memperhitungkan kemampuan ekskresi/metabolism atau kerusakan hati karena usia atau penyakit yang mendasari; kegagalan memperhitungkan efek obat lainnya yang juga digunakan (penghitungan obat pada ikatan proteinnya), atau peningkatan sensitivitas terhadap obat akibat penyakit yang mendasarinya (pasien hipotiroidisme sangat sensitive terhadap efek digoksin).
      Secara umum tindakan yang dilakukan adalah menghentikan sementara pemakaian obat dan kemudian menurunkan dosis atau meningkatkan interval dosis, tergantung pada obat tersebut. Dalam mengevaluasi reaksi-reaksi ini, pemantauan kadar obat dalam darah dapat membantu memperkirakan situasi. Pasien harus diberi tahu bahwa dengan reaksi jenis ini mereka masih bisa menerima obat tersebut, sekalipun terjadi efek-efek semacam itu. Pasien harus diberi tahu bahwa efek tersebut bukan berarti “alergi” terhadap obat. Dokumentasi reaksi sehubungan dengan dosis merupakan hal penting karena tidak menghalangi pemakaian obat yang dicurigai dan menjadi parameter penentuan dosis untuk pasien (Judith Hopfer, 2004).
      Efek toksis, atau toksisitas suatu obat yang dapat diidentifikasi melalui pemantauan batas terapeutik obat tersebut dalam plasma (serum). Tetapi, untuk obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang lebar batas terapeutik jarang diberikan. Untuk obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik sempit seperti antibiotika Aminoglikosida dan anti konvulsi, batas terapeutik dipantau dengan ketat. Jika kadar obat melebehi batas terapeutik, maka efek toksik kemungkinan besar akan terjadi akibat dosis yang berlebih atau penumpukan obat (Joyce, 1996).
d.      Alergi obat
      Reaksi imunologik terhadap obat. Ketika pertama kali pasien terpajan zat asing (antigen), tubuh dapat bereaksi dengan memproduksi antibodi. Pasien dapat berespon terhadap obat sebagai antigen dan selanjutnya menunjukkan gejala reaksi alergik. Reaksi alergi dapat ringan atau berat. Reaksi alergi ringan memiliki beragam gejala, dari ruam kulit sampai diare. Reaksi alergi dapat terjadi kapan sajadari beberapa menit hingga dua minggu setelah pemberian obat. Reaksi alergi yang berat biasanya terjadi segera pemberian obat dan disebut reaksi anafilaktik. Respon ini dapat berakibat fatal apabila gejala tidak diketahui segera dan terapi tidak segera dilakukan. Gejala awal adalah nafas pendek akut, hipotensi akut, dan takikardi (Kozier, 2010;page, 219).
e.       Toleransi obat
Terjadi pada individu yang memiliki respon fisiologik abnormal terhadap obat dan individu yang memerlukan peningkatan dosis untuk mempertahankan efek terapeutik yang diberikan. Obat yang biasanya mengakibatkan toleransi obat adalah opiat, barbiturat, etil alkohol, dan tembakau (Kozier, 2010;page, 219).
1)      Efek kumulatif
      Peningkatan respons terhadap pengulangan dosis obat yang terjadi ketika frekuensi pemberian melebihi tingkat metabolisme atau ekskresi. Akibatnya, jumlah obat menumpuk di dalam tubuh klien, kecuali dosis disesuaikan. Gejala toksik dapat muncul (Kozier, 2010;page, 219).
2)      Efek idiosinkratik
      Efek yang tidak diharapkan dan bersifat individual. Respons yang kurang atau berlebihan terhadap obat dapat idiosinkratik. Obat juga dapat memiliki efek yang sangat berbeda dari efek normal atau menyebabkan gejala yang tidak terduga atau tidak dapat dijelaskan pada pasien tertentu (Kozier, 2010;page, 219).
      Efek ini terjadi tanpa berhubungan dengan dosis. Terjadinya reaksi tidak dapat diperkirakan dan sporadik. Reaksi jenis ini dapat muncul dalam berbagai cara yang berbeda termasuk demam, diskrasia darah, efek kardiovaskular, atau perubahan status mental yang tidak diharapkan. Kerangka waktu antara terjadinya masalah dan awal dilakukannya terapi terkadang merupakan satu-satunya bukti yang menghubungkan obat dan gejala.
      Berbagai hal mengenai reaksi jenis ini masih membingungkan. Salah satunya adalah bahwa reaksi ini mungkin atau tidak mungkin muncul lagi bila pasien menggunakan obat yang sama. Pengambilan keputusan untuk meneruskan penggunaan obat jelas tergantung pada perlunya penerusan obat dan pilihan alternative lain. Hal lain adalah apakah reaksi yang sama akan terjadi pada pemakaian obat yang sama. Sekali lagi, keputusan yang diambil bersifat individual. Beberapa reaksi idiosinkrasi dapat dijelaskan dengan adanya perbedaan genetic pada enzim pemetabolisme obat. Penyuluhan pasien merupakan hal yang sangat penting, karena diperlukan pemahaman yang jelas mengenai tidak dapat diramalkannya kejadian tersebut. Pasien perlu memahami bahwa dokter telah mempertimbangkan manfaat potensial dari obat tertentu dan mempertimbangkannya dengan resiko setiap terapi. Bila terjadi reaksi idiosinkrasi, terapi dengan obat serupa tidak dihentikan, namun terjadinya reaksi ini harus didokumentasi agar dapat dipertimbangkan dalam perencanaan program pengobatan dimasa yang akan datang (Judith Hopfer, 2004).
3)      Interaksi obat
      Terjadi ketika pemberian salah satu obat sebelumnya, atau pada saat yang bersamaan, atau setelah obat lain mengubah efek salah satu atau kedua obat. Efek salah satu atau kedua obat dapat meningkat (efek sinergik atau menguatkan) atau menurun (efek menghambat). Interaksi obat dapat menguntungkan atau membahayakan. Sebagai contoh, probenesid, yang memblok ekskresi penisilin, dapat diberikan bersama penisilin untuk meningkatkan kadar penisilin dalam darah, dalam periode yang lebih lama (efek menguatkan).
      Dua analgesic, seperti aspirin dan kodein, sering diberikan bersamaan karena keduanya memberikan efek pereda nyeri yang lebih besar (efek aditif). Pada contoh aspirin dan kodein ini, penggunaan kombinasi obat sering menurunkan dosis total narkotik yang dibutuhkan. Selain itu, beberapa makanan memiliki interaksi yang berlawanan dengan obat (Kozier, 2010;page, 219).


4)      Penyakit iatrogenic
      Merupakan penyakit yang tanpa sengaja disebabkan oleh terapi obat. Dapat terjadi akibat terapi obat. Sebagai contoh, toksisitas hati mengakibatkan obstruksi kandung empedu, kerusakan ginjal, dan malformasi janin sebagai akibat obat-obat tertentu yang digunakan selam kehamilan (Kozier, 2010;page, 219).
5)      Efek hipersensitivitas
      Secara umum, reaksi hipertensitivitas biasanya bersifat alergik dan menyatakan secara tidak langsung bahwa terjadi pajanan terhadap agens tersebut. Manifestasi dari reaksi hipersensitivitas memiliki rentang dari ruam ringan semua jenis sampai nefritis , pneumonitis atau anemia hemolitik sampai manifestasi anafilaksis yang berpotensi mengancam kehidupan (Judith Hopfer, 2004).
      Obat yang terdiri atas protein (vaksin, enzim) lebih sering menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada pajanan berikutnya. Pada berbagai contoh, pembentukan antibody terlibat dalam proses ini. Pada kasus reaksi ini, perlu dipikirkan adanya sensitivitas silang. Contoh terbaik mengenai hal ini adalah hipersensitivitas terhadap penisilin. Bila pasien memiliki riwayat reaksi alergi terhadap penisilin, maka reaksi yang serupa kemungkinan besar akan terjadi pada pemberian antiinfeksi terkait (penisilin lain atau sefalosporin) (Judith Hopfer, 2004).
      Oleh sebab itu, pemdokumentasian reaksi hipersensitivitas merupakan hal yang sangat penting. Program pengobatan di masa yang akan datang harus menghindari pemakai bahan terkait, atau bila sangat dibutuhkan, perlu diberikan prapengobatan (dengan antihistamin atau glukokortikoid) atau desensitisasi (Judith Hopfer, 2004).

7.      Kerja Obat dalam Tubuh
a.       Fase Farmasetik
      Sekitar 80% obat diberikan melalui mulut; oleh karena itu, farmasetik  (disolusi) adalah fase pertama dari kerja obat. Dalam saluaran gastrointestinal, obat – obat perlu dilarutkan agar dapat diabsorbsi. Obat dalam bentuk padat (tabel atau pil) harus didisintegrasi menjadi partikel-partikel kecil supaya dapat larut ke dalam cairan,dan proses dikenal sebagai disolusi. Obat dalam bentuk cairan supaya dalam bentuk larutan (Joyce,1996).
      Tidak 100% dari sebuah tabel merupakan obat. Ada bahan pengisi dan pelembam yang dicampurkan dalam pembuatan obat sehingga obat dapat mempunyai ukuran tertentu dan mempercepat disolusi obat tersebut. Beberapa tambahan dalam obat seperti ion kalium (K) Natrium (Na) dalam kalium penisilin, meningkatkan penyerapan dari obat tersebut. Penisilin sangat buruk diabsorbsi dalam saluran gastrointestinal, karena adanya asam lambung. Dengan penambahan kalium atau natrium ke dalam penisilin, maka obat lebih banyak diabsorbsi. Sekrasi gaster bayi mempunyai pH yang lebih tinggi (basa) daripada orang dewasa, sehingga bayi menyerap lebih banyak penisilin (Joyce,1996).
      Disintegrasi adalah pemecahan tablet atau pilmenjadi partikel-partikel yang lebih kecil,dan disolusi adalah melarutya partikel-partikel yang lebih kecil itu dalam cairan gastrointestinal untuk dianbsorupsi. Rate limiting adalah waktu yang dibutuhkan oleh sebuah obat untuk bersintegrasi dan sampai menjadi siap untuk diabsorpsi oleh tubuh. Obat-obat dalam bentuk cairan lebih cepat siap diserap oleh seluruh gastrointestinal dari pada obat dalam bentuk padat. Pada umumnya, obat-obat disentragasi lebih cepat diabsorpsi lebih cepat dalam cairan asam yang mempunyai pH 1 atau 2 dari pada cairan basa. Orang muda dan tua mempunyai keasaman lambung yang lebih rendah, sehingga pada umumnya absorpsi obat lebih lambat unyuk obat-obat yang diabsorpsi terutama melalui lambung (Joyce,1996).
      Obat-obat dengan enteric-coated, EC (selaput enterik) tidak dapat didisintegrasi oleh asam lambung, sehingga didisentragasinya baru terjadi jika jika berada dalam suasana basa didalam usus halus. Tablet enteric-coated dapat bertahan di dalam lambung untuk jangka waktu lama; sehingga; oleh karenanya obat-obat yang demikian kurang efektif atau efek mulanya menjadi lambat (Joyce,1996).
      Makanan dalam saluran gastrointestinal dapat mengganggu pengenceran dan absorpsi obat-obat tertentu. Beberapa obat mengiritasi mukosa lambung, sehingga cairan atau makanan diperlukan untuk mengencerkan konsentrasi obat (Joyce,1996).
b.      Farmakokinetik
      Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat. Empat proses yang termasuk di dalamnya adalah: absorspsi, distribusi, metabolisme (atau biotransformasi), dan ekskresi (atau eliminasi (Joyce,1996).
1)      Absorpsi
      Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari saluran gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif, atau pinositosis. Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja permukaan vili mukosa yang luas. Jika sebagian dari vili ini berkurang, karena pengangkatan sebagian dari usus halus, maka absorpsi juga berkurang.
      Obat-obat yang mempunyai dasar protein, seperti insulin dan hormone pertumbuhan, dirusak didalam usus halus oleh enzim-enzim pencernaan. Absorpsi pasif umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah). Dengan proses difusi, obat tidak memerlukan energy untuk menembus membrane. Absorpsi aktif membutuhkan karier (pembawa) untuk bergerak melawan perbedaan konsentrasi. Sebuah enzim atau protein dapat membawa obat-obat menembus membrane dengan proses menelan.
      Membrane gastrointestinal terutama terdiri dari lipid (lemak) dan protein, sehingga obat-obat yang larut dalam lemak cepat menembus membrane gastrointestinal. Obat-obat yang larut dalam air membutuhkan karier, baik berupa enzim maupun protein, untuk melalui membrane. Partikel-partikel besar menembus membrane jika telah menjadi tidak bermuatan.
      Absorpsi dapat dipengaruhi oleh aliran darah, rasa nyeri, stress, kelaparan, makanan, dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat vasokonstriktor, atau penyakit yang merintangi absorspsi. Rasa nyeri, stress, dan makanan yang padat, pedas, dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung. Beberapa obat tidak langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik setelah absorpsi tetapi melewati lumen usus masuk ke dalam hati, melalui vena porta.
2)      Distribusi
      Distribusi adalah proses dimana obat menjadi berada dalam cairan tubuh dan jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, dan efek pengikatan dengan protein.Ketika obat didistribusi didalam plasma, kebanyakan berikatan dengan protein (terutama albumin) dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda. Hanya obat yang bebas atau yang tidak berikatan dengan protein yang bersifat aktif dan dapat menimbulkan respons farmakologik.
      Jika ada dua obat yang berikatan tinggi dengan protein diberikan bersama-sama maka terjadi persaingan untuk mendapatkan tempat pengikatan dengan protein, sehingga lebih banyak obat bebas yang dilepaskan ke dalam sirkulasi. Demikian pula, kadar protein yang rendah menurunkan jumlah tempat pengikatan dengan protein, sehingga meningkatkan jumlah obat bebas dalam plasma. Dengan demikian, hal ini dapat terjadi kelebihan dosis, karena dosis obat yang diresepkan dibuat berdasarkan persentase dimana obat itu berikatan dengan protein.
      Jadi penting sekali untuk memeriksa persentase pengikatan dengan protein dari semua obat-obat yang diberikan kepada klien untuk menghindari kemungkinan toksisitas obat. Seorang perawat juga harus memeriksa kadar protein plasma dan albumin plasma klien karena penurunan protein (albumin) plasma akan menurunkan tempat pengikatan dengan protein, sehingga memungkinkan lebih banyak obat bebas dalam sirkulasi. Tergantung dari obat-obat yang diberikan, akibat dari hal ini dapat mengancam nyawa. Selain itu, beberapa obat dapat menumpuk dalam jaringan tertentu, seperti lemak, tulang, hati, mata, dan otot.
3)      Metabolisme atau Biotransformasi
      Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat diinaktifkan oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah atau ditransformasikan oleh enzim-enzim hati menjadi metabolit inaktif atau zat yang larut dalam air untuk diekskresikan. Tetapi, beberapa obat ditransformasikan menjadi metabolit aktif, menyebabkan peningkatan respons farmakologik.
      Waktu paruh, dilambangkan dengan t½, dari suatu obat adalah waktu yang dibutuhkan oleh separuh konsentrasi obat untuk dieliminasi. Metabolisme dan eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat, contohnya, pada kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih panjang dan lebih sedikit obat dimetabolisasi dan dieliminasi. Jika suatu obat diberikan terus menerus, maka dapat terjadi penumpukan obat. Tabel dibawah ini menunjukkan waktu paruh obat-obat tertentu.
4)      Ekskresi atau Eliminasi
      Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi empedu, feses, paru-paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat bebas, yang tidak berikatan, yang larut dalam air, dan obat-obat yang tidak dapat di ubah, difiltrasi oleh ginjal. Obat-obat yang berikatan dengan protein tidak dapat di filtrasi oleh ginjal. Sekali obat dilepaskan ikatannya dengan protein, maka obat menjadi bebas dan akhirnya akan diekskresikan melalui urin. pH urin mempengaruhi ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5 sampai 8. Urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah.
c.       Farmakodinamik
      Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia selular dan mekanisme kerja obat (Joyce,1996).
1)      Mula, Puncak, dan Lama Kerja
      Mula kerja dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai konsentrasi efektif minimum (MEC=minimum effective concentration). Puncak kerja terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tertinggi dalam darah atau plasma. Lama kerja adalah lamanya obat mempunyai efek farmakologis.
      Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat memakan waktu beberapa hari atau jam. Kurva respons-waktu menilai tiga parameter dari kerja obat: mula kerja obat, puncak kerja, dan lama kerja. Perlu untuk memahami hubungan antara respons-waktu dengan pemberian obat. Jika kadar obat dalam plasma atau serum menurun di bawah ambang atau MEC, maka ini berarti dosis obat yang memadai tidak tercapai; kadar obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan toksisitas.
2)      Teori reseptor
      Kebanyakan reseptor, berstruktur protein, ditemukan pada membrane sel. Obat-obat yang bekerja melalui reseptor, dengan berikatan dengan reseptor maka akan menghasilkan (memulai) respons atau menghambat (mencegah) respons. Aktifitas dari kebanyakan obat ditentukan oleh kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptor spesifik. Semakin baik suatu obat berikatan dengan tempat reseptor, maka obat tersebut semakin aktif secara biologis.
      Obat-obat yang menghasilkan respons disebut agonis, dan obat-obat yang menghambat respons disebut antagonis. Sebuah reseptor yang terdapat di tempat-tempat yang berbeda dalam tubuh menghasilkan bermacam-macam respons fisiologis, tergantung dimana reseptor itu berada. Reseptor-reseptor kolinergik terdapat di kandung kemih, jantung, pembuluh darah, paru-paru dan mata.
      Empat kategori dari kerja obat meliputi perangsangan atau penekanan, penggantian, pencegahan atau membunuh organisme, dan iritasi. Kerja obat yang merangsang akan meningkatkan kecepatan aktifitas sel atau meningkatkan sekresi dari kelenjar.
      Kerja obat dapat berlangsung beberapa jam, hari, minggu, atau bulan. Lama kerja tergantung dari waktu paruh obat, jadi waktu paruh merupakan pedoman yang penting untuk menentukan interval dosis obat. Obat-obat dengan waktu paruh pendek, seperti penisilin G (t½ nya 2 jam), diberikan beberapa kali sehari; obat-obat dengan waktu paruh panjang, seperti digoksin (36 jam), diberikan sekali sehari. Jika sebuah obat dengan waktu paruh panjang diberikan dua kali atau lebih dalam sehari, maka terjadi penimbunan obat di dalam tubuh dan mungkin dapat menimbulkan toksisitas obat.

8.      Faktor yang Mempengaruhi Kerja Obat
a.       Factor Perkembangan
      Usia berpengaruh terhadap daya kerja obat. Orang usia lanjut dan bayi sangat responsive terhadap obat. Orang usia lanjut dapat mengalami perubahan terhadap respon obat karena adanya gangguan liver, hati atau kardiovaskuler. Bayi sangat responsif terhadap obat karena mekanisme metabolic dan ekskresi yang belum sempurna akibat liver dan ginjal yang belum matang (Priharjo, 1995).
      Wanita harus berhati-hati dalam mengonsumsi obat selama kehamilan.Obat yang dikonsumsi selama kehamilan dapat meningkatkan resiko selama kehamilan, tetapi resiko paling tinggi adalah selama trimester pertama, yang merupakan saat pembentukan organ-organ vital dan fungsi tubuh dari janin (Kozier, 2010).
      Pada usia tua metabolisme obat oleh hati mungkin menurun, tapi biasanya yang lebih penting adalah menurunnya fungsi ginjal. Pada usia 65 tahun laju glomerulus (GFR) menurun sampai 30% dan tiap satu tahun berikutnya menurun lagi 1-2%. Oleh karena itu orang usia lanjut membutuhkan beberapa obat dengan dosis lebih kecil daripada orang muda (Neal, 2006).
b.      Massa Tubuh
      Berkaitan dengan jumlah total yang diberikan. Dosis harus disesuaikan dengan massa tubuh, sehingga semakin besar ukuran/massa tubuh semakin besar pula dosis yang diberikan. (Priharjo, 1995)
c.       Diet
      Zat gizi dapat mempengaruhi kerja obat. Sebagai contoh, vitamin K yang ditemukan pada sayur-sayuran berdaun hijau dapat menghilangkan efek antikoagulan seperti warfarin atau coumadin. (Kozier, 2010)
d.      Jenis Kelamin
      Jenis kelamin mempunyai pengaruh terhadap efek obat karena perbedaan fisik antara pria dan wanita. Pria biasanya mempunyai postur tubuh lebih besar daripada wanita sehingga bila suatu dosis yang sama diberikan, tubuh pria akan lebih lambat di dalam melakukan metabolisme/aksi obat. Tubuh pria lebih banyak mengandung air, sedangkan tubuh wanita mengandung lemak dan obat-obat tertentu dapat lebih cepat bereaksi dalam air atau dalam lemak. (Priharjo, 1995)
e.       Lingkungan
      Lingkungan berpengaruh terhadap daya kerja obat terutama lingkungan yang dapat merubah obat (missal cahaya), kepribadian pasien dan lingkungan pasien. Lingkungan fisik dapat pula mempengaruhi daya kerja obat misalnya suhu lingkungan tinggi menyebabkan pembuluh darah perifer melebar sehingga dapat meningkatkan daya kerja vasodilator. (Priharjo, 1995)
f.       Waktu Pemberian
      Waktu pemberian obat per oral berpengaruh terhadap daya kerja obat. Absorpsi obat akan lebih cepat bila diberikan saat perut dalam keadaan kosong. Sedangkan obat yang dapat menyebabkan iritasi lambung akan lebih aman bila diberikan pada perut yang berisi makanan. (Priharjo, 1995)
g.      Penyakit
      Penyakit merupakan salah satu pertimbangan dalam pemberian obat. Kondisi penyakit merupakan dasar dalam menentukan jenis obat dan dosis yang diberikan. Obat dapat bereaksi secara efektif pada keadaan sakit. Misalnya suhu badan pada orang yang demam dapat diturunkan dengan pemberian parasetamol. Namun, parasetamol tidak menurunkan suhu bila diberikan pada orang yang suhunya normal. (Priharjo, 1995)
h.      Faktor Budaya, Etnik, dan Genetik
      Faktor genetik mempengaruhi respon seseorang terhadap pemberian obat. Factor ini secara genetic menentukan sistem metabolisme tubuh dan ketahanan seseorang terhadap obat (alergi). (Priharjo, 1995).
      Penelitian menunjukkan bahwa etnik dapat mempengaruhi perbedaan respons terhadap obat. Hal ini disebut dengan polimorfisme genetic. Gen yang mengendalikan metabolisme hati bervariasi dan beberapa klien dapat menunjukkan metabolisme lambat, sedangkan yang lain cepat. Obat-obatan antipsikotik dan antiansietas terbukti efektif untuk orang Amerika, Afrika, Kaukasia, Hispanik, sedangkan orang Asia membutuhkan dosis lebih rendah karena metabolisme jenis obat tersebut lebih lambat, yang mengakibatkan orang Asia lebih rentan terhadap efek samping. (Kozier, 2010)
i.        Faktor Psikologis
      Faktor psikologis berkaitan dengan keefektifan obat. Orang yang mempercayai bahwa obat yang mereka gunakan dapat mengatasi gangguan kesehatannya akan lebih efektif daya kerja obat yang ia minum dibanding dengan orang yang tidak percaya. Di tatanan klinis, plasebo digunakan untuk meningkatkan aspek psikologis pasien. Plasebo diberikan terutama pada pasien yang menerima berbagai obat sehingga dikhawatirkan dapat mengalami efek samping yang tidak diharapkan. (Priharjo, 1995)

9.      Rute Pemberian Obat
      Pilihan rute pemberian obat bergantung pada kandungan obat dan efek yang diinginkan juga kondisi fisik dan mental klien. Karena secara konstan terlibat dalam perawatan klien, perawat sering terlibat dalam menentukan rute pemberian obat yang terbaik dalam berkolaborasi dengan dokter (Potter & Perry,2005).
a.       Rute Oral
1)      Pemberian per oral
      Rute oral adalah rute yang paling mudah dan paling umum digunakan. Obat digunakan melalui mulut dan ditelan. Obat yang diberikan peroral lebih murah daripada banyak preparat lain. Awitan kerja obat oral lebih lambat dan efeknya lebih lama. Klien umumnya lebih memilih rute oral (Potter & Perry,2005).
2)      Pemberian Sublingual
      Obat sublingual dirancang supaya setelah diletakkan dibawah lidah dan kemudian larut, mudah diabsropsi. Obat yang diberikan dibawah lidah tidak boleh ditelan. Bila ditelan, efek yang diharapkan tidak akan dicapai. Nitrogliserin umumnya diberikan secara sublingual. Klien tidak boleh minum sampia seluruh obat larut (Potter & Perry,2005).
3)      Pemberian Bukal
      Pemberian obat melalui rute bukal dilakukan dengan menempatkan obat padat di membrane mukosa pipi sampai obat larut. Klien harus dianjurkan  untuk menempatkan dosis obat secara bergantian dipipi kanan  dan kiri supaya mukosa tidak iritasi. Klien juga diperingatkan untuk tidak mengunyah atau menelan obat atau minum air bersama oabat. Obat bukal bereaksi secara local pada mukosa atau secara sistemik ketika obat ditelan dalam saliva (Potter & Perry,2005).
b.      Rute Parenteral
      Rute parenteral ialah meberikan obat dengan menginjeksinya kedalam jaringan tubuh. Pembnerian parenteral meliputi empat tipe utama injeksi berikut :
1)      Subkutan (SC). Injeksi ke dalam jaringan tepat dibawah lapisan dermis kulit.
2)      Intradermal (ID). Injeksi ke dalam dermis tepat di bawah epidermis.
3)      Intradermal (IM). Injeksi kedalam otot tubuh.
4)      Intravena (IV). Suntikan ke dalam vena.
Beberapa obat diberikan kedalam rongga tubuh selain empat tipe yang tertera diatas. Di beberapa instuisi perawat mungkin bertanggung jawab memberikan obat dengan teknik yang maju ini. Baik memberikan obat melalui rute ini atau tidak, perawat tetap bertanggung jawab memantau keutuhan system pemberian obat, memahammi nilai teurapetik obat, dan mengevaluasi respons klien terhadap terapi,. Berikut adalah pemberian obat yang canggih di masa perawat memiliki tanggung jawab :
1)      Epidural, obat didalam ruang epidural via kateter yang telah dipasang oleh perawat anestesi atau ahli anestesi. Teknik pemberian obat ini paling sering digunakan unttuk memberikan analgesic pascaoperasi.
2)      Intratekal, obat intratekal diberikan melalui sebuah kateter yang telah dipasang kedalam  ruang subaraknoid atau kedalam salah satu ventrikel otak. Pemberian intratekal seringkali berhubungan dengan pemberian obat jangka panjang melalui kateter yang dipasang melalui pembedahan.
3)      Intraoseosa, metode pemberian obat ini dilakukan dengan memasukkan obat langsung kedalam sumsum tulang. Metode ini paling sering digunakan untuk  bayi atau toddler yang akses pembuluh darahnya buruk. Dokter menginsersi jarum intraoseosa ke dalam tulang, biasanya ke tibia, sehingga perawat dapat memberikan obat.
4)      Intraperitoneal, di sini obat diabsropsi kedalam sirkulasi. Kemoterapi dan antibiotic biasanya diberikan dengan cara ini.  Perawat umum seringkali berinisiatif mengajari klien cara penatalaksaan dialysis peritoneum.
5)      Intrapleura, obat diberikan melalui dinding dada dan langsung kedalam ruang pleura. Obat dimasukkan melalui sebuah injeksi atau selang dada yang diinsersi oleh dokter.
6)      Intraarteri, obat dimasukkan langsung kedalam arteri. Infuse intraarteri umum dilakukan pada klien yang didalam arterinya terdapt bekuan. Perawat akan mengatur pemasukkan agens penghancur bekuan melalui infuse kontinu (Potter & Perry,2005).

c.       Pemberian Topikal
      Obat yang diberikan melalui kulit dan membrane mukosa pada prinsipnya menimbulkan efek lokal. Pemberian topical dilakukan dengan mengoleskannya didaerah kulit, memasang balutan yang lembab, merendam bagian tubuh dalam larutan, atau menyediakan air mandi yang dicampur obat. Efek sistemik timbul, jika kulit klien tupis, konsentrasi obat tinggi atau jika obat bersentuhan dengan kulit dalam jangka lama (Potter & Perry,2005).
      Obat diberikan secara topical dengan menggunakan cakram atau lempeng transdermal (contohnya nitrogliserin). Cakram melindungi salep obat pada kulit. Dengan menggunakan metode pengobatan ini menjamin klien menerima agar obat secara kontinu dalam darahnya. Obat topical ini dapat diberikan sekurang-kurangnya 24 jam sampai 7 hari (Potter & Perry,2005).
      Obat juga dapat diberikan pada membrane mukosa. Perawat menggunakan metode dibawah ini dalam pemberian obat pada membrane mukosa:
1)      Pemberian cairan secara langsung (contohnya meminta klien berkumur)
2)      Insersi obat kedalam rongga tubuh (contohnya menginsersi obat kedalam vagina)
3)      Instilasi (pemasukan lambat) cairan kedalam rongga tubuh (contohnya memasukkan tetes telinga, tetes hidung, dan memasukkan cairan kedalam kandung kemih dan rectum)
4)      Irigasi (mencuci bersih) rongga tubuh (contohnya membilas telinga, mata, vagina, kandung kemih tau rectum dengan obat cair).
5)      Inhalasi memberikan pengiriman obat yang cepat melalui permukaan luas dari saluran nafas dan epitel paru-paru. Obat dapat diberikan melalui pasase nasal, oral, atau selang yang dipasang kedalam trakea.
a)      Inhalasi nasal, obat di inhalasi melalui hidung menggunakan sebuah alat yang menghantarkan obat.
b)      Inhalasi oral, paling sering digunakan untuk menghantar obat ke sel target atau organisme diparenkim paru. Obat selalu dihantar oleh alat yang dipegang ditangan klien. Obat yang diberikan menggunakan inhaler yang dipegang ditangan disebar melalui sebuah semprot aerosol, uap, atau bub uk yang masuk kesaluran udara diparu (Potter & Perry,2005).
d.      Pemberian melalui indotrakea atau trakea
      Dalam situasi kedaruratan, jika klien tidak terpasang selang intravena, beberapa obat darurat dapat diberikan melalui selang yang telah ditempatkan kedalam trakea klien (Potter & Perry,2005)
      Ada juga pemberian obat yang disebut intraokuler, pemberian obat ini dilakukan dengan menginsersi obat yang berbentuk cakram, yang mirip sebuah lensa kontak, kedalam mata klien. Obat mata berbentuk cakram inin memiliki dua lapisan lunak luar yang didalamnya terdapat obat. Cakram dapat tetap didalam mata klien selama satu minggu (Potter & Perry,2005).

10.  Program Obat
a.       Jenis Program Obat
      Jenis program obat ini adalah kategori perintah dalam pemberian obat. Beberapa jenis perintah dalam pemberian obat (Kee, Joyce L.)
1)      Stat order
Stat order adalah perintah pemberian obat sekali dengan segera.
2)      Single order
Single order dalah perintah pemberian obat yang diberikan sekali dan biasanya pada waktu tertentu.
3)      Standing order
Standing order adalah dapat berarti perintah yang terus-menerus atau dapat diberikan dalam dosis atau hari dalam jumlah tertentu. Dapat juga mencakup seperti PRN.
4)      PRN order
PRN order adalah perintah pemberian obat yang diberikan atas permintaan klien dan penilaian perawat dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kamanan klien.
b.      Resep Obat
No
Bagian terpenting dalam resep obat
1
Nama lengkap klien
2
Tanggal dan waktu resep dan program obat ditulis
3
Nama obat yang diberikan
4
Dosis obat
5
Frekuensi pemberian
6
Rute pemberian
7
Tanda tangan dokter atau yang menulis resep
Tabel 2.4 Bagian terpenting dalam resep obat (Kee, Joyce L. )

No
Bagian dari resep obat
1
Informasi deskriptif tentang klien; nama, alamat, dan usia
2
Tanggal resep ditulis
3
Simbol Rx, yang berarti “take thou”
4
Nama, dosis, dan kekuatan obat
5
Rute pemberian
6
Intruksi jumlah obat yang dikeluarkan untul apoteker, sebagai contoh; “keluarkan 30 kapsul”
7
Petunjuk pemberian yang diberikan kepada klien, sebagai contoh; “satu tablet setelah makan”
8
Penggunaan ulang dan/atau label khusus, sebagai contoh; “REFILL X 11”
9
Tanda tangan penulis resep
Table 2.5 bagian dari resep obat
(1)   Mengkomunikasikan program obat
      Perawat harus selalu menanyakan kepada medis mengenai program obat yang ambigu, tampak tidak wajar ( misal; dosis obat yang abnormal tinggi), atau kontra indikasi dengan kondisi klien. Apabila perawat menilai program obat tidak sesuai, perlu dilakukan tindakan berikut:
1)      Diskusikan dengan medis tentang rasional untuk meyakini bahwa obat atau dosis tidak tepat.
2)      Dokumoentasikan catatan berikut ini; kapan dokter diberitahu, apa yang disampaikan kepada dokter, dan bagaimana respon dokter.
3)      Apabila dosis tidak dapat dihubungi, maka dokumentasi semua upaya untuk menghubungi dokter dan alasan menunda pemberian obat.
4)      Apabila orang lain yang akan memberikan obat, dokumentasikan data mengenai kondisi klien sebelum dan sesudah pemberian obat.
5)      Apabila laporan kejadian dianjurkan, dokumentasikan informasi faktual dengan jelas.


11.  Sistem Pengukuran Obat
      Dalam pengukuran dosis obat terdapat tiga sistem yang biasa digunakan yaitu sistem metrik(SI), sistem apoteker dan rumah tangga.
a.       Sistem Metrik (SI)
      Sistem metrik adalah suatu sistem desimal berdasarkan puluhan;sistem metrik mempunyai tiga satuan ukuran dasar: gram (berat), liter (volume), dan meter (panjang).
1)      Ukuran Berat
Ukuran zat padat dalam sistem metrik adalah:
Gram (g atau gm), Miligram (mg), Mikrogram (µg atau mcg), kilogram (kg)
Padanan berat dasar dalam sistem metrik adalah
1 g = 1000 mg
1 mg = 1000 µg (mcg)
Berat
Padanan
1000 mg
1 g
600 mg
0,6 g
500mg
0,5 g
300 mg
0,3 g
200 mg
0,2 g
100 mg
0,1 g
60 mg
0,06 g
30 mg
0,03 g
15 mg
0,015 g
10 mg
0,01 g
1 mg
1000 µg
0,6 mg
600 µg
0,4 mg
400µg
0,3 mg
300 µg
0,1 mg
100 µg
Tabel 2.6 Padanan umum ukuran metrik untuk zat padat

2)      Padanan ukuran metrik untuk zat cair
Padanan dasar ukuran zat cair dalam sistem metrik adalah:
1 mL = 1 cc
1L = 1000 mL atau 1000 cc
b.      Sistem Apoteker
     Pada sistem pengukuran apoteker satuan berat yang digunakan adalah grain (gr), disamakan dengan satu grain gandum. Pada urutan naik, satuan berat lain adalah skrupel, dram, ons, dan pon.
1)      Gambaran ikhtisar
Sistem dinyatakan dalam pecahan misalnya ½, ¼ dan dalam angka romawi disusun dari huruf-huruf abjad
M = 1000                     D = 500           C = 100           L= 50              x = 10
V = 5               i= 1
2)      Ukuran zat cair
Dalam sistem apoteker, ukuran zat cair adalah
Minim= disingkat M
Dram = ʒ atau dr
Ounce= disingkat ʒ
Tetes = disingkat gtt
Nb= 1 ounce lebih besar dari pada satu dram

3)      Padanan umum untuk zat cair
Di baca
Ditulis
1 minim= 1 drop
m i = gtt i
1 dram= 4mL
ʒ i = 1 dr = 4 mL        
8 dram = 1 ounce
ʒ viii = 8 dr = ʒ i
Tabel 2.7 Padanan umum untuk zat cair


c.       Ukuran Rumah Tangga
Ukuran rumah tangga adalah:
Sendok teh (sdt)
Sendok makan (sdm)
Pint (pt)
Quart (qt)
Dibaca
Ditulis
Satu sendok teh = 5 mililiter
1 sdt = 5 mL
Satu sendok makan = 15 mililiter
1sdm = 15 mL
Satu ounce = 30 mililiter
1 oz = 30 mL
Satu pint = 500 mililiter
1 pt = 500 mL
Satu quart = 1 liter = 1000 mililiter
1 qt = 1 L = 1000 mL
2,2 pon = 1 kilogram
2,2 lb = 1 kg
Table 2.8 Padanan umum pada sistem ukuran rumah tangga
d.      Perhitungan Dosis
      Sebagai contoh diprogramkan eritromisim 400 mg. prepareat yang tersedia dalam bentuk yang cair mengandung 150 mg eritromisin dalam 4 mL. dalam proses menghitung dosis perawat menggunakan rumus:

 =

150 x = 4mL  400 mg
X =
X = 10,6 mL

Jadi, dosis yang diberikan adalah 10,6 mL
1)      Dosis untuk anak
      Meskipun dosis telah tertulis piprogram obat,perawat harus memahami tentyang dosis yang amn untuk anak-anak.tidak seperti pada dosis orang dewasa,dosis dari anak-anak tidak selalu standar.Ukuran tubuh anak sangat mempengaruhi dosis yang akan diberikan.
2)      Luas permukaan tubuh
      Luas permukaan tubuh ditentukan menggunakan nomogram,tinggi serta berat badan anak.rumusnya adalah rasio luas permukaan tubuh dari anak terhadap area permukaan tubuh orang dewasa(1.7 m2) dfikaliokan dengan dosis obat dewasa normal :

Dodis anak-anak =
Luas permnukaan tubbuh anak(m2) x Dosis dewasa normal
1,7 m2
Contoh soal : Dik BB=10 kg,BB 50 cm,luas permukaan tubuh anak 0,4m2,dosis  dewasa normal=250. Dit : dosis tetrasiklin yang diberikan untuk anak
Jwb : dosis anak = 0,4 m2 x 250 mg
                                   1,7 m2
                        =0,23 x 50 =58,82 mg

12.  Pemberian Obat yang Aman
      Perawat bertanggung jawab dalam pemberian obat-obatan yang aman. Harus mengetahui semua komponen dari perintah pemberian obat dan mempertanyakan perintah tersebut jika tidak lengkap atau tidak jelas dosisnya yang diberikan di luar batas yang direkomendasikan.(kee,joyce, 1996).
a.       Sistem penyaluran obat; fasilitas kesehatan memiliki system penyaluran obat yang berbeda-beda. System tersebut, antara lain:
1)      Kereta obat
Kereta obat beroda memungkinkan perawat untuk menggerakkan kereta keluar dari kamar klien. Kereta terdiri dari beberapa laci-laci yang bernomor kecil sesuai dengan nomor kamar pada unit perawatan. Laci kecil diberi label nama klien yang dirawat dikamar tersebut dengan tepat dan tempat menyimpan obat klien selama satu sif atau 24 jam.
2)      Lemari obat
Beberapa fasilitas kesehatan memiliki lemari yang terkunci didalam ruangan klien. Lemari ini menyimpan dosis-satuan obat dan MAR. Zat-zat yang dikontrol ketat tidak disimpan di dalam lemari ini, tetapi ditempat lain pada unit keperawatan. Pearawat membawa kunci untuk membuka lemari obat klien, karena lemari lemari ini harus terkunci jika tidak digunakan.
3)      Kamar obat. Bergantung masing-masing rumah sakit, kamar obat mungkin digunakan untuk berbagai tujuan. Sebagai contoh, kereta obat, saat tidak digunakan mungkin diletakkan di dalam kamar ini. Kamar obat mungkin juga menjadi tempat pusat penyimpanan obat, penyimpanan obat-obat yang dikontrol ketat dan obat-obat darurat.
4)      Sistem akses obat terkomputerisasi. Sistem ini mengatur distribusi, manajemen dan pengendalian obat secara otomatis. Hampir mirip dengan mesin ATM, perawat menggunakan kata kunci untuk mengakses system dan memilih obat.(kozier,2010)
b.      Proses Pemberian Obat
      Supaya dapat tercapainya pemberian obat yang aman, seorang perawat harus melakukan enam hal yang benar:klien yang benar, obat yang benar, dosis yang benar, waktu yang benar, rute yang benar dan dokumentasi yang benar.(kee,joyce,1996).
1)      Klien yang benar dapat dipastikan dengan memeriksa gelang identifikasi klien dan meminta klien menyebutkan namanya sendiri. Beberapa klien akan menjawab dengan nama yang sembarang atau tidak dapat berespons, maka gelang identifikasi harus diperiksa pada  klien setiap kali pengobatan diberikan. Pada keadaan dimana gelang identifikasi hilang, perawat harus memastikan identitas klien sebelum setiap obat diberikan.
Implikasi dalam perawatan mencakup:
a)      Memastikan klien dengan memeriksa gelang identifikasi.
b)      Membedakan dua klien dengan nama belakang yang sama.
Dalam keadaan-keadaan dimana klien tidak memakai gelang identifikasi, perawat juga bertanggung jawab untuk secara tepat mengidentifikasi setiap orang pada saat memberikan pengobatan.
2)      Obat yang benar berarti klien menerima obat yang telah diresepkan. Perintah pengobatan mungkin iresepkan oleh dokter , dokter gigi atau pemberi asuh kesehatan yang memiliki izin praktik dengan wewenang dari pemrintah untuk memerintahkan pengobatan. Resep dapat di tulis pada buku resep dan diisi oleh ahli farmasi di toko obat atau apotik rumah sakit. Bagi klien yang tinggal dirumah sakit, perintah pengobatan di tulis “lembar intruksi dokter” dan ditandatangani oleh orang yang berwenang. Perintah melalui telepon untuk pengobatan harus ditandatangani oleh dokter yang menelepon dalam waktu 24 jam. Perawat harus tunduk dengan peraturan institusi mengenai perintah melalui telepon.
Komponen dari perintah pengobatan adalahh:
a)      Tanggal dan saat perintah ditulis
b)      Nama obat
c)      Dosis obat
d)     Rute pemberian
e)      Frekuensi pemberian
f)       Tanda tangan dokter atau pemberi asuh kesehatan
      Meskipun tanggung jawab seorang perawat untuk mengikuti perintah yang tepat, tetapi jika salah satu komponen tidak ada, perintah pengobatan tidak lengkap maka obat tidak boleh diberikan. Harus diperoleh perintah yang jelas, dan biasanya dengan menghubungi dokter atau pemberi asuhan kesehatan. Berikut adalah sebuah contoh dari perintah pengobatan dan interprestasinya:
6/4/93 10:10A Lasix 40 mg,PO, q.d.
Tanda tangan
(berikan 40 mg lasix per oral setiap hari)
untuk menghindari kesalahan, label obat harus dibaca tiga kali:
a)      Pada saat melihat botol atau kemasan obat
b)      Sebelum menuang obat
c)      Setelah menuang obat.
      Perawat harus menyadari bahwa obat-obat tertentu mempunyai nama yang bunyinya hampir sama dan ejaannya mirip. Contohnya adalah digoksin dan digitoksin,, quinidin dan quinin, keflex dan kantrex, demerol dan dikumarol, percocet dan percodan. Lebih khusus lagi percocet mengandung oksikodon dan asetaminofen sedangkan percodan mengandung oksikodon dan aspirin. Seorang klien mungkin alergi terhadap aspirin sehingga penting sekali bagi klien itu untuk mendapat percocet. Implikasi dalam perawatan mencakup:
a)      Periksa apakah perintah pengobatan lengkap dan sah. Jika perintah tidak lengkap atau tidak sah, beritahu perawat atau dokter yang bertanggung jawab.
b)      Ketahui alasan mengapa klien menerima obat tersebut.
c)      Periiksa label sebanyak 3 kkali sebelum memberikan obat.
Ada empat kategori perintah pemberian obat:
a)      Perintah tetap (standing order)
b)      Perintah satu kali (single order)
c)      Perintah PRN ( jika perlu)
d)     Perintah STAT ( segera)
3)      Dosis yang benar  adalah dosis yang diresepkan untuk klien tertentu. Dalam kebanyakan kasus, dosis diberikan dalam batas yang direkomendasikan untuk obat yang bersangkutan. Perawat harus menghitung setiap dosis obat secara akurat, dengan mempertimbangkan variabel berikut: tersedianya obat dan dosis obat yang diresepkan (diminta). Dalam keadaan tertentu, berat badan klien juga harus dipertimbangkan, seperti 3 mg/kg/hari.
Sebelum menghitung dosis obat, perawat harus mempunyai dasar pengetahuan mengenai rasio dan proporsi. Perhitungan dosis obat harus diperiksa ulang jika didapatkan hasil sebagian dari dosis atau dosis dalam jumlah yang sangat besar. Implikasi dalam perawatan termasuk;
a)      Hitung dosis obat dengan benar. Jika ragu-ragu, dosis obat harus dihitung kembali dan diperiksa oleh perawat lain. Dalam bbanyak institusi, perawat pertama yang memberikan obar tertentu kepada seorang klien harus menghitung dosis dan membubuhkan tanda tangan pada kolom tanda tangan perawat jika parameter keamanan telah ditentukan.
b)      Lihat buku PDR, American hospital formutary, atau buku referensi obat lainnya untuk batas yang direkomendasikan bagi dosis obat tertentu.
4)      Waktu yang benar adalah saat dimana obat yang diresepkan harus diberikan. Dosis obat harian diberikan pada waktu tertentu dalam sehari, seperti b.i.d (dua kali sehari),t.i.d (tiga kali sehari), q.i.d (empat kali sehari), atau q6h (setiap 6 jam), sehingga kadar obat dalam plasma dapat dipertahankan. Jika obat mempunyai waktu paruh (t1/2) yang panjang, obat diberikan sekali sehari. Obat-obat dengan waktu paruh pendek diberikan beberapa kali sehari pada selang waktu yang terteentu. Beberapa obat diberikan sebelum makan atau bersama makanan. Implikasi dalam perawatan termasuk;
a)      Berikan obat pada saat yang khusus. Obat-obat dapat diberikan setengah jam sebelum atau sesudah waktu yang terttulis dalam resep.
b)      Berikan obat-obat yang terpengaruh oleh makanan, seperti tetrasiklin, sebelum makan.
c)      Berikan obat-obat, seperti kalium dan aspirin yang dapat mengiritasi perut ( mukosa lambung) bersama-sama dengan makanan.
d)     Tanggung jawab perawat untuk memeriksa apakah klien telah dijadwalkan untuk pemeriksaan diagnostik, seperti endoskopi, tes darah puasa, yang merupakan kontraindikasi pemberian obat.
e)      Periksa tanggal kadaluarsa. Jika telah melewati tanggalnya, buang atau kembalikan ke apotik ( tergantung perraturan).
f)       Antibiotika harus diberikan dalam selang waktu yang sama ( mis. Setiap 8 jam daripada t.i.d) sepanjang 24 jam untuk menjaga kadar darah terapeutik.
5)      Rute yang benar perlu absorpsi yang tepat dan memadai. Rute yang lebih sering dari absorpsi addalah oral; cairan,suspensi,pil,tablet,atau kapsul; sublingual ( dibawah lidah untuk absorpsi venna); bukal (antara gusi ddan pipi); topikal(dipakai pada kulit); inhalasi (semprot aerosol); instilasi (pada hidung, mata, telinga,rektum atau vagina); dan tempat rute parenteral; intradermal, subkutan, intramuskular, dan intravena. Implikasi dalam perawatan termasuk;
a)      Nilai kemampuan klien untuk menelan sebelum memberikan obat-obat per oral.
b)      Pergunakan teknik aseptik sewaktu memberikan obat. Teknik steril dibutuhkan dalam rute parenteral.
c)      Berikan obat-obat pada tempat yang sesuai.
d)     Tetaplah bersama klien sampai obat-obat oral telah ditelan.
6)      Dokumentasi yang benar membutuhkan tindakan segera dari seorang perawat untuk mencatat informasi yang sesuai mengenai obat yang telah diberikan. Ini meliputi nama obat, dosis,rute ( tempat suntikan jika perlu), waktu dan tanggal, dan inisial atau tanda tangan perawat. Respon klien terhadap pengobatan perlu dicatat untuk beberapa macam obat, seperti narkotik-bagaimana efektifitasnya dalam menghilangkan nyeri? Atau analgesik nonnarkotik,sedativa,antiemetik,reaksi yang tidak diharapkan terhadap pengobatan, seperti iritasi gastrointestinal atau tanda-tanda kepekaan kulit. Penundaan dalam mencatat dapat mengakibatkan lupa untuk mencatat pengobatan atau perawat lain memberikan obat itu kembali karena ia berpikir obat belum diberikan.
Untuk membantu pencatatan pemberian obat yang tepat dan pada waktunya, banyak fasilitas kesehatan menggunakan format grafik.

13.  Kesalahan dalam Pemberian Obat
      Kesalahan pemberian obat, selain memberi obat yang salah, mencakup faktor lain yang mengubah terapi obat yang direncanakan, misalnya lupa memberi obat; memberi dua kali obat yang dilupakan sebagai kompensasi; memberi obat yang benar pada waktu yang salah; atau memberi obat yang benar melalui rute yang salah. Jika terjadi kesalahan pemberian obat, perawat terkait harus segera menghubungi dokternya dan kepala perawat atau perawat senior segera setelah kesalahan itu diketahuinya.
      Pencegahan kesalahan pemberian obat : perbedaan mendasar antara reaksi obat yang merugikan dan kesalahan pemberian obat adalah bahwa kesalahan pemberian obat dapat dicegah. Bila tujuan terapi obat yang optimal yaitu:
a.       Memberikan obat yang benar
b.      Untuk pasien yang benar
c.       Dengan dosis yang benar
d.      Dengan cara yang benar
e.       Pada waktu yang benar
f.       Dengan indikasi yang benar, maka akan terlihat adanya banyak potensi kesalahan dalam proses tersebut.
      Juga terdapat banyak sekali titik tolok dalam proses pengobatan, dan begitu banyak orang yang terletak pada titik-titik tolok tersebut yang masing-masing mempunyai peran mendeteksi potensi kesalahan, mencegah, dan mendokumentasi setiap efek yang muncul sebagai konsekuensinya. Karena perawat bertanggung jawab memeberikan obat, maka merekalah yang biasanya menjadi titik tolak terakhir dan terpenting dalam sistem tersebut. Meskipun kesalahan dapat terjadi pada titik ini namun hal tersebut dapat juga dideteksi dan tentu saja dicegah.
a.       Kepatuhan
      Kepatuhan terjadi bila aturan pakai obat yang diresepkan serta pemberiannya di rumah sakit diikuti dengan benar. Jika terapi ini akan dilanjutkan setelah pasien pulang, penting agar pasien mengerti dan dapat meneruskan terapi itu dengan benar tanpa pengawasan. Ini terutama penting untuk penyakit-penyakit menahun, seperti asma,artritis rheumatoid, hipertensi, tuberkolosis paru, dan diabetes mellitus.
b.      Faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan
1)      kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan itu
2)      tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan prognosisnya
3)      sukarnya memperoleh obat itu di luar rumah sakit
4)      mahalnya harga obat
5)      kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga, yang mungkin bertanggung jawab atas pembelian atau pemberian obat itu kepada pasien.
      Kepatuhan dalam terapi pediatrik tergantung pengertian dan kerja sama orang tuanya. Pasien senile dan psikiatrik sering menjalankan terapi multipel dan karenanya keluarga pasien harus menyadari keoerluan obat itu bagi pasien itu. Teapi obat yang efektif dan aman hanya dapat dicapai bila pasien mengetahui seluk beluk pengobatan serta kegunaannya. Untuk ini, sebelum pasien pulang ke rumah, tim kesehatan harus yakin bahwa pasien mengetahui:
a.       nama dan kekuatan obatnya
b.      kegunaan obat itu
c.       jumlah obat untuk dosis tunggal
d.      jumlah total kali minum obat
e.       waktu obat itu harus diminum, misalnya berkaitan dengan makan
f.       untuk berapa hari obat itu harus diminum
g.      rute pemberian obat
h.      perhatian khusus yang diperlukan oleh rute pemberian, misalnya tetes mata, supositoria,

i.        tindakan apa yang harus diambil bila lupa minum obat, khususnya digoksin, terapi antikoagulan oral.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta. EGC.
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku saku patofisiologi Corwin. Egi Komara Yudha (et al). Jakarta: EGC.
Darmadi. (2008). Infeksi nosokomial: problematika dan pengendaliannya.  Jakarta: Salemba Medika
Deglin, Judith Hopfer. 2004. Pedoman obat untuk perawat. Jakarta: Monica Ester.
Ducel, G., Fabry, J.,& Nicolle, L. (2002). Prevention of hospital-acquired infections, A practical guide. 2nd edition. World Health Organization. Department of Communicable disease, Surveillance and Response.
Gabriel, J. F. (1996). Fisika kedokteran. Jakarta: EGC. Diperoleh pada 6 Februari 2012 dari www.books.google.co.id/books
Greundemann, Barbara J. (2005). Buku ajar keperawatan perioperatif. Vol. 1 prinsip. (Brahm U Pendit, et.al., penerjemah). Jakarta: EGC
Hence, grace. 2007. Med-math: perhitungan dosis, preparat, dan cara pemberian obat. Jakarta EGC
Herger, B.R. 2003. Asisten Keperawatan: Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Ed. 6. Jakarta: EGC
Johnson, Joyce Young. (2005). Prosedur perawatan di rumah: pedoman untuk perawat. Egi Komara Yudha, Sari Kurnianingsih (penerjemah). Jakarta: EGC.
Joyce L, Kee. (1996). Farmakologi Pendekatan Prosess Keperawatan. Jakarta : EGC.
Judith Hopfer, D. (2004). Pedoman Obat untuk Perawat. Jakarta : EGC.
Kee, Joyce L. (1996). Farmakologi: pendekatan proses keperawatan. Jakarta: EGC. Neal, Michael J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Penerjemah: dr. Juwalita Surapsari. Jakarta: Erlangga
Komalawati, Veronica. (2010) Community&Patient Safety Dalam Perspektif Hukum Kesehatan.
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2010). Asepsis. Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses dan praktek.Ed. 7. Vol 2. Jakarta: EGC
Lestari, Trisasi. Knteks Mikro dalam Implementasi Patient Safety: Delapan Langkah Untuk Mengembangkan Budaya Patient Safety. Buletin IHQN Vol II/Nomor.04/2006 Hal.1-3
Lukas, Stefanus. (2006). Formulasi steril. Ed.1. Yogyakarta: ANDI
Marison, Moya J. (2003). Manajemen luka. Florida, Monica Ester, sari kurnianingsih (penerjemah). Jakarta: EGC.
Nursalam dan Ninuk. 2007. Asuhan Keperawatn Pada Pasien Terinfeksi. Jakarta. Salemba Medika.
Pabuti, Aumas. (2011) Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien (KP) Rumah Sakit. Proceedings of expert lecture of  medical student of Block 21st of Andalas University, Indonesia
Panduang Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety). 2005
Potter, A. P & Perry, A. G. (2005). Fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Ed. 4. Vol. 1. (Renata Komalasari, penerjemah). Jakarta: EGC
Priharjo, Robert. 1995.  Teknik Dassar Penberian Obat Bago Perawat. Jakarta: EGC hal.9-11
Rochmanadji Widajat. (2009). Being a great ant sustainable hospital. Jakarta : Gramedia Pustaka
Suwarni, A. (2001). Studi Diskriptif Pola Upaya Penyehatan Lingkungan Hubungannya dengan Rerata Lama Hari Perawatan dan Kejadian Infeksi Nosokomial Studi Kasus: Penderita Pasca Bedah Rawat Inap di Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta Provinsi DIY Tahun 1999. Yogyakarta: Badan Litbang Kesehatan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
Tambayong,jan. (2001).Farmakologi untuk keperawatan.Jakarta.widya medika
Tietjen L, Bossemeyer D, & McIntosh N. 2004. Panduan pencegahan infeksi untuk fasilitas pelayanan kesehatan dengan sumber daya terbatas. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono prawirohardjo
Tim keselamatan Pasien RS RSUD Panembahan Senopati. Patient Safety.Yahya, Adib A. (2006) Konsep dan Program “Patient Safety”. Proceedings of  National Convention VI of The Hospital Quality Hotel Permata Bidakara, Bandung 14-15 November 2006.
Yahya, Adib A. (2007) Fraud & Patient Safety. Proceedings of  PAMJAKI meeting “Kecurangan (Fraud) dalam Jaminan/Asuransi Kesehatan” Hotel Bumi Karsa, Jakarta 13 December 2007. 

No comments:

Post a Comment

Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat