google adsense

Monday, August 7, 2017

KONSEP SPIRITUAL

A.    Spiritual
1.      Pengertian
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta. Sebagai contoh seseorang yang percaya kepada Allah sebagai Pencipta atau sebagai Maha Kuasa (Hamid, 2009, p.2). Menurut Emblen (1992, dalam potter & perry, 2005, p.564) ada beberapa kata-kata yang digunakan untuk menjabarkan spiritualitas termasuk makna, transenden, harapan, cinta, kualitas, hubungan, dan eksistensi. Gambaran lain spiritualitas meliputi kekuatan dalam diri, pemaknaan dan tujuan, serta mengetahui dan menjadi sesuatu (Burkhardt, 1994, dalam cerpenit0, 2009 p.1053).
Sedangkan Farran et al (1989, dalam Potter & Perry, 2005, p.564) menggunakan definisi fungsional spiritualitas yaitu komitmen tertinggi individu, yang merupakan prinsip yang paling komprehensif dari perintah, atau nilai final yaitu argumen yang sangan kuat yang diberikan untuk pilihan yang dibuat dalam hidup kita. Terdapat dua karakteristik penting tentang spiritualitas yang disetujui oleh sebagian penulis: (1) spiritualitas adalah kesatuan tema dalam kehidupan kita, (2) spiritualitas merupakan keadaan hidup (Potter & Perry, 2005, p.564).


2.      Aspek dalam spiritualitas
Menurut Bukhardt (1993, dalam hamid, 2009, p.2) spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut.
a.         Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan.
b.        Menemukan arti dan tujuan hidup.
c.         Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri.
d.        Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi.

3.      Dimensi Spiritual

Secara tradisional, model holistik keperawatan tentang kesehatan telah mencakup dimensi berikut : fisik, spikologis, kultural, perkembangan sosial, dan spiritual. Satu model atau spiritual untuk meninjau dimensi spiritual adalah sesuatu yang terintegrasi. Setiap dimensi berhubungan dengan dimensi lainnya, juga mengandung gambaran atau karakteristik yang unik.
Gambar 1 dimensi spiritual : suatu pendekatan terintegrasi
Clark et al (1991) menekan bagaimana dimensi spiritual menyebar diseluruh dimensi lainnya, baik itu dikenali atau dikembangkan oleh individu atau tidak. Individu dikuatkan melalui ‘spirit’ mereka, yang mengakibatkan peralihan kearah kesejahteraan. Pengaruh spiritual terutama sangat penting selama periode sakit. Ketika penyakit kehilangan atau nyeri mempengaruhi seseorang energi orang tersebut menipis, dan spirit orang tersebut terpengaruhi.
Mickley et.al. (1992, dalam Hamid, 2009, p.2) menguraikan spiritualitas sebagai suatu yang mutidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa.
Selanjutnya Stoll (1989, dalam Hamid, 2009, p.2) menguraikan bahwa spiritualitas sebagai konsep dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang. Dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan terus-menerus antara dua dimensi tersebut.
Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stres emosional, penyakit fisik, atau kematian. Kekuatan yang timbul dari kekuatan manusia (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995; Murray & Zentner, 1993, dalam Hamid, 2009, p.2)
Table Pandangan Teoritis Tentang Spiritual
Teori
Aplikasi dalam keperawatan
Filosofi
Memberikan pemahaman yang luas tentang dimensi spiritual. Dari pandangana fisiologis, perawat dapat meneliti, esensial, asal, sifat, dan nilai keyakinan spiritual seseorang. Fisiologis membantu seseorang meneliti keyakinan seseorang guna memahami secara logis dan seberapa jauh spiritualisasi merupakan cara hidup seseorang.
Teologi
Pandangan ini membantu perawat mencapai pemahaman tentang keyakinan seseorang mengenai sifat Tuhan atau menghargai kehidupan yang lebih tinggi. Teologi membentuk keyakina seseorang tentang hidup dan makna dari pengalaman ini.
Fisiologi
Pandangan gisiologis tentang spiritual membantu perawat utuk memahami interaksi yang terjadi di antara tubuh, pikiran dan spirit dalam sehat sakit.
Psikologis
Pandangan psikologis memberi perawta suatu pamahanan tenatng proses mental seseorang pengalaman, dan emosi serta peran spiritual yang dimainkan dalam ekspresinya. Perawat harus mencerna pada apa yang memberi makna hidup pada klien. Kemana klien mencapai pedoman, dan dari sumber apa klien mendapat dorongan dan harapan.
Sosiologi
Semua orang dipengaruhi oleh masyarakat atau kelompok dimana mereka hidup. Pandangan ini membantu perawat memahami pentingnya individu dalam kelompok mendapatkan hubungan dengan seseorang yang mempunyai keyakinan serupa. Pandangan ini juga menunjukkan kepentingan dan makna yang dimilki ritual dan praktik bagi individu dan kelompok.
4.      Karakteristik spiritualitas
Berikut adalah bebarapa karakteristik spiritualitas.
a.         Hubungan dengan diri sendiri. Kekuatan dalam atau/dan self-reliance:
1)   Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya);
2)   Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa depan, ketenangan pikiran, harmoni/keselarasan dengan diri sendiri).
b.         Hubungan dengan alam harmonis:
1)   Mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa, dan iklim;
2)   Berkomunikasi dengan alam (bertanam dan berjalan kaki), mengabadikan, dan melindungi alam.
c.         Hubungan dengan orang lain harmonis/suportif:
1)   Berbagi waktu, pengetahuan, dan sumber secara timbal balik;
2)   Mengasuh anak, orangtua, dan orang sakit;
3)   Meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat, dan lain-lain).
Bila tidak harmonis akan terjadi:
1)   Konflik dengan orang lain;
2)   Resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.
d.        Hubungan dengan ketuhanan. Agamis atau tidak agamis:
1)   Sembahyang/berdoa/meditasi;
2)   Perlengkapan keagamaan;
3)   Bersatu dengan alam.

Secara ringkas, dapat dinyatakan seseorang terpenuhi kebutuhan spiritualitasnya jika mampu:
a.         Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di dunia/kehidupan;
b.        Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian atau penderitaan;
c.         Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya, dan cinta;
d.        Membina integritas personal dan merasa diri berharga;
e.         Merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan;
f.         Mengembangkan hubungan antar-manusia yang positif.
4.      Kebutuhan spiritual
Menurut Carson (1989, dalam Hamid, 2009, p. 3) kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memnuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencaintai, menjlain hubungan penuh dengan rasa percaya kepada Tuhan. dapat disimpulkan bahwa kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan, dan kebutuhan untuk memberi dan mendapatkan maaf (Hamid, 2009, p.3).



B.     Komponen – Komponen Spiritual
1.      Agama
Agama merupakan suatu sistem ibadah yang terorganisasi atau teratur. Agama mempunyai keyakinan sentral, ritual dan praktik yang biasanya berhubungan dengan kematian, perkawinan dan keselamatan. Agama mempunyai aturan-aturan tertentu yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari yang memberi kepuasan bagi yang menjalankannya. Perkembangan keagamaan individu merujuk pada penerimaan keyakinan, nilai, aturan dan ritual tertentu (Hamid, 2009).
Secara umum agama atau keyakinan spiritual merupakan upaya seseorang untuk memahami tempat seseorang dalam kehidupannya, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya dalam hubungan dengan lingkungan secara menyeluruh.
2.  Iman dan makna/tujuan hidup
    Iman adalah meyakini atau berkomitmen terhadap sesuatu atau seseorang. Dalam islam, iman secara bahasa berarti membenarkan (tashdiq), sedangkan menurut istilah bermakna mengucapkan dengan lisan, membenarkan dalam hati dan mengamalkan dengan perbuatannya. Seorang muslim yang mempunyai keimanan yang baik akan mengakui bahwa tujuan hidupnya adalah untuk beribadah pada Allah baik dengan amal dunia maupun akhirat. Sebagaimana firman Allah : katakanlah: “sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS 6:162)
    Makna hidup mencakup alasan terjadinya suatu peristiwa, tujuan hidup dan keyakinan akan kekuatan utama dalam kehidupan.
Semua agama mengakui adanya Tuhan. Bagi individu yang beragama, kegiatan ritual, doa, dan ibadah merupakan cara utama untuk berhubungan denga  Tuhan. Karakteristik penting yang secara universal oleh semua individu tentang Tuhan adalah Yang Maha melebihi manusia. Hal ini sangat penting dalam kenyamanan yang berkaitan dengan tuhan, bahwa ada Yang Maha Menyayangi atas penderitaan pasien, ada Yang Maha Kuasa yang menentukan yang terbaik untuk kita dan atas segala ketidakmampuan.
    Tingkat keimanan seseorang dengan Tuhan sejajar dengan keterkaitan (hubungan) seseorang dengan Tuhan, yang kemudia mempengaruhi cara pandangannya terhadap suatu masalah. Dalam Islam diyakini bahwa orang yang beriman terhadap suatu masalah. Dalam Islam diyakini bahwa orang yang beriman mempunyai hubungan yang baik dengan Allah. Orang yang beriman memandang penyakit yang dideritanya sebagai ujian dari Allah, karena dalam pandangan agama Islam orang yang menderita sakit itu dapat diaggap sebagai ujian keimanan.
“ dan sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Q.S. Azzumar, 39: 10)

3.  Harapan
    Harapan adalah proses antisipasi yang melibatkan interaksi antara berpikir dan bertindak yang diarahkan kepada kepuasan di masa yang akan datang yang bermakna secara personal. Harapan merupakan faktor penting dalam menghadapi stres, mempertahankan kualitas hidup, atau melanjutkan hidup. Dalam menghadapi penyakit yang berat dan kronis, seringkali orang diliputi rasa putus asa karena sudah melakukan upaya yang maksimal sebagaimana mestinya, namun belum juga memperoleh kesembuhan. Individu yang memiliki spiritual yang baik, hendaknya menghindari timbulnya rasa keputusasaan karena Allah SWT melarang manusia berputus asa dari rahmat-Nya dan Allah akan mengganti penderitaan seseorang dengan pengampunan Dosa.
“ katakanlah hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, jaganlah berputus asa dari Rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dari segala dosa, sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S. Azzumar, 39: 53)
4.  Pengampunan
    Beberapa individu melihat kondisinya saat ini sabagai sesuatu yang berkaitan dengan dosa, penyesalan, pengampunan dan hukuman. Penting untuk mengingatkan pasien bahwa rasa bersalah yang berkaitan dengan kondisinya sekarang adalah tidak tepat, dimana kehidupan (penderitaan) yang dijalani sekarang merupakan diluar kendali manusia. Bahkan beberapa hadist menegaskan bahwa sakit dapat menghapus kesalahan dan melenyapkan dosa, diantaranya:
“ Tidak satu musibah pun yang menimpa diri seseorang muslim, baik berupa kesusahan dan penderitaan, kesedihan dan kedukaan maupun penyakit, bahkan sepotong dari duri yang menusuk, kecuali dihapuskan Allah dengan itu sebagian keselahan-kesalahannya.” (HR. Bukhari-Muslim).
    Hendaknya orang yang sakit itu sabar dan tabah dalam menghadaapi sakit yang dideritanya. Tidak ada pemberian yang paling berharga dari Allah yang Maha Esa kepada seorang hamba lebih baik dari pada kesabaran. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas, Aku mendengar Rasulullah SAW. Bersabda, “sesunggunhnya Allah ta’ala berfirman, “Jika seorang hamba mendapat cobaan dari-Ku mengenai dua kesayangannya (kedua matanya), kemudian ia bersabar, nanti akan Kuganti dengan surga.”
C.    Kesejahteraan Spiritual
Kesejahteraan spiritual atau kesehatan adalah rasa keharmonisan saling keterdekatan antara diri dengan orang lain, alam, dan dengan kehidupan tertinggi. Rasa keharmonisan ini dicapai ketika seseorang menemukan keseimbangan antara nilai, tujuan, dan sistem keyakinan mereka dengan hubungan mereka dalam diri mereka sendiri dan orang lain. Pada saat terjadi stress, penyakit, penyembuhan atau kehilangan, seseorang mungkin berbalik kecara-cara lama dalam merespon atau menyesuaikan dengan situasi. Sering kali gaya koping ini terdapat dalam keyakinan atau nilai dasar orang tersebut. Keyakinan ini sering berakar dalam spiritualitas orang tersebut. Sepanjang hidup seseorang individu mungkin tumbuh lebih spiritual, menjadi lebih menyadari tentang makna, tujuan dan nilai hidup (Potter & Perry, 2005).
Kesejahteraan spiritual atau kesehatan spiritual di mannifestasikan dengan perasaan menjadi “secara umum hidup, bertujuan, dan memuaskan”. Menurut Plich (1988), kesejahteraan spiritual adalah cara hidup, gaya hidup yang memandang dan menghidupkan  hidup menjadi bertujuan dan menyenangkan, yang mencari pilihan yang menopang hidup dan memperkaya hidup untuk dipilih secara bebas pada setiap kesempatan, dan yang menanamkan akarnya secara kuat ke dalam nilai spiritual dan atau keyakinan agama tertentu (Kozier,2010).
Manusia memelihara atau meningkatkan spiritualitas mereka dalam banyak cara. Beberapa orang berfokus pada perkembangan bagian dalam diri dan dunia; yang lain berfokus pada ekspresi energi spiritual mereka dengan orang lain atau dunia luar. Berhubungan dengan bagian dalam diri atau jiwa seseorang dapat dicapai dengan melakukan dialog diri dengan Yang Maha  Kuasa atau dengan diri sendiri dengan cara berdo’a atau meditasi, dengan menganalisa mimpi, dengan berkomunikasi dengan alam, atau mengalami inspirasi seni. Ekspresi energi spiritual seseorang terhadap orang lain dimanifestasikan dalam hubungan saling mencintai dengan dan mmelayani orang lain, kesenangan dan tawa, partisipasi dalam layanan keagamaan dan perkumpulan dan kegiatan keagamaan, dan dengan ekspresi kasih sayang, empati, pengampunan dan harapan. Perawat yang menjunjung spiritualitas mereka sendiri mampu bekerja lebih baik dengan klien yang memiliki kebutuhan spiritualitas; perawat juga perlu merasa nyaman denga spiritualitas seseorang (Kozier,2010).
Karakteristik yang mengindikasikan kesejahteraan spiritualitas
1.    Rasa kedamaian di dalam diri
2.    Rasa kasih sayang terhadap sesama
3.    Menghargai hidup
4.    Rasa syukur
5.    Menghargai persamaan maupun perbedaan
6.    Humor
7.    Kebijaksanaan
8.    Kemurahan hati
9.    Kemampuan trasenden diri
10. Kapasitas untuk cinta tanpa syarat

D.    Pengaruh Spiritual Terhadap Kesehatan Dan Sakit
Beberapa pengaruh keyakinan spiritual yang perlu dipahami oleh perawat:
1.      Keyakinan spiritual yang mempengaruhi asuhan keperawatan
Praktik tertentu yang umumnya berkaitan dengan pelayanan kesehatan mungkin mempunyai makna keagamaan dengan klien antara lain: diet, metode KB, atau terapi medic lain
a.       Keyakinan yang memengaruhi diet dan nutrisi
Banyak agama memiliki larangan terkait diet. Mungkin terdapat aturan mengenai jenis makanan dan minuman yang diperbolehkan dan yang dilarang. Sebagai contoh, umat yahudi ortodoks diharamkan memakan babi atau kerang, dan umat islam diharamkan meminum minuman beralkohol dan memakan babi.
Beberapa ketaatan terhadap agama ditunjukkan dengan berpuasa, yaitu berpantang makan dalam periode waktu tertentu. Contoh agama melaksanakan puasa, antara lain islam, yahudi, dan katolik. Penyedia layanan kesehatan harus membuat rencana diet yang dianjurkan dengan memerhatikan keyakinan diet dan berpuasa klien.
b.      Keyakinan terkait penyembuhan
Klien dapat memiliki keyakinan agama yang menghubungkan penyakit dengan gangguan spiritual. Penyembuhan bagi klien tersebut dapat tampak tidak berhubungan dengan praktik penyembuhan saat ini. Perawat perlu mengkaji keyakinan klien dan apabila memungkinkan, mencakup dalam merencanakan beberapa aspek penyembuhan yang merupakan bagian system keyakinan klien.
c.       Keyakinan terkait pakaian
Banyak agama memiliki hukum atau tadisi yang mengatur cara berpakain. Sebagai contoh, pria penganut yahudi ortodoks dan yahudi konservatif meyakini bahwa mereka harus menutup kepalla mereka sepanjang waktu sehingga menggunakan yarmulke. Banyak muslimah juga menutup rambut mereka terkait etnik tertentu atau latar belakang budaya mereka. Beberapa agama, misalnya islam, mewajibkan tubuh (batang tubuh, lengan, dan kaki) tertutup. Gaun rumah sakit dapat membuat wanita yang berharap mematuhi kode berpakaian sesuai agama merasa gelisah dan tidak nyaman. Klien terutama dapat bingung ketika menjalani uji diagnostikatau penangan, seperti mamografi, yang mewajibkan ia menanggalkan pakain.
d.       Keyakinan terkait kematian
Keyakinan keagamaan dan spiritual berperan penting pada saat penganutnya menjelang ajal, demikian juga pada kejadian hidup penting lain. Banayak orang meyakini bahwa seseorang yang meninggal mengalihkan hidupnya ketempat yang lebih baik.
Beberapa agama memiliki ritual khusus saat menjelang ajal dan kematian yang harus dijalankan oleh penganutnya. Penganut ritual ini member kenyamanan pada orang yang menjelang ajal dan orang mereka cintai. Beberapa ritual dilaksanakan sementara individu masih hidup dan mencakup doa khusus, bernyanyi, dan membacakan tulisan sacral. Pendeta katolik roma melaksanakan sakramen perminyakan ketika klien sakit san menjelang ajal. Muslim yang menjelang ajal ingin tubuh atau kepala mereka dihadapkan ke arah kiblat (denny, 1993).
Griffith (1996) menyatakan bahwa selama penyakit terminal klien dan keluarga harus ditanya mengenai upacara atau ritual yang dilaksanakan saat kematian. Beberapa agama memiliki keyakinan bahwa tubuh orang yang meninggal hanya boleh disentuh oleh anggota keyakinan mereka saja. Pemeluk agama islam (denny, 1993) dan yahudi (fishbane, 1993) melaksanakan ritual memandikan mayat oleh anggota keluarga atau oleh petugas pengurus jenazah. Symbol keagamaan atau penuh hormat dan ditaruh dekat jenazah (Griffith, 1996). Perawat dapat mendukung keluarga yang meninggal dengan memberikan lingkungan yang kondusif untuk melaksanakan ritual kematian mereka.
2.      Sumber dukungan
Menurut hamid (2008, p.12), pada saat mengalami stress, individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk dapat menerima keadaan sakit yang dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang lama dengan hasil yang belum pasti. Sembahyang atau berdoa, membaca kitab suci, dan praktik keagamaan lainnya sering membantu memenuhi kebutuhan spiritual yang juga merupakan suatu perlindungan terhadap tubuh.

3.      Sumber kekuatan dan penyembuhan
Menurut taylor, lillis, & le mone (1997) (dalam hamid, 2008, p.12) nilai dari keyakinan agama tidak dapat dengan mudah di evaluasi. Walaupun demikian, pengaruh keyakinan tersebut dapat diamati oleh tenaga kesehatan dengan mengetahui bahwa individu dapat menahan distress fisik yang luar biasa karena mempunyai keyakinan yang kuat. Keluarga pasien akan mengikuti semua proses penyembuhan yang memerlukan upaya luar biasa karena keyakinan bahwa semua usaha tersebut akan berhasil.
Manusia sebagai makhluk spiritual mempunyai hubungan dengan kekuatan diluar dirinya, hubungan dengan tuhannya, dan mempunyai keyakinan dalam hidupnya. Keyakinan yang dimiliki seseorang akan berpengaruh terhadap perilakunya. Misalnya, pada individu yang meyakini penyakit disebabkan oleh pengaruh “roh jahat”. Ketika seseorang sakit, upaya pertolongan pertama yang dilakukan adalah mendatangi dukun. Memngingat besarnya pengaruh keyakinan terhadap kehidupan seseorang, perawat harus memotivasi klien untuk senantiasa memelihara kesehatannya.

4.      Sumber konflik
Menurut Hamid (2008, p.12), pada situasi tertentu dapat terjadi konflik antara keyakinan agma dengan praktik kesehatan. Misalnya, ada orang yang memandang penyakit sebagai suatu bentuk hukuman karna pernah berdosa. Ada agama tertentu yang menganggapp manusia sebagai makhluk yang tidak berdaya dalam mengendalikan lingkungannya sehingga penyakit diterima sebagai takdir, bukan sebagai suatu yang harus disembuhkan.
E.     Perkembangan Spiritual
Selain secara fisik, kognitif dan moral, individu juga berkembang secara spiritualitas. Beberapa aspek perkembangan spiritual keagamaan yang sehat pada setiap tahap perkembangan adalah sebagai berikut:
1.      Bayi dan Todler
      Bayi dan todler mendapat kualitas spiritual keyakinan, mutualitas, keberanian, harapan dan cinta yang mendasar. Transisi ke tahap keyakinan berikutnya dimulai ketika bahasa pikiran anak mulai memungkinkan penggunaan simbol (Kozier, 2010, p. 499)
      Tahap awal perkembangan spiritual adalah rasa percaya kepada yang mengasuh yang sejalan dengan perkembangan rasa aman dan dalam hubungan interpersonal, karena sejak awal kehidupan manusia mengenal dunia melalui hubungannya dengan lingkungan, khususnya orang tua. Bayi dan todler belum memiliki rasa benar atau salah, serta keyakinan spiritual. Mereka mulai meniru kegiatan ritual tanpa mengerti arti kegiatan tersebut serta ikut ke tempat ibadah yang memengaruhi citra diri mereka (Hamid, 2008, p. 5)
2.      Preschool
Fase penuh fantasi dan imitasi ketika anak dapat dipengaruhi oleh contoh, alam perasaan, dan tindakan. Anak dapat menghubungkan secara intuisi dengan kondisi terakhir keberadaan melalui cerita dan gambar, penyebaran fakta dan perasaan. Imajinasi dianggap sebagai realitas (Kozier, 2010, p. 499)
      Sikap orang tua tentang kode moral dan agama mengajarkan kepada anak tentang apa yang dianggap baik dan buruk. Anak prasekolah meniru apa yang mereka lihat bukan yang dikatakan orang lain kepada mereka. Pada usia ini anak sering bertanya tentang moralitas dan agama, seperti bertanya “apa itu surga?”. Mereka meyakini bahwa orang tua mereka seperti Tuhan (Hamid, 2008, p. 5)
      Menurut Kozier, Erb dan Wilkinson (1995) dalam Hamid (2008, p. 6), metode pendidikan spiritual yang paling efektif adalah dengan memberikan indoktrinasi dan memberi kesempatan pada mereka untuk memilih caranya. Mereka percaya bahwa Tuhan yang membuat hujan dan angin.
3.      School
      Anak berusaha memilah fantasi dan fakta dengan menuntut adanya bukti atau demonstrasi kenyataan. Cerita sangat penting untuk menemukan makna dan mengorganisasikan pengalaman. Anak menerima cerita dan keyakinan secara harfiah. Kemampuan untuk mempelajari keyakinan dan praktik budaya serta keagamaan (Kozier, 2010, p. 499)
      Anak usia sekolah mengharapkan Tuhan menjawab doanya, yang salah akan dihukum dan yang baik akan diberi hadiah. Pada masa prapubertas, anak sering mengalami kekecewaan karena mereka mulai menyadari bahwa doanya tidak selalu dijawab menggunakan cara mereka dan mulai mencari alasan tanpa mau menerima keyakinan begitu saja (Hamid, 2008, p. 6)
4.      Remaja
      Pengalaman mengenal dunia saat ini diluar unit keluarga dan keyakinan spiritual dapat membantu pemahaman terhadap lingkungan yang luas. Secara umum menyesuaikan diri dengan keyakinan orang disekitar mereka namun belum dapat menilai keyakinan secara objektif (Kozier, 2010, p. 499)
      Pada masa remaja, anak mulai membandingkan standar orang tua mereka dengan orang tua lain dan menetapkan standar apa yang akan diintegrasikan dalam perilakunya. Remaja juga membandingkan pandangan ilmiah dengan pandangan agama serta mencoba menyatukannya. Pada masa ini, remaja yang memiliki orang tua yang berbeda agama, akan memutuskan pilihan agama yang dianutnya atau tidak memilih satu pun dari kedua agama orang tuanya (Hamid, 2008, p. 6)
5.      Dewasa Muda
      Perkembangan identitas dan pandangan terhadap dunia berbeda dari orang lain, individu membentuk komitmen, gaya hidup, keyakinan dan sikap yang mandiri. Mulai mengembangkan makna personal terhadap simbol keagamaan dan keyakinan (Kozier, 2010, p. 499)
      Kelompok usia dewasa muda sering dihadapkan dengan pertanyaan yang bersifat keagamaan dari anaknya dan akan menyadari atau mengingat kembali apa yang diajarkan kepadanya pada masa kanak-kanak dahulu, dan pembelajaran yang diberikan oleh orang tuanya dahulu dipakai untuk mendidik anaknya (Hamid, 2008, p. 6-7)
6.      Dewasa Menengah dan Lansia
      Menghargai masa lalu, lebih memperhatikan suara hati, lebih waspada terhadap mitos, prasangka, dan citra yang ada karena latar belakang sosial. Berusaha menyelesaikan kotradiksi dalam pikiran dan pengalaman dan untuk tetap terbuka terhadap kebenaran orang lain (Kozier, 2010, p. 499)
      Mampu meyakini dan memiliki rasa partisipasi dalam komunitas nonekslusif. Dapat berusaha menyelesaikan masalah sosial, politik, ekonomi, atau ideologi dalam masyarakat. Mampu merangkul kehidupan meskipun masih longgar (Kozier, 2010, p. 499)
      Kelompok usia dewasa pertengahan dan lansia mempunyai lebih banyak waktu untuk kegiatan agama dan  berusaha untuk mengerti akan nilai agama yang diyakini oleh generasi muda. Perasaan kehilangan karena pensiun dan tidak aktif serta menghadapi kematian orang lain (saudara, sahabat) menimbulkan rasa kesepian dan mawas diri. Perkembangan filososif agama yang lebih matang, sering dapat membantu orang tua untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan dan merasa berharga, serta lebih dapat menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak atau dihindarkan (Hamid, 2008, p. 7)
F.     Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Spiritual
Menurut taylor, Lillis & Le Mone (1997) dan Craven & Hirnle (1996) dalam Hamid (2009, p. 13) faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang adalah :
1.      Pertimbangan tahap perkembangan
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa manusia mempunyai persepsi tentang Tuhan dan bentuk sembahyang yang berbeda menurut usia, seks, agama, dan kepribadian manusia.
2.      Keluarga
Peran orang tua sangat menentukan dalam perkembangan spiritual anak. Oleh karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan lingkungan pertama anak dalam mempersepsikan kehidupan di dunia, maka pandangan anak pada umumnya diwarnai oleh pengalaman mereka dalam berhubungan dengan orang tua dan saudaranya.
3.      Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga.
4.      Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup baik yang positif maupun pengalaman negatif dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual kejadian atau pengalaman tersebut.
5.      Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalaman spiritual seseorang. Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan dan bahkan kematian, khususnya pada pasien terminal atau dengan prognisis yang buruk.
6.      Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, seringkali membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial.
7.      Isu moral terkait dengan terapi
Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara tuhan untuk menunjukkan kebesarannya, walaupun ada juga agama yang menolak intervensi pengobatan.
8.      Asuhan keperawatan yang kurang sesuai
Ketika memberi asuhan keperawatan kepada klien, perawat diharapkan peka kebutuhan spiritual klien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkinan justru perawat menghindar untuk memberikan asuhan spiritual sehingga mengakibatkan kebutuhan klien akan spiritual tidak terpenuhi.


G.    Persiapan Spiritualitas Perawat
Persiapan spiritualitas perawat yang perlu dilakukan adalah mendampingi pasien, menggali sumber spiritual diri sendiri dan meningkatkan pengetahuan. Setiap manusia mempunyai tiga kebutuhan spiritual yang sama, yaitu kebutuhan akan arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan berhubungan, serta kebutuhan untuk mendapatkan pengampunan. Kebutuhan klien tersebut sering ditemui oleh perawat dalam menjalankan perannya sebagai pemberi pelayanan/asuhan keperawatan. Ketika perawat menyusun perencanaan untuk menjadi contoh peran spiritual bagi kliennya, perawat juga membuat persiapan/menyusun tujuan bagi dirinya sendiri (Hamid, 2008).
Menurut Taylor, Lilis, dan Le Mone (1997, dalam Hamid, 2008) dalam hal ini perawat akan:
1.      Mempunyai pegangan tentang keyakinan spiritual yang memenuhi kebutuhannya untuk mendapatkan arti dan tujuan hidup, mencintai dan berhubungan, dan pengampunan.
2.      Bertolak dari kekuatan spiritual dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika menghadapi nyeri, penderitaan, dan kematian dalam melakukan praktik profesional.
3.      Meluangkan waktu untuk memupuk kekuatan spiritual diri sendiri.
4.      Menunjukkan perasaan damai, kekuatan batin,kehangatan, keceriaan, caring, dan kreativitas dalam interaksinya dengan orang lain.
5.      Menghargai keyakinan dan praktik spiritual orang lain walaupun berbeda dengan keyakinan spiritual perawat.
6.      Meningkatkan pengetahuan perawat tentang bagaimana keyakinan spiritual klien memengaruhi gaya hidup mereka, berespon terhadap penyakit, pilihan pelayanan kesehatan dan pilihan terapi.
7.      Menunjukkan kepekaan terhadap kebutuhan spiritual klien.
8.      Menyusun strategi asuhan keperawatan yang paling sesuai untuk membantu klien yang sedang mengalami distres spiritual.
Untuk mengkaji berapa jauh perawat telah memenuhi kebutuhan spiritualitasnya sendiri, Taylor, Lilis, dan Le Mone (1997) menyarankan menggunakan daftar periksa pengkajian seperti contoh di bawah ini  yang berfungsi untuk menentukan seberapa baik seorang perawat telah memenuhi kebutuhan spiritualnya.
Daftar Periksa Pengkajian
Pernyataan
Hampir selalu
Kadang-kadang
Hampir
Tidak pernah
·        Saya merasa nyaman dengan kepercayaan dan nilai spiritual saya.
·        Kepercayaan saya memenuhi kebutuhan untuk merasa mencintai, memiliki, mendapat pengampunan, memperoleh arti, dan tujuan hidup.
·        Saya menghargai sistem kepercayaan orang lain.
·        Saya mendapatkan kekuatan dari kepercayaan keagamaan saya untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan saya sehari-hari.





H.    Praktik Spritual (Ibadah) Sebagai Bagian Dari Terapi Penyembuhan Dalam Asuhan Keperawatan

Pargament (1997) dalam Kozier (2010) mengatakan bahwa klien sering kali mengidentifikasi praktik keagamaan seperti doa, sebagai strategi yag tinggi untuk melakukan koping terhadap penyakit. Praktik spritual yang paling umum sering mempengaruhi asuhan keperawatan pada pasien yaitu hari raya, pembacaan kitab suci, simbol saktal, doa, dan meditasi. Sikap perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dapat dipengaruhi pengetahuan perawat tentang spritual klien dan kepekaan perawat terhadap respon pasien selama pemberian asuhan (Kemp, 2010 dalam Kozier, 2010).

1.      Hari raya
Hari raya adalah satu hari yang ditetapkan untuk perayaan agama tertentu. Semua agama diseluruh dunia memiliki hari raya. Sebagai contoh, umat kristiani, merayakn Paskah dan Hari Natal, umat yahudi merayakan Yon Kippur dan Passover, umat budha merayakan hari lahir budha, umat islam memiliki bulan suxi ramadahan, dan umat hindu merayakan Mahashivarathri, perayaan Dewa Syifa. Banyak agama mengharuskan berpuasa, do’a yang lama, refleksi da ritual pada hari natal (hari raya besar); namun penganut yang sakit serius sering kali diberi pengecualian untuk kewajiban tertentu.
Konsen sabat sangat umum baik untuk umat Kristiani maupun Yahudi, sebagi respon terhadap firman yang ada di Injil ” ingatlah hari sabat untuk mengingat kesucian”. Sebagian besar umat kristiani merayakan hari sabat pada hari minggu sementara umat Yahudi merayakannyan pada hari sabtu. Klien yang kepad praktik keagamaannya mungkin ingin menghindari penanganan tertentu atau gangguan lain pada saat mereka beristirahat dan melakukan refleksi.
Umat islam melaksanakan praktik shalat lima waktu sehari semalam dan klien muslim mungkin membutuhkan bantuan untuk mempertahankan keimanannya. Selaian itu, umat muslim biasanyanberkumpul pada hari jum’at siang untuk melakukan ibadah shalat jum’at dan mendengarkan khotbah. Umat Hindu dan Budha mempraktikkan meditasi dan peratan harus menciptakan waktu tenang untuk meditasi mereka.
Perayaan keagamaan yang khitmat sepanjang tahun mungkin mengacu pada hari raya besar, dan dapat mencakup puasa, refleksi, dn berdo’a. Banyak rumah sakit atau pelayan kesehatan memfasilitasi pelaksaan ritual untuk klien dan staf pada hari raya. Karena banyak agama yang mengikuti kalender selain kalender Gregorius, kalender yang dijadikan panduan oleh banyak agama dapat digunakan untuk mengdentifikasi hari raya berbagai kelompok agama (Griffith, 1996).

2.      Kitab suci
Setiap agama memiliki tulisan sakral dan kitab yang menjadi pedoman keyakinan  dan perilaku penganutnya; selain itu, tulisan sakral sering kali menyampaikan cerita instruktif mengenai para pemimpin agama, raja dan pahlawan. Pada sebagian agama, tulisan ini dianggap sebagai ucapan sang khalik yang ditulis oleh para nabi dan khalifah. Umat kristiani memiliki kitab suci Injil, umat yahudi memiliki kitab tauran, umat islam memiliki Alqu’an, umat Hindu Weda dan umat Budha memiliki ajaran dari Tripitaka. Naskat tersebu secara umum menetapkan hukum-hukum keagamaan dalam bentuk peringatan dan peraturan untuk hidup. Hukum kegamaan tersebut dapat diinterpretasidalam berbagai cara subkelompok penganut agama dan daoat memengaruhi kegiatan klien untuk menerima anjuran penaganan; sebagi contoh, transfusi darah dilarang pada ajaran umat saksi jehova.
Individu sering kali mendapatkan kekuatan dan harapan setelah menbaca buku-buku keagamaan saat mereeka sakit atau saat menalami krisis. Contoh certa keagaman yang dapat memberikan kenyamanan bagi klien adalah penderitaan nabi, baik pada kitab sucu yahudi dan kristen baik itu tentang Yesus.

3.      Simbol sakral
Simbol sakral mencakup perhiasan, liontin, tasbih, lammbang, patung, atau ornamen tubuh (mis., tato). Yang memiliki makna keagamaan dan spritual. Simbol tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan keyakinan seseorang, untuk mengigatkan pemakaiannya akan keyakinannyan, untuk memberikan perlindungan spritual, atau untuk menjadi sumber kenyamanan atau kekuatan. Individu dapat mrngguanakan liontin keagamaan sepanjang hidup, dan mereka mungkin berharap untuk mengenakannya saat menjalani studi diagnostik, penanganan medis, atau pembedahan dan untuk berdoa’a umat muslim bissa membawa tasbih.
Individu dapat memiliki lambang atau patung keagamaan di dalam rumah, di mobil atau di tempat kerja sebagai bagian personal untuk sembahyang dan meditasi. Klien yang dirawat inap atau yang menjalani pengobatan di fasilitas kkeperawatan  jangka panjang mungkin berharap untuk  di perboleh membawa atau memajang simbol spritual berupa lambang atau patung sebagai sumber kenyamanan.
4.      Doa dan meditasi
Doa merupakan satu praktik spritual bagi banyak orang dan  juga merrupak praktik keagamaan. Satu eksiklopedia agama mendefinisikan doa sebagai “komunikasi manusia dengan tuhan atau entitas spritual” belaka (Gill, 1987, hlm. 486). Beberapa orang meragukan definisi tersebut karena menurut definisi tersebut, doa mewajibkan orang yang berdoa memiliki keyakinan pada Tuhan atai entitas spritual, padahal tiidak semua oarang yang berdoa memilikinya. Sementara itu beberapa orang menganggap doa sebagai fenomena universal yang tidak mewajibkan  keyakinan tersebut ( Ulanov 1983), sebagai contoh, menyatakan bahwa setiap orang berdoa:  “ Orang berdoa meskipun mereka tidak menyebutnyan berdoa. Kita berdoa setiap kali kita meminta pertolongan, pemahaman atau kekuatan didalam atau diluar agama.”
Berdoa adalah mendengar dan menyimak diri sendiri yang berbicara. Doa adalah niat baik ditambah cinta yang sering kali dikomunikasikan dengan “Yang Absolut.” Menurut Dossey  (1999). Dengan demikian, doa adalah harapan atau pemikiran yang penuh cinta terhadap diri sendiri  atau orang lain, dan buka satu bentuk sihir  baik yang positif  maupun negatif.
Tedapat berbagai penggalan doa Paloma and Gallap (1991) menetapkan katagori pengalaman  doa sebagai berikut:
a.       Ritual (mis., Hail Mary, doa-doa hafalan yang dapat di ulang)
b.      Petisi kepada Tuhan ( Tuhan nsembuhkan lah saya)
c.       Kolokial (doa berupa percakapan)
d.      Meditasional (saatt-saat diam dan tidak berfokus pada apapun, satu fase yang bermakna atau pada aspek tertentu dari Tuhan)
      Kendati  pengalaman doa meditasional dan kolokial tersebut berkaitan dengan kesejahteraan spritual dan kualitas hidup pada orang dewasa  yang sehat, pengalaman doa petisi mungkin menjadi yang paling membuatnya nyaman dan sesuai untuk mereka yang sedang sakit. Beberapa agama mewajibkan ibadah setiap hari atau menetapkan waktu spesifik untuk berdo dan beribadah. Mereka membutuhkan waktu tenang tanpa gangguan selama  mereka membaca buku doa mereka, mengunakan rasario, tasbih, atau lambang keagamaan lain yang tersedia bagi mereka.
      Meditasi adalah kegiatan memfokuskan pikiran seseeorang tau terlibat dalam refleksi diri atau konteraplasi. Beberapa orang meyakini bahwa, melalui meditasi yang mendalam, seseorang dapat memengaruhi atau mengontrol fungsi fisik dan psikologis serta perjalanan penyakit.
      Dalam agama islam praktik spritual yang sangat mempengaruhi kesehatan pasien serta mempengaruhi asuhan keperawatan pasien antara lain adalah shalat, puasa, pembacaan ayat-ayat Al-Quran dan doa serta dzikir.
1.    Shalat
Menurut  bahasa, shalat mengandung dua pengertian, yaitu berdoa dan bershalawat. Berdoa berarti memohon hal-hal baik, kebaikan, kebajikan, nikmat, dan rezeki, sedangkan bershalawat berarti meminta keselamatan, kedamaian, keamanan, dan pelimpahan rahmat Allah. Shalat merupakan perwujudan seorang hamba terhadap perintah dan kewajiban dari Tuhan, dan sebagai sarana yang di dalamnya seorang hamba meminta ketabahan untuk menghadapi berbagai kesulitan dan ujian yang dialami di dunia ini dan sebagai bentuk memuji kebesaran dan kemuliaan Allah. Shalat merupakan salah satu kegiatan ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim karena shalat merupakan salah satu dari lima rukun islam. Shalat menjadi dasar yang harus ditegakkan daan ditunaikan sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat yang ada (Raya & Mulia, 2003).
Shalat adalah ibadah yang di dalamnya terjadi hubungan ruhani antara makhluk dan Penciptanya. Shalat juga dipandang sebagai munajat yaitu berdoa dengan hati yang khusyuk kepada Allah. Orang yang mengerjakan shalat dengan khusyuk, ia seakan-akan berhadapan dan melakukan dialog dengan Allah. Suasana spritual seperti ini dapat menolong manusia untuk mengungkapkan segala perasaan dan berbagai permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, ia mendapatkan tempat untuk mencurahkan segala yang ada dalam pikirannya. Dengan shalat yang khusyuk orang akan mendapatkan ketenangan jiwa, karena merasa diri dekat dengan Allah dan memperoleh ampunan-Nya (Sururin, 2004)
2.      Doa dan zikir
Dzikir mempunyai kedudukan yang penting dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah. Dzikir kepada Allah menempati posisi sentral amaliah jiwa yang beriman, karena dzikir adalah keseluruhan getaran hidup yang digerakkan oleh kalbu dalam totalitas Ilahi. Totalitas inilah yang kemudian mempengaruhi seorang hamba, dan saat-saat hamba tersebut istirahat dalam tidurnya. Dikarenakan alasan inilah dzikir dipandang mempunyai peranan penting dalam upaya mengobati penyakit jiwa manusia (Solihin, 2004).
Dikatakanlah di dalam Al-Quran surat Ar-Ra’d ayat 28 :
“yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan dzikir dan mengingat Allah hati menjadi tentram”.
Dari paparan di atas, banyak orang memahami bahwa dzikir merupakan salah satu cara terapi semua penyakit jiwa yang dialami manusia. Penyakit yang muncul adalah akibat dari hati yang tidak tenang. Untuk itu, kesembuhan hati merupakan kesembuhan keseluruhan. Dalam hal inilah, dzikir dapat menenangkan hati dan jiwa orang yang sedang mengalami goncangan dan menetralisasi pikiran yang sedang merasakan kepenatan (Solihin, 2004).
Sebagian ahli kedokteran jiwa telah meyakini bahwa penyembuhan penyakit klien dapat dilakukan lebih cepat jika memakai cara pendekatan keagamaan, yaitu dengan membangkitkan potensi keimanan kepada Tuhan lalu menggerakkannya ke arrah pencerahan jiwa. Dengan kondisi pencerahan jiwa inilah, akhirnya timbul kepercayaan diri bahwa Tuhan adalah satu-satunya kekuatan penyembuh dari berbagai penyakit yang diderita. Kepercayaan inilah yang menjadi daya dorong yang kuat bagi kesembuhan penyakit jiwa yang dialami klien (Solihin, 2004).
Dipandang dari sudut kesehatan jiwa, doa dan dzikir mengandung unsur psikoterapeutik yang men­dalam. Psikoreligius terapi ini tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan psikoterapi psikia­trik karena ia mengandung kekua­tan spiritual kerohanian yang membangkitkan rasa percaya diri dan rasa optimisme (harapan kesembuhan). Dua hal ini, yaitu rasa percaya diri (self konfident) dan optimisme, merupakan dua hal yang amat essensial bagi penyem­buhan suatu penyakit di samping obat‑obatan dan tindakan medis yang diberikan (Purwanto, 2007)
Hawari (2005)mentakan bahwa Matthew (1996) dari Universitas Georgetown, Amerika Serikat melaporkan, dalam pertemuan tahunan American Association for the Advancement of Science (1996) tercuat ide bahwa mungkin suatu saat kelak, tugas para dokter bukan lagi hanya menuliskan resep obat, tetapi juga menuliskan doa dan zikir pada kertas resep sebagai pelengkap. Hal ini disebabkan dari 212 studi yang telah dilakukan oleh para ahli sebelumnya, ditemukan 75% responden menyatakan bahwa komitmen agama (berdoa dan berzikir) berpengaruh positif pada kesehatan pasien, hanya 7% yang berkesimpulan tidak. Selanjutnya dikemukakan, manfaat terapi keagamaan ini sangat baik, terutama bagi penderita NAPZA (narkotik, alkohol, zat adiktif), depresi, kanker, hipertensi, dan penyakit jantung.
Penelitian Snyderman (1996, dalam Hawari 2005) menyebutkan bahwa terapi medis saja tidak cukup tanpa disertai dengan doa dan zikir, sebaliknya doa dan zikir saja tanpa disertai dengan terapi medis, tidaklah efektif. Cristhy (1998, dalam Hawari 2005) dalam penelitian berjudul Prayer as Medicine, mendukung kesimpulan penelitiannya pendahulunya (Snyderman) dan menyatakan bahwa doa dan zikir juga merupakan obat bagi penderita, selain obat dalam pengertian medis. Ia menyimpulkan, “medicine” (obat) yang diberikan kepada penderita mengandung dua arti. Yaitu “ prayer” (doa) dan “drugs” (obat/pil).
Dari hasil-hasil penelitian-penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa komitmen agama berhubungan dengan manfaat bidang klinik. bagi mereka yang menderita sakit hendaknya berusaha berobat disertai dengan doa dan zikir, hal ini sesuai dengan dua buah hadits berikut yang artinya :
“ Seseorang yang sedang menderita penyakit fisik maupun psikis (kejiwaan), diwajibkan untuk berusaha berobat kepada ahlinya disertai dengan berdoa dan berdzikir” (HR. Muslim, Ahmad, Tirmizi). Diriwayatkan oleh Muslim dari Utsman bin Abdul Ash bahwa ia mengadukan rasa sakit yang dideritanya pada Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW Bersabda,” Taruhlah tanganmu diatas bagian tubuh yang terasa sakit itu dan ucapkanlah, Bismillah, lalu sebutkanlah sebanyak tujuh kali, “Aku berlindung dengan kemuliaan dan kebesaran Allah dari bencana penyakit yang kurasakan dan kucemaskan ini”, kata Utsman selanjutnya, “Kulakukanlah seperti itu beberapa kali, maka Allah melenyapkan penyakit itu dan aku senantiasa disuruh melakukan dan membaca doa itu kepada keluargaku dan juga kepada orang-orang lain”.
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW Bersabda,”Barang siapa menjenguk orang sakit yang belum lagi akan sampai ajalnya lalu ia membaca doa ini di hadapannya sebanyak tujuh kali,”Aku memohon kepada Allah yang Maha Agung, Tuhan Arsy yang Agung, untuk menyembuhkanmu, “Maka Allah akan menyembuhkan orang sakit dari sakitnya itu”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
3. Membaca Kitab suci
Individu sering mendapatkan kekuatan dan harapan setelah membaca kitab suci dan  buku-buku keagamaan saat mereka sakit atau sedang mengalami krisis. Kisah-kisah dalam alquran dan pertolongan serta balasan yang Allah berikan pada orang sakit yang sabar memberikan kenyamanan dan ketenangan bagi klien.
3.      Puasa
     Puasa merupakan pemicu kehidupan dan kesehatan manusia secara komprehensif, seperti makan, bernafas, bergerak, dan tidur. Semua makhluk hidup, jika tanpa tidut dan tubuhnya tanpa bergerak, tubuhnya akan menderita suatu jenis penyakit. Demikian juga tanpa puasa, tubuh juga akan terserang berbagai penyakit, karena keduanya merupakan kebutuhan biologis bagi makhluk hidup. Tubuh manusia ketika sedang berpuasa mulai menghancurkan benda-benda makanan yang masuk ke dalam usus. Ketika makanan tersebut habis, maka protein-protein yang terbentuk mulai disebarkan ke seluruh tubuh yanhg berbeda-beda., dan pertama kan masuk ke dalam hati dan otot. Maka berpuasa dalam waktu tertentu dan tidak melebihi proporsi sebagaimana bulan Ramadhan, tersebarnya protein-protein ke seluruh tubuh akan selalu dalam kondisi yang baru sehingga akan mengembalkan peremajaan dalam hidupnya. Selain itu dengan berpuasa maka, dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti berikut.
a.       Puasa dapat menguranngi penyakit Diabetes Melitus
Pada waktu berpuasa kadar gula dalam tubuh berkurang sampai ukuran yang minimal. Artinya, hal ini akan memberi kesempatan kepada kelenjar pankreas untuk beristirahat. Pankreas bekerja untuk memproduksi insulin. Insulin dengan segala peredarannya akan mempengaruhi zat gula dalam darah. Apabila makanannya bertambah, maka bertambah pula pankreas dalam memprodukasi insulin, maka kelenjar-kelenjar ini akan terlalu kuat menanggung beban dan akhirnya tidak mampu menjalankan tugasnya. Maka bertumpuklah kadar gula dalam darah, sehingga sedikit-sedikt bertambah, sehingga lama kelamaan berubah menjadi penyakit gula (diabetes). Maka jalan terbaik untuk memelihara pankreas dari beban ini adalah dengan berpuasa secara seimbang dan teratur.

b.      Berpuasa akan menyehatkan perut
Sekurang-kurangnya selama 12 jam dalam sehari pada waktu berpuasa usus besar akan kosong secara se,purna. Dan hal ini dilakukan dalam waktu sebulan penuh. Masa ini cukup untuk membersihkan makanan yang tertimbun dalam usus besar dan memberikan kesempatan untuk usus besar beristirahat dari proses pencernaan. Oleh karena itu dalam bulan puasa usus besar bersih dari makanan yang tertumpuk.
c.       Berpuasa untuk mengontrol diri
Waktu berpuasa merupakan kesempatan yang paling baik untuk menjaga kesehatan dari segala kebiasaan yang membahayakan kesehatan, seperti merokok, mengisap ganja, dan minuman keras. Karena ibadah ini mengandung unsur-unsur tertentu dari jenis yang menyebabkan saraf seseorang menjadi kecanduan. Jika seseorang telah menjadi pecandu, maka tidak mungkin menghentikannya secara tiba-tiba, jika dilakukan maka ia merasa sakit dan lemah sarafnya. Tetapi jika menghilangkan kebiasaan itu dengan berpuasa selama 12 jam setiap hari dan dalam masa empat minggu secara rutin, maka zat yang terkandung dalam ganja, alkohol, dan nikotin, hari demi hari secara bertahap sedikit demi sedikit berkurang kadarnya, sehingga saraf akan bebas dari pengaruh benda-benda berbahaya dengan mudah dan nyaman. Oleh karena itu, bagi pecandu membebaskan dirinya dari kecanduan pada bulan Ramadhan lebih mudah daripada hari-hari yang lain.
d.      Puasa dan penyakit-penyakit kulit
Puasa akan mengurangi kadar gula dalam darah, sehingga berpengaruh pula pada kadar gula pada kulit, hal ini sesuai dengan kondisi darah dalam kulit. Kekeringan kadar air dalam kulit dapat:
1)      Menambah ketegaran dan daya tahan terhadap bakteri.
2)      Memperkecil kemungkinan berkembangnya penyakit, bengkak, penyakit kulit dan berkembangnya ke seluruh tubuh.
3)      Puasa juga akan mengeringkan penyakit-penyakit indrawi(mata0 dan penyakit kulit yang berlemak.
4)      Dengan membebaskan usus dari proses pencernaan, maka akan memperkecil gas-gas beracun dan asamnya makanan yang menyebabkan bisul-bisul pada kulit.
Berpuasa merupakan proses pengembangan dan aktualisasi diri ke arah manusia bertakwa. Dengan berpuasa orang akan menjadi sadar, yakin dan sabar melatih dirinya dalam menahan lapar dan haus, serta menahan segala keinginan hawa nafsu dalam jangka waktu tertentu. Puasa yang dilakukan dengan kesadaran, keimanan dan ketakwaan kepada Allah merupakan benteng yang kokoh bagi pertahanan diri terhadap segala godaan hawa nafsu. Puasa yang demikian akan mendorong manusia untuk bersikap ikhlas, jujur, benar, dan mengendalikan diri dalam setiap amal yang dilakukannya. Puasa yang benar akan memberikan ketenangan jiwa. Apabila orang sering melakukan puasa berarti ia akan jauh dari sifat jahat, semakin terkendali dan kuatlah benteng pertahanan dirinya. Dengan demikian, orang yang berpuasa dapat terhindar dari penyebab gangguan kejiwaan dan tercegah dari penyakit jiwa (Sururin, 2004).

Tahap-tahap Psikoterapi doa menurut Purwanto (2007) :
1.   Tahap  kesadaran    sebagai   hamba
Inti dari terapi ini adalah pembangkitan kesadaran, kesadaran terhadap kehambaan dan kesadaran akan kelemahan sebagai manusia. Bentuk kesadaran ini akan menghantarkan seseorang yang berdoa berada pada keadaan lemah. Tanpa adanya kesadaran akan kelemahan diri ini maka kesungguhan dalam berdoa sulit dicapai. Hakikat berdoa adalah meminta, yang meminta derajatnya harus lebih rendah dari pada yang dimintai. Untuk itu sebelum seseorang berdoa diharuskan untuk merendahkan   diri dihadapan Allah.
      Bentuk kesadaran diri ini dapat dilakukan dengan melihat kepada diri sendiri misalnya melihat jantung bahwa jantung itu bergerak bukan kita yang menggerakkan, darah yang mengalir bukan atas kehendak kita, atau juga dapat melihat masalah yang sedang dihadapi, ketidakberdayaan, ketidakmampuan mengatasi hal ini dimunculkan dalam kesadaran sehingga bukan nantinya dapat menimbulkan   sikap  menerima    dan  sikap  pasrah. Pada tahap ini seseorang juga disadarkan akan gangguan kejiwaan atau penyakit yang dialami. Penyakit tersebut bukan ditolak namun diterima sebagai bagian dari diri kemudian dimintakan sembuh    kepada Allah.
2.     Tahap    penyadaran   akan   kekuasaan  Allah
        Selanjutnya setelah diri sadar akan segala kelemahan dan segala ketidakmampuan diri maka pengisian dilakukan yaitu dengan menyadari kebesaran Allah kasih sayang dan terutama adalah maha penyembuhnya Allah. Tahap ini juga menimbulkan pemahaman tentang hakikat sakit yang dialami bahwa sakit berasal dari Allah dan yang akan menyembuhkan adalah Allah. Penyadaran akan kekuasaan Allah ini dapat dilakukan dengan melihat bagaimana Allah menggerakkan segala sesuatu, menghidupkan segala sesuatu
Tahap ini juga dapat menumbuhkan keyakinan kita kepada Allah atas kemampuan Allah dalam menyembuhkan. Bagaimana seseorang dapat berdoa kalau dirinya tidak mengenal atau meyakini bahwa Sang Penyembuh tidak dapat menyembuhkan. Yakin juga merupakan syarat mutlak dari suatu doa karena Allah sesuai dengan prasangka hambanya, jika hambanya menyangka baik maka Allah baik demikian pula sebaliknya. Kegagalan utama terhadap jawaban Allah atas doa yang kita panjatkan kepada Allah adalah keraguan kita. Seringkali ketika berdoa namun hati mengatakan ”dikabulkan tidak ya” atau mengatakan ”mudah-mudahan dikabulkan” kalimat ini maksudnya tidak ingin mendahului Allah tapi sebenarnya adalah   meragukan       Allah   dalam  mengabulkan   doa        kita.
        Ada perbedaan antara mendahului kehendak Allah dengan keyakinan yang tujukan kepada Allah. Jika mendahului biasanya menggunakan kata seharusnya begini, harus begini, tapi jika yakin kita optimisme akan kehendak Allah dan tidak masuk    pada    kehendak         Allah. Sebagai contoh bila kita berdoa Ya Allah hilangkan kesedihan hati saya maka kita yakin kepada Allah bahwa Allah memberikan kesembuhan. Hal yang penting juga adalah afirmasi terhadap doa yang kita panjatkan kalau berdoa harus yakin dikabulkan tidak ada alasan lain untuk tidak yakin selain dikabulkan. Sebab Allah akan mengabulkan apa yang kita yakini dari pada apa yang kita baca dalam doa kita.
3.     Tahap  Komunikasi
        Setelah sadar akan kelemahan dan penyakit yang dialami, dan sadar akan kebesaran Allah maka selanjutnya adalah berkomunikasi dengan Allah sebagai bagian penting dari proses terapi. Tahap komunikasi ini dapat berbentuk :
a.       Pengungkapan pengakuan segala kesalahan dan dosa, ini merupakan langkah awal sebab dengan hati yang bersih kontak dengan Allah akan lebih jernih.
b.      Pengungkapan kegundahan hati dan kegilasahan yang dialami, tahap ini dapat berefek katarsis yaitu memberikan segala permasalahan keluar diri, dalam kontek ini kita memberikan segala kegalauan hati kepada Allah. Selain itu dengan pengungkapan ini kita akan menumbuhkan rasa dekat kepada Allah. Tahap ini juga merupakan curhat seperti seorang anak dengan ibunya, begitu dekat dan tidak ada yang ditutupi, jujur kepada Allah dari apa yang dirasakan apa yang dipikirkan apa yang menjadi kekhawatiran. Tahap ini jika dilakukan dengan benar sudah merupakan terapi terhadap jiwa, seperti halnya seorang klien yang mencurahkan segala unek uneknya kemudian didengar oleh psikolognya dengan penuh penerimaan, dengan penuh kasih sayangnya.
c.       Permohonan doa kesembuhan terhadap apa yang dialami. Permohonan doa bukanlah perminataan yang memaksa Allah untuk mengabulkan. Untuk itu doa yang dipanjatkan harus disertai dengan kerendahan hati, dengan segenap sikap butuh kepada Allah. Posisi hamba yang berdoa adalah meminta dia tidak berhak untuk memaksa, hamba tadi hanya diberi wewenang untuk meyakini bahwa doanya dikabulkan bukan memaksa allah untuk mengabulkan.
Tahap menunggu diam namun hati tetap mengadakan permohonan kepada Allah. Doa merupakan bentuk komunikasi antara yang meminta dan yang memberi. Ketika proses permintaan sudah disampaikan maka proses pemberian (dijawabnya doa) harus ditunggu karena pemberian atau dijawabnya bersifat langsung. Syarat untuk dapat menerima jawaban ini adalah dengan sikap rendah diri, terbuka, dan tenang (tidak tergesa gesa).
DAFTAR PUSTAKA
Capernito, L. J. 2009. Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada Praktik Klinis. (Kusrini Semarwati Kadar, Penerjemah). Jakarta: EGC.
Hamid, A.Y.S. (2008). Bunga rampai asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: EGC
Hawari, D. (2007), Dimensi Religi dalam Praktik Psikiatri dan Psikologi, Jakarta:    Penerbit FKUI
Kemp, C., (2010). Klien Sakit Terminal Seri Asuhan Keperawatan, Jakarta: EGC.
Kozier, Barbara. (2010). Buku ajar fundamental keperawatan : konsep, proses dan praktik. Ed 7. Jakarta : EGC
Potter, A. Patricia, Perry, A. Griffin. 2005. Fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Ed.4 Vol.2. (Renata Komalasari, Penerjemah). Jakarta: EGC.
Purwanto, S. (2007). Psikoterapi Doa. Dikutip pada tanggal 3 April 2012, dari             setiyo.blogspot.com/2007/02/terapi-doa.html
Raya, A.T & Mulia, S.M. (2003). Menyelami Seluk-Beluk Ibadah Dalam Islam. Jakarta Timur : Prenada Media
Solihin, M. (2004). Terapi Sufistik: Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Perspektif Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia
Sururin. (2004). Ilmu Jiwa Agama. Ed.1. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada


No comments:

Post a Comment

Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat