google adsense

Monday, August 7, 2017

Konsep Patient Safety

A.    Konsep Patient Safety
1.      Latar Belakang Patient Safety
      Keselamatan pasien adalah suatu system dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. System tersebut meliputi assasment resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengn pasien koma, pelaporan dan analisis accident, kemampuan belajar dari accident dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko (Dep Kes R.I, 2006).
      Hampir setiap tindakan medic menyimpan potensi resiko. Banyaknya jenis obat, jenis pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan staf Rumah Sakit yang cukup besar, merupakan hal yang potensial bagi terjadinya kesalahan medis (medical errors). Oleh karena itu, berbagai criteria yang mengacu pada keselamatan pasien di antaranya pasien terjatuh dari tempat tidur, pasien diberi obat salah, tidak ada obat/alat emergensi, tidak ada oksigen, tidak ada alat penyedot lender, dan tidak tersedia alat pemadam kebakaran.

2.      Pengertian Patient Safety
      Patient Safety atau keselamatan pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien di rumah sakit menjadi lebih aman. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
      Menurut IOM, Keselamatan Pasien (Patient Safety) didefinisikan sebagai freedom from accidental injury. Accidental injury disebabkan karena error yang meliputi kegagalan suatu perencanaan atau memakai rencana yang salah dalam mencapai tujuan. Accidental injury juga akibat dari melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission).
      Menurut National Health Performance Committee (NHPC, 2001, dikutip dari Australian Institute Health and Welfare (AIHW, 2009) mendefinisikan keselamatan pasien adalah menghindari atau mengurangi hingga ketingkat yang dapat diterima dari bahaya aktual atau risiko dari pelayanan kesehatan atau lingkungan di mnaa pelayanan kesehatan diberikan.
      Tujuan Patient Safety adalah sebagai berikut:
a.       Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS
b.      Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit thdp pasien dan masyarakat
c.       Menurunnya KTD di RS
d.      Terlaksananya program-program pencegahan shg tidak terjadi pengulangan KTD.

3.      Klasifikasi Kesalahan
      Kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis yang mengakibatkan cedra pada pasien. Kessalahan termasuk gagal melaksanakan sepenuhnya suatu rencana atau menggunakan rencana yang salah untuk mencapai tujuannya. Dapat akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission).
      Dalam dunia kedokteran, dikenal istilah reiko klinis (clinical risk), yang biasa terjadi sejak anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, dan terapi dengan obat-obatan (Rochmanadji Widajat, 2009).
      Elder dan Dovey (2002), Membuat sistim klasifikasi kesalahan dalam pelayanan kesehatan yang sesehatan yang seharusnya dapat di cegah terkait deengan pelayanan primer dan kesalahan dalam proses :
a.       Klasifikasi kesalahan pada pelayanan primer, meliputi;
1)      Terkait dengan diagnosis (salah mendiagnosis dan tertunda mendiagnosis)
2)      Pengobatan (salah obat, salah dosis, tertunda administrasi, tanpa administrasi), non obat (ketidaktepatan, terlambat, di hilangkan, komplikasi)

b.      Klasifikasi kesalahan pada proses
1)      Factor dokter (kesalahan penilaian klinis, kesalahan procedure keterampilan)
2)      Factor perawat (kesalahan komunikasi, dan kesalahan prosedur keterampilan)
3)      Kesalahan komunikasi (dokter-pasien, dokter-dokter atau sistim dan personil pelayanan kesehatan lainnya
4)      Factor administrasi (dokter, farmasi, perawat, terapi fisik, terapi pekerjaan, pengaturan kantor
5)      Factor akhir (pribadi dan masalah keluarga, dokter, perawat staf, peraturan perusahaan ansuransi, peraturan pemerintah, pembiayaan, fasilitas dan lokasi praktek, dan sistim umum pelayanan kesehatan.
      Menurut (AHRQ Publication No.04-RG005, Agency for Healthcare Research and Quality Desember 2003) masalah KTD bisa terjadi dikarenakan:
a.       Masalah komunikasi. Penyebab yang paling umum terjadi medical errors. Kegagalan komunikasi: verbal/tertulis, miskomunikasi antar staf, antar shif, informasi tidak didokumentasikan dengan baik/hilang, masalah-masalah komunikasi: tim layanan kesehatan di 1 lokasi, antar berbagai lokasi, antar tim layanan dengan pekerja non klinis, dan antar staf dengan pasien. Arus informasi yang tidak adekuat. Ketersediaan informasi yang kritis saat akan merumuskan keputusan penting, komunikasi tepat waktu dan dapat diandalkan saat pemberian hasil pemeriksaan yang kritis, koordinasi instruksi obat saat transfer antara unit, informasi penting tidak disertakan saat pasien ditransfer ke unit lain/dirujuk ke RS lain.
b.      Masalah SDM. Gagal mengikuti kebijakan, SOP dan proses-proses, dokumentasi suboptimal dan labelling spesimen yang buruk, kesalahan berbasis pengetahuan, staf tidak punya pengetahuan yang adekuat, untuk setiap pasien pada saat diperlukan Hal-hal yang berhubungan dengan pasien. Injdentifikasi pasien yang tidak tepat, asesmen pasien yang tidak lengkap, kegagalan memperoleh consent, pendidikan pasien yang tidak adekuat transfer pengetahuan di rumah sakit. Kekurangan pada orientasi atau training, tingkat pengetahuan staf untuk jalankan tugasnya.
c.       Kegagalan-kegagalan teknis. Kegagalan alat/perlengkapan: pompa infus, monitor. Komplikasi/kegagalan implants atau grafts. Instruksi tidak adekuat, peralatan dirancang secara buruk bisa sebabkan pasien cedera. Kegagalan alat tidak teridentifikasi secara tepat sebagai dasar cederanya pasien, dan diasumsikan staf yang buat salah. RCA yang lengkap, sering tampilkan kegagalan teknis, yang mula-mula tidak tampak, terjadi pada suatu KTD.
d.      Kebijakan dan prosedur yang tidak adekuat. Pedoman cara pelayanan dapat merupakan faktor penentu terjadinya banyak medical errors. Kegagalan dalam proses layanan dapat ditelusuri sebabnya pada buruknya dokumentasi, bahkan tidak ada pencatatan, atau SOP klinis yang adekuat.
      Menurut Chang, Schyve, Croteau, O’leary, dan Loeb (2005) menyatakan bahwa beberapa metode telah dikembangkan untuk menentukan dan mengklafikasi kesalahan medis, efek samping, dan lainnya terkait dengan konsep keselamatan pasien. Namun, metode-metode tersebut cendrung menjadi sempit dan terutama hanya berfokus pada bidang tertentu pelayanan kesehatan, sepert; kesalahan obat reaksi transfuse, perawatan primer, dan pelayanan keperawatan.
4.      Penyebab Kesalahan
a.       Sistem
      Kecelakaan lebih mungkin terjadi dalam beberapa jenis sistem. Ketika kesalahan terjadi, merupakan kegagalan dalam merancang sistem. Tujuh utama dalam desain sistem agar kecelakaan tidak terjadi dan jikapun kesalahan terjadi dapat meminimalkan kerusakan. Dalam sistem yang kompleks, salah satu komponen sistem dapat berinteraksi dengan beberapa komponen lain, kadang-kadang dalam cara yang tak terduga atau tak terlihat. Meskipun semua sistem memiliki banyak bagian yang berinteraksi, masalah muncul ketika salah satu bagian sistem melayani banyak fungsi, dan jika bagian sistem ini gagal, maka semua fungsi akan gagal juga. Sistem yang kompleks di tandai oleh spesialisasi dan keterkaitan menerima informasi secara tidak langsung., dan karena spesialisasi ada sedikit kemungkinan mengganti atau pemindahan personil atau sumber daya lainnya.
b.      Kondisi
      Meskipun keputusan manajerial yang baik diperlukan untuk keamanan dan produksi yang efisien, namun itu tidak cukup. Kebutuhan untuk memiliki peralatan yang tepat, terpelihara dengan baik dan dapat di andalkan, tenaga kerja yang terampil dan berpengetahuan, jadwal kerja yang masuk akal, pekerjaan yang di rancang dengan baik; panduan yang jelas pada kinerja yang di inginkan dan tidak di inginkan, dan sebagainya. Fakor-faktor seperti ini merupakan pelopor atau prasyarat untuk proses produksi yang aman. Setiap yang diberikan tidak jelas dapat memberi kontribusi kepada sejumlah besar tindakan yang tidak aman. Misalnya, personil yang kurang pelatihan, beban kerja tinggi, tekanan waktu berlebihan, persepsi yang tidak tepat tentang bahaya, atau kesulitan motivasi. Desain pekerjaan pemulihan dan penggunaan peralatan, prosedur operasional, jadwal kerja, dan sebagainya, semua faktor ini dalam proses produksi dapat di rancang dalam memperbaiki kondisi untuk lebih menjamin keselamatan.
c.       Manusia
      Faktor manusia didefinisikan sebagai studi tentang keterkaitan antara manusia, alat-alat yang mereka gunakan, dan lingkungan dimana mereka tinggal dan bekerja. Dalam konteks ini, pendekatan faktor manusia digunakan untuk mengetahui dimana dan mengapa sistem atau proses rusak.
d.      Teknologi
      Menurut Carstens (2008) salah satu penyebab kesalahan pada pelayanan kesehatan adalah persoalan teknologi. Untuk mendukung pengetahuan manajement dan pekerja pada layanan kesehatan agar mengurangi resiko kesalahan, meningkatkan keselamatan pasien, dan memperbaiki seluruh mutu pelayanan pasien diperlukan perbaikan teknologi. Carstens memperkenalkan model teknologi model teknologi yang dapat mengurangi kesalahan dalam pelayanan kesehatan, dengan nama SHELL model; Software (prosedur, kebijakan/paraturan, Regulasi), Hardware (Bahan, peralatan, fasilitas), Environment (Fisik, Ekonomi, Politik), Liveware/Worker (Pembatasan Fisik, keterbatasan Mental, Pengetahuan/skill, Sikap) dan Liverware/Teamwork (Komunikasi, Kepemimpinan, Norma Kelompok).
e.       Factor lain yang berkontribusi terhadap terhadap kesalahan.
1)      Tindakan yang tidak tepat
      Masalah keselamatan pasien dari berbagai jenis terjadi selama pelayanan kesehatan berlangsung. Termasuk kesalahan transfusi dan efek samping obat, salah operasi dan luka bedah,pengendalian terkait cedera atau kematian, infeksi terkait perawatan rumah sakit, jatuh, luka bakar, ulkus dicubitus, dan kesalahan indentitas pasien. Leape, Lucian, Lawthers, Brennan, Troyen (1993 di kutip dari IOM, 2000) menyebutkan ciri jenis kesalahan yang mengakibatkan cedera; 1) Diagnostik; Tidak menerapkan pemeriksaan yang sesuai, menggunakan cara pemeriksaan yang sudah tidak dipakai, tidak bertindak atas hasil pemeriksaan atau observasi. 2) Pengobatan; Kesalahan pada prosedur pengobatan, kesalahan pada pelaksanaan terapi, kesalahan metode penggunaan obat, keterlambatan merespon hasil pemeriksaan, asuhan yang tidak layak. 3) Pencegahan; tidak memberikan terapi provilaktik, monitor dan follow up yang tidak adekuat. 4) Lain-lain; kegagalan komunikasi, kegagalan peralatan, dan sistem lain.
2)      Kesalahan obat
      Memastikan penggunaan obat yang sesuai merupakan proses yang kompleks melibatkan beberapa organisasi dan para profesional dari berbagai disiplin ilmu, misalnya; pengetahuan obat, akses yang tepat terhadap informasi obat, pasien yang akurat, dosis yang tepat, cara yang benar, kegagalan untuk memberikan obat yang di resepkan dan serangkaian keputusan yang saling terkait selama periode waktu pengobatan. Pasien juga membuat kesalahan dalam masalah obat, khususnya pada pasien atau masyarakat yang mengalami perawatan jangka panjang, dan mengalami ketergantungan lebih besar pada terapi obat yang kompleks. Kesalahan obat sering dapat di cegah, meskipun untuk mengurangi kesalahan pada tingkat signifikan memerlukan beberapa intervensi.

5.      Beban akibat kesalahan dalam pelayanan kesehatan
      Menurut IOM (2000) selain konsekuensi kesehatan yang tidak menguntungkan yang diderita oleh banyak orang sebagai akibat kesalahan medis, ada biaya langsung dan tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat secara keseluruhan sebagai akibat kesalahan medis. Beberapa kesalahan  dalam tindakan pelayanan  kesehatan antara lain:
a.       Aspek Ekonomi
      Biaya langsung merujuk kepada pelayanan kesehatan lanjutan yang membutuhkan pengeluaran biaya yang lebih tinggi. sedangkan biaya tidak langsung meliputi faktor-faktor:
1)    hilangnya produktivitas.
2)    Pemborosan biaya karena kecacatan
3)    Biaya perawatan pribadi
b.      Aspek Sosial dan Psikologi
1)      Bagi Pasien
a)      Mempengaruhi keluarga pasien
b)      Produktivitas pasien akan berkurang
c)      Hilangnya kualitas hidup
d)     Depresi
e)      Traumatik
f)       Meningkatkan ketakutan mereka akibat kesalahan dalam penggunaan pelayanan kesehatan di masa depan.
2)      Bagi pemberi pelayanan kesehatan
a)      Mereka merasa kesal dan bersalah telah merugikan pasien
b)      Kecewa tentang kegagalan dalam menerapkan standar mereka sendiri.
c)      Takut akan digugat
d)     Cemas terhadap reputasi mereka dampak dari kesalahannya.(Gallagher, waterman & Ebers, 2003)
e)      Perawat dan dokter memiliki  pergolakan emosional akibat melakukan kesalahan, yang menyebabkan sulit untuk tidur, kesulitan berkonsentrasi dan kecemasan sampai harus meminta bantuan atau mencari konseling.
      Untuk mencegah hal ini terjadi, maka perlu dilakukan hal-hal sebagia berikut, antara lain:
a.       Bayar untuk kinerja
      Membayar kompensasi kinerja sistem link ke ukuran kualitas kerja atau tujuan. Pada tahun 2005 , 75 persen dari semua perusahaan-perusahaan AS menghubungkan setidaknya sebagian dari gaji karyawan untuk ukuran kinerja, dan dalam perawatan kesehatan, lebih dari 100 program pilot swasta dan federal sedang dilakukan. Metode terbaru dari pembayaran kesehatan dapat benar-benar menghargai kurang-aman perawatan, karena beberapa perusahaan asuransi tidak akan membayar untuk praktek-praktek baru untuk mengurangi kesalahan, sementara dokter dan rumah sakit dapat menagih untuk layanan tambahan yang diperlukan ketika pasien terluka oleh kesalahan. Namun , penelitian awal menunjukkan keuntungan sedikit dalam kualitas untuk uang yang dihabiskan, serta bukti yang menunjukkan konsekuensi yang tidak diinginkan, seperti menghindari pasien berisiko tinggi, ketika pembayaran itu terkait dengan perbaikan hasil. Lembaga 2006 dari laporan Kedokteran Mencegah Kesalahan Pengobatan direkomendasikan "insentif ... sehingga profitabilitas rumah sakit, klinik, apotek, perusahaan asuransi, dan produsen adalah selaras dengan tujuan keselamatan pasien untuk memperkuat kasus bisnis untuk kualitas dan keamanan ". Ada minat internasional yang luas dalam perawatan kesehatan bayar-untuk-kinerja program di berbagai negara, termasuk Inggris, Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jerman, yang Belanda, dan Selandia Baru.
b.      Pembayaran untuk koordinasi perawatan yang lebih baik antara rumah, rumah sakit dan kantor untuk pasien dengan penyakit kronis. Pada April 2005, CMS meluncurkan pertama berbasis nilai percontohan pembelian atau "demonstrasi" proyek-tiga tahun Medicare Dokter Praktek Grup (PGP) Demonstrasi. Proyek ini melibatkan sepuluh besar, praktek dokter multi-khusus merawat lebih dari 200.000 Medicare fee-for-service penerima manfaat. Praktek yang berpartisipasi akan fase dalam standar kualitas untuk layanan pencegahan dan pengelolaan penyakit kronis umum seperti diabetes. Praktek memenuhi standar ini akan memenuhi syarat untuk hadiah dari tabungan karena mengakibatkan perbaikan dalam manajemen pasien. Laporan Evaluasi Pertama masuk kongres tahun 2006 menunjukkan bahwa model tersebut dihargai berkualitas tinggi, efisien penyediaan pelayanan kesehatan, tetapi kurangnya muka pembayaran untuk investasi dalam sistem baru pengelolaan kasus "telah dibuat untuk masa depan yang pasti dengan menghormati setiap pembayaran berdasarkan demonstrasi ".
c.       Satu set dari 10 tindakan rumah sakit kualitas yang, jika dilaporkan ke CMS, akan meningkatkan pembayaran bahwa rumah sakit menerima debit untuk masing-masing. Pada tahun ketiga demonstrasi, mereka rumah sakit yang tidak memenuhi ambang batas pada kualitas akan dikenakan pengurangan pembayaran. Data awal dari tahun kedua penelitian menunjukkan bahwa bayar untuk kinerja dikaitkan dengan peningkatan 2,5% menjadi 4,0% secara kasar sesuai dengan ukuran kualitas, dibandingkan dengan rumah sakit kontrol. Dr Arnold Epstein dari Harvard School of Public Health berkomentar dalam sebuah editorial yang membayar-untuk-kinerja "pada dasarnya merupakan suatu eksperimen sosial cenderung hanya memiliki nilai tambahan sederhana." konsekuensi yang tidak diinginkan dari beberapa tindakan rumah sakit umum dilaporkan kualitas telah terpengaruh perawatan pasien. Persyaratan untuk memberikan dosis antibiotik pertama di gawat darurat dalam waktu 4 jam, jika pasien menderita pneumonia, telah menyebabkan peningkatan pneumonia misdiagnosis.
d.      Hadiah untuk dokter untuk meningkatkan hasil kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi kesehatan dalam perawatan pasien Medicare sakit kronis.
e.       Disinsentif: The Bantuan Pajak & Kesehatan Perawatan UU tahun 2006 diperlukan HHS Inspektur Jenderal untuk mempelajari cara-cara yang Medicare pembayaran kepada rumah sakit dapat diperoleh kembali untuk "tidak pernah peristiwa", seperti yang didefinisikan oleh Forum Mutu Nasional ., termasuk infeksi rumah sakit Pada Agustus 2007, CMS mengumumkan bahwa pihaknya akan menghentikan pembayaran kepada rumah sakit untuk beberapa dampak negatif perawatan yang mengakibatkan cedera, sakit atau kematian. Aturan ini, efektif Oktober 2008, akan mengurangi pembayaran rumah sakit untuk delapan jenis serius insiden dicegah: objek meninggalkan pada pasien selama operasi, darah reaksi transfusi , emboli udara , jatuh, mediastinitis , infeksi saluran kemih dari kateter , ulkus tekanan , dan sepsis dari kateter. Pelaporan "tidak pernah peristiwa" dan penciptaan tolok ukur kinerja untuk rumah sakit juga diamanatkan. Lain pembayar kesehatan swasta sedang mempertimbangkan tindakan semacam itu;. Pada tahun 2005, HealthPartners, perusahaan asuransi kesehatan Minnesota, memilih untuk tidak menutupi 27 jenis "tidak pernah peristiwa" ] Para Grup Leapfrog telah mengumumkan bahwa akan bekerja sama dengan rumah sakit, rencana kesehatan dan kelompok konsumen untuk mengadvokasi mengurangi pembayaran untuk "tidak pernah peristiwa", dan akan mengenali rumah sakit yang setuju untuk langkah-langkah tertentu ketika peristiwa buruk yang berat dapat dihindari terjadi dalam fasilitas tersebut, termasuk memberitahukan kepada pasien dan organisasi keselamatan pasien , dan waiving biaya. kelompok Dokter yang terlibat dalam pengelolaan komplikasi, seperti Infectious Diseases Society of America, telah menyuarakan keberatan terhadap usulan-usulan ini, mengamati bahwa "beberapa pasien mengalami infeksi meskipun penerapan semua praktik berbasis bukti dikenal untuk menghindari infeksi", dan bahwa respon hukuman dapat mencegah lebih lanjut belajar dan memperlambat perbaikan dramatis yang telah dibuat.

6.      Indikator Keselamatan Pasien
      The Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ, 2007) mendefinisikan The Patient Safety Indicators (PSIs) adalah seperangkat tindakan untuk mencegah efek samping pada pasien sebagai akibat dari pajanan terhadap sistem pelayanan kesehatan. AHRQ (2007), membagi indikator PSIs pada dua tingkat: Provider- Level Indicators dan Area-Level Indicators.
a.       Provider-Level Indicators memberi ukuran pencegahan yang dapat dilakukan terhadap risiko komplikasi untuk pasien yang menerima perawatan awal dan komplikasi perawata di rumah sakit. Indikator ini hanya mencakup kasus-kasus dimana sebuah diagnosis sekunder merupakan resiko komplikasi yang dapat dicegah. Indikator ini meliputi :
1)      Insiden tertusuk atau luka
2)      trauma jalan lahir
3)      trauma neonatal
4)      komplikasi anastesi
5)      ulkus dekubitus
6)      kegagalan untuk penyelamatan kehidupan
7)      pneumotoraks iatrogenik
8)      trauma vagina dengn instrumen
9)      trauma vagina tanpa instrumen
10)  trauma bedah cesar
11)  pasca operasi fraktur
12)  perdarahan atau hematoma pasca operasi
13)  perawatan luka pasca operasi
14)  gangguan metabolic dan fisiologis pasca opersi
15)  kegagalan pernafasan pasca operasi
16)  emboli paru pasca operasi atau deep vein trombosis
17)  sepsis pasca operasi
18)  infeksi dalam perawatan medis
19)  reaksi transfusi
b.      area – level indicator
      Mengukur semua kasus resiko komplikasi yang dapat dicegah yang terjadi di daerah tertentu (misalnya wilayah metropolitan atau wilayah rural) baik pada saat rawat inap atau atau akibat setelah rawat inap. Indikator ini ditetapkan termasuk untuk diagnosis utama seta diagnosis sekunder yang dapat menyebabkan komplikasi dalam perawatan. Spesifikasi ini dapat mengetahui kasus-kasus dimana pasien beresiko terjadi komplikasi dirumah sakit terpisah atau berbeda-beda. Indikator ini meliputi :
1)      insiden tertusuk atau luka
2)      pneumotoraks iatrogenic
3)      perawata luka pasca operasi
4)      infeksi dalam perawatan medis
5)      reaksi transfuse
      WHO (2007) memperkenalkan tata cara penanganan untuk menjaga keselamatan pasien yang dikenal dengan nine patient safety solutions:
a.    Melihat melihat sama, menyebut sama tentang nama obat
b.    identifikasi pasien dengan benar
c.    komunikasi saat pasien saat  berpindah tangan
d.   benar prosedur, banar bagian tubuh
e.    kontrol konsentrasi cairan dan elektrolit
f.     ketelitian pengobatan saat peralihan parawatan
g.    menghindari kateter dan selang tersumbat atau tidak tersambung
h.    penggunaan alat suntuk sekali pakai
i.      menjaga kebersihan tangan untuk pencegahan infeksi 

7.      Isu keselamatan psien dalam pelayanan keperawatan
      Rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan modern adalah suatu organisasi yang sangat komplek karena padat modal, padat tehnologi, padat karya, padat profesi, padat sistem, dan padat mutu serta padat resiko sehingga tidak mengejutkan bila kejadian tidak diinginkan (KTD = adverse event) akan sering terjadi dan akan berakibat pada terjadinya injuri atau kematian pada pasien.
      Menurut laporan dari Institute of Medicine (IOM) (1999); To err is human, building a safer health system; di Amerika Serikat diproyeksikan terjadi 44.000 sampai dengan 98.000 kematian setiap tahun akibat dari medical error yang sebenarnya dapat dicegah, angka ini hampir empat kali lipat dari kematian akibat kecelakaan lalulintas.
      Secara umum isu-isu yang dibahas dalam konferensi International Society for Quality in healthcare di Vancouver (ISQua) di kota Vancouver, Kanada.adalah sebagai berikut:
a.       Pada tingkat sistem mikro pelayanan:
1)      Digunakan tools untuk menjamin patient safety, antara lain: untuk incident management: Root Cause Analysis, dan untuk Risk assessment: FMEA, dan Risk-effect analysis
2)      Kelengkapan patient record and kesepakatan istilah diagnosis dari praktisi dokter perawat dan petugas kesehatan lain
3)      Evidence based decision making among clinicians
4)      Clinical Practice Appraisal: CPA harus menjadi kebijakan organisasi, CPA berfokus pada key professional practice dan memerlukan adanya specific actions melalui: utilization review, assessment of risk, assessment of care by disease/health problems.
5)      Pengalaman dari Thailand menyarankan untuk accept and deal with case of adverse events, understand & improve tha care of clinical professions, dan integrate all relevant system dalam mengupayakan patient safety.
6)      Perlu disediakan decision support system oleh organisasi



b.      Pada tingkat organisasi
1)      Perlu adanya kejelasan visi dan tujuan untuk mengupayakan patient safety
2)      Perlu kebijakan dan strategi untuk patient safety
3)      Perlu adanya adverse event/error reporting system
4)      Perlu dikembangkannya no blame culture
5)      Perlu diterapkannya learning organization
6)      Perlu dipertimbangkan reward for performance (meskipun terjadi perdebatan apakan reward akan meningkatkan performance/mutu atau justru sebaliknya)
7)      Perlu ketersedian informasi melalui IT sebagai decision support system. Pengembangan sistem pencatatan/perekaman medik secara elektronik (penelitian di US menunjukkan bahwa kelengkapan informasi secara manual dan elektronik tidak berbeda, tetapi penggunaan informasi cenderung tinggi pada sistem yang berbasis elektronik)
8)      Dalam melakukan pengukuran dengan indikator klinis perlu diperhatikan pendekatan sebagai berikut: pilih leading indicators, condition-specific aggregate, dan comprehensiveness dari pengukuran dimana patient sebagai unit analisis (pengalaman dari Ontario: dari 2000 indikator yang diusulkan dikurangi menjadi 27 indikator yang disepakati dan akan digunakan bersama antar rumah sakit)
9)      Perlu dilakukan link antara pengukuran dan strategi
10)  Disadari adanya masalah pada pengukuran yaitu bias terutama akibat tidak jelasnya definisi operasional dari denominator, dan penggunaan istilah-istilah medis yang berbeda antar praktis.

c.       Pada Konteks Lingkungan
1)      Patient safety menjadi isu penting dalam regulasi (khususnya: akreditasi): standar yang digunakan untuk penilaian eksternal diperbaiki dengan memasukkan patient safety dalam standar akreditasi, perlu dilakukan integrasi antara external evaluation dari berbagai badan dengan akreditasi (ACHS:EQuIP versi 4, JCAHO, CCHSA)
2)      Terjadi perubahan paradigma dan tujuan akreditasi (JCAHO) terutama: harus mengkaitkan compliance excellent performance, perubahan dari process focus menjadi patient centered. JCAHO melakukan reduksi standar yang semula mencakup seluruh aspek pelayanan menjadi standar-standar yang really matter (termasuk di dalamnya adalah patient safety)
3)      Kejelasan kerangka hukum (legal framework) tentang patient safety (adverse event) dan tort (negligence). Pengalaman beberapa negara maju (AS, UK, NZ, Australia) ternyata bahwa adanya reformasi dalam tort law (yang bersifat detterence, bagaimana kompensasi dan corrective justice) mengarah pada reducing size and risk of judgement akan tetapi belum mengarah pada patient safety. Komunikasi dengan pasien dan keluarga pasien kalau terjadi adverse event maupun negligence yang berupa permintaan maaf umumnya yang diharapkan oleh pasien sedangkan yang mengajukan tuntutan lewat peradilan hanya sekitar 6 %.
4)      Perlu adanya kebijakan nasional bahkan kebijakan global yang mendukung patient safety, dan lembaga yang mempunyai kepedulian terhadap patient safety, sebagaimana di Jerman dibentuk pada tahun 2003 task force Patient safety and Error Prevention yang bernaung dibawah Germany Agency for Quality in Medicine.
5)      Sistem pelaporan terhadap adanya adverse event maupun critical incident perlu dikembangkan di masing-masing negara, mulai dari level organisasi, antar organisasi, regional dan nasional, sebagaimana di AS yang dilakukan oleh JCAHO.
6)      Perlu disusun indikator pengukuran yang jelas terhadap pelayanan klinis dan pelayanan pendukung, termasuk financial dan administrasi manajemen sebagai sistem pendukung, siapa yang mengumpulkan, bagaimanana cara dan periode pengumpulannya, siapa yang menganalisis dan bagaimana periode analisis, bagaimana pelaporannya.

7)      Dalam konteks lingkungan isu utama (JCAHO) adalah bagaimana mengembangkan budaya patient safety, bagaimana melakukan reformasi pendidikan tenaga profesi kesehatan, bagaimana pembiayaan untuk mendisain sistem, dan bagaimana system medical liability (legal aspect). Masing-masing negara perlu melakukan intervensi yang bersifat segera maupun yang bersifat intermediate.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta. EGC.
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku saku patofisiologi Corwin. Egi Komara Yudha (et al). Jakarta: EGC.
Darmadi. (2008). Infeksi nosokomial: problematika dan pengendaliannya.  Jakarta: Salemba Medika
Deglin, Judith Hopfer. 2004. Pedoman obat untuk perawat. Jakarta: Monica Ester.
Ducel, G., Fabry, J.,& Nicolle, L. (2002). Prevention of hospital-acquired infections, A practical guide. 2nd edition. World Health Organization. Department of Communicable disease, Surveillance and Response.
Gabriel, J. F. (1996). Fisika kedokteran. Jakarta: EGC. Diperoleh pada 6 Februari 2012 dari www.books.google.co.id/books
Greundemann, Barbara J. (2005). Buku ajar keperawatan perioperatif. Vol. 1 prinsip. (Brahm U Pendit, et.al., penerjemah). Jakarta: EGC
Hence, grace. 2007. Med-math: perhitungan dosis, preparat, dan cara pemberian obat. Jakarta EGC
Herger, B.R. 2003. Asisten Keperawatan: Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Ed. 6. Jakarta: EGC
Johnson, Joyce Young. (2005). Prosedur perawatan di rumah: pedoman untuk perawat. Egi Komara Yudha, Sari Kurnianingsih (penerjemah). Jakarta: EGC.
Joyce L, Kee. (1996). Farmakologi Pendekatan Prosess Keperawatan. Jakarta : EGC.
Judith Hopfer, D. (2004). Pedoman Obat untuk Perawat. Jakarta : EGC.
Kee, Joyce L. (1996). Farmakologi: pendekatan proses keperawatan. Jakarta: EGC. Neal, Michael J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Penerjemah: dr. Juwalita Surapsari. Jakarta: Erlangga
Komalawati, Veronica. (2010) Community&Patient Safety Dalam Perspektif Hukum Kesehatan.
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2010). Asepsis. Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses dan praktek.Ed. 7. Vol 2. Jakarta: EGC
Lestari, Trisasi. Knteks Mikro dalam Implementasi Patient Safety: Delapan Langkah Untuk Mengembangkan Budaya Patient Safety. Buletin IHQN Vol II/Nomor.04/2006 Hal.1-3
Lukas, Stefanus. (2006). Formulasi steril. Ed.1. Yogyakarta: ANDI
Marison, Moya J. (2003). Manajemen luka. Florida, Monica Ester, sari kurnianingsih (penerjemah). Jakarta: EGC.
Nursalam dan Ninuk. 2007. Asuhan Keperawatn Pada Pasien Terinfeksi. Jakarta. Salemba Medika.
Pabuti, Aumas. (2011) Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien (KP) Rumah Sakit. Proceedings of expert lecture of  medical student of Block 21st of Andalas University, Indonesia
Panduang Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety). 2005
Potter, A. P & Perry, A. G. (2005). Fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Ed. 4. Vol. 1. (Renata Komalasari, penerjemah). Jakarta: EGC
Priharjo, Robert. 1995.  Teknik Dassar Penberian Obat Bago Perawat. Jakarta: EGC hal.9-11
Rochmanadji Widajat. (2009). Being a great ant sustainable hospital. Jakarta : Gramedia Pustaka
Suwarni, A. (2001). Studi Diskriptif Pola Upaya Penyehatan Lingkungan Hubungannya dengan Rerata Lama Hari Perawatan dan Kejadian Infeksi Nosokomial Studi Kasus: Penderita Pasca Bedah Rawat Inap di Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta Provinsi DIY Tahun 1999. Yogyakarta: Badan Litbang Kesehatan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
Tambayong,jan. (2001).Farmakologi untuk keperawatan.Jakarta.widya medika
Tietjen L, Bossemeyer D, & McIntosh N. 2004. Panduan pencegahan infeksi untuk fasilitas pelayanan kesehatan dengan sumber daya terbatas. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono prawirohardjo
Tim keselamatan Pasien RS RSUD Panembahan Senopati. Patient Safety.Yahya, Adib A. (2006) Konsep dan Program “Patient Safety”. Proceedings of  National Convention VI of The Hospital Quality Hotel Permata Bidakara, Bandung 14-15 November 2006.
Yahya, Adib A. (2007) Fraud & Patient Safety. Proceedings of  PAMJAKI meeting “Kecurangan (Fraud) dalam Jaminan/Asuransi Kesehatan” Hotel Bumi Karsa, Jakarta 13 December 2007. 

No comments:

Post a Comment

Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat