google adsense

Monday, August 7, 2017

Konsep Universal Precaution

A.    Konsep Universal Precaution
1.      Pengertian
      Suatu metode pengendalian infeksi yaitu tujuan untuk melindungi pasien dan para petugas kesehatan atau perawat. Telah banyak pengendalian dan peringatan untuk mencegah pasien terjangkit infeksi atau terkontaminasi dengan mikrorganisme. Namun saat ini infeksi bahaya yang di timbulkan oleh pathogen yaiu melalui darah, misalnya (HIV) dan virus hepatitis, virus ini sangat mengancam kesehatan para petugas kesehatan. (johnson, 1992). Tiga komponen vital dalam universal precaution:
a.       Penggunaan pelindung
b.      Pencucian tangan yang sesuai
c.       Kewaspadaan dalam menangani benda tajam
Berbagai macam cairan tubuh untuk kewaspadaan universal yang berlaku:
a.       Darah
b.      Cairan serebrospinalis
c.       Cairan pericardium
d.      Cairan peritoneum
e.       Cairan pleura
f.       Air liur
g.      Semen
h.      Sekresi vagina
      Berbagai macam cairan tubuh untuk kewaspadaan universal yang tidak berlaku kecuali apabila cairan tersebut tampak mengandung darah:
a.       Feses
b.      Secret hidung
c.       Air liur
d.      Sputum
e.       Keringat
f.       Air mata
g.      Urine

2.      Peran perawat dalam pengendalian infeksi
      Kewaspadaan universal berfokus terutama pada perlindungan petugas kesehatan yang dapat membuat petugas perioperatif kehilangan tindakan kewaspadaan infeksi yang dirancang untuk menurunkan penularan silang mikroorganisme yang berpotensi patogen diantara pasien.
      Karena penerapannya terbatas hanya untuk cairan tubuh yang menularkan patogen lewat darah, banyak penyakit ditularkan oleh cairan tubuh lain yang tidak tercakup dalam konsep ini, sehingga hal ini dapat menimbulkan anggapan bahwa penyakit-penyakit tersebut kurang penting. Karena kewaspadaan universal tidak berlaku untuk air liur, urin, feses, atau keringat (kecuali apabila tercampur darah), maka sistem ini harus dikombinasikan dengan sistem isolasi klien, untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial terhadap pasien. Isolasi bahan tubuh berfungsi ganda menurunkan risiko pasien dan petugas kesehatan (jakson & Lynch, 1990). Jadi memfokuskan diri pada pencegahan penularan semua penyakit infeksi, bukan hanya penyakit yang ditularkan melalui darah.
      Cara utama penyebaran materi infeksius ditatanan klinis:
1.      Luka tusuk dari jarum yang terkontaminasi atau benda tajam lainnya.
      Petugas kesehatan didorong untuk tidak memasang kembali, menekuk, mematahkan, memindahkan, atau memanipulasi jarum suntik dengan tangan. Harus disedikan wadah yang resisten tusukan untuk tempat pembuangan jarum suntik dan digunakan untuk tempat pembuangan jarum suntik dan digunakan untuk tempat pembuangan semua benda tajam.
2.      Kontak kulit, yang memungkinkan cairan infeksius masuk melaui luka dan kulit yang rusak. Normalnya kulit dipertimbangkan sebagai portal masuk karena adanya kerusakan pada kulit dan membran mukosa dapat menimbulkan infeksi. Namun, sering kali respons tubuh terhadap organisme patogenik dengan membentuk drainase purulen. Misalnya S. Aures menyebabkan drainase kuning yang khas, sedangkan pseudomanas aeruginosa mengakibatkan drainase kehijauan. Drainase ini merupakan portal ke luar yang potensial.
3.      Kontak membran mukosa, yang memungkinkan cairan infeksius masuk melalui membran mukosa mata, mulut dan hidung.  Mulut : organisme yang merupakan flora normal pada satu orang dapat mernjadi patogen bagi orang lain. Misalnya : keluar saat seseorang mengeluarkan saliva, dan selang drainase dan pengeluaran isi lambung saat muntah merupakan jalan keluar yang lain. Hidung : pada klien normal/tidak membutuhkan bantuan bernafas, mikroorganisme keluar melalui mulut dan hidung, sedangkan pada klien yang menggunakan selang trakeostomi atau endotrakea, mikroorganisme dapat dengan mudah keluar dari traktus respiratorius melalui alat ini. 

a.       Peranan atau tugas dari profesinal atau perawat pengendali infeksi meliputi berikut ini:
1)      Memberi pendidikan mengenai pencegahan dan pengendalian infeksi kepada staf
2)      Membuat dan meninjau ulang kebijakan dan prosedur pencegahan dan pengendalian infeksi
3)      Merekomendasikan prosedur isolasi yang tepat
4)      Menyaring catatan klien terhadap infeksi yang didapat dari komunitas
5)      Konsultasi dengan pekerja departemen kesehatan mengenai rekomendasi untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran infeksi di antara personil, seperti tes turbekolosis
6)      Kumpulkan statistik mengenai epidemeologi infeksi nosokomial
7)      Beritahu departemen kesehatan masyarakat tentang insiden penyakit menular
8)      Rundingkan dengan semua departemen di rumah sakit untuk menyelidiki kejadian atau kelompok intersi yang tidak lazim terjadi
9)      Beri pendidikan pada klien dan keluarga
10)  Indentifikasi masalah kontrol/infeksi pada peralatan
11)  Pantau organisme yang tahan antibiotik dalam insitusi



b.      Pencegahan dan pengendalian infeksi untuk petugas rumah sakit
      The occupational sapety and heal act of 1991 menetapkan kaidah dan peraturan untuk melindungi pekerja dari kecelakaan infeksius dalam tempat kerja (OSHA 1991). Elemen panduan dari OSHA yaitu
1)      Rencana kontrol / paparan
Insitusi harus memiliki rencana kontrol paparan yang di rancang untuk mengeliminasi atau meminimalkan paparan terhadap pegawai. Rencana tersebut juga menggambarkan bagaimana menghindari paparan terhadap lembaga infeksius, seperti kapan harus menggunakan peralatan perlindungan
2)      Pemenuhan tindakan pencegahan standar
Pegawai harus melaksanakan tindakan pencegahan untuk mencegah kontak dengan darah atau materi infeksius lainnya selama perawatan terhadap klien
3)      Housekeeping
Tempat kerja harus dipelihara dalam kondisi bersih dan sehat.
4)      Risiko tinggi terpapar
Jika pekerja perawatan kesehatan terpapar secara parentaral (stik jarum) atau melalui membran mukosa terhadap darah atau cairan tubuh infeksius lainnya, kecelakan tersebut harus segera dilaporkan


5)      Pelatihan
Pemimpin harus memastikan bahwa semua pegawai beresiko terhadap paparan di tempat kerja ikut serta dalam program pelatihan.

c.       Langkah yang perlu Perlu Diambil Setelah Terpajan Dengan Pathogen Tular Darah
1)      Laporkan kejadian cedera sesegera mungkin kepada personel yang tepat diinstansi tempat ia bekerja.
2)      Selesaikan laporan terjadinya cedera.
3)      Lakukan tindakan evaluasi dan tindak lanjut yang tepat, yaitu:
a)      Identifikasi dan dokumentasi sumber individual jika mungkin dan sesuai hokum.
b)      Uji sumber hepatitis B dan C, serta HIV dengan persetujuan.
c)      Pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada sumber penyedia layanan kesehatan individu.
d)     Uji darah (dengan persetujuan) pada perawat yang terpajan untuk mendapatkan antibody hepatitis B dan C, serta HIV.
e)      Berikan profilaksis pascapajanan jika diindikasikan.
f)       Konseling medis dan psikologis mengenai risiko personal terhadap infeksi atau resiko menginfeksi orang lain.
4)      Untuk luka tusuk/laserasi:
a)      Keluarkan pendarahan.
b)      Bersihkan/cuci area tersebut menggunakan air dan sabun.
c)      Lakukan tindakan pertolongan pertama dan cari bantuan pengobatan sesuai indikasi.
5)      Untuk pemajanan terhadap membrane mukosa (mata, hidung, mulut), guyur dengan salin atau air mengalir selama 5-10 menit.

d.      Protocol Pascapemajanan:
1)      HIV :
a)      Untuk pemajanan “resiko tingkat tinggi” dan “resiko tinggi” (volume darah yang sangat tinggi dan sumber titer HIV tinggi) : pengobatan tingkat 3 direkomendasikan. Harus mulai diberikan dalam 1 jam.
b)      Untuk pemajanan “resiko rendah” (volume darah rendah dan sumber titer HIV rendah) : pengobatan tingkat 2 direkomendasikan. Harus mulai diberikan dalam 1 jam.
c)      Profilaksis obat dilanjutkan selama 4 minggu
d)     Regimen obat bervariasi. Obat yang biasanya digunakan adalah zidovudin, lamivudin, didanosi, dan indinavir.
e)      Uji antibody HIV dilakukan segera setelah terpajan (nilai dasar) dan 6 minggu, 3-6 bulan setelahnya.
2)      Hepatitis B :
Uji anti-HBs pada 1 sampai 2 bulan setelah dosis vaksin terakhir.
3)      Hepatitis C :
Uji anti-HCV dan ALT sebagai nilai dasar dan dalam 4-6 bulan setelah pemajanan.

3.      Alat Pelindung Diri
a.       Sarung Tangan
                   
Gambar 2.1 Sarung tangan steril dan non steril
Jenis sarung tangan yang dipakai di sarana kesehatan, yaitu :
1)      Sarung tangan bersih adalah sarung tangan yang didesinfeksi tingkat tinggi dan digunakan sebelum tindakan rutin pada kulit dan selaput lendir. Misalnya tindakan medis pemeriksaaan dalam, merawat luka terbuka.
2)      Sarung tangan steril adalah sarung tangan yang disterilkan dan harus digunakan pada tindakan bedah. Bila tidak ada sarung tangan steril baru dapat digunakan sarung tangan yang didesinfeksi tingkat tinggi.
      Sarung tangan dapat mencegah penularan pathogen melalui kontak langsung maupun tidak langsung. Alasan untuk mengenakan sarung tangan :
1)      Mengurangi kemungkinan perawat kontak dengan organism infeksius yang menginfeksi pasien.
2)      Mengurangi kemungkinan pemindahan flora endogen dari perawat kepada pasien.
3)      Mengurangi kemungkinan perawat menjadi tempat kolonisasi sementara dari mikroorganisme yang dapat berpindah pada pasien lain.
4)      Mengurangi kontaminasi tangan perawat dengan mikroorganisme yang dapat berpindah dari satu pasien ke pasien lainnya (kontaminasi silang).
Ada 3 jenis sarung tangan yaitu:
1)      Sarung tangan bedah, dipakai sewaktu melakukan tindakan invasif atau pembedahan (misalnya seksio sesaria, laparatomi, insersi/pencabutan norplant, persalinan per vaginam, vasektomi, laparakopi) dll. Keuntungan jenis ini, ukuran dapat disesuaikan agar gerakan tangan selama prosedur bedah bebas. Kerugiannya; mahal. Sarung tangan bedah yang baik terbuat dari bahan lateks, karena elastis, sensitif dan tahan lama, dan dapat disesuaikan dengan ukuran tangan. Karena meningkatnya masalah alergi lateks, sedang dikembangkan bahan serupa, yang disebut “nitril” yang merupakan bahan sintetik seperti lateks.
2)      Sarung tangan pemeriksaan, dipakai untuk melindungi petugas kesehatan sewaktu melakukan pemeriksaan atau pekerjaan rutin, misalnya pada pemeriksaan dalam, pemasangan dan pencabutan infus, pemasangan dan pencabutan AKDR (tanpa menggunakan teknik sentuh). Harganya lebih murah dari sarung tangan bedah. Biasanya tersedia dalam ukuran S.M.L. Sarung tangan dari lateks dapat dicuci dan dikukus untuk dipakai kembali.
3)      Sarung tangan vinil
Adalah yang paling murah. Baik untuk pemeriksaan singkat dan risiko paparan rendah. Jenis ini kurang elastis dan mudah robek. Digunakan untuk mengosongkan tempat muntah, memindahkan jarum infus, dll (jika hanya sarung tangan pemeriksaan yang tersedia dan risiko akan terpapar oleh darah dan cairan tubuh cukup tinggi, ganti sarung tangan lebih sering dan pertimbangkan untuk menggunakan sarung tangan rangkap)
Gambar 2.2 Sarung tangan vinil
4)      Sarung tangan Lateks
Memberikan perlindungan terbaik. Digunakan untuk tindakan bedah atau pemeriksaan yang berisiko sedang sampai tinggi terhadap paparan darah atau duh tubuh yang potensial terkontaminasi. Jangan dipakai oleh petugas yang diketahui atau disangka alergi terhadap lateks atau pada kontak yang lama (> 1 jam) dengan disinfektan tingkat tinggi seperti gluteraldehid (dapat menghilangkan efektivitas lateks karena berubah).
Gambar 2.3 Sarung tangan Lateks
5)      Sarung tangan nitril
Dianjurkan untuk staf yang alergi terhadap lateks dan dapat digunakan untuk kegiatan dengan risiko sedang sampai tinggi. Sarung tangan nitril mempunyai sifat-sifat yang sama dengan lateks, tetapi lebih tahan terhadap bahan-bahan dari minyak.
Gambar 2.4 Sarung tangan nitril

6)      Sarung tangan rumah tangga, dipakai sewaktu memroses peralatan, menangani bahan-bahan terkontaminasi, dan sewaktu membersihkan permukaan yang terkontaminasi. Biasanya murah dan dapat dicuci dan dipakai berulang-ulang. Biasanya tidak terdapat di semua negara, bila tidak ada tersedia maka dapat dipakai sarung tangan lateks.
Gambar 2.5 Sarung tangan rumah tangga
b.      Masker
      Masker harus dikenakan bila diperkirakan ada percikan atau semprotan darah atau cairan tubuh ke wajah. Masker menghindarkan perawat menghirup mikroorganisme dari saluran pernapasan pasien dan mencegah penularan pathogen dari saluran pernapasan perawat ke pasien.
      Masker yang digunakan harus cukup besar untuk menutup hidung muka bagian bawah, rambut muka. Masker dipakai untuk menahan cipratan yang keluar sewaktu petugas kesehatan bicara, batuk atau bersin. Masker berguna untuk  mencegah cipratan darah atau cairan tubuh yang terkontaminasi masuk ke dalam hidung dan mulut.
      Fungsi dari masker: memeberikan perlindungan organ pernafasan akibat pencemaran udara oleh faktor kimia seperti debu, uap, gas, fume, asap, kabut, kekurangan oksigen, dan sebagainya.
      Pemakaian pelindung wajah ini dimaksudkan untuk melindungi selaput lender, hidung, mulut selama melakukan perawatan pasien yang memungkinkan terjadi percikan darah dan cairan tubuh lain.
      Masker tanpa kaca mata hanya digunakan pada saat tertentu misalnya merawat pasien tuberkulosa terbuka tanpa luka bagian kulit atau perdarahan. Masker kaca mata dan pelindung wajah secara bersamaan digunakan petugas yang melaksanakan atau membantu melaksanakan tindakan beresiko tinggi terpajan lama oleh darah dan cairan tubuh lainnya antara lain pembersihan luka, membalut luka, mengganti kateter etau dekontaminasi alat bekas pakai. Bila ada indikasi untuk memakai ketiga macam alat pelindung tersebut, maka masker selalu dipasang dahulu sebelum memakai gaun pelindung atau sarung tangan, bahkan sebelum melakukan cuci tangan bedah.
               
Gambar 2.6 Masker sederhana dan masker jaringan



c.       Kaca mata pelindung
Gambar 2.7 Kaca mata pelindung
      Berfungsi Melindungi mata dari bahan berbahaya, percikan darah/ cairan lain, virus pada waktu operasi di rumah sakit, atau pada pengobatan pasien dengan infeksi HIV, dan dapat digunakan untuk melindungi mata dari bahan-bahan chemical.
d.      Gown/ Jubah Steril
Gambar 2.8 Gown/ Jubah steril
      Pemeliharaan lingkungan steril dengan menggunakan jubah (pakaian khusus) sebagai cara untuk menutupi daerah tidak steril tanpa mengontaminasi bagian luar dari jubah.
Tujuan dari gown antara lain:
1)      Memelihara lingkungan steril
2)      Melindungi klien dari kontaminasi
3)      Meminimalkan resiko infeksi
4)      Memungkinkan perawat untuk bekerja secara tertutup di daerah steril dan menyentuh benda-benda steril dengan leluasa.
5)      Melindungi klien dari kemungkinan terkontaminasi mikroorganisme oleh tangan, lengan dan pakaian perawat.
e.       Skort/ jubah
      Suatu tindakan menggunakan pakaian khusus dalam merawat klien isolasi guna menghindari penyebaran dan penularan penyakit. Tujuan penggunaan Skort antara lain:
1)      Memudahkan perawatan
2)      Mencegah penularan dan penyebaran penyakit.
3)      Sebagai proteksi bagi perawat
4.      Tindakan Perlindungan Diri
a.       Mencuci tangan
      Mencuci tangan adalah proses secara mekanik melepaskan kotoran dan debris dari  kulit tangan dengan menggunakan sabun biasa dan air (Depkes, 2008)
      Mencuci tangan harus dilakukan sebelum dan sesudah melakukan tidakan keperawatan walaupun memakai sarung tangan dan alat pelindung diri lain. Tujuan mencuci tangan adalah untuk mengurangi  mikroorganisme  yang  ada di  tangan sehingga penyebaran infeksi  dapat  dikurangi dan lingkungan kerja terjaga dari infeksi (Nursalam dan Ninuk, 2007).
      Indikator mencuci tangan digunakan dan harus dilakukan untuk antisipasi terjadinya perpindahan kuman melalui tangan yaitu:
1)      Sebelum melakukan tindakan, misalnya saat akan memeriksa (kontak langsung dengan klien), saat akan memakai sarung tangan bersih maupun steril, saat akan melakukan injeksi dan pemasangan infus.
2)      Setelah mealukan tindakan, misalnya setela memeriksa pasien, setelah memegang alat bekas pakai dan bahan yang terkontaminasi, setelah menyentuh selaput mukosa.
      Sarana cuci tangan adalah ketersediaan air mengalir dengan saluran pembuangan atau bak penampungan yang memadai. Dengan guyuran air mengalir tersebut diharapkan mikroorganisme akan terlepas ditambah gesekan mekanis atau kimiawi saat mencuci tangan mikroorganisme akan terhalau dan tidak menempel lagi di permukaan kulit. Air mengalir tersebut dapat berupa kran atau dengan cara mengguyur dengan gayung.
      Penggunaan sabun tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat dan mengurangi jumlah mikroorganisme dengan jalan mengurangi tegangan permukaan sehingga mikroorganisme mudah terlepas dari permukaan kulit. Jumlah mikroorganisme akan berkurang dengan sering mencuci tangan.
      Larutan antiseptik atau anti mikroba topikal yang dipakai pada kulit atau jaringan hidup lain menghambat aktivitas atau membunuh mikroorganisme pada kulit. Kulit manusia tidak dapat disterilkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit secara maksimal terutama pada kuman transien.

b.      Pemerosesan Kain (Linen)
      Pemerosesan linen tersiri dari semua langkah yang diperlukan untuk mengumpulkan, membawa, dan memilih (menyortir) linen kotor dan membinatu (mencuci, mengeringkan dan melipat), kemudian menyimpan dan mendistribusikannya (Tiedjen dkk, 2004). Prinsip-prinsip dan langkah utama dalam memrosesan linen adalah:
1)      Petugas harus menggunakan sarung tangan dan alat pelindung pribadi apabila mengumpulkan, menangani, membawa, memilih dan mencuci linen kotor.
2)      Anggap semua bahan kain yang dipakai untuk suatu prosedur sebagai bahan infeksius. Sekalipun tidak tampak adanya kontaminasi, bahan tersebut harus dibinatu.
3)      Kumpulkan linen bekas pakai dalam kantong kain, kantong plastik atau kontainer yang ada tutupnya. Kalau linen terkontaminasi berat dengan darah atau cairan tubuh, dengan hati-hati gulungkan area yang terkontaminasi itu ke pusat linen dan tempatkan dalam kantong yang tahan bocor atau kontainer dengan penutup.
4)      Tangani linen kotor sesedikit mungkin, dan jangan dikocok nuntuh mencegah penyebaran mikroorganisme ke sekitarnya.
5)      Jangan memilih atau mencuci linen kotor  di area perawatan pasien.
6)      Kumpulkan dan bawa linen kotor setiap selesai melakukan prosedur, setiap hari, dan kalau diperlukan dari kamar pasien.
7)      Bawa linen kotor yang terkumpul dalam kantong tahan bocor, kontainer deengan penutup, atau kereta yang tertutup ke area pemrosesan.
8)      Bawa kain kotor dan kain bersih secar terpisah, bedakan antara kontainer linen kotor dan kontainer linen bersih.
c.       Kebersihan lingkungan.
      Akumulasi debu, tanah, atau kontaminasi mikroba lain pada permukaan secara estetik tidak menyenangkan sekaligus merupakan sumber infeksi nosokomial. Metode dan rencana pembersihan yang efektif dan efisien sangat penting untuk mempertahankan lingkungan pelayanan kesehatan yang bersih dan sehat (Chou, 2003 dikutip dari Tiedjen dkk, 2004).
      Lakukan secara rutin rawat, bersihkan dan desinfeksi peralatan dan furniture diarea perawatan pasien, membersihkan atau mengepel lantai dengan cairan desinfektan dua kali sehari atau bila perlu, membatasi jumlah pengunjung pada waktu yang bersamaan. Selain itu, untuk melindungi dan mencegah penularan infeksi, pembuangan sampah/ limbah juga harus diperhatikan.
1)      Pengeloaan Limbah; limbah dari  sarana kesehatan secara umum dibedakan atas:
a)      Limbah rumah tangga atau limbah non medis, yaitu limbah yang tidak kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya disebut sebagai resiko rendah. yakni sampah-sampah yang dihasilkan dari kegiatan ruang tunggu pasien, administrasi.
b)      Limbah medis bagian dari sampah rumah sakit yang berasal dari bahan yang mengalami kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya disebut sebagai limbah beresiko tinggi. Beberapa limbah medis dapat berupa: limbah klinis, limbah laboratorium, darah atau cairan tubuh yang lainnya, material yang mengandung darah seperti perban, kassa dan benda-benda dari kamar bedah, sampah organik, misalnya potongan tubuh, plasenta, benda-benda tajam bekas pakai misal jarum suntik.
2)      Pemilahan
      Pemilahan dilakukan dengan menyediakan sampah yang sesuai dengan -wadah tersebut biasanya menggunakan kantong ng untuk infeksius hitam untuk non medis atau udah dibaca.
3)      Penampungan Sementara
      Pewadahan sementara sangat diperlukan sebelum sampah dibuang. Syarat yang harus dipenuhi adalah :
a)      Di tempatkan pada daerah yang mudah dijangkau petugas, pasien, dan pengunjung.
b)      Harus tertutup dan kedap air.
c)      Hanya bersifat sementara dan tidak boleh lebih dari satu hari.
d.      Penaganan Instrumen Benda Tajam
1)      Berhati-hatilah saat menangani jarum, scapel, instrumen yang tajam atau alat kesehatan lainnya dengan permukaan tajam.
2)      Jangan pernah menutup kembali jarum bekas pakai atau memanipulasinya dengan kedua tangan.
3)      Jangan pernah membengkokkan atau mematahkan jarum.
4)      Buanglah benda tajam atau jarum bekas pakai kedalam wadah yang tahan tusuk dan air dan tempatkan pada area yang mudah dijangkau dari area tindakan.
Kontainer benda-benda tajam adala komponen kunci dalam meminimalkan luka akibat benda tajam sekali pakai seperti jarum hipodermik, scapel dan jarum jahit yang digunakan pada fasilitas pelayanan kesehatan (Tiedjen dkk, 2004).
e.       Penempatan pasien.

      Tempatkan pasien yang mengkontaminasi lingkungan atau tidak bisa menjaga kebersihan lingkungan di kamar khusus. Penempatan pasien dimaksudkan hanya untuk pasien yang diketahui atau sangat dicurigai telah terinfeksi atau terkolonisasi oleh pathogen yang ditularkan lewat udara (Tuberkulosis, cacar air dan campak), Percikan (flu, rubella) dan kontak (Hepatitis A dan E Herpes simpleks). Hal ini mengharuskan pasien untuk berada di ruangan tersendiri untuk membantu mempertahankan pengendalian lingkungan yang sesuai (Tiedjen dkk, 2004).

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta. EGC.
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku saku patofisiologi Corwin. Egi Komara Yudha (et al). Jakarta: EGC.
Darmadi. (2008). Infeksi nosokomial: problematika dan pengendaliannya.  Jakarta: Salemba Medika
Deglin, Judith Hopfer. 2004. Pedoman obat untuk perawat. Jakarta: Monica Ester.
Ducel, G., Fabry, J.,& Nicolle, L. (2002). Prevention of hospital-acquired infections, A practical guide. 2nd edition. World Health Organization. Department of Communicable disease, Surveillance and Response.
Gabriel, J. F. (1996). Fisika kedokteran. Jakarta: EGC. Diperoleh pada 6 Februari 2012 dari www.books.google.co.id/books
Greundemann, Barbara J. (2005). Buku ajar keperawatan perioperatif. Vol. 1 prinsip. (Brahm U Pendit, et.al., penerjemah). Jakarta: EGC
Hence, grace. 2007. Med-math: perhitungan dosis, preparat, dan cara pemberian obat. Jakarta EGC
Herger, B.R. 2003. Asisten Keperawatan: Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Ed. 6. Jakarta: EGC
Johnson, Joyce Young. (2005). Prosedur perawatan di rumah: pedoman untuk perawat. Egi Komara Yudha, Sari Kurnianingsih (penerjemah). Jakarta: EGC.
Joyce L, Kee. (1996). Farmakologi Pendekatan Prosess Keperawatan. Jakarta : EGC.
Judith Hopfer, D. (2004). Pedoman Obat untuk Perawat. Jakarta : EGC.
Kee, Joyce L. (1996). Farmakologi: pendekatan proses keperawatan. Jakarta: EGC. Neal, Michael J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Penerjemah: dr. Juwalita Surapsari. Jakarta: Erlangga
Komalawati, Veronica. (2010) Community&Patient Safety Dalam Perspektif Hukum Kesehatan.
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2010). Asepsis. Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses dan praktek.Ed. 7. Vol 2. Jakarta: EGC
Lestari, Trisasi. Knteks Mikro dalam Implementasi Patient Safety: Delapan Langkah Untuk Mengembangkan Budaya Patient Safety. Buletin IHQN Vol II/Nomor.04/2006 Hal.1-3
Lukas, Stefanus. (2006). Formulasi steril. Ed.1. Yogyakarta: ANDI
Marison, Moya J. (2003). Manajemen luka. Florida, Monica Ester, sari kurnianingsih (penerjemah). Jakarta: EGC.
Nursalam dan Ninuk. 2007. Asuhan Keperawatn Pada Pasien Terinfeksi. Jakarta. Salemba Medika.
Pabuti, Aumas. (2011) Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien (KP) Rumah Sakit. Proceedings of expert lecture of  medical student of Block 21st of Andalas University, Indonesia
Panduang Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety). 2005
Potter, A. P & Perry, A. G. (2005). Fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Ed. 4. Vol. 1. (Renata Komalasari, penerjemah). Jakarta: EGC
Priharjo, Robert. 1995.  Teknik Dassar Penberian Obat Bago Perawat. Jakarta: EGC hal.9-11
Rochmanadji Widajat. (2009). Being a great ant sustainable hospital. Jakarta : Gramedia Pustaka
Suwarni, A. (2001). Studi Diskriptif Pola Upaya Penyehatan Lingkungan Hubungannya dengan Rerata Lama Hari Perawatan dan Kejadian Infeksi Nosokomial Studi Kasus: Penderita Pasca Bedah Rawat Inap di Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta Provinsi DIY Tahun 1999. Yogyakarta: Badan Litbang Kesehatan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
Tambayong,jan. (2001).Farmakologi untuk keperawatan.Jakarta.widya medika
Tietjen L, Bossemeyer D, & McIntosh N. 2004. Panduan pencegahan infeksi untuk fasilitas pelayanan kesehatan dengan sumber daya terbatas. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono prawirohardjo
Tim keselamatan Pasien RS RSUD Panembahan Senopati. Patient Safety.Yahya, Adib A. (2006) Konsep dan Program “Patient Safety”. Proceedings of  National Convention VI of The Hospital Quality Hotel Permata Bidakara, Bandung 14-15 November 2006.
Yahya, Adib A. (2007) Fraud & Patient Safety. Proceedings of  PAMJAKI meeting “Kecurangan (Fraud) dalam Jaminan/Asuransi Kesehatan” Hotel Bumi Karsa, Jakarta 13 December 2007. 

No comments:

Post a Comment

Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat