google adsense

Monday, August 7, 2017

Asuhan Keperawatan Lansia dengan Imobilitas Dan Intoleransi Aktivitas

A.  Asuhan Keperawatan Lansia dengan Imobilitas Dan Intoleransi Aktivitas
1.    Pengertian
Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan kemandirian bagi seseorang. Mempertahankan mobilitas sangat penting untuk kesehatan mental dan fisik semua lansia (Stanly & Bare, 2000). Gangguan mobilisasi fisik (imobilisasi) didefinisikan oleh North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu keadaan ketika individu mengalami atau berisiko mangalami keterbatasan gerak fisik(Potter & Perry, 2005).
Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas, dan imobilisasi mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas. Mobilisasi dan imobilisasi berada pada suatu rentang dengan banyak tinkatan imobilisasi parsial di antaranya. Beberapa klien mengalami kemunduran dan selanjutnya berada di antara rentang mobilisasi-imobilisasi, tetapi pada klien lain, berada pada kondisi imobilisasi mutlak dan berlanjut sampai jangka waktu tidak terbatas ( Potter & Perry, 2005).
Intoleransi aktivitas merupakan kondisi terjadinya penurunan kapasitas fisiologi seseorang untuk mempertahankan aktivitas sampai tingkat yang diinginkan (Somantri, 2007). Diagnosis keperawatan hambatan mobilitas fisik, potensial syndrome disue, dan intoleransi aktivitas memberikan definisi imobilisasi yang lebih luas. Potensial sindrome disuse adalah keadaan seseorang yang berisiko untuk mengalami kerusakan system tubuh sebagai akibat dari krtidakaktivan musculoskeletal yang dianjurkan oleh dokter atau yang tidak dihindarkan seperti halnya paralisis, immobilisasi mekanis ataupun nyeri berat (Stanly & Bare, 2002).
2.    Batasan karekteristik gangguan mobilitas fisik diantaranya:
a.    Ketidak mampuan untuk bergerak dengan tujuan didalam lingkungan, termasuk mobilitas ditempat tidur, berpindah, dan ambulasi
b.    Keengganan untuk melakukan pergerakan
c.    Keterbatasan rentang gerak
d.   Penurunan kekuatan, pengendalian, atau masa otot mengalami pembatasan gerak
3.    Penyebab immobilitas fisik
 Menurut Stanley dan Beare (2002), ada dua faktor yang penyebab immobilitas fisik yaitu :
a.    Fakor internal
1)   Penurunan fungsi muskuloskeletal
a)    Otot-otot : atrofi, distrofi atau cedera
b)   Tulang : infeksi, fraktur, tumor, osteoporosis, atau ostemastia
c)    Sendi : arthritis dan tumor
d)   Kombinasi struktur : kanker dan karena pengaruh obat-obatan
2)   Perubahan fungsi neurologis :
Seperti infeksi, tumor, trauma, obat-obatan, penyakit vaskular, penyakit degeneratif, penyakit demielinasi, terpajan produk beracun, gangguan metabolik, atau gangguan nutrisi
3)   Nyeri, nyeri dapat disebabkan karena adanya penyakit kronis dan trauma
4)   Defisit perceptual
Defisit percepsual dapat disebabkan oleh kelebihan atau kekurangan masukan persepsi sensori
5)   Berkurangnya kemampuan kognitif : demensia berat
6)   Jatuh
Jatuh memiliki dampak pada fisik maupun psikologis, yaitu :
a)    Efek fisik : cedera atau fraktur
b)   Efek psikologis : sindromsetelah jatuh
7)      Perubahan hubungan sosial
a)    Faktor-faktor aktual : kehilangan pasangan, pindah jauh dari keluarga atau teman-teman
b)   Faktor-faktor persepsi : perubahan pola pikir seperti depresi
8)   Aspek psikologis
Aspek psikologis meliputi ketidakberdayaan dalam belajar dan depresi

b.    Faktor Eksternal (Stanley & Beare, 2002)
1)   Program terapeutik dalam penanganan medis seperti halnya program pembatasan yang meliputi:
a)    Faktor mekanis seperti penggunaan gips dan traksi;
b)    Agen farmasetik seperti analgesic, sedative, dan tranquilizer yang digunakan untuk mengubah tingkat kesadaran pasien;
c)    Tirah baring, dan
d)   Restrein fisik
2)   Karakteristik dari penghuni yang mempengaruhi tingkat mobilitas dan pola perilaku dari kelompok teman sebaya;
3)   Karakteristik dari staf keperawatan juga mempengaruhi pola mobilitas seperti halnya dengan pengetahuan tentang konsekuensi dari imobilitas, komitmen untuk menolong lansia dan jumlah anggota yang cukup untuk membetikan pelayanan keperawatan pada lansia.

4.    Proses Keperawatan
a.    Pengkajian
Adapun pengkajian pada lansia dengan intoleansi aktivitas dapat dikaji dari sistem musculoskeletal, sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, sistem integuement, sistem urinaria, sistem gastro intestinal, dan faktpr-faktor lingkungan (Stanley & Beare, 2002)
1)   Sistem musculoskeletal
Yaitu dengan cara mengevaluasi penurunan tonus otot, kekuatan, ukuran, dan ketahanan otot, rentang gerak sendi, dan kekuatan skeletal
2)      Mobilitas fungsional
Yaitu dapat diperoleh dari observasi terhadap komponen esensial dari ambulansi. Pengkajian dimulai dengan klien duduk pada sebuah kursi yang keras, denan sandaran tegak lurus, dan tanpa lengan kursi. Klien diminta untuk berdiri, berbelok, dan berjalan dengan alat bantu yang biasa, dan dudul. Kemampuan untuk melakukan maneuver-manuver ini dengan atau khususnya tanpa bantuan menunjukkan derajat mobilitasnya.
3)   Sistem kardiovaskuler
Yaitu tanda-tanda trombofleblebitis meliputi eritema, edema, nyeri tekan, dan tanda humans positif. Intoleransi ortostatik dapat menunjukkan manifestasinya sendiri setelah melakukan suatu gerakan untuk berdiri tegak seperti gejala peningkatan denyut jantung, penurunan tekanan darah, pucat, tremor tangan, berkeringat, kesulitan dalam mengikuti perintah, dan sinkop.
4)      Sistem respirasi
Yaitu adanya gejala atelektasis dan pneumonia. Tanda-tanda awal meliputi peningkatan temprature dan denyut jantung. Perubahan dalam pergerakan dada, perkusi, bunyi nafas, dan gas darah arteri mengindikasikan adanya perluasan dan beratnya kondisi
5)   Sistem integuemen
Yaitu cedera iskemia terhadap jaringan adalah reaksi imflamasi. Perubahan awal terlihat pada permukaan kulit sebagai daerah eritema yang tidak teratur diatas tonjolan tulang yang tidak hilang dalam waktu 3 menit setelah tekanan dihilangkan.
6)   Perubahan-perubahan fungsi urinaria
Yaitu tanda-tanda fisik berupa berkemih sedikit dan sering, distensi abdomen bagian bawah. Dan batas kandung kemih yang dapat diraba. Gejala kesulitan miksi termasuk pernyataan ketidakmampuan untuk berkemih dan tekanan atau nyeri pada abdomen bagian bawah.
7)   Perubahan-perubahan gastrointestinal
Yaitu adanya sensasi subjektif dari konstipasi termasuk rasa tidak nyaman pada abdomen bagian bawah, rasa penuh, tekanan, pengosongan rectum yang tidak sempurna, anoreksia, mual, muntah, gelisah, depresi mental, iritabilitas, kelemahan, dan sakit kepala. Selain itu, feses kecil, keras, kering, dan menyimpang dari pola dan karakter buang air besar yang normal pada klien
8)   Faktor-faktor lingkungan
Seperti halnya kamar mandi tanpa pegangan, karpet yang lepas, penerangan yang tidak adekuat, tangga yang tinggi, lantaai licin, dan tempat duduk toilet yang rendah dapat menurunkan mobilitas klien. Hambatan-hambatan institusional terhadap mobilitas termasuk jalan koridor yang terhalang, tempat tidur pada posisi yang tinggi, dan cairan pada lantai. Identifikasi dan penghilangan hambatan-hambatan yang potensial dapat meningkatkan mobilitas.

b.    Diagnosa keperawatan
Pada gangguan fungsi kardivaskular yaitu perubahan status kesehatan tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk beraktifitas fisik atau olahraga. Sehingga muncul diagnosis; penurunan curah jantung, intoleransi aktifitas, serta gangguan perfusi jaringan. Pada gangguan fungsi respiratorius, yaitu berupa resiko tinggi ganguan fungsi paru, kifosis, infeksi, penyakit berat menahun. Bila hanya terbatas pada salah satu ganguan fungsi paru, maka diagnosisnya berbunyi bersihan jalan nafas tidak afektif. Sedangkan bila penurunan fungsi paru mengganggu ADL, maka diagnosis keperawatan berbunyi intoleransi aktifitas (Nugroho,2008).
     Menurut Thamher (2009), apabila terdapat ganguan kardivaskular, maka diagnosis keperawatannya ;
1)   Perubahan pemeliharaan status kesehatan tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan exercise atau aerobik.
Adapun rincian diagnnosis keperawatan ini (yaitu perubahan pemeliharaan status kesehetan tubuh) antara lain berupa; intoleransi aktifitas, penurunan curah jantung, serta gangguan perfusi jaringan. Semuanya berpotensi terjadinya komplikasi kardivaskular.
2)   Resiko tinggi trauma akibat hipotensi pos-prandial dan risiko tinggi jatuh/fraktur yang berhubungan dengan osteoporosis, gangguan neurologis, atau efek samping obat.
Apabila terdapat ganguan fungsi respiratorius, maka diagnosis keperawatannya berupa “risiko tinggi gangguan fungsi paru yang berhubungan dengan merokok, kifosis, inflamasi, infeksi, penyakit berat atau menahun/keterbatasan gerak”. Bila hanya terbatas pada salah satu ganguan fungsi paru, maka diagnosisnya berbunyi “bersihan jalan nafas tidak afektif”. Sedangkan bila penurunan fungsi paru mengganggu ADL, maka diagnosis keperawatan berbunyi “intoleransi aktifitas”. Selanjutnya lansia dengan kondisi uzur atau dengan penyakit kronis akan mengalami resiko tinggi infeksi, inflamasi atau tuberkulosis sehingga mudah meneruskannya pada lansia lain bila berdiam di panti. Dalam kaitan ini maka diagnosisnya “resiko tinggi transmisi infeksi pada penghuni panti”. Juga diagnosis keperawatan sehubungan dengan kondisi tersebut diatas berupa perubahan pemeliharaan status kesehatan tubuh bagi lansia, yaitu lansia yang telah uzur. (Thamher,2009)
c.    Hal yang Diharapkan
Adapun hasil yang diharapkan yaitu klien mempertahankan kekuatan dan ketahanan sistem musculoskeletal dan fleksibelitas sendi-sendi (Stanley & Beare, 2002).
d.      Intervensi Keperawatan
Stanley dan Beare (2002), menyebutkan beberapa intervensi keperawatan yang akan dapat diberikan pada lansia dengan intoleransi aktivitas, yaitu:
1)   Observasi tanda dan gejala penurunan kekuatan otot, penurunan mobilitas sendi, dan kehilangan ketahanan
2)   Observasi status respirasi dan fungsi jantung pasien
3)   Observasi lingkungan terhadap bahaya-bahaya keamanan yang potensial
4)   Anjurkan pasien untuk melakukan kontraksi otot-otot isometrik (kelompok otot-otot kuadrisep, abdominal, dan gluteal)
5)   Anjurkan pasien untuk melakukan kontraksi otot-otot isotonic (kelompok otot-otot fleksor dan ektensor)
6)   Berikan latihan gerak (aktif atau pasif)
7)   Berikan diet dengan protein, kalori, dan kalsium yang adekuat
8)   Pertahankan kesejajaran tubuh yang tepat
9)   Anjurkan pasien untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
10)         Anjurkan pasien untuk beristirahat secara adekuat
11)         Gunakan alat-alat pendukung, misalnya walker, dan tongkat
12)         Rujuk pasien kepada ahli fisioterapi, jika ada indikasi secara medis
13)         Berikan dorongan pada pasien untuk memiliki sikap restrukturisasi
     (penentuan batas tertinggi latihan)
14)         Ubah lingkungan untuk menurunkan bahaya-bahaya keamanan
15)         Ajarkan tentang tujuan dan pentingnya latihan
16)         Ajarkan penggunaan alat-alat bantu yang tepat

17)         Ajarkan tanda dan gejala kerja/latihan yang terlalu berlebihan

No comments:

Post a Comment

Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat