google adsense

Monday, August 7, 2017

Disaster Management dan Peran Perawat Pada Disaster Management

A.    Disaster Management dan Peran Perawat Pada Disaster Management
  1. Manajemen Bencana
a.       Pengertian
Manajemen bencana adalah proses yang sistematis dimana didalamnya termasuk berbagai macam kegiatan yang memenfaatkan kemampuan dari kebijakan pemerintah, kemampuan komunitas dan individu untuk menyesuaikan diri dalam rangka meminimalisir kerugian. Tujuan manajemen bencana pada berbagai fasilitas kesehatan medis adalah memelihara lingkungaan yang aman dan terus memberikan pelayanan dasar pada saat bencana (Japanese Red Cross Society & PMI, 2009, p. 13).

b.      Tujuan
Menurut Warfield, manajemen bencana mempunyai tujuan:
1)      Mengurangi, atau mencegah kerugian karena bencana
2)      Menjamin terlaksananya bantuan yang segera dan memadai terhadap korban bencana, dan
3)      Mencapai pemulihan yang cepat dan efektif.
c.       Model Manajemen Bencana
Menurut Sambodo (2012), terdapat lima model manajemen bencana, yaitu:
1)   Disaster management continuum model
Model ini mungkin merupakan model yang paling popular karena terdiri dari tahap-tahap yang jelas sehingga lebih mudah diimplementasikan. Tahap-tahap manajemen bencana di dalam model ini meliputi emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan early warning.
2)      Pre-during-post disaster model
Model manajemen bencana ini membagi tahap kegiatan di sekitar bencana. Terdapat kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan sebelum bencana, selama bencana terjadi, dan setelah bencana. Model ini seringkali digabungkan dengan disaster management continuum model.
3)      Contract-expand model
Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-tahap yang ada pada manajemen bencana (emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan early warning) semestinya tetap dilaksanakan pada daerah yang rawan bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak bencana adalah pada saat bencana tahap tertentu lebih dikembangkan (emergency dan relief) sementara tahap yang lain seperti rehabilitation, reconstruction, dan mitigation kurang ditekankan.
4)      The crunch and release model
Manajemen bencana ini menekankan upaya mengurangi kerentanan untuk mengatasi bencana. Bila masyarakat tidak rentan maka bencana akan juga kecil kemungkinannya terjadi meski hazard tetap terjadi.
5)      Disaster risk reduction framework
Model ini menekankan upaya manajemen bencana pada identifikasi risiko bencana baik dalam bentuk kerentanan maupun hazard dan mengembangkan kapasitas untuk mengurangi risiko tersebut.

Description: untitled1
                              Gambar 2. Manajemen Bencana
d.      Siklus Manajemen Bencana
Undang-Undang No. 24 tahun 2007 menyatakan “Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi”. Rumusan penanggulangan bencana dari UU tersebut mengandung dua pengertian dasar yaitu: penanggulangan bencana sebagai sebuah rangkaian atau siklus dan penanggulangan bencana dimulai dari penetapan kebijakan pembangunan yang didasari risiko bencana dan diikuti tahap kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 tahun 200, bab I, pasal 1 ayat, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12, siklus manajemen bencana dibedakan atas 6 fase, yaitu:
1)      Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
2)      Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
3)      Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
4)      Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
Tujuannya adalah menyelamatkan kelangsungan kehidupan manusia, mengurangi penderitaan korban bencana, dan meminimalkan kerugian material (Sambodo, 2012).
5)      Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana. Misalnya : renovasi atau perbaikan sarana-sarana umum, perumahan dan tempat penampungan sampai dengan penyediaan lapangan kegiatan untuk memulai hidup baru (Sambodo, 2012).
6)      Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana. Tujuannya adalah untuk mengurangi dampak bencana, dan di lain sisi memberikan manfaat secara ekonomis pada masyarakat (Sambodo, 2012).




Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam UU No. 24 tahun 2007 secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut:
Description: untitled21
                                                Gambar 3. Siklus Bencana
Menurut Kim dan Proctor 2002, dalam Veneema (2007), ada lima fase dasar untuk program manajemen bencana, dan masing-masing fase memiliki kegiatan khusus yang terkait dengan itu.
1)      Fase Preparedness
Mengevaluasi kerentanan fasilitas atau kecenderungan pada bencana. Isu-isu yang perlu dipertimbangkan termasuk: pola cuaca, lokasi geografis, kondisi, dan lokasi fasilitas, dan industry didekat rumah sakit (misalnya, pembangkit listrik nuclear atau pabrik kimia).
Preparedness adalah merencanakan bagaimana menanggapi bencana. Contoh: merencanakan kesiagaan; latihan keadaan darurat, system peringatan. Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman.
Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur) (Seni, 2011). Kegiatan fase Preparedness/kesiapsiagaan adalah sebagai berikut:
a)        Pengkajian terhadap kerentanan
b)        Membuat perencanaan (pencegahan bencana)
c)        Pengorganisasian
d)       Sistem informasi
e)        Pengumpulan sumber daya
f)         Sistem alarm
g)        Mekanisme tindakan
h)        Pendidikan dan pelatihan penduduk
i)          Gladi resik
2)      Fase Mitigasi
Langkah-langkah yang diambil untuk mengurangi dampak negatif yang diakibatkan oleh bencana dan dapat dianggap sebagai tindakan pencegahan. Contoh kegiatan mitigasi termasuk instalasi dan pemeliharaan generator listrik cadangan untuk mengurangi dampak dari kegagalan daya atau staff pelatihan untuk melakukan tugas-tugas lain untuk keadaan darurat.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah (Seni, 2011).
3)      Fase Respon
Fase respon adalah perencanaan implementasi actual bencana. Perencanaan respon terhadap pencariaan dan penyelamatan korban sangat baik menggunakan Incident Command System (ICS). Kegiatan respon perlu terus dipantau dan disesuaikan dengan perubahan situasi. Tindakan fase respon dapat berupa sebagai berikut:
a)      Instruksi pengungsian
b)      Pencariaan dan penyelamatan korban
c)      Menjamin keamanan di lokasi bencana
d)     Pengkajian terhadap kerugiaan akibat bencana
e)      Pembagiaan dan penggunaan alat perlengkapan pada kondisi darurat
f)       Pengiriman dan penyerahan barang material
g)      Penyediaan tempat pengungsian dan lain-lain
4)      Fase Recovery
Setelah insiden itu berakhir, organisasi dan staff perlu untuk memulihkan kondisi kembali. Layanan yang telah terganggu dan membutuhkan waktu untuk kembali rutinitas. Pemulihan biasanya lebih mudah jika segera dilakukan pada saat respon, beberapa staf ditugaskan untuk mempertahankan layanan penting, sementara yang lain ditugaskan untuk tanggap bencana.
Menurut Seni (2011), Secara garis besar, kegiatan-kegiatan utama pada tahap ini antara lain, mencakup:
a)      Pembangunan kembali perumahan dan lingkungan pemukiman penduduk berbasis kebutuhan dan kemampuan mereka sendiri dengan penekanan pada aspek sistem sanitasi lingkungan organik daur-ulang.
b)      Penataan kembali prasarana utama daerah yang tertimpa bencana, khususnya yang berkaitan dengan sistem produksi pertanian.
c)      Pembangunan basis-basis perekonomian desa dengan pendekatan penghidupan berkelanjutan, terutama pada kedaulatan dan keamanan pangan dan ketersediaan energi yang dapat diperbaharui (renewable energy); serta perintisan model sistem kesehatan yang terjangkau dan efektif.
5)      Fase Evaluasi
Sering disebut fase perencanaan dan tanggap bencara. Setelah bencana, karyawan dan masyarakat kembali ke rutinitas biasa. Penting bahwa evaluasi resmi dilakukan untuk menentukan apa yang baik, suatu yang diidentifikasi. Individu tertentu harus dilakukan evaluasi dan kegiatan tindak lanjut.
Menurut Japanese Red Cross Society & PMI (2009), bencana dibagi mejadi 4 fase yaitu:
a.    Fase Pencegahan Dan Kesiapsiagaan
Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan dengan memikirkan berbagai tindakan yang meminimalisir kerugian yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana dan menyusun perencanaan agar dapat melakukan kegiatan pertolongan serta perawatan yang efektif pada saat terjadi bencana.
b.      Fase Tindakan
Fase tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat yang nyata untuk menjaga diri sendiri.
c.       Fase Pemulihan
Fase dimana individu/masyarakat dengan kemampuannya sendiri dapat memulihkan fungsinya seperti sedia kala(sebelum terjadi bencana). Fase ini merupakan masa peraihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang.
d.   Fase Rehabilitasi/Rekonstruksi
Fase dimana individu/masyarakat berusaha mengembalikan fungsi-fungsinya seperti sebelum terjadi bencana dan merencanakan rehabilitasi terhadap seluruh komunitas.
2.      Peran Perawat Dalam Manajemen Bencana
Menurut Effendi & Makhfudli (2009, P. 170-171), peran perawat dalam manajemen bencana yaitu:
a.       Peran perawat dalam fase pre-impact
Sebelum bencana, anggota dari sistem pelayanan kesehatan masyarakat (PHC), harus mengenali/mengidentifikasi  resiko bencana dan populasi terutama efek kerentanan. Perawat harus mendidik masyarakat mengenai pencegahan bencana dan kesiapsiagaan. Selain itu mereka harus bekerja sama dengan badan-badan lain dalam penggunaan ilmu kesehatan masyarakat untuk mengembangkan rencana untuk mencegah bencana untuk membatasi angka kematian dan kesakitan (Clark , 2008, p. 764).
Peran perawat dalam manajemen bencana Menurut Effendi & Makhfudli (2009, P. 170), yaitu:
1)      Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam penanggulangan ancaman bencana untuk setiap fasenya.
2)      Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan, palang merah nasional, maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan stimulasi persiapan menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat.
3)      Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yang meliputi hal-hal berikut:
a)    Usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut).
b)   Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga yang lain.
c)    Pembekalan informasi tentang bagaimana menyimpan dan membawa persediaan makanan dan penggunaan air yang aman.
d)   Perawat juga dapat memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti dinas kebakaran, rumah sakit, dan ambulans.
e)    Memberikan informasi tempat-tempat alternative penampungan atau posko-posko bencana.
f)    Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa seperti pakaian seperlunya, radio portable, senter beserta baterainya, dan lainnya.
b.      Peran perawat dalam fase impact
Selama terjadinya bencana, perawat yang profesional akan mengkaji dan memberikan informasi mengenai kesehatan yang berefek pada hubungan antar pemerintah. Perawat koordinasi perlengkapan dari kebutuhan darurat dan pelayanan kesehatan, segera diberikan setelah bencana. Perawat memberi informasi dan membantu untuk melakukan pencegahan luka serta promosi makanan dan minuman yang aman, dan mengontrol hubungan komunikasi tentang penyakit. Mereka juga selalu masuk melihat tempat perlindungan akan tejainya resiko kesehatan (Clark , 2008, p. 764).
Peran perawat dalam manajemen bencana Menurut Effendi & Makhfudli (2009, P. 171), yaitu:
1)      Bertindak cepat.
2)      Do not promise. Perawat seharusnya tidak menjanjikan apa pun dengan pasti, dengan maksud memberikan harapan yang besar pada korban yang selamat.
3)      Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan.
4)      Koordinasi dan menciptakan kepemimpinan (coordinationnand create leadership).
5)      Untuk jangka panjag, bersama-sama pihak yang terkait dapat mendiskusikan dan merancang master plan of revitalizing, biasanya untuk jangka waktu 30 bulan pertama.
c.       Peran perawat dalam fase post-impact
Menurut landesman, 2005 dalam Clark, (2008), bencana yang bekelanjutan, para tim medis kesehatan masyarakat harus bertanggung jawab untuk peduli yaitu didapatkan untuk korban bencana dengan keperlutan yang berkelanjutan. Mereka juga harus berpartisipasi di dalam menegvaluasi respon dari bencana dan memperbaiki rencana akan respon bencana yang akan datang Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial, dan psikologis korban.
Peran perawat dalam manajemen bencana Menurut Effendi & Makhfudli (2009, P. 171), yaitu:
1)      Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial, dan psikologis korban.
2)      Stress psikologis yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi post-traumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan sindrom dengan tiga criteria utama. Pertama, gejala trauma pasti bisa dikenali. Kedua, individu tersebut mengalami gejala ulang traumanya melalui flashback, mimpi, ataupun peristiwa-peristiwa yang memacunya. Ketiga, individu akan menunjukkan gangguan fisik. Selain itu, individu dengan PTSD dapat mengalami penurunan konsentrasi, perasaan bersalah, dan gangguan memori.
Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait bekerja sama dengan unsure lintas sector menangani masalah kesehatan masyarakat pasca-gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan (recovery) menuju keadaan sehat dan aman
Daftar Pustaka

BNPB. 2012. Peraturan Kepala BNPB No. 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, diunduh dari  www.bnpb.go.id/upload/pubs/1.pdf
Effendi & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori Dan Praktik Dalam Keperawatan. Jakarta: Selemba Medika.
Hospital Disaster Plan & Regional Disaster Plan, diunduh dari http://www.pusdiklat-aparaturkes.net/index dan  www.bencana-kesehatan.net
Japanese Red Cross Society & PMI. (2009). Keperawatan Bencana. Banda Aceh: Forum Keperawatan Bencana
Pan America Health Organization. (2006). Bencana alam: perlindungan kesehatan masyarakat. Jakarta: EGC
Pan America Health Organization (2001). Establishing a mass casualty management system. Washington: PAHO
Seni, W. (2011). Siklus manajemen bencana. Diakses pada tanggal 18 November 2013 pukul 22.35 WIB dari
Sukandarrumidi. (2010). Bencana Alam dan Bencana Anthropogene. Yogyakarta: Kanisius
Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007-PNPB. Diakses dari http://www.bnpb.go.id/page/read/5/definisi-dan-jenis-bencana
Veenema, T.G. (2007 ). Disaster nursing and emergency preparedness for chemical, biological, and radiological terorisme and other hazard ( 2 nd ed ). New York : Springer Publishing Company.
Zailani. 2009. Keperawatan Bencana. Banda Aceh: Forum Keperawatan Bencana



No comments:

Post a Comment

Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat