google adsense

Monday, August 7, 2017

Konsep Pencegahan Dekubitus

A.    Konsep Pencegahan Dekubitus
1.      Pengertian Dekubitus
      Dekubitus disebut juga pressure sores atau bed sores, adalah lesi di kulit yang terjadi akibat rusaknya epidermis, dermis dan kadang-kandang jaringan subkutan, dan tulang dibawahnya. Hal ini akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat.  Apabila ini berlangsung lama, maka dapat menyebabkan insufisiensi aliran darah, anoksia atau iskemi jaringan dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian sel, (Corwin, 2009 p134)
      Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat tekanan eksternal yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak sembuh dengan urutan dan waktu biasa. Gangguan ini terjadi pada individu yang berada di atas kursi atau tempat tidur, seringkali pada inkontiensia, malnutrisi ataupun individu yang mengalami kesulitan makan sendiri serta mengalami gangguan tingkat kesadaran (Potter dan Perry ,2005 p.1261)
2.      Patofisiologi Dekubitus
(Terlampir)
3.      Etiologi
      Dekubitus biasanya dijumpai pada orang-orang yang dirawat dirumah sakit atau mengalami penurunan mobilitas, terutama bila disertai dengan status nutrisi yang buruk. Meskipun demikian, dekubitus dapat dialami oleh individu yang mobilitasnya normal, namun sensitivitas terhadap nyeri menurun, seperti pada penderita diabetes mellitus, cedera medulla spinalis, atau stroke, (Corwin, 2009 p 134).
      Keparahan suatu dekubitus berdasarkan pada kedalaman ulkus. Ulkus dekubitus muncul akibat 4 faktor yaitu tekanan, gesekan, friksi, dan lembab. Ulkus ini biasanya terbentuk dibagian-bagian kulit yang terletak diatas tonjolan tulang, seperti siku, tumit, bahu, sacrum, pinggul, mata kaki, dan telinga. Ulkus terbentuk apabila tekanan didaerah tersebut terjadi terus menerus dalam waktu lama, sehingga pembuluh-pembuluh darahnya kolaps dan menyebabkan hipoksia jaringan serta kematian sel.
Ulkus Dekubitus

Gambar 2.9 Area dekubitus
a.       Faktor Pemicu Terjadinya Dekubitus
      Beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya dekubitus menurut Perry dan Potter (2005), antara lain:
1)      Gangguan input sensorik
      Klien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan tekanan resiko tinggi mengalami gangguan integritas kulit daripada klien yang sensasinya normal. Klien yang mempunyai persepsi sensorik yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar.
2)      Gangguan fungsi motorik
      Klien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko tinggi terjadi dekubitus. Klien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadi dekubitus.
3)      Perubahan tingkat kesadaran
      Klien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari dekubitus. Klien bingung atau disorientasi mungkin akan dapat merasakan tekanan tapi tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu.
4)      Gips, traksi, alat ortopik, dan peralatan lain
      Gips dan traksi mengurangi mobilisasi klien dan ektremitas. Klien yang menggunakan gips berisiko tinggi terjadi dekubitus karna adanya daya friksi ekternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit.
      Selain faktor di atas, Perry dan Potter (2005) juga menjabarkan beberapa faktor tambahan yang dapat meningkatkan resiko terjadi luka dekubitus yang lebih lanjut pada pasien, diantaranya:
1)      Gaya gesek. Yaitu tekanan yang diberikan pada kulit dengan arah parallel terhadap permukaan tubuh(AHCPR 1994). Gaya ini terjadi saat klien bergerak atau memperbaiki posisi tubuhnya diatas tempat tidur dengan cara didorong atau digeser kebawah saat berada pada posisi fowler yang tinggi.
2)      Friksi. Yaitu gaya mekanika yang diberikan saat kulit bergeser pada permukaan kasar seperti alat tnun tempat tidur. Tidak seperti cedera akibat gaya gesek friksi mempengaruhi epidermis atau lapisan kulit bagian atas, yang akan terkelupas ketika klien mengubah posisi.
3)      Kelembaban. Adanya kelembaban pada kulit dan durasinya meningkatkan resiko terjadi ulkus. Adanya kelembaban meningkatkan resiko pembentukan dekubitus sebanyak 5 kali lipat.
4)      Nutrisi buruk. Klien kurang nutrisi sering megalami atropi otot dan penurunan jaringan subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit.
5)      Anemia. Klien anemia  beresiko terjadi dekubitus. Penurunan level hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa oksigen dan mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia juga menggangu penyembuhan luka.
6)      Kakeksia. Yaitu penyakit kesehatan dan malnutrisi umum, ditandai kelemahan dan kurus. Kakeksia biasa berhubungan dengan penyakit berat seperti kanker dan penyakit kardiopulmonaltahap akhir.

b.      Fator yang memperburuk dekubitus
1)      Diabetes Mellitus
      Diabetes Mellitus merupakan penyakit yang memiliki komplikasi paling banyak. Hal ini berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi, sehingga berakibat rusaknya pembuluh darah, saraf, dan struktur internal lainnya. Zat komplek yang terdiri dari gula di dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini, maka aliran darah akan berkurang, terutama yang menuju aliran saraf dan kulit.
      Apabila terjadi infeksi di bagian kulit dan tidak diatasi dengan baik, maka hal ini akan beresiko terjadinya dekubitus seperti luka diabetic (luka ulkus atau ganggreng). Luka diabetik (luka ulkus atau ganggreng) adalah luka diabetic yang sudah membusuk dan bisa melebar, ditandai dengan jaringan yang mati berwarna kehitaman dan berbau karena disertai pembusukan oleh bakteri (Ismayanti, 2007).

4.      Manifestasi Klinis Dekubitus
a.       Derajat Dekubitus
      Menurut Kozier (2010) ada empat derajat ulkus dekubitus, yaitu:
1)      Derajat I, Eritema yang tidak pucat saat ditekan, yang menandakan kemungkinan terjadinya ulserasi
2)      Derajat II. Kehilangan kulit dengan kedalaman sebagian (abrasi, lepuh, atau lubang dangkal) yang melibatkan epidermis dan kemungkinan dermis.
3)      Derajat III. Kehilangan kulit dengan kedalaman penuh, dan melibatkan adanya kerusakan atau nekrosis pada jaringan subkutan yang mengkin dapat meluas ke dalam kulit, namun tidak masuk melewati fasia dibawahnya.
4)      Derajat IV. Kehilangan kulit yang sangat dalam disertai adanya nekrosis jaringan atau kerusakan yang mencapai otot, tulang, atau struktur penyokong, seperti tendon atau kapsul. Pengikisan dan saluran sinus juga dapat muncul.
Gambar 2. 10 derajat luka dekubitus
b.      Gambaran klinis dekubitus
      Gambaran klinis dekubitus menurut Crowin (2009) adalah sebagai berikut:
1)      Tanda cedera awal adalah adanya kemerahan yang tidak menghilang apabila ditekan oleh ujung jari (nonblaching). Pada cedera yang lebih berat dijumpai ulkus di kulit. Lesi kulit yang dapat terlihat dapat memiliki ketebalan parsial atau penuh, yang meluas ke dalam dermis atau bahkan menembus subkutan. Cedera ketebalan penuh dapat merusak tulang.
2)      Dapat timbul rasa nyeri dan tanda-tanda sistemik peradangan, termasuk demam dan peningkatan hitung sel darah putih.

c.       Klasifikasi dekubitus
      Menurut Johnson, 2005 pp, 605-607, ada beberapa klisifikasi dekubitus, yaitu:
1)      Derajat I :  Eritema yang tidak dapat  memutih pada  kulit  utuh,  suatu lesi  ulserasi yang   meluas. Pada individu dengan kulit gelap, perubahan warna kulit, hangat,      edema, indurasi, atau keras dapat menjadi indikasi.
2)      Derajat II :  Ketebalan kulit hilang parsial, mengenai epidermis, dermis atau keduanya.
3)      Derajat III : Ketebalan kulit hilang penuh,  yang   merusak   atau   menyebabkan  nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas ke dalam, tetapi tidak melewati lapisan   fasia. Ulkus Nampak secara  klinis  sebagai kawah  dalam dengan atau tanpa lubang pada jaringan  sekitar.
4)      Derajat IV : Ketebalan kulit hilang penuh disertai  destruksi  luka,  nekrosis  jaringan, atau kerusakan   pada  otot,  tulang,  atau   struktus  penunjang  (mis., tendon atau kapsula sendi).

      Adapun menurut Torrace, 1993 pp, 135 klasifikasi dekubitus dibagi menjadi:
1)      Derajat I   : Hiperemia yang memucat. Tekanan yang ringan dan singkat dengan jari pada tempatnya eritema yang diakibatkan tekanan di atas kulit dalam periode yang lama, dapat  menyebabkan  kulit  menjadi  pucat,  menunjukkan  bahwa  kulit tersebut utuh
2)      Derajat II  : Hiperemia   yang   tidak   memucat. Eritema   yang   tidak   hilang   pada  saat dilakukan   tekanan   ringan  dengan  jari,   mengindikasi   adanya   beberapa gangguan mikrosirkulasi. Mungkin  terjadi  kerusakan   superficial  termasuk uiserasi epidermal.
3)      Derajat III : Ulserasi  berkembang   melewati  dermis.  Ulserasi  berkembang   ke   bidang pemisah dengan jaringan subkutan.
4)      Derajat IV  : Ulkus  meluas  ke  dalam  lemak  subkutan.  Otot  yang  berada  di bawahnya megalami pembengkakan dan inflamasi. Ulkus cenderung untuk menyebar ke arah lateral, untuk  sementara  perkembangan  ke  bawah  dihalangi oleh fasia profunda.
5)      Derajat V  :  Nekrosis infektif menembus ke bawah menuju fasia profunda. Pada saat ini, destruksi muskulus terjadi dengan cepat.
      Sedangkan menurut Potter dan Perry, 2005 pp, 1263, yaitu;
1)      Tahap I: Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi ulkus kulit yang diperbesar. Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indicator.
2)      Tahap II: Hilangnya   sebagian   ketebalan  kulit  meliputi  epidermis  atau dermis. Ulkus superficial  dan  secara  klinis  terlihat seperti  abrasi , lecet  atau  lubang  yang  dangkal.
3)      Tahap III: Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan  yang  rusak atau nekrotik yang  mungkin  akan  melebar ke bawah, tapi tidak  melampaui  fascia yang  berada  di  bawahnya. Ulkus  secara  klinis  terlihat  seperti  lubang  yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
4)      Tahap V  : Hilangnya  seluruh   ketebalan  kulit   disertai    destruksi   ekstensif,   nekrosis jaringan, atau  kerusakan   otot,  tulang  atau struktur penyangga (mis., tendon, kapsul sendi).
5.      Skala Pengukuran Dekubitus
a.       Skala Norton (terlampir)
b.      Skala Braden
Skala Braden untuk risiko dekubitus
Nama pasien                       nama pelaksana evaluasi                          tanggal pengkajian
Persepsi sensorik
Kemampuan untuk merespons tekanan berarti yang berhubungan dengan ketidaknyamanan
1. terbatas total.
Tidak berespons (tidak merintih,menyentak, atau merenggut) pada stimulus nyeri akibat kurangnya tingkat kesadaran atau sedasi;
ATAU
Keterbatasan kemampuan untuk merasakan nyeri pada sebagian besar permukaan tubuh.
1.      sangat terbatas.
Berespons hanya pada stimulus nyeri. Tidak dapat mengomunikasikan ketidaknyamanan kecuali dengan cara merintih atau gelisah
ATAU
Mempunyai gangguan sensorik yang membatasi kemampuan untuk merasakan nyeri atau ketidaknyamanan pada separuh permukaan tubuh.
3. sedikit terbatas
Berespons pada perintah verbal, tapi tidak selalu dapat mengkomunikasikan ketidaknyamanan atau harus dibantu membalikkan tubuh.
ATAU
Mempunyai gangguan sensorik yang membatasi kemampuan merasakan nyeri atau ketidaknyamanan pada 1 atau 2 ekstremitas.
4. tidak ada gangguan
Berespons pada perintah verbal. Tidak ada penurunan sensorik yang akan membatasi kemampuan untuk merasakan atau mengungkapkan nyeri atau ketidaknyamanan.
Kelembaban
Tingkat kulit yang terpapar kelembaban
1.Kelembaban kulit yang konstan.
Kulit dijaga agar tetap lembab hampir secara konstan oleh perspirasi,urine, dll. Kelembaban diketahui setiap kali pasien bergerak atau membalikkan tubuh.
2.Sangat lembab
Kulit sering lembab tetapi tidak selalu lembab. Alat tenun harus diganti sedikitnya satu kali tiap waktu dinas.
3. kadang kadang lembab
Kulit kadang kadang lembab, memerlukan penggantian alat tenun ekstra 1x sehari
4. jarang lembab
Kulit biasanya kering, alat tenun hanya perlu diganti sesuai jadwal.
Aktivitas
Tingkat aktivitas fisik
1. tirah baring terbatas diatas tempat tidur
2. diatas kursi mampu berjalan dengan keterbatasan yang tinggi atau tidak mampu berjalan. Tidak dapat menopang berat badannya sendiri dan/atau harus dibantu pindah ke atas kursi atau kursi roda.
3.Kadang kadang berjalan
Kadang2 berjalan pada siang hari, tapi hanya untuk jarak yang sangat dekat,dengan atau tanpa bantuan. Sebagian besar waktu dihabiskan di atas tempat tidur atau kursi.
4. sering berjalan
Berjalan diluar kamar sedikitnya 2 kali sehari dan didalam kamar sedikitnya 1 kali tiap 2 jam selama jam terjaga.
Mobilisasi
Kemampuan mengubah dari mengontrol posisi tubuh
1. imibilisasi total
Tidak dapat melakukan perubahan posisi tubuh atau ekstremitas tanpa bantuan walaupun hanya sedikit.
2.sangat terbatas
Kadang2 melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstrimitas tapi tidak mampu melakukan perubahan yang sering dan berarti secara mandiri.
3. Agak terbatas
Sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstremitas secara mandiri
4. tidak terbatas
Melakukan perubahan posisi yang bermakna dan sering tanpa bantuan.
Nutrisi
Pola asupan makanan yang lazim
1. sangat buruk
Tidak pernah makan makanan lengkap. Jarang makan lebih dari 1/3 porsi makanan yang diberikan. Tiap hari asupan protein(daging atau susu) 2 kali atau kurang.
Kurang minum. Tidak makan suplemen makanan cair.
ATAU
Puasa dan /atau  minum air bening atau mendapat infus lebih dari 5 hari.
2.mungkin kurang
Jarang makan makanan lengkap dan umumnya makan kira2 hanya ½ porsi makanan yang diberika. Asupan protein daging susu hanya 3 kali sehari. Kadang2 mau makan makanan suplemen.
ATAU
Menerima kurang dari jumlah optimum makanan cair dan sonde.
3. cukup
Makanan lebih dari ½ porsi makanan yang diberikan, makan peotein(daging susu) sebanyak 4x setiap hari. Kadang2 menolak makanan tapi biasa mau makan siplemen yang diberikan.
ATAU
Diberikan makanan melalui sonde atau regiment nutrisi parenteral yang mungkin dapat memenuhi sebagian besar pemenuhan nutrisi.
4. baik
Makan makanan setiap makanan yang diberikan. Tidak pernah menolak makanan. Biasa makan 4x atau lebih, dengan pemberian daging atau susu. Kadang2 makan diantara jam makan tidak memerlukan suplemen.
Friksi dan gesekan

1. masalah memerlukan bantuan yang sedang sampai maksimum untuk bergerak. Tidak mampu mengangkat tanpa terjatuh. Sering kali terjatuh ke atas tempat tidur atau kursi, sering membutuhkan maksimum untuk mengatur posisi kembali. Kejang,kontraktur,atau agitasi menyebabkan friksi yang terus menerus.
2. Masalah yang berpotensi bergerak dengan lemah dan membutuhkan bantuan minimum selama bergerak kulit mungkin akan menyentuh alas tidur kursi,alat pengikat atau alat lain sebagian besar mampu mempertahankan posisi yang relatif baik di alas kursi atau tempat tidur tapi kadang2 jatuh kebawah.
3. tidak ada masalah
Bergerak diatas tempat tidur dan kursi secara mandiri dan mempunyai otot yang cukup kuat untuk mengangkat sesuatu sambil bergerak mampu mempertahankan posisi yang baik di atas tempat tidur atau kursi.

Total nilai

c.       Skala Gosnell
Skala Gosnell: pengkajian risiko dekubitus
Nama                                                                             diagnosa medis
Usia                                jenis kelamin                          primer
Tinggi badan                  berat badan                             sekunder
Tgl.masuk                                                                      diagnosa keperawatan
Tgl.pulang

Instruksi : lengkapi semua kategori dalam 24 jam setelah masuk dan setiap hari setelahnya rujuk pada pedoman berikutnya untuk rincian urutan yang spesifik.

Status mental
Kontinensia
mobilisasi
aktivitas
nutrisi

tgl
1.sadar
2.apatis
3.bingung
4.stupor
5.tidak sadar
1.kontrol penuh
2.kontrol sering
3.kontrol minimal
4.kehilangan kontrol
1.penuh
2.agak terbatas
3.sangat terbatas
4.imobilisasi
1.ambulasi
2.jalan dengan bantuan
3.di atas kursi
4.tirah baring
1.baik
2.sedang
3.buruk


Total nilai
Profil pengkajian pengobatan risiko dekubitus
Obat
dosis
frekuensi
Cara pemberian
Tgl mulai pemberian
Tgl berhenti pemberian













6.      Penatalaksanaan Dekubitus
      Penatalaksanaan klien dekubitus memerlukan pendekatan holistik yang menggunakan keahlian pelaksanaan yang berasal dari beberapa disiplin ilmu kesehatan (AHCPR, 1994 dalam Perri dan Potter, 2005). Selain perawat, keahlian pelaksana termasuk dokter ahli fisioterapi, ahli terapi okupasi, ahli gizi, dan ahli farasi (Rodeheaver dkk, 1994 dalam Peri dan Potter, 2005). Beberapa aspek dalam penatalaksanaan dekubitus antara lain perawatan luka secara lokal dan tindakan pendukung seperti gizi yang adekuat dan cara penghilang tekanan.
a.       Perawatan luka secara local
      Selama penyembuhan dekubitus luka  harus dikaji untuk lokasi , tahap, ukuran traktus sinus.kerusakan luka, luka menembus, eksudat,jaringan nekrotik,dan keberadaan atau tidak adanya jaringan granulasi maupun epitelialisasi( AHCPR,1994). Dekubitus harus dikaji ulang minimal satu kali sehari (AHCPR,1994). Dekubitus yang bersih harus menunjukkan proses penyembuhan dalam waktu 2-4 minggu.( AHCPR,1994). Beberapa prinsip perawatan luka secara local meliputi:
1)      Debridemen
2)      Pembersihan
3)      Pembersihan balutan

      Debredimen adalah pembuangan jaringan nekrotik sehingga jaringan sehat dapat beregenerasi. Pembuangan jaringan nekrotik diperlukan untuk menghilangkan ulkus yang menjadi sumber infeksi, agar lebih mudah melihat bagian dasar luka sehingga dapat menentukan tahap ulkus secara akurat, dan memberikan dasar yang bersih yang diperlukan untuk proses penyembuhan( rodeheaver dkk,1994).
      Metode debredimen yang digunakan harus tergantung metode yang paling sesuai dengan kondisi pasien dan tujuan perawatan ( AHCPR). Selama proses debredimen beberapa observasi luka normal yang mungkin terjadi peningkatan eksudat, baud an ukuran luka. Jenis-jenis metode debredimen antara lain:
1)      Mekanik. Debredimen mekanik menggunakan balutan tipis yang mengandung salin yang basah hingga kering.
2)      Autolitik. Debredimen autolitik menggunakan balutan sintetik yang diletakkan diatas luka agar eskar dapat lebih mudah dihancurkan oleh kerja enzim yang ada dalam cairan luka.
3)      Kimiawi/enzimatik. Penggunaan enzim debredimen topical pada jaringan rusak yang berada diatas permukaan luka. Tehnik yang digunakan dan khasiat tiap obat debridemen enzimatik, hanya kolagenase( santyl) yang disebut oleh AHCPR(1994) sebagai debredimen yang bersifat promotif dan meningkatkan pertumbuhan granulasi d jaringan.
4)      Pembedahan. Debredimen bedah adalah pembuangan jaringan rusak dengan menggunakan pisau bedah, gunting, atau benda tajam lain. Metode ini merupakan metode debridemen yang paling cepat. Metode ini bisa dilakukan apabila klien mempunyai tanda-tanda selulitis atau sepsis.

b.      Menghilangkan Tekanan
      Selain menghilangkan tekanan pada bagian tubuh dan menjaga tekanan pada bagian tersebut, kebersihan daerah ulkus dan seluruh permukaan kulit juga perlu diperhatikan. Kebersihan munkin sangat sulit dipertahankan pada klien inkontinensia, demam atau bingung.
      Kelembaban pada ataupun di sekitar daerah kulit yang rusak menyebabkan ulserasi dan infeksi yang lebih parah. Banyak produk yang tersedia untuk merawat dekubitus. Sebelum melaksanakan tindakan perawat harus mengkaji secara menyeluruh dekubitus pada klien dan menentukan jenis balutan yang tepat sesuai dengan tahap perkembangan ulkus.
c.       Penyembuhan luka dengan kelembaban
      Lingkungan penyembuhan luka yang lembab merupakan hal yang penting untuk penyambuhan luka karena lingkungan yang lembab mempengaruhi kecepatan epitelisasi dan pembentukan jumlah skar. Lingkungan penyembuhan luka yang lembab memberi kondisi optimum untuk mempercepat proses penyembuhan. Liingkungan luka yang lembab dapat ditingkatkan dengan penggunaan balutan yang tepat. Barier, adalah contoh balutan yang diletakkan di atas luka (tertutup seluruh atau sebagian), maka permukaan luka akan tetap lembab karena cairan luka ( Perry dan Potter, 2005 p. 1294).
      Setelah dekubitus berhasil dilakukan debridemen dan mempunyai bagian dasar granula bersih, maka tujuan perawatan luka lokal selanjutnya adalah memberikan lingkungan yang tepat untuk penyembuhan luka dengan kelembaban dan mendukung   pertumbuhan jaringan granulasi baru ( Perry dan Potter, 2005 p. 1294).
d.      Pendidikan Kesehatan.
      Pendidikan kesehatan bagi klien dan pemberi perawatan/ keluarga merupakan fungsi keperawatan yang penting. Ada berbagai jenis media yang bisa digunakan misalnya video atau keterangan tertulis. Keterangan tertulis terdiri dari berbagai jenis topik, antara lain mengganti balutan, oedoman melakukan tindakan pada luka, dan gambar memposisikan klien.  Pemahaman dan pengkajian tentangt pengalaman klien dan orang yang mendukung klien juga merupakan bagian penting dalam penatalaksanaan klien dekubitus (Perry dan Potter, 2005 p. 1297).
e.       Status Nutrisi
      Penatalaksanaan penting untuk dekubitus adalah mempertahankan asupan protein dan level hemoglobin. AHCPR (1994) merekomendasikann pengkajian singkat tentang nutrisi harus dilakukan untuk individu mengalami malnutrisi setiap 3 bulan sekali. Termasuk diantaranya individu yang tidak mampu makan melalui mulut atau mengalami perubahan berat badan yang tidak disadari. Parameter malnutrisi secara klinik telah ditetapkan oleh ACCPR. Pengkajian mulut dan kulit klien harus dilakukan untuk mengetahui adanya adanya tanda-tanda defisiensi nutrisi. Suplemen vitamnin dan mineral harus diberikan bila klien mengalami atau dicurigai mengalami defisiensi nutrisi ( Perry dan Potter, 2005 p. 1298).
No
Rekomendasi pedoman penatalaksanaan AHCPR 1994 tentang  pengkajian dan manajemen nutrisi pada dekubitus
1
Pastikan pemberian makanna yang adekuat untuk mencegah malnutrisi lebih lanjut, sesuai dengan keinginan individu.
2
Lakukan pengkajian nutrisi secara teliti seperti yang telah ditetapkan Nutritional Screening Intiative, sedikitnya tiap 3 bulan untuk individu yang tidak mammpu makan makanan melalui mulut atau yang mengalami perubahan berat badan yang tidak disadari.
3
Dorong asupan makanan atau suplemen jika individu dekubitus mengalami malnutrisi. Jika asupan makanan tetap tidak adekuat, tidak dilakukan, atua tidak mungkin dilakukan maka dukung nutrisi (biasanya makan melalui sonde) harus dilakukan agar klien memiliki keseimbangan nitrogen yang positif (30-35 kalori/kg/hari dan 1,25-1,50 protein/kg/hari) sesuai dengan tujuan perawatan.
4
Berikan suplemen vitamin dan mineral apabila terjadi defisiensi atau diperkirakan akan terjadi.
Table 2.9 Manajemen Nutrisi

f.       Status Protein
      Klien yang berpotensi atau telah mengalami penurunan level albumin serum atau buruknya asupan protein perlu menjalankan evaluasi nutrisi untuk memastikan asupan kalori yang tepat. Klien dapat kehilangan protein 50 gr per hari karena dekubitus yang tebuka dan basah. Peningkatan asupan protein dapat membantu perbaikan jaringan epidermis. Peningkatan asupan kalori dapat membatu penggantian jaringan subkutan. Peningkatan asupan vitamin C dapat meningkatkan sintesis protein dan perbaikan jaringan (Perry dan Potter, 2005 p. 1298).
g.      Hemoglobin
      Level hemoglobin yang rendah dapat menurunkan suplai oksigen ke jaringan dan akan mengakibatkan iskhemi yang lebih berat. Jika mungkin hemoglobin harus dipertahankan pada level 12g/ 100 ml. 

7.      Pencegahan Dekubitus
      Karena luka tekan lebih mudah dicegah daripada diobati, setiap orang yang berpartisipasi dalam peerawatan pasien bertanggung jawab untuk mencegah kerusakan kulit. Jika kerusakan kulit sudah terjadi, semua pemberi asuhan harus berusaha mempercepat pemyembuhan dekubitus. Menurut Hegner (2003) tindakan pencegahan dekubitus yang harus dilakukan oleh perawat antara lain:
a.       Merubah posisi pasien sedikitnya 2 jam sekali. Dibutuhkan perubahan posisi utama. Kerika merubah posisi pasien, hindari pergesekan, seperti menggeser pasien dengan linen atau alat-alat lain.
b.      Anjurkan pasien untuk duduk di kursi roda atau Gerichair untuk menegakkan mereka setiap 10 menit untuk mengurangi tekanan atau membantu pasien melakukannya.
c.       Anjurkan masukan nutrisi yang tepat dan cairan yang adekuat. Kerusakan kulit terjadi lebih mudah dan lambat untuk sembuh jika nutrisi pasien buruk. Nutrisi yang tepat mungkin mengharuskan pasien makan melalui selang dengan makanan yang diperkaya dengan suplemen tinggi  protein dan vitamin. Pasien yang mampu makan harus didorong untuk melakukannya. Pemasukan cairan yang adekuat juga dibutuhkan. Serum albimun, hematokrit dan kadar homoglobin adalah nilai-nilai laboratarium yang penting untuk mengkaji status nutrisi.
d.      Segera membersihkan feses atau urine dari kulit karena bersifat iritasi terhadap kulit. Cuci dan keringkan daerah tersebut dengan segera.
e.       Kapan pun anda melakukan perawatan personal  untuk pasien, inspeksi daerah dimana dekubitus umum terjadi. Laporkan adanya area kemerahan dengan segera.
f.       Jaga agar kulit tetap bersih dan kering.
g.      Jaga agar linen tetap kering dan bebas dari kerutan dan benda keras, seperti remah-remah dan jepit rambut.
h.      Mandikan pasien dengan sering. Beri perhatian khusus pada daerah-daerah yang beresiko mengalami tekaan atau gesekan.
i.        Masase sekitar daerah kemerahan dengan sering menggunakan losion. Jangan langsung mengusap daerah yang kemerahan tersebut dan jangan menggunakan alkohol.
j.        Jangan gunakan losion pada kulit yang rusak
k.      Beri sedikit bedak tabur pada area pergesekan, tetapi jangan sampai bedak tabur menumpuk atau menggumpal. Penggunaan bedak yang berlebihan dapat menyebabkan abrasi.
l.        Gunakan kain pembalik/alas untuk  memindahkan pasien yang tirah baring di tempat tidur.
m.    Jangan meninggikan kepala tempat tidur terlalu tinggi untuk mencegah efek shearing pada jaringan.
n.      Lakukan latihan rentang gerak minimal 2 kali sehari untuk mencegah kontraktur.
o.      Periksa kesesuaian dan penggunaan penahan atau restrein.
p.      Periksa selang nasogastrik dan kateter untuk memastikan bahwa selang tersebut tidak pada posisi  yang dapat menjadi sumber iritasi. Jaga agar bagian nasal dan urinarius yang terbuka tetap bersih dan bebas dari drainase. Daerah-daerah ini harus diperiksa dengan sering dan cermat.
q.      Gunakan kasur busa, kasur kulit, atau kasur perubah tekanan lainnya.



8.      Pedoman Pencegahan Dekubitus dan Proses Keperawatan Dekubitus
a.       Pedoman Pencegahan Menurut NPUAP
      Menurut National Pressure Ulcer Advisory (NPUAP) dalam Potter dan Perry (2005), terdapat 4 tahap pencegahan yang dapat dipedomani oleh tenaga medis untuk mencegah terjadinya dekubitus, diantaranya :
a)      Pengkajian resiko
1)      Gunakan pengkajian resiko, seperti skala Norton dan skala braden.
2)      Kaji seluruh pasien yang akan beresiko pada waktu masuk ketempat pelayanan kesehatan secara teratur.
3)      Pertimbangkan pasien yang hanya bisa duduk dkursi dan tidak mampu mengubah posisi  yang akan beresiko dekubitus.
b)      Perawatan kulit dan pengobatan
1)      Inspeksi kulit pasien minimal 1 kali sehari
2)      Mandikan pasien secara teratus. Gunakan sabun yang ringan. Hindarkan air panas dan friksi berlebihan.
3)      Tentukan program rehabilitas yang bertujuan mempertahankan memperbaiki status mobilisasi/aktivitas.
c)      Permukaan penyangga dan pengisian muatan secara mekanik.
1)      Perhatikan kesejajaran tubuh, distribusi BB, keseimbangan dan stabilitas, dan penghilang tekanan saar memposisikan pasien diatas kursi/kursi roda.
2)      Ajarkan [pasien yang mampu duduk untuk memindahkan BB nya setiap 15 menit.
3)      Gunakan bantal atau busa untuk menjaga tonjolan tulang seperti lutut dan pergelangan kaki dari kontak langsung dengan yang lain.
4)      Gunakan peralatan yang menghilangkan tekanan pada tumit (misalnya letakkan bantal dibawah betis untuk meninggikan tumit).
d)     Pendidikan
1)      Implementasikan program pendidikan pencegahan dekubitus yang terstruktur, terorganisasi, dan ditujukan untuk semua tingkat pemberi pelayanan kesehatan pasien.
2)      Masukkan mekanisme tetap untuk mengevaluasikan efektifitas program pencegahan dekubitus.
      Adapun tahapan dibawah ini berasal dari NPUAP (1992), dan tahapan ini juga digunakan dalam pedoman pengobatan AHPCR (1994). Pada konferensi konsensus NPUAP (1995) mengubah defenisi untuk tahap I yang memperlihatkan karakteristik pengkajian pasien berkulit gelap. Berbagai indikator selain warna kulit, seperti suhu, adanya pori-pori ”kulit jeruk”, kekacauan atau ketegangan, kekerasan, dan data laboratorium, dapat membantu mengkaji pasien berkulit gelap (Maklebust & Seggreen, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Bennet (1995 dalam Potter & Perry, 2005). menyatakan saat mengkaji kulit pasien berwarna gelap, memerlukan pencahayaan sesuai untuk mengkaji kulit secara akurat. Dianjurkan berupa cahaya alam atau halogen. Hal ini mencegah munculnya warna biru yang dihasilkan dari sumber lampu pijar pada kulit berpigmen gelap, yang dapat mengganggu pengkajian yang akurat.
b.      Pedoman Perawatan Dekubitus AHCPR
      Tahap pertama pencegahan adalah mengkaji faktor-faktor resiko dekubitus, lalu perawat berusaha untuk mengurangi resiko dengan mengatur atau mengelola lingkungan yang mempercepat terjadinya dekubitus seperti suhu ruangan yang panas (penyebab diaphoresis), kelembaban atau linen tempat tidur yang berkerut. Selanjutnya perawat memfokuskan pada 3 area intervensi keperawatan utama untuk mencegah dekubitus seperti perawatan kulit yang meliputi higienis dan perawatan kulit; pencegahan mekanik dan pendukung untuk permukaan yang meliputi pengaturan posisi, penggunaan tempat tidur dan kasur terapeutik dan pendidikan kesehatan(AHCPR, 1992, dikutip dalam Potter & Perry, 2005)
1)      Higiene dan perawatan kulit
      Perawat harus menjaga kulit klien tetap bersih dan kering. Pada perlindungan dasar untuk mencegah kerusakan kulit, maka kulit klien dikaji terus-menerus oleh perawat, dari pada delegasi ke tenaga kesehatan lainnya. Jenis produk untuk perawatan kulit sangat banyak dan penggunaannya harus disesuaikan dengan kebutuhan klien. Ketika kulit dibersihkan maka sabun dan air panas harus dihindari pemakaiannya. Sabun dan lotion yang mengandung alkohol menyebabkan kulit kering dan meninggalkan residu alkalin pada kulit. Residu alkalin menghambat pertumbuhan bakteri normal pada kulit, dan meningkatkan pertumbuhan bakteri oportunistik yang berlebihan, yang kemudian dapat masuk pada luka terbuka.
      Ketika kulit dibersihkan maka sabun dan air panas harus dihindari pemakaiannya (AHCPR, 1992). Sabun dan lotion yang menyebabkan kulit kering dan residu alkalin pada kulit. Residu alkalin menghambat pertumbuhan bakteri normal pada kulit dan meningkatkan pertumbuhan bakteri oportunistik yang berlebihan, yang kemidian masuk kedalam luka terbuka (Barnes 1987). Setelah kulit dibersihkan dan benar-benar kering, pelembab pelindung harus diberikan untuk menjaga epidermis terlubrikasi tapi tidak mengalami oversaturasi (AHCPR, 1992). Tepung jagung adalah lubrikan kering dan membantu mengurangi friksi (Maklebust, 1991 b). A & D, Unicare dan pericare adalah beberapa contoh salep yang lembut dan anti air yang melindungi kulit dari kelembaban (AHCPR, 1992). Selain itu salep ini lebih mudah dibersihkan dari kulait (Barnes, 1987). Apabila perawat menggunakan salep anti air, maka ia harus membersihkan area tersebut dengan teratur. Salep, jika dibiarkan terlalu lama dikulit, dapat menjadi medium bagi bakteri dan dapat menyebabkan masalah kulit, seperti maserasi, jamur atau infeksi lain.  
      Usaha harus dibuat untuk mengontrol, menahan, atau memperbaiki inkontinesia, keringat maupun drainase luka. Dokter menemukan bahwa AHCPR, Urinary Incontinence in Adults: Clinical Practice Guideline (Incontinensia Urine pada Orang Dewasa: Pedoman Praktis Klinik) (1992) sangat berguna mengkaji dan mengatur inkontinensia urine. Apabila klien mengalami inkontinensia maka area tersebut ahrus dibersihkan dan pelindung kulit harus digunakan. Pelindung tersebut melindungi kulit dari kelembaban yang berlebihan dan toksin yang berasal dari urine atau feses (Maklebus, 1991b).
      Penggunaan alas dan pakaian yang menyerap air harus dipertimbangkan hanya bila modalitas penatalaksanaan inkontinensia yang telah dijelaskan sebelumnya tidak berhasil. Meskipun kontroversial, produk yang menyerap air (alas bagian bawah dan pakaian menyerap air seperti popok untuk dewasa dan celana pendek untuk inkontinensia) dapat menjadi bagian rencana penanganan klien inkontinensia. Perawat hanya menggunakan produk-produk kelembaban pada kulit klien (AHCPR, 1992). Pakaian yang menyerap air terbuat dari kapas dan mengandung polimer. Alas bagian bawah yang terbuat dari plastik dan sekali pakai tidak boleh diletakkan langsung dibawah kulit klien karena alas tersebut tidak menyerap kelembaban kulit klien. Produk ini melindungi tempat tidur, bukannya klien. Plastik dapat menyebabkan diaporesis, yang mengakibatkan maserasi kulit. Kulit yang lembab dan maserasi lebih rentan terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek, sehingga kerusakan kulit terjadi lebih cepat. Jika alas ini diperlukan untuk menyerap cairan tubuh, maka diletakkan dibawah sarung bantal dan kain penutup tempat tidur. Penggunaan yang tepat dari produk ini, perawatan kulit yang teliti, dan sering menggunakan alat tenun menggunakan bagian dari rencana keperawatan klien bila menggunakan produk yang menyerap air (AHCPR, 1992).
2)      Pengaturan posisi
      Intervensi pengaturan posisi diberikan untuk mengurangi takanan dan gaya gesek pada kulit. Dengan menjaga bagian kepala tempat tidur setiggi 30 derajat atau kurang akan menurunkan peluang terjadinya dekubitus akibat gaya gesek(AHCPR, 1992). Posisi klien immobilisasi harus diubah sesuai dengan tingkat aktivitas, kemampuan persepsi, dan rutinitas sehari-hari. Oleh karena itu standar perubahan posisi dengan interval 1 ½ sampai 2 jam mungkin tidak dapat mencegah terjadinya dekubitus pada beberapa klien. Telah direkomendasikan oleh AHCPR, 1992 penggunaan jadwal tertulis untuk mengubah dan menentukan posisi tubuh klien minimal diubah posisi setiap 2 jam. Saat melakukan perubahan posisi, alat Bantu untuk posisi harus digunakan untuk melindungi tonjolan tulang (AHCPR,1992). Untuk mencegah cidera akibat friksi, ketika mengubah posisi, lebih baik diangkat daripada diseret.
      Klien yang mampu duduk di atas kursi harus di batasi selama 2 jam atau kurang. Sekali lagi, ketepatan waktu merupaakan hal yang individu, tapi perawat tidak boleh membiarkan klien duduk dalam waktu lebih lama dari waktu yang direkomendasi, yang di hitung selama pengkajian. Jika interval yang ditentukan adalah tiap 1 jam. Pada posisi duduk, tekanan pada tuberositis iskial lebih besar ketika tubuh berada pada posisi supine. Selain itu pada klien beresiko seperti individu yang mengalami cedera medulla spinalis. Ketika duduk di atas kursi, klien harus di ajarkan atau di bantu untuk memindahkan berat badanya setiap 15 menit (AHCPR. 1992).
      Pemindahan berat tubuh dapat melepaskan tekanan pada tuberositis iskial dalam jagka waktu singkat. Klien juga harus duduk di atas alas busa, gol. Atau bantal udara untuk mendsitribusi berat badannya sehingga tekanan tidak seluruhnya terpusat pada iskium. Bantal kaku dan berbentuk donut menjadi kontrakindikasi karena bantal jenis tesebut mengurangi suplai darah ke area yang mengalami tekanan, sehingga meninbulkan area iskemi yang lebih luas (AHCPR, 1992, 1994; MAKLEBUST, 1991a).
      Setelah klien di ubah kembali posisinya, perawat kembali mengkaji ulang kulit klien. Mengidentifikasi karakteristik  yang mungkin menunjukkan tanda-tanda awal iskemia jaringan pada kulit gelap. Untuk klien berkulit terang perawat mengopservasi adanya hyperemia reaksi normal dan warna pucat. Area kemerahan jangan dilakukan pemijatan. Perubahan praktis ini merupakan hasil dari penelitian keperawatan ( Makleust, 1991 a, AHCPR, 1992). Pemijatan pada area kemerahan akan meningkatkan kerusakan kapiler pada jaringan yang berada di bawahnya dan meningkatkan resiko terjadinya dekubitus.
3)      Alas pendukung (kasur dan tempat tidur terapeutik)
      Berbagai jenis alas pendukung, termasuk kasur dan tempat tidur khusus, telah dibuat untuk mengurangi bahaya immobilisasi pada sistem kulit dan muskuloskeletal. Tidak ada satu alatpun yang dapat menghilangkan efek tekanan pada kulit. Pentingnya untuk memahami perbedaan antra alas atau alat pendukung yang dapat mengurangi tekanan dan alat pendukung yang dapat menghilangkan tekanan. Alat yang menghilangkan tekanan dapat mengurangi tekanan antar permukaan (tekanan antara tubuh dengan alas pendukung) dibawah 32 mmHg (tekanan yang menutupi kapiler). Alat untuk mengurangi tekanan juga mengurangi tekanan antar permukaan tetapi tidak dibawah besar tekanan yang menutupi kapiler (AHCPR, 1994). Saat memilih tempat tidur khusus, perawat harus mengkaji kebutuhan klien secara keseluruhan. Saat memilih alas pendukung, perawat harus mengetahui tujuan pembuatan alas pendukung tersebut. The support surface consensus panel mengidentifikasi 3 tujuan alat pendukung tersebut yaitu: kenyamanan, control postur tubuh dan manajemen tekanan.
c.       Proses Pengkajian Dekubitus
1)      Pengkajian
a)      Anamnesis, seperti: nama,umur, jenis kelamin, tempat tinggal, alamat, status perkawinan, dan gangguan emosional
b)      Riwayat penyakit saat ini
c)      Riwayat penyakit dahulu
d)     Pengkajian psiko-sosio-kultural
e)      Pemeriksaan fisik
(1)   Keadaan umum, seperti : kesadaran klien, kecemasan, kegelisahan, kelemahan, denyut nadi, frekuensi pernafasan, dan posisi istirahat klien.
(2)   Ukuran perkiraan, Perawat mengkaji dengan skala Braden dan Norton. Dimana bila hasil nilai numerik rendah pada skala Braden dan Norton menunjukkan bahwa klien beresiko tinggi mengalami kerusakan integritas kulit. Sedangkan nilai numerik tinggi pada skala Gosnell atau Knoll menunjukkan resiko tinggi kerusakan kulit.
(3)   Kulit, inspeksi: pengkajian dasar dilakukan untuk menentukan karakteristik kulit normal klien dan setiap area yang potensial atau aktual mengalami kerusakan kulit. Perawat memberi perhatian khusus pada daerah dibawah gips, traksi, balutan, tongkat penopang, penyangga leher, dan pada area-area tubuh yang banyak mengalami penekanan sesuai posisi klien. Palpasi: perawat mengkaji untuk memperoleh data lebih lanjut tentang indurasi dan kerusakan kulit maupun jaringan.
(4)   Mobilisasi, perawat mengkaji kualitas tonus otot dan kekuatan otot klien. Jika pasien mampu untuk bergerak maka perawat harus mendorong pasien agar sering mengubah posisinya untuk menghilangkan tekanan. Namun apabila klien terlalu lemah untuk bergerak secara mandiri, maka perawat yang harus membuat intervensi untuk membantu memobilisasi klien.
(5)   Status Nutrisi, pengkajian status nutrisi harus menjadi bagian integral dalam pengkajian data awal pada klien beresiko gangguan integritas kulit. Pasien dengan malnutrisi atau kakeksiadan BB<90%, BB ideal, atau pasien yang BB>110% BB ideal lebih beresiko terjadi dekubitus. Walaupun persentase BB bukan indikator yang baik untuk menentukan tingkat resiko tersebut, namun jika ukuran ini digunakan bersama dengan jumlah serum albumin atau protein total yang rendah, makan persentase BB ideal BB dapat mempengaruhi timbulnya dekubitus.
(6)   Nyeri, pengkajian dan evaluasi tingkat nyeri pasien dalam pengkajian dekubitus diperlukan untuk mengevaluasi evektifitas program pengobatan serta untuk meningkatkan sensitivitas pemberi pelayanan kesehatan terhadap nyeri akibat dekubitus.
No
Jenis
Pengkajian
Nilai
1
Ukuran
1 = Panjang x lebar < 4cm3
2 = Panjang x lebar 4-16 cm3
3 = Panjang x lebar 16.1-36 cm3
4 = Panjang x lebar 36.1-80 cm3
5 = Panjang x lebar > 80 cm3

2
Kedalaman
1= Eritema yang tidak pucat bila ditekan pada kulit utuh
2 = sebagian ketebalan kuit hilang termasuk epidermis atau dermis
3 = Seluruh ketebalan kulit hilang melibatkan kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan; dapat meluas ke bawah tetapi tidak melalui fascia di bawahnya; atau gabungan antara ketebalan parsial dan seluruhnya atau lapisan jaringan yang tidak jelas oleh jaringan granulasi
4 = nekrosis yang tidak jelas
5 = Seluruh ketebalan kulit hilang dengan kerusakan, nekrotik atau kerusakan jaringan yang melebar hingga otot, tulang atau struktur penyangga

3
Batas
1 = Tidak jelas, difus, tidak dapat  dilihat dengan jelas
2 = Jelas, garis luar terlihat jelas, berdekatan, sesua dengan bagian dasar luka
3 = Dapat ditentukan dengan baik, tidak berdekatan dengan dasar luka
4 = Dapat ditentukan dengan baik, tidak berdekatan dengan dasar luka, bagian bawah melingkar, menebal
5 = Dapat ditentukan dengan baik, fibrotic, terdapat skar atau hiperkeratotik

4
Kerusakan
1 = Kerusakan <2 cm pada beberapa area
2 = Kerusakan 2-4 cm meliputi <50% batas luka
3 = Kerusakan 2-4 cm meliputi >50% batas luka
4 = kerusakan >4 cm pada beberapa area
5 = Mempunyai saluran atau membentuk saluran sinus

5
Jenis jaringan nekrotik
1= Tidak terlihat
2 = Jaringan yang tidak dapat hidup berwarna putih/abu-abu/ atau jaringan yang mengelupas berwarna kuning & tidak lengket
3 = Jaringan mengelupas berwarna kuning dan lengket
4 = Eschar lengket, lunak, hitam
5 = Eschar sangat lengket, keras, hitam

6
Jumlah jaringan nekrotik
1 = Tidak terlihat
2 = <25% dari dasar luka tertutup
3 = 25% hingga 50% luka tertutup
4 = >50% dan <75% luka tertutup
5 = 75% hingga 100% luka tertutup

7
Jenis eksudat
1= Tidak ada atau disertai berdarah
2 = Serosanguineosa : tipis, berair, merah pucat/merah muda
3 = Serosa : tipis, berair, jernih
4 = Purulen : tipis atau tebal, buram, coklat/kuning
5 = Sangat purulen : tebal, buram, kuning/hijau disertai bau

8
Jumlah eksudat
1 = Tidak ada
2 = Sedikit sekali
3 = Sedikit
4 = Sedang
5 = Banyak

9
Warna kulit di sekitar luka
1 = Merah muda atau normal untuk kelompok etnik tertentu
2 = Merah terang/pucat saat ditekan
3 = Putih atau abu-abu pucat atau hipopigmentasi
4 = Merah gelap atau ungu/tidak bisa pucat saat ditekan
5 = Hitam atau hiperpigmentasi

10
Edema jaringan perifer
1 = Sedikit pembengkakan di sekitar luka
2 = Non-pitting edema melebar <4 cm disekitar luka
3 = Non-pitting edema melebar > 4 cm disekitar luka
4 = Pitting edema melebar <4 cm disekitar luka
5 = Krepitus atau pitting edema melebar >4 cm

11
Indurasi jaringan perifer
1 = Kekuatan minimal disekitar luka
2 = Indurasi <2 cm disekitar luka
3 = Indurasi 2-4 cm melebar <50% disekitar luka
4 = Indurasi 2-4 cm melebar >50% disekitar luka
5 = Indurasi >4 cm di beberapa area

12
Jaringan granulasi
1 = Kulit utuh atau luka menebal sebagian
2 = Merah terang, merah daging; 75% hingga 100% luka terisi jaringan granlasi/jaringan tumbuh secara berlebihan
3 = Merah terang, merah daging;<75% & >25% luka terisi jaringan granulasi
4 = Merah muda/tidak mengkilap, merah kehitaman/jaringan granulasi mengisi plain <25% luka
5 = Tidak ada jaringan granulasi

13
Epitelialisasi
1 = 100% luka tertutup, permukaannya utuh
2 = 75% hingga <100% luka tertutup dan/atau jaringan epitel melebar >0,5cm ke dalam dasar luka
3 = 50% hingga <75% luka tertutup dan atau jaringan epitel melebar <=0,5 cm ke dalam dasar luka
4 = 25% hingga <50% luka tertutup
5 = <25% luka tertutup


Nilai Total

Tabel 2.10 pengkajian dekubitus
2)      Diagnose dan Intervensi
      Menurut Carpenito (1999,p.324), intervensi keperawatan pada pasien dekubitus adalah :
No
Diagnosa
Intervensi
Rasional
1
Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan destruksi mekanis jaringan sekuder terhadap tekanan, gesekan, dan friksi.
1.    Terapkan prinsip pencegahan luka dekubitus:
a.   Dorong latihan rentang gerak (ROM) dan mobilitas menahan beban berat badan bila mungkin.
b.   Tingkatkan mobilitas optimal (AHCPR, 1992) rujuk ke rencana perawatan kerusakan mobilitas untuk informasi lanjut).
c.   Pertahankan tempat tidur sedatar mungkin (lebih rendah dari 30 dereajat) dan sangga kaki dengan papan kaki (AHCPR, 1992).
d.  Hindari menggunakan gatch lutut.
e.   Gunakan blok busa atau bantal busa untuk memberikan efek jembatan untuk menyangga tubuh di atas dan di bawah area risiko tinggi atau area luka. (AHCPR, 1992; Crewe, 1987).
f. Ganti atau kurangi tekanan pada permukaan kulit dengan alat seperti di bawah ini:
1)      Matras udara.
2)      Tempat tidur penurun udara rendah.
3)      Tempat tidur udara cairan.
4)      Sebapu bot vaskular atau bantal di bawah betis untuk menyangga tumit dari permukaan tempat tidur.
g.   Instruksikan klien yang sedang duduk untuk mengangkat tubuhnya sendiri dengan menggunakan tangan kursi setiap 10 menit, bila mungkin atau bantu klien untuk berdiri dari kursi setiap 10 sampai 20 menit, tergantung pada faktor risiko yang ada.
h.   Jangan meninggikan kaki kecuali betis disangga.
i.     Berikan bantalan pada kursi dengan alat menghilangkan tekanan.
j.     Inspeksi area lain terhadap risiko terjadinya dekubitus pada tiap perubahan posisi:
1)   Telinga
2)  Siku
3)  Oksipital
4)  Trokhanter
5)  Tumit
6)  Iskia
7)  Sakrum
8)  Skapula
9)  Skrotum
2.    Observasi terhadap eritema dan kepucatan, dan palpasi area sekitar terhadap kehangatan dan perlunakan jaringan setiap perubahan posisi.
3.      Kompensasi terhadap defisit sensori:
a.  Inspeksi kulit setiap 2 jam terhadap tanda cedera.
b.Ajarkan klien dan anggota keluarga untuk sering mengamati kulit.



4.Identifikasi tahap terjadinya luka dekubitus:
a.  Tahap I: eritema kulit utuh tak pucat.
b.Tahap II: ulserasi epidermis atau dermis tanpa mengenai lapisan lemak subkutan.
c. Tahap III: ulserasi yang mengenai lemak subkutan.
d.  Tahap IV: ulserasi luas menembus otot dan tulang.

5.Kurangi atau hilangkan faktor  yang menunjang perluasan luka dekubitus yang telah ada.
a.       Cuci area sekitar ulkus dengan perlahan menggunakan sabun ringan, bilas secara menyeluruh untuk menghilangkan sabun, dan keringkan.
b.      Jangan lakukan masase pada setiap area kemerahan.
c.       Lakukan salah satu atau kombinasi beberapa hal berikut ini:
6.    Susun rencana untuk luka dekubitus dengan meggunakan prinsip penyembuhan luka basah, sebagai berikut:
a.       Hindari memecahkan lepuh.
b.      Bilas dasar ulkus dengan larutan salin steril.
c.       Hindari menggunakan pembersih luka dan antiseptik topikal.
d.      Balut luka dekubitus dengan balutan mempertahankan kelembaban lingkungan di atas dasar luka (mis, balutan film, balutan bafer hidrokoloid).
e.       Hindari agen pengering (mis, lampu pemanas).
7.    Konsul dengan perawat spesialis atau dokter untuk pengobatan luka dekubitus dalam atau terinfeksi.
1.    Prinsip-prinsip pencegahan luka dekubitus meliputi mengurangi atau meerotasi tekanan pada jaringan lunak.















































2. Hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan

3. a. Klien imobilisasi daat mengalami kerusakan sensasi, yang mengganggu kemamuan menyerap nyeri karena kerusakan kuli
    b. Inspeksi kulit teratur memungkinkan deteksi dini kerusakan









4. Pentahapan merupakan alat komunikasi yang menunjukkan kedalaman anatomi dari keterlibatan jaringan






5. Kekuatan mekanik atau kimia menunjang penyimpanan luka dekubitus










6.    Bila luka semi-tersumbat dan permukaan luka masih basah, sel-sel epidermal bermigrasi leih cepat di atas permukaan












7.     Konsultasi ahli dapat dibutuhkan untuk intervensi yang lebih spesifik.
2
Risiko tinggi terhadap infeksi yang berhubungan dengan pemajanan fekal/drainase urine
1.     Ajarkan pentingnya kebersihan kulit yang baik. Gunakan emolin bila kulit kerin, tetapi jangan biarkan kulit “basah” karena terlalu banyak lotion atau krim
2.     Lindungi kulit dari pemajanan pada urine/feses
a.       Bersihkan kulit secara menyeluru setelah setiap episode inkontinenm dengan menggunakan sabun cair yang tidak mengubah pH kulit
b.      Tamping feses dan urin pada wadah yang sesuai atau oleskan krim pelindung kulit, atau emolin sebagai barier terhadap urine dan feses
3.    Pertimbangan penggunaan balutan oklusif pada permukaan luka yang bersih, tetapi jangan pada luka yang dalam

4.    Pastikan mencuci tangan dengan cermat untuk mencegah transmisi infeksi




5.     Gunakan teknik yang tepat selama menganti semua balutan

6.     Bilas dasar luka dengan larutan NS





7.     Gunakan sarung tangan yang baru untuk setiap penggantian balutan pada klien dengan luka dekubitus multiple



8.     Pantau terhadap tanda infeksi luka local, mis., drainase purulen, selulitis
1.    Kulit kering rentan terhadap lecet dan infeksi. Emolin berlebihan maserasi


2.   Kontak dengan urine dan feses dapat  menyebabkan maserasi kulit Feses  mungkin lebih ulserogenik daripada urine, karena bakteri dan toksin yang terdapat dalam feses





3.   Balutan oklusif melindungi permukaan luka dari urine dan feses, tetapi dapat menahan bakteri pada luka dalam.
4.   Mencuci tangan yang tak tepat oleh pemberi perawatan merupakan sumber infeksi primer dari transmisi infeksi pada klien yang dirawat di rumah sakit.
5.   Teknik yang baik mengurangi masuknya organism pathogen ke dalam luka
6.   Infeksi membentuk debris nekrotik dengan sekresi yang memberikan media yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroorganisme
7.   Setiap ulkus dapat terkontaminasi oleh organism yang berbeda; tindakan ini dapat membantu mencegah infeksi silang
8.   Ulkus terinfeksi memerlukan intervensi tambahan
Table 2.11 Diagnosa Keperawatan pada Pasien dekubitus
3)      Evaluasi
a)      Dx I:
(1)   Mengidentifikasi factor penyebab luka dekubitus.
(2)   Mengidentifikasi rasional untuk pencegahan dan tindakan.
(3)   Berpartisipasi dalam rencana tindakan yang diprogramkan untuk meningkatkan
       penyembuhan luka
(4)   Menunjukkan kemajuan penyembuhan dekubitus dermal
(a)    Kulit tetap utuh.
(b)   Terjadi hiperemia reaktif normal.
(c)    Terjadi daerah pucat.
(d)   Ukuran luka mengecil.
(e)    Terdapat penurunan jumlah drainase luka.
(f)     Terdapat penurunan hiperemiapada daerah yang terganggu.
b)     Dx II :

(1)   Kulit tidak akan teriritasi akibat pemanajan terhadap fekal/drainase urine
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta. EGC.
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku saku patofisiologi Corwin. Egi Komara Yudha (et al). Jakarta: EGC.
Darmadi. (2008). Infeksi nosokomial: problematika dan pengendaliannya.  Jakarta: Salemba Medika
Deglin, Judith Hopfer. 2004. Pedoman obat untuk perawat. Jakarta: Monica Ester.
Ducel, G., Fabry, J.,& Nicolle, L. (2002). Prevention of hospital-acquired infections, A practical guide. 2nd edition. World Health Organization. Department of Communicable disease, Surveillance and Response.
Gabriel, J. F. (1996). Fisika kedokteran. Jakarta: EGC. Diperoleh pada 6 Februari 2012 dari www.books.google.co.id/books
Greundemann, Barbara J. (2005). Buku ajar keperawatan perioperatif. Vol. 1 prinsip. (Brahm U Pendit, et.al., penerjemah). Jakarta: EGC
Hence, grace. 2007. Med-math: perhitungan dosis, preparat, dan cara pemberian obat. Jakarta EGC
Herger, B.R. 2003. Asisten Keperawatan: Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Ed. 6. Jakarta: EGC
Johnson, Joyce Young. (2005). Prosedur perawatan di rumah: pedoman untuk perawat. Egi Komara Yudha, Sari Kurnianingsih (penerjemah). Jakarta: EGC.
Joyce L, Kee. (1996). Farmakologi Pendekatan Prosess Keperawatan. Jakarta : EGC.
Judith Hopfer, D. (2004). Pedoman Obat untuk Perawat. Jakarta : EGC.
Kee, Joyce L. (1996). Farmakologi: pendekatan proses keperawatan. Jakarta: EGC. Neal, Michael J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Penerjemah: dr. Juwalita Surapsari. Jakarta: Erlangga
Komalawati, Veronica. (2010) Community&Patient Safety Dalam Perspektif Hukum Kesehatan.
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2010). Asepsis. Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses dan praktek.Ed. 7. Vol 2. Jakarta: EGC
Lestari, Trisasi. Knteks Mikro dalam Implementasi Patient Safety: Delapan Langkah Untuk Mengembangkan Budaya Patient Safety. Buletin IHQN Vol II/Nomor.04/2006 Hal.1-3
Lukas, Stefanus. (2006). Formulasi steril. Ed.1. Yogyakarta: ANDI
Marison, Moya J. (2003). Manajemen luka. Florida, Monica Ester, sari kurnianingsih (penerjemah). Jakarta: EGC.
Nursalam dan Ninuk. 2007. Asuhan Keperawatn Pada Pasien Terinfeksi. Jakarta. Salemba Medika.
Pabuti, Aumas. (2011) Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien (KP) Rumah Sakit. Proceedings of expert lecture of  medical student of Block 21st of Andalas University, Indonesia
Panduang Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety). 2005
Potter, A. P & Perry, A. G. (2005). Fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Ed. 4. Vol. 1. (Renata Komalasari, penerjemah). Jakarta: EGC
Priharjo, Robert. 1995.  Teknik Dassar Penberian Obat Bago Perawat. Jakarta: EGC hal.9-11
Rochmanadji Widajat. (2009). Being a great ant sustainable hospital. Jakarta : Gramedia Pustaka
Suwarni, A. (2001). Studi Diskriptif Pola Upaya Penyehatan Lingkungan Hubungannya dengan Rerata Lama Hari Perawatan dan Kejadian Infeksi Nosokomial Studi Kasus: Penderita Pasca Bedah Rawat Inap di Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta Provinsi DIY Tahun 1999. Yogyakarta: Badan Litbang Kesehatan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
Tambayong,jan. (2001).Farmakologi untuk keperawatan.Jakarta.widya medika
Tietjen L, Bossemeyer D, & McIntosh N. 2004. Panduan pencegahan infeksi untuk fasilitas pelayanan kesehatan dengan sumber daya terbatas. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono prawirohardjo
Tim keselamatan Pasien RS RSUD Panembahan Senopati. Patient Safety.Yahya, Adib A. (2006) Konsep dan Program “Patient Safety”. Proceedings of  National Convention VI of The Hospital Quality Hotel Permata Bidakara, Bandung 14-15 November 2006.
Yahya, Adib A. (2007) Fraud & Patient Safety. Proceedings of  PAMJAKI meeting “Kecurangan (Fraud) dalam Jaminan/Asuransi Kesehatan” Hotel Bumi Karsa, Jakarta 13 December 2007. 

No comments:

Post a Comment

Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat