google adsense

Monday, August 7, 2017

KONSEP NYERI

A.    Konsep Nyeri
1.      Pengertian nyeri
Nyeri dapat digambarkan sebagai “suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah atau berpotensi terjadi, atau dijelaskan berdasarkan kerusakan tersebut” (Internasional Association for the Study of Pain [IASP] Task Force, 1994, dalam buku Price, 2005, p.1063).
Sedangkan menurut Kozier et.al (2010, p.689) nyeri adalah keadaan yang sangat tidak menyenangkan dan merupakan sensasi yang sangat personal yang tidak dapat dibagi dengan orang lain. Nyeri dapat memenuhi pikiran seseorang, mengarahkan semua aktivitas dan mengubah kehidupan seseorang. Namun nyeri adalh konsep yang sulit dikomunikasikan oleh seorang klien. Seorang perawat tidak dapat merasakan ataupun melihat nyeri yang dialami klien.

2.      Jenis-jenis nyeri
Berdasarkan durasinya nyeri dapat diklasifikasikan sebagai akut atau kronik. Karakter nyeri dapat bervariasi sesuai lokasi atau sumber, misalnya apakah nyeri melibatkan struktur somatik superfisial (kulit), struktur somati dalam, visera atau kerusakan pada sistem Sistem Saraf Pusat (SSP) atau Sistem Saraf Tepi (SST).
a.       Nyeri akut versus nyeri kronik
Nyeri akut dan nyeri kronik adalah dua tipe nyeri yang berbeda cukup signifikan. Nyeri akut merupakan nyeri yang awitannya mendadak dan bersifat sementara yang biasanya berlangsung singkat atau kurang dari 6 bulan. Biasanya nyeri akut ini akan mereda setelah dilakukannya intervensi atau pengobatan. Sebagai contoh, jari yang tertusuk biasanya sembuh dengan cepat, dengan nyeri yang hilang dengan cepat, barangkali beberapa detik atau beberapa menit.
Sedangkan nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung terus menerus, dan sering berlangsung selama 6 bulan atau lebih. Nyeri kronik juga merupakan nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik sangat sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan, mempermudah, atau memperhebat nyeri kronik. Pertama, bisa jadi karena mungkin pasien memang memiliki penyakit yang secara khas menimbulkan nyeri seperti artritis, kanker, atau migren. Kedua, mungkin ada faktor penguat secara neural dan somatik yang dicetuskan oleh penyakit organik dan dapat terus terjadi walaupun penyakit sudah sembuh. Contohnya ialah rusaknya saraf sensorik. Ketiga, bisa jadi karena kondisi psikologis yang buruk dapat menimbulkan atau bahkan memperparah nyeri tersebut (Harrison, 1999, p.65).
Untuk lebih memudahkan kita dalam membedakan antara nyeri akut dan nyeri kronik ini mari kita lihat tabel berikut.
Tabel 2.1 Karakteristik nyeri akut dan nyeri kronik.
Karakteristik
Nyeri Akut
Nyeri Kronik
Awitan dan durasi
Awitan mendadak, durasi singkat, <6 bulan.
Awitan bertahap, menetap, >6 bulan
Intensitas
Sedang sampai parah
Sedang sampai parah
Kausa
Spesifik; dapat diidentifikasi secara biologis
Kausa mungkin jelas, mungkin tidak
Respons Fisiologik
Hiperaktivitas autonom yang diperkirakan: meningkatnya tekanan darah, nadi, dan napas; dilatasi pupil; kepucatan; perspirasi; mual dan/atau muntah.
Aktivitas autonom normal
Respon emosi atau perilaku
Cemas; tidak mampu berkonsentrasi, gelisah, mengalami distres tetapi optimis bahwa nyeri akan hilang.
Depresi dan kelelahan, immobilitas atau inaktivitas fisik, menarik diri dari lingkungan sosial, tidak melihat harapan akan kesembuhan, memperkirakan nyeri akan berlangsung lama
Respon terhadap analgesik
Meredakan nyeri secara efektif.
Sering kurang dapat meredakan nyeri.
(Priece, 2005, p.1074)
Adapun efek yang membahayakan dari nyeri akut dan kronik yaitu:
1)        Nyeri akut. Tanpa melihat sifat, pola atau penyebab nyeri, nyeri yang tidak diatasi secara adekuat mempunyai efek yang membahayakan diluar ketidaknyamanan yang disebabkannya. Selain merasakan ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri akut yang tidak reda dapat mempengaruhi sistem pulmonari, kardiovaskular, gastrointestinal, endokrin, dan immunologik (Yeager dkk., 1987; Benedetti dkk., 1984, dalam buku Smeltzer & Bare, 2001, p.214).
2)        Nyeri kronik. Sama seperti halnya nyeri akut yang mempunyai efek negatif, nyeri kronis juga mempunyai efek yang merugikan. Supresi fungsi imun yang berkaitan dengan nyeri kronis dapat meningkatkan pertumbuhan tumor. Dan nyeri kronis sering mengakibatkan depresi dan ketidak mampuan. Misalnya ketidakmampuan melakukan atau melanjutkan aktivitas (Smeltzer & Bare, 2001, 214).


b.      Nyeri somatik superfisial (kulit)
Nyeri kulit berasal dari struktur-struktur superfisial kulit dan jaringan subkutis. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri di kulit dapat berupa rangsangan mekanis, suhu, kimiawi atau listrik. Apabila hanya kulit yang terlibat, nyeri sering dirasakan sebagai menyengat, tajam, mengiris, atau seperti terbakar; tetapi apabila pembuluh darah ikut berperan akan menimbulkan nyeri, sifat nyeri menjadi berdenyut.
Kulit memiliki banyak saraf sensorik sehingga kerusakan di kulit menimbulkan sensi yang lokasinya lebih akurat dan presisi yang lebih luas dibandingkan dibagian tubuh yang lain.

c.       Nyeri somatik dalam
Nyeri somatik dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan arteri. Struktur-struktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri sering tidak jelas. Nyeri dirasakan lebih difus dari pada nyeri kulit dan cenderung menyebar ke daerah di sekitarnya. Nyeri dari berbagai struktur dalam berbeda. Nyeri akibat suatu cedera akut pada sendi memiliki lokalisasi yang dan biasanya dirasakan sebagai rasa tertusuk, terbakar, atau berdenyut. Pada peradangan kronik sendi (artritis), yang dirasakan adalah nyeri pegal tumpul yang disertai seperti tertusuk apabila sendi bergerak. Nyeri tulang berasal dari stimulasi reseptor nyeri di periosteum dan lokalisasinya relatif kurang jelas, nyeri ini sering dirasakan sebagai rasa pegal tumpul atau linu. Nyeri otot rangka juga memiliki lokalisasi yang kurang jelas dan dirasakan sebagai rasa pegal tumpul atau keram. Nyeri otot rangka akan terasa menghebat saat otot berkontraksi dalam keadaan iskemia.

d.      Nyeri viseral
Nyeri visera mengacu kepada nyeri yang berasal dari organ-organ tubuh. Reseptor nyeri visera lebih jarang dibandingkan dengan reseptor nyeri somatik dan terletak di dinding otot polos organ-organ berongga (lambung, kandung empedu, saluran empedu, ureter, dan kandung kemih) dan di kapsul organ-organ pada (hati, pankreas, dan ginjal). Mekanisme utama yang menimbulkan nyeri visera adalah peragangan atau distensi abnormal dinding atau kapsul organ, iskemia, dan peradangan.
Nyeri visera sangatlah tidak menyenangkan tidak saja karena adanya komponen efektif, yang juga dimiliki oleh nyeri lain tetapi juga karena banyak aferen visera yang dirangsang oleh proses yang sama yang menimbulkan nyeri memiliki koneksi refleks yang memicu mual, muntah, berkeringat, perubahan tekanan darah, dan efek autonom lainnya.


e.       Nyeri alih
Nyeri alih didefinisikan sebagai nyeri yang berasal dari salah satu daerah di tubuh tetapi dirasakan didaerah lain. Nyeri visera sering dialihkan ke dermatom (daerah kulit) yang dipersarafi oleh segmen medula spinalis yang sama dengan viskus yang nyeri tersebut.

Gambar 2.1 Tempat-tempat nyeri alih umum yang berasal dari organ visera. C-nervus spinalis servicalis, T-torasikus, L-lumbalis, S-sakralis, Co-kosigeus.



















 Tabel 2.2 Pola umum nyeri alih
Tempat patologi visera atau rangsangan yang mengganggu
Daerah permukaan nyeri alih
Diafragma
Dermatom C3-C5: nyeri di daerah bahu atau leher ipsilateral.
Jantung
Dermatom C3-T5: nyeri substernum yang menyebar ke punggung, ke bawah ke bagian dalam lengan (biasanya kiri), dan kadang-kadang leher dan rahang.
Hati-kandung empedu
Dermatom T5-T9: nyeri di batas kosta kanan yang menyebar ke punggung atau bahu kanan.
Lambung
Dermatom T7-T9: nyeri epigastrium.
Apendiks-usus halus
Dermatom T9-T11: nyeri periumbilikus.
Prostat
Dermatom T10-T12: nyeri periumbilikus dan lipat paha, kadang-kadang menyebar ke skrotum dan penis.
Ovarium
Dermatom T10: nyeri periumbilikus.
Ureter
Dermatom  L1-L2: nyeri di lipat paha dan bagian dalam paha.
Uterus
Dermatom S1-S2: nyeri di atas sakrum.
Rektum
Dermatom S2-S4: nyeri punggung bawah yang menyebar ke bagian posterior paha dan betis.

Saat ini, penjelasan yang paling luas diterima tentang nyeri alih adalah teori konvergensi proyeksi (Fields, Martin, 2001, dalam buku Price 2005, p.1076). Menurut teori ini dua tipe aferen yang masuk ke segmen spinal (satu dari kulit dan satu dari struktur otot dalam atau visera) berkonvergensi ke sel-sel proyeksi sensorik yang sama (mis., sel  proyeksi spinotalamikus). Contoh nyeri alih dijumpai pada tahap-tahap awal apendisitis akut (Price, 2005, p.1074-1079).

f.       Nyeri neuropatik
Sistem saraf secara normal menyalurkan rangsangan yang merugikan SST ke SSP yang menimbulkan perasaan nyeri. Dengan demikian lesi di SST atau SSP dapat menyebabkan gangguan atau hilangnya sensasi nyeri yang masing-masing disebut hipalgesia dan analgesia. Nyeri neuropatik berasal dari saraf perifer di sepanjang perjalanannya atau dari SSP karen gangguan fungsi, tanpa melibatkan eksitasi reseptor nyeri spesifik (nosiseptor) (Price, 2005, p.1077-1078).
Sistem saraf normal mentransmisikan sinyal tertentu yang menyebabkan nyeri. Maka lesi diperifer atau susunan saraf pusat dapat menyebabkan hilangnya atau terganggunya sensasi nyeri. Berlawanan dengan itu, kerusakan atau disfungsi sitem saraf dapat menyebabkan nyeri. Sebagai contoh, kerusakan saraf perifer seperti yang terjadi pada neuropati diabetik atau pada aferen primer seperti yang terjadi pada herpes zoster dapat menyebabkan nyeri yang dialihkan ke bagian tubuh yang diinervasi oleh saraf yang mengalami kerusakan itu. Meskipun  jarang, nyeri juga dihasilkan oleh kerusakan susunan saraf pusat, terutama jaras spinotalamik atau talamus. Nyeri neuropatik sering sedemikian hebat dan tidak teratasi dengan pengobatan nyeri standar.
Nyeeri neuropatik secara tipikal mempunyai kualitas seperti terbakar, kesemutan atau tersengat listrik dan dapat ditimbulkan hanya dengan sentuhan yang sangat ringan. Gambaran seperti ini jarang ditemukan pada tipe nyeri yang lain. Pada pemeriksaan, defisit sensorik secara khas dijumpai pada daerah nyeri.
Berbagai mekanisme mendukung terjadinya nyeri neuropatik. Aferen primer yang rusak, termasuk nosiseptor menjadi sangat sensitif terhadap stimulasi mekanisme dan mulai menimbulkan hantaran energi dari neuron ke neuron lainnya (impuls) tanpa adanya rangsangan. Aferen primer yang rusak juga dapat menyebabkan sensitivitas terhadap norepinefrin yang dilepaskan oleh neuron pasca ganglion simpatik. Hal yang menarik adalah neuron transmisi nyeri spinal yang tidak dapat menerima masukan normalnya dapat menjadi aktif secara spontan. Maka baik perubahan sistem saraf pusat maupun perifer dapat menyebabkan terjadinya nyeri neuropatik (Harison, 1999, p.63).

3.      Sifat nyeri
Nyeri adalah sensasi subjektif rasa tidak nyaman yang biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. Nyeri dapat bersifat protektif, yaitu dengan menyebabkan individu menjauhi suatu rangsangan yang berbahaya atau tidak memiliki fungsi, seperti pada nyeri kronik. Nyeri dirasakan apabila reseptor-reseptor nyeri spesifik teraktivasi. Nyeri dijelaskan secara subjektif dan objektif berdasarkan lama, durasi, kecepatan sensasi, dan letak(Corwin, 2000, p.222-223). Begitu pula dengan pendapat Kozier (2010, p.689) yang menyatakan bahwa nyeri sangat ebrsifat subjekktif dan individual dan bahwa nyeri merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh yang menandakan adanya masalah. Nyeri yang tidak ditangani menyebabkan bahaya fisiologis dan psikologis bagi kesehatan dan penyembuhannya.
Nyeri telah digolongkan ke dalam tiga jenis utama yaitu: tertusuk, terbakar dan pegal. Istilah lain yang digunakan untuk melukiskan berbagai jenis nyeri termasuk nyeri berdenyut, nyeri memualkan, nyeri kejang, nyeri tajam, nyeri listrik, dan lain sebagainya, kebanyakan sudah diketahui oleh hampir setiap orang.
a.         Nyeri tertusuk dirasakan bila suatu jarum ditusukkan ke dalam kulit, atau bila kulit dipotong dengan pisau. Ia juga sering dirasakan bila daerah kulit yang luas mengalami iritasi kuat.
b.        Nyeri terbakar adalah seperti yang dinyatakan oleh namanya, jenis nyeri yang dirasakan bila kulit terbakar, ia dapat nyeri sekali dan merupakan jenis nyeri yang paling mungkin menyebabkan penderitaan.
c.         Nyeri pegal tidak dirasakan dipermukaan tubuh, tetapi malahan merupakan suatu nyeri dalam dengan berbagai tingkat gangguan. Pegal dengan intensitas rendah didaerah tubuh yang tersebar luas dapat bersatu menjadi suatu sensai yang sangat tidak enak.
Nyeri tertusuk disebabkan oleh perangsangan serabut nyeri jenis A delta, sedangkan nyeri terbakar dan pegal disebabkan oleh perangsangan serabut jenis C yang lebih primitif (Guyton, 1990, p.443).

4.      Neurofisiologi nyeri
a.         Proses fisiologi
Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri: transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi (Kozier, 2010, p. 692-693).
1)   Transduksi
Merupakan proses di mana suatu rangsang nyeri (noxious stimuli) diubah menjadi suatu aktifitas listrik, yang akan diterima oleh ujung-ujung saraf (nerve endings). Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik, suhu, ataupun kimia.
Dengan kata lain transduksi adalah proses rangsangan yang mengganggu menyebabkan depolarisasi mosiseptor dan stimulus nyeri. Salah satu kemungkinan transduksi adalah pengaktivan nosiseptor oleh zat-zat kimia penghasil nyeri yang dibebaskan di tempat cidera jaringan.
Berbeda dengan sebaian besar sensorik lain, reseptor nyeri sangat sedikit atau sama sekali tidak beradaptasi. Dengan rangsangan yang mengganggu dan berkepanjangan, kerusakan jaringan atau peradangan , reseptor nyeri malah semakin peka, disebut hiperalgesia, disertai penurunan ambang nyeri.

2)      Transmisi
Penyaluran impuls melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.

3)      Modulasi
Proses dimana terjadi interaksi antara sistem analgesilk endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Jadi merupakan proses desendern yang dikontrol oleh otak seseorang. Analgesik endogen ini meliputi endorfin, serotonin, dan noradrenalin yang memiliki kemampuan menekan asupan nyeri pada kornu posterior. Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup atau terbuka dalam menyalurkan asupan nyeri. Peristiwa terbuka dan tertutupnya pintu gerbang tersebut diperankan oleh sistem analgesic endogen di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat pribadi dan subjektif pada setiap orang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pendidikan, atensi, serta makna atau arti dari suatu rangsang.
.
4)      Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

b.        Modifikasi Nyeri
Woolf dan Salter (2000) mengidentifikasi 3 tingkatan tempat informasi saraf yang dapat dimodifikasi sebagai respons terhadap nyeri kronik:
1)      Luas dan durasi respon terhadap stimulus di sumbernya dapat dimodifikasi.
2)      Perubahan kimiawi dapat terjadi di dalam setiap neuron atau bahkan dapat menyebabkan perubahan pada karakteristik anatomi neuron-neuron ini atau neuron di sepanjang jalur penghantar nyeri.
3)      Pemanjangan stimulus dapat menyebabkan modulasi neurotransmitter yang mengendalikan arus informasi dari neuron ke reseptor-reseptornya.
Yang dan Wuu (2001) menjelaskan semua perubahan dapat menyebabkan perubahan jangka panjang dalam konektivitas dan organisasi sel-sel saraf, yang menghasilkan ingatan nyeri. Hal ini dibuktikan oleh perosesan saraf sentral dapat mengubah reseptor dan keluaran kimiawi sehingga individu dapat merasakan sensasi nyeri yang menetap, walaupun stimulasi saraf nyeri berkurang atau bahkan tidak ada (Paye, Gonzales, 1999).

c.         Resepsi
Adanya stimulus yang mengenai tubuh (mekanik, termal, kimia) akan menyebabkan pelepasan substansi kimia seperti histamin, bradikinin, kalium. Substansi tersebut menyebabkan nosiseptor bereaksi, apabila nosiseptor mencapai ambang nyeri, maka akan timbul impuls syaraf yang akan dibawa oleh serabut saraf perifer. Serabut syaraf perifer yang akan membawa impuls syaraf ada dua jenis, yaitu serabut A-delta dan serabut C.
Impuls syaraf akan di bawa sepanjang serabut syaraf sampai ke kornu dorsalis medulla spinalis. Impuls syaraf tersebut akan menyebabkan kornu dorsalis melepaskan neurotrasmiter (substansi P). Substansi P ini menyebabkan transmisi sinapis dari saraf perifer ke saraf traktus spinotalamus.
Hal ini memungkinkan impuls syaraf ditransmisikan lebih jauh ke dalam system saraf pusat. Setelah impuls syaraf sampai di otak, otak mengolah impuls syaraf kemudian akan timbul respon reflek protektif.
Proses ini akan berjalan jika system saraf perifer dan medulla spinalis utuh atau berfungsi normal. Ada beberapa factor yang menggangu proses resepsi nyeri, diantaranya sebagai berikut:
1)        Trauma
2)        Obat-obatan
3)        Pertumbuhan tumor


4)        Gangguan metabolic (penyakit diabetes mellitus)
Ada dua tipe serabut saraf perifer, yaitu:
1)        Serabut saraf A-delta :
Ciri-ciri dari serabut saraf A-delta ini ialah:
a)        Merupakan serabut bermyelin
b)        Mengirimkan pesan secara cepat
c)        Menghantarkan sensasi yang tajam, jelas sumber dan lokasi nyerinya
d)       Reseptor berupa ujung-ujung saraf bebas di kulit dan struktur dalam seperti , otot tendon dan lain-lain
e)        Biasanya sering ada pada injury akut
f)         Diameternya besar


2)        Serabut saraf C
Ciri-ciri dari serabut saraf C ini ialah:
a)        Tidak bermyelin
b)        Diameternya sangat kecil
c)        Lambat dalam menghantarkan impuls
d)       Lokasinya jarang, biasanya dipermukaan dan impulsnya bersifat persisten
e)        Menghantarkan sensasi berupa sentuhan, getaran, suhu hangat, dan tekanan halus
f)         Reseptor terletak distruktur permukaan.

5.      Teori pengontrolan nyeri (Gate Control Theory)
Pada tahun 1964, Melzack dan Wall menciptakan teori pengendalian gerbang yang menjelaskan variasi persepsi nyeri terhadap stimulasi yang identik. Prinsip dasar teori ini adalah sebagai berikut.
a.       Baik serat sensori bermielin besar (L) yang membawa informasi mengenai rasa raba dan propriosepsi dari perifer kecil (S) yang membawa informasi mengenai nyeri menyetu di kornu dorsalis medula spinalis.
b.      Transmisi impuls saraf dari serat-serat aferen ke sel-sel transmisi (T) medula spinalis di kornu dorsalis dimodifikasi oleh suatu mekanisme gerbang di sel-sel substansia gelatinosa. Apabila gerbang tertutup, impuls nyeri tidak dapat diteruskan. Apabila gerbang terbuka atau sedikit terbuka, impuls nyeri merangsang sel T di kornu dorsalis dan kemudian naik melalui medula spinalis ke otak, tempat impuls tersebut dirasakan sebagai nyeri.

c.       Mekanisme gerbang spinal dipengaruhi oleh jumlah relatif aktivitas di serat aferen primer berdiameter besar (L) dan berdiameter kecil (S). Aktivitas di serat besar cenderung menghambat transmisi nyeri (menutup gerbang), sedangkan aktivitas di serat kecil cenderung mempermudah transmisi nyeri (membuka gerbang). Aferen berdiameter besar merangsang neuron-neuron substansia gelatinosa inhibitorik sehingga input ke sel T berkurang sehingga nyeri dihambat. Sebaliknya, aktivitas di serat berdiameter kecil menghambat sel-sel substansia gelatinosa inhibitorik sehingga terjadi peningkatan transmisi dari aferen primer ke sel T dan karenanya meningkatkan intensitas nyeri.
d.      Mekanisme gerbang spinal dipengaruhi oleh impuls saraf  yang turun dari otak. Aspekmekanisme ini didasarkan oleh banyaknya faktor psikologik yang diketahui memengaruhi nyeri dan pada fakta bahwa kornu dorsalis medula spinalis dipengaruhi oleh beberapa jalur yang turun dari otak.
e.       Apabila keluaran dari sel-sel T medula spinalis melebihi suatu ambang kritis, terjadi pengaktivan “sistem aksi” untuk perasaan dan respon nyeri. Apabila pengaktivan ini terjadi, input sensorik akan disaring dan aktivitas sensorik dan afektif yang berkelanjutan terjadi di tingkat SSP.
Secara singkat, penyetelan gerbang, dan karenanya seberapa mudah informasi yang menimbulkan nyeri melewati gerbang, bergantung pada keseimbangan aktivitas di serat berdiameter besar dan kecil dan di serat yang turun dari pusat-pusat yang lebih tinggi.
Teori pengendalian gerbang untuk nyeri menjelaskan mengapa pemijatan suatu bagian yang nyeri setelah suatu cedera dapat menghilangkan nyeri, karena aktivitas di serat-serat besar dirangsang oleh tindakan ini, sehingga gerbang untuk aktivitas serat  berdiameter kecil (nyeri) tertutup.

6.      Persepsi nyeri
Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Stimulus nyeri ditransmisi naik ke medulla spinalis ke thalamus dan otak tengah. Dari thalamus, serabut mentranmisi pesan nyeri ke berbagai area otak, termasuk korteks sensori dan korteks asosiasi (di kedua lobus parietalis), lobus frontalis, dan sistem limbic (Paice, 1991 dalam Potter & Perry, 2005, p. 1508). Ada sel-sel di dalam sistem limbic yang diyakini mengontrol emosi, khususnya untuk ansietas. Dengan demikian, sistem limbic berperan aktif dalam memroses reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah transmisi saraf berakhir di dalam pusat otak yang lebih tinggi, maka individu akan mempersepsikan sensasi nyeri. (Potter & Perry. 2005, p. 1508)
Pada saat individu menjadi sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang kompleks. Factor-faktor psikologis dan kognitif berinteraksi dengan factor-faktor neurofisiologis dalam mempersepsikan nyeri. Persepsi menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu senhingga kemudian individu dapat bereaksi. (Potter & Perry. 2005, p. 1508)
Meinhart dan McCaffery (1983) dalam Potter dan Perry (2005, p. 1508) menjelaskan tiga sistem interaksi persepsi nyeri sebagai berikut:
a.       Sensori- diskriminatif
1)        Transmisi nyeri terjadi antara thalamus dan korteks sensori
2)        Seorang individu mempersepsikan lokasi, keparahan, dan karakter nyeri.
3)        Factor-faktor yang meningkatkan kesadaran terhadap stimulus (mis, ansietas, gangguan tidur) meningkatkan persepsi nyeri.

b.      Motivasi Afektif
1)      Interaksi antara pembentukan sistem reticular dan sistem limbic menghasikan persepsi nyeri
2)      Pembentukan reticular menghasilkan respon pertahanan, menyebabkan individu menginterupsi atau menghindari stimulus nyeri
3)        Sistim limbic mengontrol respon emosi dan kemampuan yaitu kopping nyeri.

c.       Kognitif- Evaluatif
1)      Pusat kortikal yang lebih tinggi di otak mempengaruhi persepsi
2)      Kebudayaan, pengalaman dengan nyeri, dan emosi mempengaruhi evaluasi terhadap pengalaman nyeri
3)      Sistem ini membantu seseorang untuk menginterpretasikan intensitas dan kualitas nyeri sehingga dapat melakukan suatu tindakan.

7.      Reaksi Nyeri
Meskipun ambang untuk merasakan nyeri tetap sama pada setiap orang, tingkat reaksi orang terhadap nyeri sangat berbeda, juga intensitas isyarat nyeri yang dihantarkan menuju medulla spinalis ke berbagai area reseptor nyeri di dalam otak dapat beubah secara signifikan pada berbagau keadaan. Ini terutama akibata berbagai aktivitas sistemyang menghambat nyeri di dalam medulla spinalis dan di dalam otak. (Guyton,1990)
Menurut Potter & Perry (2005), reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisiologis dan respon perilaku yang terjadi setelah mempersepsikan nyeri.
a.       Respon Fisiologis
Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai respon dari stress. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri yang superficial menimbulkan reaksi “flight-atau-fight”, yang merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan respon fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus menerus, berat, atau dalam, dan secara tipikal melibatkan organ-organ visceral (seperti nyeri pada infark miokard, kolik akibat kandung empedu atau batu ginjal), sistem saraf parasimpatis menghasilkan suatu aksi. Respon fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan individu. Kecuali pada kasus-kasus nyeri traumatik yang berat, yang menyebabkan individu mengalami syok, kebanyakan individu mencapai tingkat adaptasi, yaitu tanda-tanda fisik kembali normal. Dengan demikian, klien yang mengalami nyeri tidak akan selalu memperlihatkan tanda-tanda fisik (Potter & Perry, 2005).

Tabel 2.3 Reaksi Psikologis terhadap nyeri
Respon
Penyebab atau Efek
Stimulasi Simpatik (nyeri dengan intensitas ringan sampai moderat dan nyeri superficial)
Dilatasi saluran bronkiolus dan peningkatan frekuensi pernapasan
Menyebabkan peningkatan asupan oksigen
Peningkatan frekuensi denyut jantung
Menyebabkan peningkatan transport oksigen
Vasokontriksi perifer (pucat, peningkatan tekanan darah)
Meningkatkan tekanan darah disertai perpindahan suplai darah dari perifer dan visera ke otot-otot skelet dan otak
Peningkatan kadar glukosa darah
Menghasilkan energy tambahan
Diaphoresis
Mengontrol suhu tubuh selama stress
Peningkatan ketegangan otot
Mempersiapkan otot untuk melakukan aksi
Dilatasi pupil
Memungkinkan penglihatan yang lebih baik
Penurunan motilitas saluran cerna
Membebaskan energy untuk melakukan aktivitas dengan lebih cepat.
Stimulasi Parasimpatik (nyeri yang berat dan dalam)
Pucat
Menyebabkan suplai darah berpindah dari perifer
Ketegangan otot
Akibat keletihan
Penurunan denyut jantung dan tekanan darah
Akibat stimulasi vagal
Pernapasan yang cepat dan tidak teratur
Menyebabkan pertahanan tubuh gagal akibat stress nyeri yang terlalu lama
Mual dan muntah
Mengembalikan fungsi saluran cerna
Kelemahan atau keletihan
Ekibat pengeluaran energy fisik

b.      Respon Perilaku
Pada saat nyeri dirasakan, pada saat itu juga dimulai suatu siklus, yang apabila tidak diobati atau tidak dilakukan upaya untuk menghilangkannya, dapat mengubah kualitas kehidupan individu secara bermakna. Mahon (1994) dalam Potter & Perry (2005, p. 1509), mencatat bahwa nyeri dapat memiliki sifat yang mendominasi, yang mengganggu kemampuan individu berhubungan dengan orang lain dan merawat diri sendiri. (Potter & Perry. 2005)
Meinhart dan McCaffery (1983) dalam potter & Perry (2005, p. 1509) mendeskripsikan tiga fase pengalaman nyeri, yaitu:
1)        Antisipasi
Fase antisipasi terjadi sebelum mempersepsikan nyeri. Seorang individu mengetahui nyeri akan terjadi. Fase antisipasi mungkin merupakan fase yang paling penting, karena fase tersebut dapat mempengaruhi dua fase yang lain.

2)      Sensasi
Sensasi nyeri terjadi ketika merasakan nyeri. Individu bereaksi terhadap nyeri dengan cara yang berbeda-beda. Toleransi individu terhadap nyeri merupakan titik yaitu dimana terdapat suatu ketidakinginan untuk menerima nyeri dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama. Toleransi bergantung pada sikap, motivasi, dan nilai yang diyakini seseorang.

3)      Fase Akibat (aftermath)
Fase akibat (aftermath) nyeri dapat terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti. Bahkan walaupun sumber nyeri dikontrol, seorang pasien  mungkin masih memerlukan perhatian perawat. Nyeri merupakan suatu krisis. Setelah mengalami nyeri, klien mungkin memperlihatkan gejala-gejala fisik, seperti menggigil, mual, muntah, marah, atau depresi. Jika pasien mengalami serangkaian episode nyeri yang berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat membantu klien memperoleh control dan harga diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan pengalaman nyeri.




8.      Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
a.       Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

b.      Jenis Kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya.
c.       Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri. (misal, suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri).

d.      Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman/ persepsi seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
e.       Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990) perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

f.       Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.

g.      Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap individu yang menderita penyakit jangka lama.

h.      Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

i.        Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.

j.        Support keluarga dan social
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan dan perlindungan.


9.      Skala perhitungan nyeri
Menurut smeltzer dan Bare (2002) ada beberapa skala perhitungan nyeri yaitu:
a.       Verbal Descriptor Scale (VSD)

Gambar 2.2 Skala Pendeskripsi verbal

Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri.

b.      Visual Analog Scale (VAS)

Gambar 2.3 Visual Analog Scale
 


VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka.



c.       Numeric Rating Scale (NRS)

Gambar 2.4 Skala penilaian numerik

Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).

d.      Faces Rating Scale (FRS)



Gambar 2.5 Faces rating scale
 


Keterangan :
0       : Tidak nyeri
1-3    : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-5    : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat      menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
6-7    : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
8-9    : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
10     : Nyeri  paling berat : Pasien sudah tidak mampu lagi bergerak.

10.  Proses Keperawatan Nyeri
a.    Pengkajian
1)      Intensitas nyeri
Individu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada skala verbal( mis; tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri hebat, atau sangat hebat; atau 0-10: 0 = tidak ada nyeri, 10 =nyeri sangat hebat (Potter & Perry, 2005).
2)      Karakteristik nyeri
a)      Lokasi
Untuk mengkaji lokasi nyeri, perawat meminta klien untuk menunjukkan semua daerah yang dirasa tidak nyaman. untuk melokalisasi nyeri dengan lebih spesifik, perawat kemudian meminta klien melacak daerah nyeri dari titik yang paling nyeri. hal ini sulit dilakukan jika nyeri bersifat difus, meliputi beberapa tempa, atau melibatkan segmen terbesar tubuh (Potter & Perry, 2005).
b)      Keparahan
Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang, atau parah. namun makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. dari waktu kewaktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan  (Potter & Perry, 2005).
c)      Awitan dan durasi
(1)     Kapan nyeri mulai dirasakan?
(2)     Sudah berapa lama nyeri di rasakan?
(3)     Apakah nyeri yang dirasa terjadi pada waktu yang sama setiap hari?
(4)     Seberapa sering nyeri kembali kambuh?
d)     Irama
Misalnya; terus menerus, hilang timbul, periode bertambah dan berkurangnya intensitas atau keberadaan dari nyeri (Potter & Perry, 2005).


e)      Kualitas
Misalnya; nyeri seperti ditusuk, terbakar, sakit, nyeri seperti digencet. klien mampu mendeskripsikan sensasi yag dirasakannya coba untuk pengkajian yang lebih akurat, dengan perawat mengajukan pertanyaan yang terbuka “coba jelaskan pada saya seperti apa nyeri yang anda rasakan (seperti menusuk, terbakar dan sakit)” (Potter & Perry, 2005).
f)       Pola nyeri
Perawat meminta klien untuk mendeskripsikan aktivitas yang menyebabkan nyeri, seperti gerakan fisik, meminum kopi atau urinasi. perawat juga meminta klien unutk mendemonstrasikan aktivitas yang menimbulkan respons nyeri misalnya batu atau membalikkan tubuh dengan cara tertentu (Potter & Perry, 2005).
g)      Tindakan untuk menghilangkan nyeri
Manfaat apabila perawat mengetahui apakah klien mempunyai cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri, seperti mengubah posisi, melakukan tindakan ritual (melangkah, berayun-ayun, menggosok) makan, meditasi atau mengompres bagian yang nyeri dengan kompres dingin maupun kompres yang hangat (Potter & Perry, 2005).


h)      Gejala penyerta
Gejala penyerta adalah gejala yang sering kali menyertai nyeri misalnya, mual, nyeri kepala, pusing, keinginan untuk miksi, konstipasi dan gelisah. gejala penyerta memerlukan prioritas penanganan yang sama penting dengan nyeri itu sendiri (Potter & Perry, 2005).

3)      Faktor-faktor yang meredakan nyeri
Misalnya gerakan, kurang bergerak, pergerahan tenaga, istirahat, obat-obat bebas. dan apa yang di percaya pasien dapat membantu mengatasi nyerinya. banyak orang yang mempunyai ide-ide tertentu tentang apa yang menghilangkan nyerinya. prilaku ini sering di dasarkan pada pengalaman atau trial and error (Potter & Perry, 2005).

4)      Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari
Misalnya; tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja dan aktivitas-aktivitas santai. nyeri akut sering berkait dengan ansietas dan nyeri kronik dengan depresi .
Pada kasus nyeri akibat kanker, nyeri menyebabkan penderitaan, kehilangan control dan kerusakan kualitas kehidupan sepanjang proses perawatan klien, bahkan pada klien yang kondisinya stabil dan angka kehidupannya panjang (Potter & Perry, 2005).
a)      Tanda dan gejala fisik
Tanda fisiologis dapat menunjukan nyeri pada klien yang berupaya unutk tidak mengeluh atau mengakui ketidanyamanan. saat awitan nyeri akut, denyut jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernafasan meningkat. perawat membandingkan tanda-tanda vital dengan nilai dasar yang tercatat sebelum awitan nyeri (Potter & Perry, 2005).

b)      Efek perilaku
Banyak klien yang tidak mampu mengungkapkan secara verbal mengenai ketidaknyamanan. merintih, mendengkur dan menangis merupakan contoh vokalisasi yang digunakan untuk mengekspresikan nyeri. vokalisasi tertentu dapat keluar dengan spontan tanpa peringatan sebelumnya . ekspresi wajah atau gerakan tubuh bahkan  tidak terlalu kentara seringkali menunjukkan karakteristik nyeri daripada pertanyaan yang akurat.

c)      Pengaruh pada aktivitas sehari-hari
Perawat menanyakan klien apakah nyeri mengganggu tidurnya. klien mungkin menemukan kesulitan untuk dapat jatuh tidur,. pil tidur atau obat-obatan yang lain mungkin diperlukan untuk membntu klien untuk dapat jatuh tidur. nyeri dapat membangunkan klien selama malam hari dan membuat klien sulit untuk kembali tidur. klien dapat mengalami kesulitan dalam melakukan tindakan hygiene normal, tergantung lokasi nyeri. nyeri mengganggu kemampuan untuk mempertahankan hubungan seksual normal. perawat mengkaji pekerjaan yang klien lakukan dan kemampuan unutk berfungsi dalam pekerjaan sehari-hari (Potter & Perry, 2005).

d)     Kekhawatiran individu tentang nyeri
Kekhawatiran individu tentang nyeri dapat meliputi dari berbagai masalah yang luas, seperti beban ekonomi, prognosis, pengaruh terhadap peran dan perubahan citra diri. (potter & Perry, 2005)

e)      Ekspresi nyeri klien
Perawat harus mempelajari cara verbal dan non verbal klien dalam mengkomunikasikan rasa ketidaknyamanan. Meringis, menekuk salah satu bagian tubuh dan postur tubuh yang tidak lazim merupakan contoh ekpresi nyeri secara nonverbal.




f)       Klasifikasi pengalaman nyeri
Akan sangat membantu, apabila anda mengetahui fase nyeri yang klien alami. Perawat mengkaji apakah nyeri yang dirasakan klien adalah akut atau kronik. Apabila akut maka dibutuhkan pengkajian rinci tentang karakteristik nyeri. Apabila kronik, perawat menetukan apakah waktu berlangsung nyeri tersebut berkala, persisten atau terbatas (Potter & Perry, 2005).

g)      Status neurologis
Fungsi neurologis klien lebih mudah mempangaruhi pengalaman nyeri. setiap faktor yang mengganggu atau mempengaruhi persepsi yang normal mempengaruhi kesadaran dan respon klien terhadap nyeri. Beberapa terapi mempengaruhi persepsi dan respons nyeri. anlgesik, sedative damn anstetik mendepresi system saraf pusat. Seorang klien yang mengalami cedera medulla spinalis, kemungkinan kurang merasakan nyeri daripada klien yang mempunyai fungsi neurologis normal (Potter & Perry, 2005).

REFERENSI

Corwin, E. J. 2000. Buku saku patofisiologi. (Brahm U. Pendit, et. al., Penerjemah). Jakarta: EGC.
Guyton, A. C. 1990. Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit. (Petrus Andrianto, Penerjemah).  Jakarta: EGC.
Harrison. 1999. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. (Ahmad H. Asdie, Penerjemah). Jakarta: EGC.
Kozier, B. et al. 2010. Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Vol.2. (Pamilih Eko K., et. al., Penerjemah). Jakarta: EGC.
Potter, A. Patricia, Perry, A. Griffin. 2005. Fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Ed.4 Vol.2. (Renata Komalasari, Penerjemah). Jakarta: EGC.
Price, S. A. 2005. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. (Brahm U. Pendit, et. al., Penerjemah). Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzane C. 2001. Buku ajar keperawatan medikal-bedah Brunner & Suddarth. (Agung Waluyo, et. al., Penerjemah). Jakarta: EGC.
b.    Diagnosa dan rencana asuhan keperawatan pada pasien nyeri
Tabel 2.4 Diagnosa dan intervensi keperawatan pada pasien nyeri




RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN NYERI
Intervensi keperawatan
Rasional
Hasil yang diharapkan
Diagnosa Keperawatan : Nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan cedera fisik
Tujuan : Nyeri dan ketidaknyamanan reda atau penurunan dalam intensitas nyeri dan  ketidaknyamanan
1.    Yakinkan pasien bahwa anda mengetahui nyeri yang dialami pasien nyata dan akan membantunya dalam menghadap nyeri tersebut
2.    Gunakan skala pengkajian nyeri untuk mengidentifikasi intensitas nyeri dan ketidaknyamanan
3.    Kaji dan catat nyeri dan karakteristiknya: lokasi, kualitas, frekuensi dan durasi
4.    Berikan analgesik sesuai yang diresepkan untuk meningkatkan peredaan nyeri yang optimal
5.    Berikan kembali skala pengkajian nyeri
6.    Catat keparahan nyeri pasien pada bagan
7.    Identifikasi dan dorong pasien untuk menggunakan strategi yang menunjukkan keberhasilan pada nyeri sebelumnya
8.    Ajarkan pasien strategi tambahan untuk meredakan nyeri dan ketidaknyamanan : distraksi, relaksasi, stimulus kutaneus
9.    Instruksikan pasien dan keluarga tentang potensi efek samping analgesik dan pencegahan serta penatalaksanaannya
1.    Ketakutan bahwa nyeri akan tidak dapat diterima seperti peningkatan ketegangan dan ansietas yang nyata dan menurunkan toleransi nyeri.
2.    Berikan nilai dasar untuk mengkaji perubahan dalam tingkat nyeri dan mengevaluasi intervensi.
3.    Data membantu mengevaluasi nyeri dan peredaan nyeri serta mengidentifikasi sumber-sumber multiple dan jenis nyeri.
4.    Analgesik lebih efektif diberikan pada awal siklus nyeri.
5.    Memungkinkan pengkajian terhadap keefektifan analgesik dan mengidentifikasi kebutuhan terhadap tindak lanjut bila tidak efektif.
6.    Membantu dalam menunjukkan kebutuha analgesik tambahan atau pendekatan alternatif terhadap penatalaksanaan nyeri.
7.    Mendorong penggunaan strategi peredaan nyeri yang familiar dan dapat diterima oleh pasien.
8.    Menggunakan strategi ini sejalan dengan analgesia dapat menghasilkan peredaan yang lebih efektif.
9.    Mengantisipasi dan mencegah efek samping memampukan pasien untuk melanjutakan penggunaan analgesiktanpa gangguan karna efek samping.
1.   Melaporkan peredaan nyeri yang diterima secara nyata dan bahwa pasien akan mendapat bantuan dalam meredakan nyeri.
2.   Melaporkan intensitas nyeri dan ketidaknyamanan nyeri menurun setelah interfensi digunakan.
3.   Melaporkan lebih sedikit gangguan dan ketidaknyamanan akibat nyeri setelah pengguna interfensi.
4.   Menerima medikasi nyeri sesuai yang diresepkan
5.   Menunjukkan tanda-htanda nyeri fisik dan perilaku dalam nyeri akut (tidak merengut, menagis, waspada terhadap lingkungan sekitar, ikut serta dalam peristiwa atau aktifitas).
6.   Mengidentifikasi keefektifan strategi peredaan nyeri.
7.   Memperagakan penggunaan strategi baru untuk meredakan nyeri dan melaporkan kefektifannya.
8.   Mengalami efek samping minimal dari analgesia tanpa gangguan untuk mengatasi efek samping.

Diagnosa Keperawatan : Potensi koping tidak efektif yang berhubungan dengan antisipasi dan stres dari nyeri
Tujuan : Meningkatkan keefektifan koping
Intervensi Keperawatan
Rasional
Hasil yang diharapkan
1.    Kaji strategi koping dan faktor-faktor yang menghasilkan koping tidak efektif
2.    Ajarkan pasien cara yang sesuai dan aman untuk menggunakan analgesik
3.    Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan menggunakan strategi koping yang efektif
4.    Bantu pasien untuk merencanakan dan ikut serta dalam aktifitas
1.    Memberikan dasar untuk mengkaji intervensi dan memungkinkan pasien dan pemberi perawatan kesehatan untuk mengidentifikasi faktor-faktor  yang menggangu koping yang efektif.
2.    Memberikan pasien suatu alternatif dan strategi koping yang aman
3.    Pengandalan yang sebelumnya pada strategi kopingyang tidak lagi efektif ayau kurang efektif menunjukkan kebutuhan akan bantuan dalam mengidentifikasi strategi yang efektif
4.    Memberikan distraksi untuk pasien dan membantu pasien yang mungkin sudah mengurangi partisipasi dalam aktifitas untuk kembali terlibat
1.    Mengidentifikasi strategi koping yang efektif dan tidak efektif
2.    Memperagakan penggunaan strategi yang efektif
3.    Menghindar strategi koping yang destruktif (merokok, agresi, penyalahgunaan alkohol dan obat-obat)
4.    Menjelaskan penggunaan analgesik yang aman dan sesuai
5.    Menggunakan analgesik dengan aman dan tepat
6.    Menyebutkan efek samping analgesik dan peredaan nyeri yang adekuat
7.    Menunjukkan tidak adanya efek samping analgesik dan peredaan nyeri yang adekuat
8.    Melaporkan penurunan ketergantungan pada analgesik
9.    Melaporkan peredaan nyeri dengan analgesik yang kurang potensi
10.                  Secara verbal menghargai pentingnya strategi koping pbaru yang lebih efektif
11.                  Ikut serta dalam aktifitas pekerjaan, sosial dan keluarga
12.                  Menunjukan kesadaran tentang kejadian dan lingkungan
13.                  Melaporkan kemampuan untuk tidur dan istirahat
14.                  Melaporkan tidak terlalu dibebani oleh nyeri
15.                  Mengubah tentang topik selain dari pengalaman nyerinya sendiri
16.                  Melaporkan bahwa gaya hidup masih sesuai dan dapat diterima bagi pasien

No comments:

Post a Comment

Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat