google adsense

Sunday, April 8, 2012

Kondisi Patologis yang Mempengaruhi Body Alignment (kesejajaran tubuh) dan Mobilisasi

Kondisi Patologis yang Mempengaruhi Body Alignment (kesejajaran tubuh)  dan Mobilisasi

1.           Kelainan postur tubuh
a.       Tortikolis
Tortikolis terjadi karena trauma persalinan pada kepala letak sungsang. Bila dilakukan traksi pada kepala untuk melahirkan anak, dapat terjadi cedera m.sternokleidomastoideus yang menimbulkan hematoma sehingga terjadi pemendekan atot akibat fibrosis. cedera m.sternokleidomastoideus ini dapat terjadi pada setiap metode ekstraksi anak.
Gambaran klinis:
Kepala miring karena m.sternokleidomastoideus memendek, dan teraba seperti tali yang kaku. Bila dibiarkan muka akan menjadi asimetri, tulang belakang akan skoliosis untuk mengimbangi miringnya vertebra servikalis, dan tengkorak pun akan asimetri.
Tata laksana:
Bila dijumpai pada bayi, fisioterapi diberikan setiap hari berupa masase disertai peregangan dengan harapan otot dapat memanjang. Bila fisioterapi tidak berhasil dilakukan operasi untuk memperpanjang m.sternokleidomastoid. fisioterapi diteruskan lagi pasca bedah agar tidak kambuh lagi.
 (Wim de jong & R. Sjamsuhidajat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah ed. 2. Jakarta: EGC.)
b.         Skoliosis
skoliosis adalah pelengkungan tulang belakang. Kelainana ini dapat terjadi akibat deformitas struktuural kolumna vertebralis yang ada sejak lahir (congenital) atau dapat timbul akibat penyakit neuromuskuler misalnya cerebral palsy atau distrofi otot. Sebagian skoliosis structural dapat timbul tanpa sebab jelas (idiopatik) atau karena postur yang buruk. skoliosis menyebabkan deformitas dan kadang-kadang nyeri. Apabila keadaan ini tidak diatasi, maka fungsi pernapasan dan jantung dapat terganggu.
Gambaran klinis:
1)      Kelainan penampakan normal vertebra yaitu konkaf-konveks-konkaf yang terlihat menurun dari bahu ke bokong.
2)      Menonjolnya iga di sisi konveks.
3)      Tinggi Krista iliaka yang tidak sama. Hal ini dapat menyebabkan satu tungkai lebih pendek daripada tungkai lainnya.
4)      Asimetri rongga toraks dan persambungan yang tidak sesuai dari vertebra spinalis akan tampak apabila individu membungkuk.
Penatalaksanaan:
Skoliosis postural dapat diobati dengan latihan pasif dan aktif. Dapat dipasang penahan eksternal untuk meningkatkan kepatuhan dan kecepatan pemulihan. Skoliosis struktural dapat diobati dengan intervensi bedah. Intervensi tersebut dapat berupa penempatan sebuah batang fleksibel di punggung untuk membalikkan lengkungan kolumna vertebralis. Pada kasus-kasus yang parah dapat dilakukan fusi (penggabungan) spina di tingkat yang berbeda untuk memperbaiki deformitas.
(J. Corwin, Elizabeth. 2001.  Patofisiologi. Jakarta: EGC)
c.       Lordosis
Kurva anterior pada spinal lumbal yang melengkung berlebihan. Penyebabnya adlah kondisi congenital, kondisi temporer (mis kehamilan)
Penatalaksanaan; latihan peregangan spinal (berdasarkan penyebab)
d.      Kifosis
Peningkatan kelengkungan pada kurva spinal torakal. Penyebabnya adlah kondisi congenital, penyakit tulang/ricket, dan tuberculosis spinal.
Penatalaksanaan: latihan peregangan spinal, tidur tanpa bantal, menggunakan papan tempat tidur, memakai brace/jaket, penggabungan spinal (berdasarkan penyebab dan tingkat keparahan)


e.       Kifolordosis
Kombinasi dari kifosis dan lordosis. Penyebabnya adalah kondisi congenital.
Penatalaksanaan: sama dengan metode yang digunakan untuk kifosis dan lordosis (berdasarkan penyebab)
f.       Kifoskoliosis
Tidak normalnya kurva spinal anteroposterior dan lateral. Penyebabnya adalah kondisi congenital
Penatalaksanaan: imobilisasi dan operasi (berdasarkan penyebab dan tingkat keparahan)
g.      Footdrop
Plantarfleksi, ketidakmampuan menekuk kaki karena kerusakan saraf peroneal. Penyebabnya adalah kondisi congenital, trauma, posisi imobilisasi yang tidak baik.
Penatalaksanaan: tidak ada (tidak dapat dikoreksi) dicegah melalui terapi fisik
h.      Pigeon toes
Rotasi dalam kaki depan, biasa pada bayi penyebabnya adalah kondisi congenital dan kebiasaan.
penatalaksanaan: pertumbuhan, menggunakan sepatu terbalik.
( potter perry. 2006. Fundamental keperawatan ed 2. Jakarta: EGC.)

Secara umum, imobilisasi yang bisa diberikan untuk pasien dengan kelainan postur tubuh adalah sebagai berikut (Aziz alimul H. Pengantar kebutuhan dasar manusia –jakarta: salemba medika, 2009).
2.        Gangguan Perkembangan Otot
1.      Distrofi otot
Distrofi otot mengacu pada berbagai penyakit yang ditandai oleh berkurangnya otot. Gangguan ini tidak disebabkan oleh kelainan saraf, hormone atau aliran darah. Semua distrofi otot adalah gangguan herediter yang melibatkan cacat enzimatik atau metabolic. Karena kecatatan tersebut, sel-sel otot mati dan difagositosis oleh sel-sel system peradangan yang menyebabkan terbentuknya jaringan parut dan hilangnya fungsi otot.
a)      Distrofi otot duchenne
Bentuk tersering distrofi otot adalah distrofi otot duchenne, suatu penyakit terkait-seks yang diwariskan melalui kromosom X dan hampir selalu terdapat pada pria. Pada sekitar 50% kasus, penyakit ini jelas memperlihatkan riwayat keluarga dan diturunkan dari ibu kepada anak laki-lakinya. Lima puluh persen lainnya muncul secara spontan akibat mutasi pada kromosom X sebelum atau selama konsepsi.  Karena pria hanya memiliki 1 kromosom X maka gen defektif yang menyebabkan penyakit tidak dikompensaasi oleh gen sehat pada kromosom X yang lain.
Penyebab distrofi otot duchenne :
Distrofi otot duchenne terjadi akibat cacat pada gen yang menghasilkan protein distrofin. Distrofin penting untuk memelihara membran sel otot. Tanpa distrofin, sel-sel otot melemah dan mati.
Kelemahan sel-sel otot dimulai di daerah panggul pada anak berusia 2 atau 3 tahun. Kelemahan tersebut kemudian menyebar ke tungkai dan bagian atas tubuh dalam 3-5 tahun. Sewaktu sel-sel otot mati, terbentuk jaringan parut dan sel-sel lemak yang menggantikan sel-sel yang mati sehingga otot (terutama otot betis) tampak kuat dan berisi (disebut pseudohipertropi). Akhirnya,kerangka mulai mengalami deformitas dan anak semakin sulit bergerak dan akhirnya hanya menggunakan kursi roda. Otot jantung sering terkena dan sekitar 50% pasien mengidap gagal jantung. Disfungsi otot polos dapat menyebabkan gangguan saluran cerna. selain itu, mungkin terdapat sedikit retardasi mental kematian biasanya terjadi akibat komplikasi pernapasan atau jantung pada usia 20-aan atau lebih dini.



Gambaran klinis
1)      Balita tampak canggung, ayunan langkah terguncang-guncang, dan sering jatauh
2)      Berjalan dengana jari-jari kaki karena kelemahan tibia anterior
3)      Penurunan reflek tendon dalam
4)      Pseudohipertropi otot betis
5)      Imobilitas dan terpaku ke kursi roda pada usia remaja
6)      Tulang belakang melengkung (kifoskoliosis) akibat melemahnya otot-otot postur
7)      Infeksi pernafasan berulang akibat ketidakmampuan mengembangkan paru secara maksimum
Ø  Karena gen untuk distrofin telah berhasil diidentifikasi, maka akan dapat dilakukan pemeriksaan pranikah untuk mengetahui kemungkinan munculnya penyakit
Komplikasi :
Kegagalan nafas atau jantung dan kematian



Penatalaksanaan :
1)      Olahraga yang tidak berat dianjurkan untuk mempertahankan mobilitas dan fungsi selama mungkin
2)      Penelitian-penelitian eksperimental berupa penyuntikan intramuskulus distrofin, atau gen untuk distrofin, sekarang dilakukan pada hewan percobaan. Insersi gen akan dapat dilakukan melalui virus yang telah direkayasa secara genetis untuk membawa gen yang tepat ke dalam sel otot penjamu
3)      Sekarang sedang dilakukan penelitian-penelitian eksperimental dimana sel-sel otot imatur sehat diambil dari para ayah pasien distrofi otot dan disuntikkan ke dalam otot putra mereka. Pada saat ini masih belum jelas apakah terjadi perbaikan bermakna pada fungsi otot para pasien tersebut.
2.      Atrofi
Atrofi adalah penurunan ukuran suatu sel atau jaringan. Atrofi suatu otot dapat terjadi akibat tidak digunakannya otot atau terjadi pemutusan saraf yang mempersarafi otot tersebut. Pada atrofi otot, ukuran myofibril berkurang. Walaupun tidak benar-benar mengalami atrofi, kepadatan tulang dapat berkurang akibat tidak digunakannya tulang tersebut atau adanya penyakit atau defisiensi metabolik.

3.      Kerusakan system saraf pusat
1.      Penyakit Parkinson
Adalah gangguan otak progresif yang ditandai oleh degenerasi neuron-neuron penghasil dopamine yang terletak dalam di hemisfer serebrum di suatu bagian yang disebut ganglion basal. Awitan penyakit biasanya pada decade ke enam dan ketujuh kehidupan.
Dopamine bekerja sebagia neurotransmitter inhibitorik di proyeksi-proyeksi saraf yang berjalan dari ganglion basal ke seluruh otak. Dopamine biasanya berada dalam keseimbangan dengan neurotransmitter eksitatorik asetilkolin. Tanpa dopamine, korteks serebrum, ganglion basal, dan thalamus akan mengalami perangsangan berlebihan oleh asetilkolin dan menimbulkan tonus otot berlebihan yang ditandai oleh tremor dna rigiditas. Tonus otot-otot wajah yang terfiksasi seperti memperlihatkan tidak adanya responsivitas emosi, walaupun biasanya pasien Parkinson tidak mengalami gangguan emosi atau kognitif.
Penyebab
Penyebab penyakit Parkinson tidak diketahui. Tampaknya tidak terdapat factor genetic. Pada beberapa penelitian, diisyaratkan adanya peran virus dan toksin dalam penyakit ini.



Gambaran klinis
1)      Tremor pada saat istirahat
2)      Mengeluarkan air liur dan disfagia (kesulitan menelan)
3)      Ayunan langkah terseret-seret
4)      Rigiditas dan kekakuan otot
5)      Akinesia, yang dijelaskan sebagai kemiskinan gerakan, termasuk gerakan-gerakan yang melibatkan ekspresi wajah dan gerakan volunteer lainnya.
6)      Hilangnya reflex-refleks postural sehingga terjadi kehilangan keseimbangan dan kecendrungan membungkuk.
Komplikasi:
penyakit Parkinson stadium lanjut dapat berkaitan dengan demensia
penatalaksanaan:
1)      Dapat diberikan obat-obat dopaminergik ( L.dopa) atau obat antikolinergik untuk mengurangi gejala
2)      Pada beberapa penelitian,transplantasi sel-sel ganglion basal atau medulla adrenal (tempat lain pembentukan dopamine) dari janin ke otak pasien pengidap Parkinson memberikan hasil yang baik.

2.      Penyakit huntungton
Penyakit huntungton adalah penyakit degenerative ganglion basal dan korteks serebrum yang jarang dijumpai. Penyakit ini diturunkan melalui gen sebagai suatu kelainan dominan-otosom, yang tampaknya disebabkan oleh ekspansi suatu kodon berulang yang terletak di kromosom empat. Awitan penyakit biasanya terjadi pada decade keempat atau kelima kehidupan.
Pada degenerasi ganglion basal dan korteks serebrum, beberapa neurotransmitter lenyap. Banyak dari komplikasi penyakit ini terjadi akibat hilangnya neurotransmitter inhibitorik asam gama-aminobutirat (gamma amminobutyric acid, GABA). Juga tampak terjadi kelainan pembentukan energy oleh mitokondria neuron.
Gerakan-gerakan khas yang dijumpai pada pasien penyakit Huntington antara lain adalah gerakan menyentak involunter yang mencolok disebut korea. Gerakan-gerakan abnormal ini dapat terjadi diseluruh tubuh dan menyebabkan kelelahan fisik. Pasien penyakit Huntington mengalami penurunan progresif fungsi mental yang akhirnya menyebabkan demensia. Kematian biasanya dating dalam 10mtahun.
Gambaran klinis:
1)      Korea
2)      Demensia progresif
Perangkat diagnostic
Identifikasi gen penyebab penyakit Huntington dapat mendiagnosis adanya sifat ini secara prenatal atau sebelum awitan gejala pada orang dewasa.
Penatalaksanaan :
Saat ini belum ada pengobatan untuk penyakit Huntington. Katena dapat dilakukan identifikasi genetic pada orang-orang asimtomatik yang mungkin terjangkit penyakit ini, maka perlu dilakukan konsultasi bagi mereka baik yang memilih untuk mengetahui status mereka maupun bagi mereka ysng memilih untuk tidak mengetahuinya.
Penyakit lainnya adalah sklerosis multiple, sklerosis lateral amiotropik (SLA), miastenia gravis, dll.
(J. Corwin, Elizabeth. 2001.  Patofisiologi. Jakarta: EGC)
4.      Trauma langsung pada system muskoloskeletal
a.       Kontusio adalah cedera pada jaringan lunak, diakibatkan oleh kekerasan tumpul ( mis: pukulan, tendangan, atau jatuh). Terputusnya banyak pembuluh darah kecil yang terjadi mengakibatkan perdarahan ke jaringan lunak ( ekimosis, memar). Hematoma terjadi bila perdarahan cukup banyak sampai terjadi timbunan darah. Gejala local (nyeri, bengkak, dan perubahan warna) dapat denagn mudah dikontrol dengan pemberian kompres dingin intermiten. Kebanyakan kontusi akan hilang dalam 1-2 minggu.
b.      Dislokasi sendi
Dislokasi sendi adalah suatu keadaan dimana permukaan sendi tulang yang membentuk sendi tak lagi dalam hubungan anatomis. Secara kasar “tulang lepas dari sendi”.
1)      Subluksasi adalah dislokasi parsial permukaan persendian.
2)      Dislokasi traumatic adalah kedaruratan ortopedi, karena struktur sendi yang terlibat, pasokan darah, dan saraf rusak susunannya dan mengalami stress berat. Bila dislokasi tidak ditangani segera, dapat terjadi kematian jaringan akibat anoksia dan hilangnya pasokan darah) dan paralisis saraf.
Tanda dan gejala dislokasi traumatic:
1)      Nyeri
2)      Perubahan kontur sendi
3)      Perubahan panjang ekstrimitas
4)      Kehilangan mobilitas normal
5)      Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi.
( smeltzer, C.S., Bare, G.B., (2001). Buku ajar keperawatan medical bedah Brunner& Suddarth, Edisi 8, Volume 3, Penerbit EGC, Jakarta.)
c.       Fraktur tulang
Adalah terputusnya tulang. Istilah-istilah yang digunakan untuk menjelaskan berbagai jenis fraktur tulang antara lain adalah:
1)      Fraktur komplit
Fraktur yang mengenai suatu tulang secara keseluruhan
2)      Fraktur inkomplit
Fraktur yang meluas secara parsial pada suatu tulang
3)      Fraktur sederhana (tertutup)
Fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit
4)      Fraktur coumpound (terbuka)
Fraktur yang menyebabkan robeknya kulit
Penyebab fraktur tulang
Patah tulang paling sering disebabkan oleh trauma, terutama pada  anak-anak dan dewasa muda. Apabila tulang melemah, patah dapat terjadi hanya akibat trauma minimal atau tekanan ringan. Hal ini disebut fraktur patologis. Fraktur ini sering terjadi pada orang tua yang mengidap osteoporosis, atau penderita tumor, infeksi, atau penyakit lain.
Fraktur stress dapat terjadi pada tulang normal akibat stress tingkat rendah yang berkepanjangan atau berulang. Fraktur stress (fatigue fraktur) biasanya terjadi akibat peningkatan drastic tingkat latihan pada seorang atlit, atau pada permulaan aktivitas fisik baru. Karena kekuatan otot meningkat secara lebih cepat dibandingkan kekuatan tulang, maka individu dapat merasa mampu berprestasi melebihi tingkat sebelumnya walaupun tulang-tulang mereka mungkin tidak dapat menunjang peningkatan tekanan. Fraktur stress biasanya terjadi pada mereka yang menjalani olahraga daya tahan, misalnya lari jarak jauh. Fraktur stress dapat terjadi pada tulang yang lemah akibat peningkatan ringan aktivitas. Hal ini disebut fraktur insufisiensi.
 Efek fraktur tulang:
Sewaktu tulang patah, maka sel-sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak disekitar tulang tersebut. Jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat timbul setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa  sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk bekuan fibrin (hematom fraktur) dan berfungsi sebagai jala untuk melekatnya sel-sel baru. Aktivitas osteoblas segera terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut kalus. Bekuan fibrin direabsorpsi dan sel-sel tulang baru secara perlahan mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Tulang sejati menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami klisifikasi. Penyembuhan memerlukan waktu beberapa  minggu sampai beberapa bulan. Penyembuhan dapat terganggu atau terhambat apabila hematom fraktur atau kalus rusak sebelum tulang sejati terbentuk atau apabila sel-sel tulang baru rusak selama proses klasifikasi dan pengerasan.
(J. Corwin, Elizabeth. 2001.  Patofisiologi. Jakarta: EGC)
Manifestasi klinis;
1)      Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
2)      Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah.
3)      Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
4)      Saat ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang.
5)      Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur.
( smeltzer, C.S., Bare, G.B., (2001). Buku ajar keperawatan medical bedah Brunner& Suddarth, Edisi 8, Volume 3, Penerbit EGC, Jakarta.)
Penatalaksanaan;
5)      Fraktur harus segera diimobilisasi agar hematom fraktur dapat terbentuk dan untuk memperkecil kerusakan
6)      Penyambungan kembali tulang (reduksi) penting dilakukan agr posisi dan rentang gerak pulih.
7)      Perlu dilakukan imobilisasi jangka panjang setelah reduksi agar kalus dan tulang baru dapat terbentuk.biasanya digunakan dengan gips atau penggunaan belat.
 (J. Corwin, Elizabeth. 2001.  Patofisiologi. Jakarta: EGC)

d.      osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu penyakit tulang metabolic yang ditandai oleh reduksi kepadatan tulang sehingga  mudah terjadi patah tulang. Osteoporosis terjadi sewaktu kecepatan absorbs tulang melebihi kecepatan pembentukan tulang. Tulang yang dibentuk normal, namun jumlahnya terlalu sedikit sehingga tulang menjadi lemah. Semua tulang dapat mengalami osteoporosis, walaupun osteoporosis biasanya timbul di tulang panggul, paha, pergelangan tangan dan kolumna vertebralis



1)      Penyebab osteoporosis
Kecepatan pembentukan tulang berkurang secara progresif seiring dengan penuaan seseorang, yang dimulai pada usia sekitar 30 atau 40. Apabila tulang semakin padat sebelum usia tersebut, semakin kecil kemungkinan timbul osteoporosis. Pada orang-orang yang beruasia 70-an atau 80-an osteoporosis adalah penyakit yang sering ditemukan.
Timbulnya osteoporosis pada wanita berusia lanjut tampaknya terutama disebabkan oleh turunnya kadar estrogen pascamenoupaus. Estrogen merangsang aktivitas osteoblas dan menghambat efek stimulasi hormone paratiroid pada osteoklas. Dengan demikian, berkurangnya estrogen menyebabkan pergeseran kea rah aktivitas osteoblas. Wanita kurus dan wanita yang merokok lebih rentan terhadap osteoporosis karena sebelum menopaus tulang mereka kurang padat dibandingkan tulang wanita gemuk yang tidak merokok. Pria berusia lanjut lebih kecil risikonya mengalami osteoporosis karena  mereka biasanya memiliki tulang yang lebih padat (sekitar 30% lebih padat) daripada wanita dan kadar testosterone tetap tinggi sampai usia mencapai 80-an.
Untuk pria maupun wanita, penurunan aktivitas fisik ikut berperan menimbulkan osteoporosis. Bahkan pria atau wanita yang sangat tua pun dapat secara bermakna meningkatkan kepadatan tulang-tulang mereka dengan melakukan olahraga beban tingkat sedang.
2)      Gambaran klinis
a)      Osteoporosis mungkin tidak memberikan gejala klinis sampai terjadi patah tulang. Nyeri dan deformitas biasanya menyertai patah tulang.
b)      Dapat melemah dan kolapnya korpus vertebra, tinggi seseorang dapat berkurang atau timbul kifosis dan individu menjadi bungkuk (kadang-kadang disebut dowager’s hump.
3)      Perangkat diagnostik
a)      Pemeriksaan sinar-X terhadap tulang memperlihatkan penurunan ketebalan tulang.
b)      CT scan densitas tulang dapat memberikan gambaran akurat mengenai tingkat massa tulang dan menentukan kecepatan penipisan tulang.
4)      Komplikasi
Fraktur tulang panggul, pergelangan tangan, kolumna vertebralis, dan paha.
5)      Penatalaksanaan
a)      Pencegahan osteoporosis dimulai sejak masa anak-anak dan remaja kebiasaan berolahraga dan nutrisi yang adekuat untuk memperkuat tulang
b)      Olahraga beban, bahkan pada usia sangat lanjut (>85 tahun), telah dibuktikan dapat meningkatkan kepadatan tulang dan massa otot, dan memperbaiki daya tahan fisik dan keseimbangan
c)      Terapi estrogen-progesteron pengganti selama dan setelah menopaus dapat mengurangi pembentukan osteoporosis pada wanita. Kontraindikasi terapi penggantian estrogen adalah riwayat kanker payudara pada individu atau keluarga atau riwayat mengidap pembentukan bekuan darah
d)     Terapi testosterone dapat mengurangi osteoporosis pria
e)      Suplemen kalsium dan vitamin D melalui makanan dapat merangsang pembentukan osteoporosis baik pada pria maupun wanita
f)       Merokok harus dihindari
e.       Penyakit Paget
Penyakit paget adalah suatu gangguan tulang yang ditandai oleh pola remodeling tulang yang dipercepat. Timbul episode-episode fraktur tulang yang cepat diikuti oleh periode pembentukan tulang yang singkat. Tulang baru berukuran tebal dan kasar dan akhirnya menyebabkan deformitas struktural dan kelemahan. Aliran darah ke tulang yang dipengaruhi oleh [penyakit Paget akan meningkat untuk memenuhi kebutuhan metabolik yang tinggi. Tulang-tulang panjang dan tulang cranium, vertebra dan panggul adalah tulang yang paling sering terkena. Penyakit Paget biasanya dijumpai pada orang berusia lebih dari 70 tahun. Penyebab penyakit tidak diketahui.
1)      Gambaran klinis
a)      Perubahan bentuk tengkorak disertai nyeri kepala, kelainan pendengaran, dan kadang-kadanga kemunduran mental.
b)      Nyeri pada tulang panjang, tulang belakang, atau panggul.
c)      Fraktur patologik tulang
2)      Perangkat diagnostic
a)      Pemeriksaan sinar –X memperlihatkan deformitas tulang dan akan menunjang diagnosis klinis
b)      Peningkatan kadar fosfatase alkali serum akan menunjang diagnosis
c)      Biospsi tulang akan menyingkirkan infeksi dan tumor
3)      Komplikasi
a)      Gagal jantung dapat terjadi akibat tingginya kebutuhan aliran darah ke tulang-tulang yang mengalami remodeling (gagal jantung high output)
b)      Gagal pernapasan dapat terjadi apabila tulang-tulang toraks terkena dan mengalami deformitas
c)      Penyakit paget adalah factor resiko untuk sarcoma (kanker tulang), mungkin berkaitan dengan tingginya kecepatan siklus sel yang terjadi pada penyakit ini.
4)      Penatalaksanaan
a)      Kalsitonin dapat diberikan untuk mengurangi kecepatan penguraian tulang
b)      Obat-obat anti-inflamasi dapat mengurangi nyeri yang berkaitan dengan deformitas tulang. Obat-obat akan menurtunkan peradangan yang menyertai penguraian sel-sel. Cara menyembuhkan penyakit ini tidak diketahui.
 (J. Corwin, Elizabeth. 2001.  Patofisiologi. Jakarta: EGC)

Contoh imobilisasi pada pasien gangguan muskuloskeletal pada pasien fraktur ;
*Peredaan nyeri
Nyeri dan nyeri tekan kemungkinan akan dirasakan pada fraktur dan kerusakan jaringan lunak, spasme otot terjadi sebagai respon terhadap cedera dan immobilisasi. Upaya pengontrilan nyeri dapat berupa membidai dan menyangga daerah yang cedera , melakukan perubahan posisi dengan perlahan, meninggikan ekstremitas yang cedera setinggi jantung, memberikan kompres es bila perlu, memantau pembengkakan dan status neurovaskuler, memberikan analgetik sesuai ketentuan seawal mungkin pasien merasakan nyeri, menganjurkan tehnik relaksasi.

* Peningkatan mobilitas
Mobilitas pasien dapat terganggu karena nyeri, pembengkakan dan alat immobilisasi (missal : bidai, gips, traksi). Ekstremitas yang bengkak ditinggikan dan disokong secukupnya dengan tangan dan bantal. Gerakan dalam batas-bats immobilitas terapeutik selalu dianjurkan. Bila alat bantu (missal : tongkat, walker, kursi roda) harus digunakan pada pasca operasi, pasien dianjurkan untuk berlatih menggunakannya sebelum operasi, agar mereka bias menggunakannya dengan aman dan memungkinkan mobilitas mandiri lebih awal

* Mengurangi kecemasan
Sebelum pembedahan dilakukan, pasien harus diberi informasi mengenai prosedur, tujuan dan implikasinya. Berbincang dengan pasien mengenai apa yang akan dikerjakan, dan mengapa, dapat mengurangi ketakutan.Kunjungan perawat yang sering akan mengurangi perasaan isolasi. Keluarga dan kerabat dianjurkan untuk sering mengunjungi untu alasan yang sama
* Memelihara integritas kulit
Kaji terjadinya kerusakan kulit : Abrasi kulit, titik nyeri gips, keluarnya pus, sensasi iritasi. Ajarkan pasien mengenai tanda dan gejala kerusakan kulit.Tekanan akibat gips dan peralatan dapat mengakibatkan kerusakan kulit.

* Menghindari trauma/mempertahankan stabilisasi dan posisi fraktur
Pertahankan tirah baring/ekstremitas sesuai indikasi. Berikan sokongan sendi diatas dan di bawah fraktur bila bergerak atau membalik. Letakan papan di bawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada tempat tidur ortopedik. Kaji ulang foto.

* Menghindari Infeksi
Infeksi merupakan resiko pada setiap pembedahan. Infeksi merupakan perhatian khusus terutama pada pasien pascaoperasi orthopedic karena tingginya resiko osteomielitis. Antibiotik sistemik profilaksis sering diberikan selama perioperatif dan segera pad periode pasca operasi. Saat mengganti balutan tehnik aseptic sangat penting. Perawat memantau tanda vital, menginspeksi luka, dan mencatat sifat cairan yang keluar.
Contoh: Mobilisasi Dini Pada Ibu Post Sc
Quantcast
A.    PENGERTIAN MOBILISASI PASCA SC
1. Mobilisasi adalah suatu pergerakan dan posisi yang akan melakukan suatu aktivitas / kegiatan.
2. Mobilisasi ibu post partum adalah suatu pergerakan, posisi atau adanya kegiatan yang dilakukan ibu setelah beberapa jam melahirkan dengan persalianan Caesar.

B. TUJUAN MOBILISASI
Membantu jalannya penyembuhan penderita / ibu yang sudah melahirkan
C. MANFAAT MOBILISASI BAGI IBU POST SC
1. Penderita merasa lebih sehat dan kuat dengan early ambulation.
a. Dengan bergerak, otot –otot perut dan panggul akan kembali normal sehingga otot perutnya menjadi kuat kembali dan dapat mengurangi rasa sakit dengan demikian ibu merasa sehat dan membantu memperoleh kekuatan, mempercepat kesembuhan.
b. Faal usus dan kandung kencing lebih baik.
c. Dengan bergerak akan merangsang peristaltic usus kembali normal.
d. Aktifitas ini juga membantu mempercepat organ-organ tubuh bekerja seperti semula.
2. Mobilisasi dini memungkinkan kita mengajarkan segera untuk ibu merawat anaknya.
Perubahan yang terjadi pada ibu pasca operasi akan cepat pulih misalnya kontraksi uterus, dengan demikian ibu akan cepat merasa sehat dan bisa merawat anaknya dengan cepat
3. Mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli
Dengan mobilisasi sirkulasi darah normal/lancar sehingga resiko terjadinya trombosis dan tromboemboli dapat dihindarkan.

D. KERUGIAN BILA TIDAK MELAKUKAN MOBILISASI.
1. Peningkatan suhu tubuh
Karena adanya involusi uterus yang tidak baik sehingga sisa darah tidak dapat dikeluarkan dan menyebabkan infeksi dan salah satu dari tanda infeksi adalah peningkatan suhu tubuh.
2. Perdarahan yang abnormal
Dengan mobilisasi dini kontraksi uterus akan baik sehingga fundus uteri keras, maka resiko perdarahan yang abnormal dapat dihindarkan, karena kontraksi membentuk penyempitan pembuluh darah yang terbuka
3. Involusi uterus yang tidak baik
Tidak dilakukan mobilisasi secara dini akan menghambat pengeluaran darah dan sisa plasenta sehingga menyebabkan terganggunya kontraksi uterus

E. RENTANG GERAK DALAM MOBILISASI
Menurut Carpenito (2000) dalam mobilisasi terdapat tiga rentang gerak yaitu :
1. Rentang gerak pasif
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien
2. Rentang gerak aktif
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya berbaring pasien menggerakkan kakinya.
3. Rentang gerak fungsional
Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktifitas yang diperlukan.

F. TAHAP-TAHAP MOBILISASI DINI
mobilisasi dini dilakukan secara bertahap (Kasdu,2003)
Tahap- tahap mobilisasi dini pada ibu post operasi seksio sesarea :
1. 6 jam pertama ibu post SC
Istirahat tirah baring, mobilisasi dini yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, menggerakkan ujung jari kaki dan memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit, menegangkan otot betis serta menekuk dan menggeser kaki
2. 6-10 jam,
ibu diharuskan untuk dapat miring kekiri dan kekanan mencegah trombosis dan trombo emboli
3. Setelah 24 jam ibu dianjurkan untuk dapat mulai belajar untuk duduk
4. Setelah ibu dapat duduk, dianjurkan ibu belajar berjalan

G. PELAKSANAAN MOBILISASI DINI
1. Hari ke 1 :
a. Berbaring miring ke kanan dan ke kiri yang dapat dimulai sejak 6-10 jam setelah penderita / ibu sadar
b. Latihan pernafasan dapat dilakukan ibu sambil tidur terlentang sedini mungkin setelah sadar.
2. Hari ke 2 :
a. Ibu dapat duduk 5 menit dan minta untuk bernafas dalam-dalam lalu menghembuskannya disertai batuk- batuk kecil yang gunanya untuk melonggarkan pernafasan dan sekaligus menumbuhkan kepercayaan pada diri ibu/penderita bahwa ia mulai pulih.
b. Kemudian posisi tidur terlentang dirubah menjadi setengah duduk
c. Selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari penderita/ibu yang sudah melahirkan dianjurkanbelajar duduk selama sehari,
3. hari ke 3 sampai 5
1) belajar berjalan kemudian berjalan sendiri pada hari setelah operasi.
2) Mobilisasi secara teratur dan bertahap serta diikuti dengan istirahat dapat membantu penyembuhan ibu.

http://nnpetc.blogspot.com/2011/09/mobilisasi-dini-pada-ibu-post-sc.html






Daftar pustaka
J. Corwin, Elizabeth. 2001.  Patofisiologi. Jakarta: EGC.
potter perry. 2006. Fundamental keperawatan ed 2. Jakarta: EGC.
smeltzer, C.S., Bare, G.B., (2001). Buku ajar keperawatan medical bedah Brunner& Suddarth, Edisi 8, Volume 3, Penerbit EGC, Jakarta.
Wim de jong & R. Sjamsuhidajat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah ed. 2. Jakarta: EGC.



1 comment:

Komentar yang diharapkan membangun bagi penulis, semoga bermanfaat